MATERIALITAS DAN RISIKO AUDIT KANTOR AKUNTAN PUBLIK “MADE SUDARMA, THOMAS & DEWI”

AGIE AYU LESTARI & DANIEL SUGAMA STEPHANUS

MAKALAH PENGAUDITAN

PROGRAM STUDI AKUNTANSIFAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUATEN MALANG

2014

ABSTRAK

Setiap manusiapasti pernah melakukan kesalahan, begitu juga dengan pihak manajemen dalam membuat laporan keuangan. Merupakan tugas dari seorang auditor untuk memeriksa laporan keuangan tersebut, auditor harus menentukan tingkat materialitas dari suatu laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut tidak salah saji.

Dalam melakukan tugasnya tak jarang auditor melakukan kesalahan. Namun, auditor harus dapat memperkirakan risiko audit yang akan dialaminya. Dasar penentua risiko audit itu salah satunya adalah dengan SAK, ETAB, SPAP, dan standart akuntansi lainnya.

Makalah ini membahas tentang materialitas dan risiko audit. Penulis melakukan wawancara dengan salah satu auditor di Kota Malang. Melalui wawancara ini dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara risiko audit dengan materialitas.

Kata-kata kunci: laporan keuangan, audit, auditor, risiko audit, materialitas.

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan keuangan merupakan sesuatu hal yang penting bagi perusahaan. Laporan keuangan dapat mengungkap kinerja yang telah dihasilkan oleh perusahaan. Laporan keuangan dapat meningkatkan nilai dan citra perusahaan di mata stakeholder. Kepercayaan antara stakeholder dan perusahaan dapat terbangun jika pihak manajemen perusahaan mampu menyajikan laporan keuangannya secara jujur dan terbuka. Maka dari itu diperlukan pihak eksternal yang independen untuk membantu menelaah laporan keuangan yang telah disajikan oleh perusahaan.

Audit menurut Mulyadi (2010) merupakan suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian anatara penyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Jadi auditor merupakan seorang professional independen yang melakukan jasa audit.

Seorang auditor dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan bukan hanya bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk kepentingan pihak lain yang mempunyai kepentingan atas laporan keuangan tersebut. Agar dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, auditor dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai.

Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat, dari profesi akuntan publik tersebut masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan (Mulyadi, 2002). Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan laporan audit yang baik dan berguna bagi semua pihak, auditor memerlukan sikap profesionalitas yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam melakukan tugasnya auditor tidak jarang menemukan kesalahan dalam laporan keuangan. Auditor harus menentukan apakah kesalahan itu tidak disengaja atau sengaja dibuat oleh pihak manajemen. Maka dari itu, Auditor harus menetapkan tingkat materialitas pada suatu laporan keuangan. Materialitas (Agoes, 2012) merupakan besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbanagan orang yangmeletakkan kepercayaan atas informasi tersebut. Dengan mentukan materialitas ini, auditor dapat memeperkecil resiko auditnya. Materialitas yang rendah dapat mengahasilkan bukti audit yang banyak.

Setiap manusia tidak pernah terlepas dari kesalahan begitu juga dengan seorang auditor. Oleh karena itu, sebelum melakukan proses auditing, seorang auditor harus merencanakan pekerjaan auditnya dengan matang dan menentukan tingkat materialitas, sehingga resiko audit dapat diminimalisir. Risiko bisnis merupakan risiko dimana auditor akan menderita kerugian atau merugikan dalam melakukan praktik profesinya akibat proses pengadilan atau penolakan publik dalam hubungannya dengan audit. (Guy, et al, 2002).

Padamakalah ini, penulis akan membahas lebih jauh mengenai materialitas dan risiko Audit. Penelitian kali ini dilakukan dengan mengadakan wawancara kepada Auditor pada Kantor Akuntan Publik “Made Thomas Dewi” yang sudah berpengalaman. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi pembaca sekalian.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

  1. Apa yang dimaksud dengan materialitas dan resiko audit?
  2. Mengapa auditor perlu menetapkan tingkat materialitas sebelum proses auditing?

3.  Bagaimana cara menentukan materialitas dan meminimalisir resiko audit?

1.3 Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.  Untuk mengetahui tentang materialitas dan resiko audit.

2.  Untuk mengetahui.peranan penetapan materialitas sebelum proses auditing.

3.  Untuk mengetahui cara menetapkan tingkat materialitas dan meminimalisir resiko audit.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagi Universitas

Dapat mememperoleh tambahan sumber literatur bagi pembaca lainnya untuk dapat memahami dan mengerti mengenai materialitas dan resiko audit.

2. Bagi akademis

Makalah ini dapat memberikan bukti empiris mengenai materialitas dan resiko audit sehingga dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih mendalam mnegenai cara penetapan tingkat materialitas dan meminimalkan resiko audit.

3. Bagi Auditor

Menjadi bahan pertimbangan untuk perencanaan audit dan untuk mengambil     kebijakan-kebijakan yang terkait            dengan            peningkatan profesionalisme auditor.

  • LANDASAN TEORI

2.1 Perusahaan

2.1.1 Definisi Perusahaan

Menurut pendapat Kansil (2001) pengertian perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Menurut pendapat Swastha dan Sukotjo (2002) definisi perusahaan adalah suatu organisasi produksi yang menggunakan dan mengkoordinir sumber-sumber ekonomi untuk memuaskan kebutuhan dengan cara yang menguntungkan.

Menurut UU No.8 TAHUN 1997, PASAL 1 (1), perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus-menerus dengan memperoleh keuntungan dan atau laba bersih, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara RI. Sedangkan menurut Sumarni (1997) perusahaan adalah sebuah unit kegiatan produksi yang mengolah sumber daya ekonomi untuk menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat dengan tujuan memperoleh keuntungan dan memuaskan kebutuhan masyarakat.

2.1.2 Jenis Perusahaan

1. Jenis Perusahaan Menurut Operasinya

Berdasarkan operasinya, perusahaan digolongkan menjadi tigajenis, yaitu perusahaan jasa, dagang, dan manufaktur/industri.

a. Perusahaan jasa adalah perusahaan yang kegiatannya menjual atau memberi jasa kepada pihak lain atau masyarakat. Contohnya: bank, asuransi, transportasi, kantor akuntan, bengkel, salon, dan sebagainya. Ciri-ciri perusahaan jasa di antaranya sebagai berikut.

1) Kegiatannya memberi pelayanan jasa kepada masyarakat.

2) Pendapatannya berasal dari hasil penjualan jasa kepada masyarakat.

3) Tidak terdapat perhitungan harga pokok penjualan.

4) Laba atau rugi diperoleh dengan membandingkan besarnya jumlah pendapatan dengan besarnya jumlah beban, baik beban usaha maupun beban diluar usaha.

b. Perusahaan dagang adalah perusahaan yang kegiatannya membeli barang kemudian menjual kembali barang tersebut tanpa mengubah bentuk atau melakukan pengolahan tambahan. Contohnya: toko, supermarket, dealer, retailer, dan sebagainya.

Ciri-ciri perusahaan dagang di antaranya sebagai berikut.

1) Kegiatannya melakukan pembelian dan penjualan barang dagangan kepada masyarakat

2) Pendapatan berasal dari hasil penjualan barang dagangan kepada masyarakat.

3) Terdapat perhitungan harga pokok penjualan, untuk menentukan besarnya laba/rugi.

4) Beban operasionalnya terdiri atas beban penjualan dan beban administrasi umum.

c. Perusahaan manufaktur/perusahaan industri adalah perusahaan yang kegiatannya mengolah bahan mentah atau bahan baku menjadi barang jadi kemudian menjualnya kepada pihak lain, atau sering disebut perusahaan industri/pabrikasi. Contohnya: industri tekstil, industri karung, industri rokok, industri elektronik, dan sebagainya.

 Ciri-ciri perusahaan manufaktur di antaranya sebagai berikut.

1) Kegiatannya menghasilkan atau memproduksi barang jadi (finished goods).

 2) Pendapatannya berasal dari penjualan produksi barang jadi kepada perusahaan dagang atau retailer.

3) Terdapat perhitungan harga pokok produksi untuk menentukan produksi barang jadi.

4) Terdapat harga pokok penjualan, untuk menentukan besarnya laba atau rugi.

5) Biaya produksi terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik.

6) Beban operasionalnya terdiri dari beban penjualan dan beban administrasi.

2. Jenis Perusahaan Menurut Badan Hukumnya

Berdasarkan badan hukum, perusahaan digolongkan menjadi lima jenis, yaitu sebagai berikut:

a. Perusahaan perorangan adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh seorang pengusaha dagang, perusahaan jasa, dan perusahaan industri.

b. Firma adalah persekutuan yang didirikan oleh dua orang atau lebih untuk menjalankan suatu perusahaan di bawah satu nama bersama, dan para sekutu bertanggung jawab secara tanggung menanggung.

c. Persekutuan komanditer (CV) adalah persekutuan yang didirikan oleh satu orang atau beberapa orangsekutu yangbertindak sebagai pengurus (sekutu aktif) dan satu orang atau beberapa orang sebagai sekutu diam (yang hanya memasukkan uang saja sebagai modal persekutuan, tetapi tidak menjadi pengurus persekutuan tersebut).

d. Perseroan Terbatas (PT) adalah persekutuan yang berbadan hukum untuk menjalankan perusahaan dengan modal usahaterbagi atas saham- saham. Tanggung jawab sekutu pemegang saham terbatas pada jumlah saham yang dimilikinya.

e. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orangorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

2.2 Laporan Keuangan

2.2.1 Definisi Laporan Keuangan

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009), laporan keuangan meliputi bagian dari proses laporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan posisi keuangan (yangdapat disajikan dalam berbagai caramisalnya, sebagai laporan arus kas/laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.

Menurut Munawir (2010), pada umumnya laporan keuangan itu terdiri dari neraca dan perhitungan laba-rugi serta laporan perubahan ekuitas. Neraca  menunjukkan/menggambarkan jumlah aset, kewajiban dan ekuitas dari suatu

 perusahaan pada tanggal tertentu. Sedangkan perhitungan (laporan) laba-rugi memperlihatkan hasil-hasil yang telahdicapai olehperusahaanserta beban yang terjadi selama periode tertentu, dan laporan perubahan ekuitas menunjukkan sumber dan penggunaan atau alasan-alasan yang menyebabkan perubahan ekuitas perusahaan. Sedangkan menurut Harahap (2009), laporan keuangan menggambarkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu. Adapun jenis laporan keuangan yang lazim dikenal adalah neraca, laporan laba-rugi atau hasil usaha, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, laporan posisi keuangan.

2.2.2 Tujuan Laporan Keuangan

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009), tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan  suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah  besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Sedangkan menurut Fahmi (2011), tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi keuangan yang mencakup perubahan dari unsur-unsur laporan keuangan yang ditujukan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam menilai kinerja keuangan terhadap perusahaan di samping pihak manajemen perusahaan.

Para pemakai laporan akan menggunakannya untuk meramalkan, membandingkan, dan menilai dampak keuangan yang timbul dari keputusan ekonomis yang diambilnya. Informasi mengenai dampak keuangan yangtimbul tadi sangat berguna bagi pemakai untuk meramalkan, membandingkan dan menilai keuangan. Seandainya nilai uang tidak stabil, maka hal ini akan dijelaskan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan akan lebih bermanfaat apabila yang dilaporkan tidak saja aspek-aspek kuantitatif, tetapi mencakup penjelasan-penjelasan lainnya yang dirasakan perlu. Dan informasi ini harus faktual dan dapat diukur secara objektif.

2.2.3 Pemakai Laporan Keuangan

Laporan keuangan disusun berdasarkan berbagai tujuan. Dimana tujuan utamanya adalah memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Pihak yang berkepentingan dapat berasal dari pihak internal maupun dari pihak eksternal perusahaan. Pihak internal yang paling berkepentingan yang dimaksud dengan perusahaan adalah pemilik usaha dan manajemen. Sedangkan untuk pihak eksternal adalah pihak dari luar perusahaan yang mempnyai hubungan langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan.

Pihak–pihak pemakai laporan keuangan menurut Kasmir (2010) terdiri dari berikut ini:

a. Pemilik atau Pemegang Saham

Pemilik adalah pihak yang memiliki usaha. Hal ini tercermin dari kepemilikan saham yang dimilikinya. Pemilik atau pemegang saham berkepentingan untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan perusahaan dalam suatu perioda serta menilai kinerja manajemen atas target yang telah ditetapkan.

b. Manajemen

Bagi pihak manajemen, laporan keuangan yang dibuat merupakan cermin kinerja dalam suatu perioda tertentu. Nilai penting laporan keuangan bagi manajemen adalah alat untuk menilai dan mengevaluasi kinerja dalam pencapaian target dan tujuan yangtelah ditetapkandalam suatu periodaserta untuk melihat kemampuan manajemen mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki perusahaan.

c. Kreditor

Kreditor adalah pihak penyandang dana bagi perusahaan, seperti bank atau lembagakeuangan lainnya. Bagi perusahaan yangtelah mendapat pinjaman, laporan keuangan dapat menyajkan informasi tentang penggunaan dana yang diberikan serta kondisi keuangan seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas perusahaan. Bagi perusahaan calon debitur, laporan keuangan dapat menjadi sumber informasi untuk menilai kelayakan perusahaan untuk menerima kredit yang akan diberikan.

d. Pemerintah

Arti penting laporan keuangan bagi pihak pemerintah adalah untuk menilai kejujuran perusahaan dalam melaporkan seluruh keuangan perusahaan yang sesungguhnyadanuntuk mengetahui kewajiban perusahaanterhadap negara termasuk jumlah pajak yang harus dibayar kepada negara.

e. Investor

Investor adalah pihak yang akan menanamkan dana di suatu perusahaan. Dengan laporan keuangan, investor dapat melihat prospek atau keuntungan yang akan diperoleh (dividen) serta perkembangan nlai saham ke depan. Dengan begitu, investor dapat mengambil keputusan unuk membeli saham.

2.2.4 Komponen Laporan Keuangan

Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen–komponen berikut ini:

1. Neraca: menunjukkan keadaan keuangan pada tanggal tertentu biasanya pada saat tutup buku. Neraca minimal mencakup pos–pos berikut (IAI, 2004):

a. Aktiva berwujud,

b. Aktiva tidak berwujud,

c. Aktiva keuangan,

d. Investasi yang diperlakukan menggunakan metode ekuitas,

e. Persediaan,

f. Piutang usaha dan piutang lainnya,

g. Kas dan setara kas,

h. Utang usaha dan utang lainnya,

i. Kewajiban yang diestimasi,

j. Kewajiban berbunga jangka panjang,

k. Hak minoritas,

l. Modal saham dan pos ekuitas lainnya.

2. Laporan laba rugi merupakan suatu laporan yang sistematis mengenai penghasilan, biaya, rugi laba yang diperoleh oleh suatu perusahaan selama perioda tertentu (Munawir, 2000:26).

3. Laporan perubahan ekuitas adalah gambaran kekayaan selama perioda yang bersangkutan atau menggambarkan kenaikan dan penurunan aktiva bersih

4. Laporan arus kas Laporan arus kas dapat memberikan informasi yang memungkinkan para pemakai untuk mengevaluasi perubahan dalam aktiva  bersih perusahaan, struktur keuangan (termasuk likuiditas dan solvabilitas) dan kemampuan untuk mempengaruhi jumlah serta waktu arus kas dalam rangka adaptasi dengan perubahan keadaan dan peluang (IAI, 2004).

5. Catatan atas lapoaran keuangan.harus disajikan secara sistematis. Setiap pos dalam neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas harus berkaitan dengan informasi yang terdapat catatan atas laporan keuangan.(IAI,2004).

2.3 Audit

2.3.1 Pengertian Audit

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) audit didefinisikan menjadi dua. Pengertian yang pertama, audit berarti pemeriksaan pembukuan tentang keuangan (perusahaan, bank, dsb) secara berkala. Pengertian yang kedua audit juga dapat berarti pengujian efektivitas keluar masuknya uang dan penilaian kewajaran laporan yang dihasilkannya.

Menurut Agoes,dkk (2012:4) mengatakan bahwa audit adalah:

“Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti- bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan laporan keuangan tersebut ”.

Sedangkan Menurut Mulyadi (2010:9) audit adalah:

“ Suatu proses sistematis untukmemperoleh danmengevaluasibukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian anatara penyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa audit merupakan proses pemeriksaan terhadap laopran keuangan beserta bukti atau catatan pendukung yang dilakukan oleh pihak yang berkompeten dan independen, dengan tujuan untuk memberikan pendapat mengenai tingkat kesesuaian dan kewajaran laporan keuangan tersebut, serta menyampaikan hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

2.3.2 Jenis Audit

Menurut Arens, dkk (2008:16) menyebutkan tiga jenis audit utama. Ketiga audit utama tersebut antara lain:

1. Audit Operasional

Audit Operasional mengevaluasi efesiensi dan keefektivan setiap bagian dari prosedur dan metoda operasi organisasi. Audit Operasional diharapkan dapat memberi masukan kepada manajemen agar kinerja operasi manajemen klien dapat lebih baik dari sebelumnya. Review dalam audit operasional tidak terbatas hanya pada akuntansi, khususnya laporan keuangan, tetapi juga mencakup evaluasi atas struktur organisasi, operasi komputer, metoda produksi, pemasaran dan semua bidang yang dikuasai oleh auditor.

2. Audit Ketaatan

Audit Ketaatan atau Compliance Audit merupakan pemeriksanaan untuk mengetahui apakah pihak yang diaudit telah mengikuti prosedur dan aturan yang telah ditetapkan oleh otoritas tertinggi pada organisasi tersebut. Compliance Audit biasanya ditugaskan oleh otoritas tertinggi yang telah menetapkan peraturan dalam organisasi tersebut. Hasil dari audit ketaatan tidak untuk dipublikasikan kepada pihak luar, akan tetapi hanya dilaporkan kepada internal manajemen.

3. Audit Laporan Keuangan

Audit laporan keuangan (financial statement audit) dilakukan untuk memeriksa dan mengevaluasi kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen secarakeseluruhan dibandingkan dengan standar akuntansi keuangan yang berterima umum. Kriteria yang digunakan dalam menilai kewajaran atas laporan keuangan dimaksud seperti prinsip akuntansi yang berterima umum (PABU). Hasil audit atas laporan keuangan adalah opini auditor yaitu Unqualified Opinion, Qualified Opinion, Disclaimer Opinion, dan Adverse Opinion.

2.3.3 Tujuan Audit

Tujuan dari audit adalah untuk memberikan jaminan mengenai kewajaran dan kelayakan laporan keuangan yang diperiksa. Berdasarkan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) tahun 2013, tujuan suatu audit adalah untuk meningkatkan derajat kepercayaan pemakai laporan keuangan yang dituju.

Hal ini dicapai melalui suatu opini oleh auditor tentang apakah laporan kuangan disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Dalam kerangka bertujuan umum, opini tersebut adalah tentang apakah laporan keuangan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka tersebut. Suatu audit yang dilaksanakan berdasar SPA dan ketentuan etika yang relevan memungkinkan auditor untuk menyatakan opini tersebut.

Dalam melaksanakan suatu audit atas laporan keuangan, tujuan auditor secara keseluruhan adalah sebagai berikut:

a. Menerbitkan laporan tentang laporan keuangan dan mengomunikasikannya (sebagaimana yang diisyaratkan oleh SPA) berdasarkan temuan auditor.

b. Memperolehkeyakinan memandai tentangapakah laporan keuangansebagai suatu keseluruhan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan, dan oleh karena itu, memungkinkan auditor untuk menyatakan opini atas apakah laporan keuangan disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku.

2.4 Materialitas Audit

2.4.1 Definisi Materialitas

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA seksi 320 materialitas merupakan besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, secara individual atau agregat, dapat mengubah atau mempengaruhi keputusan ekonomi yang diambil oleh pemakai laporan keuangan tersebut.

Boynton, Johnson & Kell (2001:286) dalam bukunya mendefinisikan materialitas sebagai berikut:

“Besarnya suatu pengabaian atau salah saji informasi akuntansi yang, di luar keadaan di sekitarnya, memungkinkan bahwa pertimbangan seseorang yang bergantung pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh pengabaian atau salah saji tersebut.”

Definisi lain dari materialitas menurut Arens & Loebbecke (2003:42) dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf mendefinisikan materialitas sebagai berikut:

“Suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan yang rasional”

Mulyadi (2002) mendefinisikan materialitas sebagai berikut:

“Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.”

Berdasarkan definisi–definisi   diatas dapat disimpulkan bahwa materialitas adalah besaran jumlah nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dimana salah saji dapat dikatakan material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan para pengguna laporan keuangan.

Definisi tersebut mensyaratkan auditor untuk mempertimbangkan baik:

1. Situasi yang berkenaan dengan entitas dan

2. Informasi yang dibutuhkan oleh pihak yang akan meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan yang diaudit.

Sebagai contoh, suatu jumlah yang material bagi laporan keuangan suatu entitas mungkin tidak material bagi laporan keuangan entitas lainnya yang memiliki ukuran atau sifat yang berbeda. Juga apa yang material bagi laporan keuangan entitas tertentu mungkin akan berubah dari satu peride ke perioda lainnya.

2.4.2 Pertimbangan Awal tentang Materialitas

Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam perencanaan auditnya. Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif yang berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan dan kualitatif yang berkaitan dengan penyebab salah saji.

Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut ini:

a. Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan.

b. Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.

Faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas pada setiap tingkat dijelaskan berikut ini:

  1.  Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan

Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas. Pertama, auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit dan kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit. Padasaat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan.

Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau kecurangan yang dampaknya, secara individual atau secara gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, penyimpangan dari fakta, atau penghilangan informasi yang diperlukan.

Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitasnya dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih setelah pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham.

Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam sampai dengan sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri.

Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik:

a. Laporan keuangan dipandangmengandungsalah saji material jikaterdapat salah saji 5 % sampai 10 % dari laba sebelum pajak.

b. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½ % sampai 1 % dari total aktiva.

c. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1 % dari total pasiva.

d. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½ % sampai 1 % dari pendapatan bruto.

2. Materialitas pada Tingkat Saldo Akun

Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yangdipandangsebagai salahsajimaterial. Konsep materialitas pada timgkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material. Saldo akun material adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan.

Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh krena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecildibandingkanmaterialitasseringkalidisebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun yang kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji (understatement) yang melampaui materialitasnya.

  •  Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun

Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal tentangmaterialitas untuk setiap akundapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan keakun secaraindividual. Dalam melakukan alokasi, auditor harusmempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut.

2.5 Risiko Audit

2.5.1 Definisi Risiko Audit

Menurut SA seksi 312 (PSA No. 25) yang dikutip oleh Agoes  (2012), risiko audit adalah risiko yang timbul karena auditor, tanpa disadari tidak memodifikasikan pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.

Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas dasar bukti yang diperoleh dari verifikasi asersi yangberkaitan dengan saldo akun secara individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah untuk membatasi risiko audit pada tingkat saldo akun sedemikian rupa sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada tingkat yang rendah. Menurut Mulyadi (2002), mengatakan resiko audit adalah resiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpadisadari, tidak memodifikasi pendapatnyasebagaimanamestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material”.

Salah saji material dapat dibagi menjadi dua bagian:

a. Resiko audit keseluruhan yang berkaitan dengan laporan keuangan sebagai keseluruhan.

b. Resiko audit individual yang berkaitan dengan setiap saldo akun individual yang dicantumkan dalam laporan keuangan.

2.5.2 Jenis Risiko Audit

Berikut merupakan jenis-jenis risiko audit:

a. Risiko Bawaan

Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yangterkait. Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Sebagai contoh, perhitungan yang rumit lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana.

Uang tunai lebih mudah dicuri daripada sediaan batu bara. Akun yang terdiri dart jumlah yang berasal dart estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data berupa fakta.

Faktor eksternal juga memengaruhi risiko bawaan. Sebagai contoh, perkembangan teknologi mungkin menyebabkan produk tertentu menjadi usang, sehingga mengakibatkan sediaan cenderungdilaporkan lebih besar. Di samping itu, terhadap faktor-faktor tersebut yang khusus menyangkut saldo akun atau golongan transaksi tertentu, faktor-faktor yang berhubungan dengan beberapa atau seluruh saldo akun atau golongan transaksi mungkin mempengaruhi risiko bawaan yang berhubungan dengan saldo akun atau golongan transaksi tertentu. Faktor yang terakhir ini mencakup, misalnya kekurangan modal kerja untuk melanjutkan usaha atau penurunan aktivitas industri yang ditandai oleh banyaknya kegagalan usaha. Lihat SA Seksi 316 [PSA No. 32 dan PSA No. 70] Pertimbangan atas Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan, paragraf 10.

b. Risiko Pengendalian

Risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian internal entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektivitas desain dan operasi pengendalian intern untuk mencapai tujuan entitas yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan entitas. Beberapa risiko pengendalian akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian internal.

c. Risiko Deteksi

Risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karenaketidakpastian lain yangada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut diperiksa 100%. Ketidakpastian lain semacam itu timbul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit. Ketidakpastian lain ini dapat dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi memadai dan pelaksanaan praktik audit yang sesuai dengan standar pengendalian mutu.

Risiko bawaan dan risiko pengendalian berbeda dengan risiko deteksi. Kedua risiko yang disebut terdahulu ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi memunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besaradanyarisiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima. Komponen risiko audit ini dapat ditentukan secara kuantitatif, seperti dalam bentuk persentase atau secara nonkuantitatif yang berkisar, misalnya, dari minimum sampai dengan maksimum.

2.5.3 Model Risiko Audit

Auditor dapat mengekspresikan setiap komponen dalam istilah kuantitatif dengan menghubungkan komponen-komponen risiko audit, seperti prosentase, atau dalm istilah nonkuantitatif seperti sangat rendah, rendah, sedang, tinggi atau maksimum. Dalam kedua kasus tersebut, pemahaman, mengenai hubungan yang diekspresikan dalam model risiko audit adalah penting ketika menetukan tingkat risiko deteksi yang direncakan dapat diterima.

Model risiko audit, mengekspresikan hubungan antara komponen-

𝐴𝑅 = 𝐼𝑅 ×  

komponen risiko audit sebagai berikut: 𝐶𝑅 × 𝐷𝑅…………………….…(1) Keterangan:

AR= Audit Risk

IR= Inherent Risk

CR=Control Risk

DR=Detection Risk

2.6 Bukti Audit

Menurut Arens, dkk (2008:5) “Bukti audit adalah setiap informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit dinyatakan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.” Bukti memiliki banyak bentuk yang berbeda, yaitu: kesaksian lisan dari pihak yang diaudit, komunikasi dengan pihak luar, observasi oleh auditor, data elektronik dan data lain tentang transaksi.

Keputusan penting yang dihadapi para auditor adalah menentukan jenis dan jumlah bukti audit yang tepat, yang diperlukan utuk memenuhi keyakinan bahwa komponen laporan keuangan klien dan keseluruhan laporan yang telah disajikan secara wajar dan bahwa klien menyelenggarakan pengendalian internal yang efektif atas pelaporan keuangan.

Ada empat keputusan mengenai bukti apa yang harus dikumpulkan dan berapa banyak:

1. Prosedur audit yang akan digunakan

2. Berapa ukuran sampel yang akan dipilih untuk prosedur tersebut

3. Item-item mana yang akan dipilih untuk prosedur tersebut

4. Kapan melaksanakan prosedur tersebut

2.7 Hubungan Antara Risiko Audit dan Materialitas dengan Bukti Audit

Konsep materialitas dan risiko dalam audit sangat berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan. Risiko merupakan ukuran atas ketidakpastian, sedangkan materialitas merupakan ukuran besaran atau tinggi rendahnya. Bersama-sama keduanya mengukur jumlah ketidakpastian dalam suatu besaran tertentu. Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, bukti audit, dan risiko audit digambarkan sebagai berikut:

  1.  Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat meterialitas dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
  2.  Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko audit menjadi meningkat.
  3.  Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit, auditor dapat menempuh salah satu dari tiga cara berikut ini :
  4.  Menambah tingkat meterialiras, sementara itu mempertahankan jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
  5. Menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan, sementara itu tingkat materialitas tetap dipertahankan.
  6. Menambah sedikit jumlah bukti audit yang dikumpulkan dan tingkat materialitas secara bersama-sama.
  • GAMBARAN UMUM KANTOR AKUNTAN PUBLIK

3. 1 Gambaran Umum KAP MTD

3.1.1 Sejarah Kantor Akuntan Publik MTD

Kantor Akuntan Publik & Konsultan Manajemen “Made Sudarma, Thomas & Dewi” mulai berdiri sejak tahun 1990 berdasarkan akta No. 544

dihadapan Notaris Pramu Haryono, SH di Malang pada tanggal 28 Nopember

1990. Sejak tahun 1990 hingga tahun 2005, KAP MTD berlabelkan nama KAP

MS & Rekan, memberikan jasa assurance dan non assurance kepada pihak-

pihak    yang berkepentingan dalam kaitannya pengembangan bisnis,

independensi dan kesenjangan asimetri informasi. Setelah tahun 2005 KAP MS

& Rekan, berubah nama menjadi KAP MTD, namun setiap jasa yangdiberikan

tetap sama.

3.1.2 Visi dan Misi KAP MTD

·      Visi:

Menjadi Kantor Akuntan Publik yang terbaik dalam memberikan jasa

akuntan publik dan memberikan kontribusi kepada publik dan dunia.

·      Misi:

Memberikan Jasa Assurance dan Non Assurance dengan kompetensi,

profesionalisme, knowledge, integritas dan komitmen sebagai akuntan.

28

29

3.1.3 Lokasi KAP MTD

Kantor akuntan publik M&T&D memiliki satu kantor pusat dan dua

kantor cabang. Kantor yang kelompok kunjungi merupakan kantor pusat yang

berlokasi di kota Malang. Berikut merupakan alamat kantor KAP M&T&D:

–     Kantor Pusat Malang

Jl. Dorowati No. 8 Malang

Jawa Timur

Telp/Fax. +62-341-326913

Faximili. +62-341-321929

–     Kantor Cabang Surabaya

Jl. Kayoon 20 J Surabaya

Telp/Fax. +62-31-5325753

Faximili. +62-341-5474285

–     Kantor Cabang Jakarta

Ruko Golden Boulevard U/9 Jakarta

Telp/Fax. +62-21-53160706

Faximili. +62-21-53160704

3.1.4 Bidang Jasa dan Keahlian KAP MTD

Sejak didirikan sampai saat ini Kantor Akuntan Publik “MADE

SUDARMA, THOMAS & DEWI” (KAP), telah memberikan jasa sebagai

berikut yaitu:

a.    Jasa atestasi pemeriksaan umum (general audit)

b.    Jasa atestasi pemeriksaan umum atas akun

30

c.    Jasa atestasi pemeriksaan khusus sesuai dengan prosedur yangdisepakati

(special audit)

d.    Jasa atestasi atas review

e.    Jasa atestasi atas kompilasi

f.     Jasa atestasi pemeriksaan atas proyeksi laporan keuangan

g.    Jasa konsultasi atas sistem akuntansi

h.    Jasa perpajakan

i.     Jasa atas penyusunan studi kelayakan

j.     Jasa verifikasi anggaran

k.    Jasa Investigasi Fraud

l.     Jasa Konsultasi Bisnis

m. Konsultasi keuangan untuk perusahaan swasta dan pemerintah daerah

Kerjasama dengan Bank Dunia dari tahun 1990 s/d 1994 tentang proyek

“SMIEP”. KAP terdaftar di OJK, Bank Mandiri, Bank Mandiri Syariah, Bank

Exim dan Bank BRI

3.1.5 Tim, Rekanan, dan Auditor yang bekerja pada KAP MTD

a. Managing Partner:

Prof. Dr. Made Sudarma, SE., MM., Ak., CPA.

b. Partner:

Drs. Thomas Muljadi Tedjobuwono, Ak., CPA.

Dra. Dewi Susanti Winata, Ak., CPA.

Adi Darmawan Ervanto, SE., MSA., Ak., CA., CPA.

c. General Manager:

I Gede Auditta, SE., MSA., Ak., CA., CFP®., QWP®., AEPP®.

31

d. Office Manager Surabaya:

Dini Perama Astiti, SE., MM.

e. Audit Manager:

Dra. Ichismaniawati

f. Senior Supervisor:

Sulistiawan, SE., Ak., CA.

Daniel Togi H. Manurung, SE., MSA., Ak., CA.

I Putu Erick Utama, SE.,Ak., CA.

Dr. Putu Astawa, SE., MM.

Drs. Lukito Fauzi, SE., Ak.

Made Dudy Satyawan, SE., M.Si., Ak.

Nosi Yodi Metana, SE.,M.Si., Ak.

Luna Maharani Savarina, SE., Ak.

Vitri Wahyu Retno W, SE.

g. Junior Auditor & Senior Auditor:

Dimas Emha Amir FA, SE., Ak., CA.

Yunita Astriani, SE., Ak., CA.

Suhartina, SE., Ak., CA.

Muh. Sapril Sardi, SE., Ak., CA.

Febrianto, SE., Ak.

Marlis Rusudi, SE., Ak., CA.

Dian Dwi Yuniastutik, SE., Ak., CA.

Debby Lukito, SE., Ak., CA.

Prastawa Darajati, SE., Ak.

32

Fery Syamsul Arifin, SE., Ak., CA.

Istainul Khasanah, SE.

San Rudiyanto, SE., Ak., CA.

Retno Wulandari, SE., MSA.

Reza Zulfikar Rukmana, SE.

Wirawan Budi Santoso, SE.

Nikko Zein Jaya Pradana, SE.

Kurniasari Novi, SE.

Siti Latifatul Arifa, SE.

Asmaul Janah, SE.

Erwiani, SE.

Reny Yustina, SE.

h. Other Expertise:

I Gede Arianta, SE., M.Ak., Ak., BKP., CA. (Tax Expert)

I Made Andhika DP, SE., SH. (Senior Legal Council Advisory Expert)

Komang Adi Kurniawan Saputra, SE., MSA., Ak., CA. (QualityAccounting

Expert)

Yuki Firmanto, SE., MSA., Ak. (System Information Accounting Expert)

i. Tenaga Admin:

Djumiran (Editor)

Elia W. (Sekret/Legal)

Putri Ida (Admin/Keu)

Oktaf (Int)

Theresia Dwi Lestari, Skom. (Int/ Database)

33

Turkani (SO)

Untung Mariono (SO)

Tim audit juga didukung beberapa expertise seperti IT & SIA konsultan,

Legal konsultan, Appraisal konsultan dan expertise lain yang berkaitan dengan

lingkup pekerjaan yang kami terima.

3.2 Profil Auditor

Pada saat melakukan wawancara, saya dan teman-teman berkesempatan

untuk melakukan wawancara dengan salah satu auditor yaitu Ibu Dian Dwi

Yuniastutik, SE., Ak., CA.dariKantorAkuntanPublik &Konsultan Manajemen

“Made Sudarma, Thomas & Dewi”. Berikut merupakan biodata lengkap dari Ibu

Dian Dwi Yuniastutik, SE., Ak., CA.

Nama

Tempat, tanggal lahir

Alamat

Riwayat Pendidikan

: Dian Dwi Yuniastutik, SE., Ak., CA.

: Lumajang, 4 Juni 1980

: Jalan Widodaren No 19 Malang

: 1. SD Citro 2 Lumajang (1986-1992)

2. SMP Negeri 1 Malang (1992-1995)

3. SMA Negeri 1 Malang (1995-1998)

4. Univ. Gunadarma FE Jurusan Akuntansi S1

5. Pendidikan Profesi Akuntan di FE- Unibraw

6. Sedang menempuh S2 Magister Sains Akuntansi

di Unibraw

Pengalaman Auditor               : ± 2 tahun

Mulai Bekerja di KAP MTD : tahun 2012

BAB IV

HASIL WAWANCARA

Pada tanggal 27 November 2014, penulis dan teman-teman datang ke

Kantor Akuntan Publik & Konsultan Manajemen “Made Sudarma, Thomas &

Dewi”. Pada saat itu penulis dan teman-teman ingin mewawancarai Bapak I Gede

Auditta, namun karena Bapak I Gede Auditta masih menerima tamu, penulis dan

teman-teman mewawancarai Ibu Dian Dwi Yuniastutik, SE., Ak., CA.

Diawali dengan perkenalan diri, penulis kemudian berbincang-bincang

mengenai profil Ibu Dian Dwi Yuniastutik, SE., Ak., CA yang menjabat sebagai

junior auditor pada KAP “MTD”. Perbincangan tersebut kemudian berlanjut

menjadi perbincangan ringan seputar pengalaman Ibu Dian, penulis mulai

melontarkan beberapa pertanyaan seputar aktivitas audit yang selama ini sudah

menjadi spesialisasi Beliau. Dalam 2 tahun pengalaman Ibu Dian menjadi auditor,

banyak hal yang sudah Beliau alami. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa kesalahan

masih dapat terjadi. Sesuai dengan topik yang diangkat pada kesempatan kali ini,

penulis mulai menanyakan beberapa hal mengenai materialitas dan risiko audit.

4.1 Materialitas

Menurut Ibu Dian, materialitas adalah jumlah nominal salah saji dari

sesuatu aset yang mempengaruhi laporan keuangan suatu perusahaan yang akan

diauditnya. Menurut Ibu Dian, setiap Auditor dan KAP memiliki tidakan yang

berbeda-beda dalam mengatasi materialitas.

34

35

Dasar yang digunakan oleh Ibu Dian dalam menentukan materialitas adalah

jikanominal besar dan mempengaruhi suatu laporan keuangan perusahaan, nominal

dari akun tersebut bisa mempengaruhi materialitas.

Dampak yang akan diterima jika suatu laporan keuangan ditemukan

memiliki materialitas yang besar, maka hal tersebut juga akan mempengaruhi

kualitas laporan keuangan tersebut. Laporan keuangan akan menampilkan angka

yang tidak sewajarnya. Hasil dari laporan keuangan tidak mencerminkan kondisi

kinerja perusahaan tersebut.

Namun sekali lagi, Ibu Dian menekankan bahwa pada Kantor Akuntan

Publik & Konsultan Manajemen “Made Sudarma, Thomas & Dewi” tidak

mentoleransi tingkat kesalahan sekecil apapun. Jadi pada KAP ini, tingkat

materialitas tidak ada. Namun cara untuk menentukan tingkat materialitas menurut

Ibu Dian adalah berdasarkan pengalaman kerja yang sudah pernah setiap Auditor

alami. Selama 2 tahun Ibu Dian menjadi Auditor, pengalaman untuk menentukan

tingkat salah saji juga bermacam-macam dan tidak semuanya bisa dijelaskan

dengan kata-kata dan teori.

Berdasarkan penjelasan Ibu Dian mengenai materialitas, pada dasarnya,

materialitas inimerupakan tingkat toleransi kesalahan dalam menentukan salah saji.

Setelah seorang auditor megaudit suatu laporan keuangan, auditor tersebut akan

memberikan opini pada laporan auditnya. Dalam laporan audit tersebut akan

dijelaskan seberapa besar tingkat salah saji pada laporan keuangan tersebut.

Pada dasarnya dalam menentukan materialitas, auditor memiliki peranan

yang penting. Pengalaman dan wawasan auditor dalam mengaudit suatu laporan

36

keuangan perusahaan sangat diperlukan. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan

laporan keuangan yang bermanfaat bagi seluruh pengguna laporan keuangan.

4.2 Risiko Audit

Materialitas dan risiko audit adalah dua hal yangtak bisa dipisahkan, karena

risiko dan materialitas audit saling berhubungan satu sama lain. Menurut

narasumber penulis yaitu Ibu Dian, Beliau mengatakan bahwa risiko audit adalah

kesalahan yang mungkin dilakukan oleh auditor pada saat memeriksa suatu laporan

keuangan perusahaan. Sebelum melakukan audit pada suatu perusahaan terlebih

dahulu kitaharus membuat perencanaan audit. Hal inisangat penting karenadengan

adanya perencannaan audit ini seorang auditor dapat menegnal lebih jauh tentang

kondisi perusahaan yang akan diauditnya (seperti latar belakang dan tujuan dari

perusahaan yang akan diaudit), sehingga mampu menilai perusahaan tersebut

dengan benar, mampu memperkirakan seberapa besar risiko yang akan dialami dan

dapat meminimalisir risiko audit tersebut.

Menurut narasumber penulis, terdapat 3 komponen-komponen risiko audit,

yaitu sebagai berikut:

(1) Risiko bawaan (inherent risk)

(2) Risiko Pengendalian (control risk)

(3) Risiko deteksi (detection risk)

Cara untuk mengurangi risiko audit yang disampaikan oleh Ibu Dian adalah

dengan melihat dan mempelajari sistem pengendalian internal (SPI) yang terdapat

padaperusahaan tersebut. Menurut Ibu Dian,padasaat SPIdalam perusahaansudah

tertata dan berjalan dengan baik, risiko audit yang ada dapat diminimalkan.

37

Dalam menentukan risiko audit, Kantor Akuntan Publik “Made Sudarma,

Thomas & Dewi” memiliki dasar penentuan risiko audit yang disesuaikan dengan

standart akuntansi yang ada. Standar yang digunakan seperti SAK, ETAB, SPAP,

dan standart akuntansi lainnya.

4.3 Hubungan antara Materialitas dan Risiko Audit

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, terdapat hubungan

antara risiko audit dengan materialitas. Hal ini juga disetujui oleh Ibu Dian. Ibu

Dian mengatakan bahwa memang terdapat hubungan antara materialitas dan risiko

audit. Jika seorang auditor dapat menentukan materialitas dari suatu laporan

keuangan, auditor tersebut dapat membuat laporan audit yang baik, sehingga risiko

audit yang ada dapat diminimalkan.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari makalah inikitadapat mengetahuitentangmaterialitas danrisiko audit.

Makalah ini menggunakan teknik wawancara dengan salah satu auditor di KAP

“MTD” yaitu Ibu Dian Dwi Yuniastutik, SE., Ak., CA. Beliau menjabat sebagai

junior auditor di KAP “MTD”. Melalui pengalaman dan wawasan yang dimiliki

oleh Ibu Dian, penulis dapat menjelaskan lebih dalam tentang materialitas dan

risiko audit.

Materialitas adalah besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi

penghilangan atau salah saji, secara individual atau agregat, dapat mengubah atau

mempengaruhi keputusan ekonomi yang diambil oleh pemakai laporan keuangan

tersebut. Sedangkan risiko audit adalah kesalahan yang mungkin dilakukan oleh

auditor pada saat memeriksa suatu laporan keuangan perusahaan.

Terdapat hubungan antara materialitas dan risiko audit yaitu jika seorang

auditor dapat menentukan materialitas dari suatu laporan keuangan, auditor tersebut

dapat membuat laporan audit yang baik, sehingga risiko audit yang ada dapat

diminimalkan.

38

LAMPIRAN

Gambar 1. Foto bersama narasumber dan teman-teman

Gambar 2. Foto bersama narasumber

39

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno. 2012. Auditing. Edisi empat.Jakarta:Salemba Empat

Arens, Alvin A, Randal J Elder dan Mark S Beasley. 2008. Auditing.Edisi keduabelas. Jakarta: Indeks.

Dan M. Guy, C. Wayne Alderman, Alan J. Winters, 2002. “Auditing”. Fifth Edition. Alih Bahasa Erlangga Jakarta.

Harahap, Sofyan Syafri. (2007). Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

http://mtd.co.id/ (diakses pada tanggal 30 November 2014 pukul 13.00)

Ikatan Akuntan Indonesia. (2009). Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2002. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2004. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.

Mulyadi. 2010. Auditing. Edisi Keenam.Jakarta: Salemba Empat Mulyadi. 2002. Auditing. Edisi Keenam.Jakarta: Salemba Empat

Munawir, S. (2004). Analisa Laporan Keuangan Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty.

Riduan Tobingdan Nirwana. 2004. Kamus Istilah Akuntansi. Jakarta: AtalyaRileni Sucedo.

Boynton, William C., Raymond N. Johnson, dan Walter G. Kell. 2001. Modern Auditing. 7th Edition. John Wiley and Sons, Inc.

PENGARUH PENGALAMAN, INDEPENDENSI, DAN SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP PENDETEKSIAN KECURANGAN PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI KOTA MALANG

SKOLASTIKA KIRBY LOVELYN & DANIEL SUGAMA STEPHANUS

MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN

PROGRAM STUDI AKUNTANSI – FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUPATEN MALANG

2014

ABSTRAK

Penelitian mengenai pendeteksian kecurangan atau fraud adalah untuk melihat apakah pengalaman kerja auditor, independensi, dan skeptisme profesional auditor dapat berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan. Variabel independen dari penelitian ini adalah pengalaman kerja auditor, independensi, dan skeptisme profesional auditor. Sedangkan variabel dependennya yaitu pendeteksian kecurangan. Selain itu penelitian ini juga untuk melihat variabel independen manakah yang paling berpengaruh paling besar terhadap variabel dependennya yaitu pendeteksian kecurangan. Sampel yang digunakan adalah auditor dari seluruh KAP yang ada di Malang. Metode pengambilan sampel dengan menggunakan teknik convenience sampling. Uji yang digunakan adalah regresi linier berganda.

Kata-kata kunci: pengalaman, independensi, skeptisme profesional auditor, pendeteksian kecurangan.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman terdapat berbagai macam profesi yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah profesi dalam bidang jasa. Terdapat banyak profesi dalam bidang jasa, salah satunya yaitu profesi auditor. Semakin banyak bermunculan perusahaan-perusahaan baru, menjadikan profesi auditor ini semakin dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (kreditor, pemerintah, pemilik perusahaan, dan juga para investor) terhadap informasi dari laporan keuangan perusahaan. Profesi auditor sebagai pihak yang independen bertugas memberikan penilaiannya terhadap laporan keuangan yang telah di audit untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan oleh pihak manajemen dan juga stakeholders.

Seorang auditor dalam menjalankan penugasan audit di lapangan seharusnya tidak hanya sekedar mengikuti prosedur audit yang tertera dalam program audit , namun juga harus disertai dengan sikap skeptisme profesionalnya. Standar profesional akuntan publik mendefinisikan skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAI 2001, SA seksi 230. 06). Tanpa menerapkan skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan akan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan.

Audit merupakan jasa yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Jasa yang diberikan oleh Kantor Akuntan Publik yaitu jasa audit operasional, audit kepatuhan, dan audit laporan keuangan. Dilakukannya audit dalam suatu perusahaan yaitu untuk melihat apakah laporan keuangan dalam perusahaan tersebut telah tersaji secara wajar dan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia, yang kemudian auditor memberikan opininya atas laporan keuangan yang telah di auditnya. Selain itu auditor dalam melakukan audit juga harus menentukan tingkatan risiko audit dan materialitasnya atas laporan keuangan tersebut. Seorang auditor dalam bekerja harus sesuai dengan standar-standar yang telah diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia.

Terdapat dua macam auditor yaitu auditor internal dan auditor eksternal. Umumnya perusahaan menggunakan jasa auditor eksternal yang ada di Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melakukan audit dalam perusahaannya. SA seksi 220 dalam SPAP 2001, menyatakan bahwa ”Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor”. Standar ini mengharuskan bahwa setiap auditor harus bersikap independen, karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Keberadaan auditor ditentukan oleh independensinya (Setyaningrum, 2010:35). Independensi auditor berhubungan dengan tanggung jawab auditor dalam mendeteksi kecurangan pada laporan keuangan yang berdasarkan independensi berupa kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang ditemukan pada proses auditnya.  

Dengan adanya jasa profesi auditor, masyarakat mengharapkan adanya penilaian yang bebas tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen dalam laporan keuangan (Mulyadi, 2002). Selain itu pada PSA (Pernyataan Standar Audit) No. 04 (SA Seksi 220), di dalam standar ini mengharuskan auditor untuk bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum, tetapi dalam hal ini dibedakan dengan auditor yang berpraktik sebagai auditor intern.

Seorang auditor dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap laporan keuangan telah memperoleh kepercayaan dari kliennya dan juga dari pihak-pihak pemakai laporan keuangan tersebut untuk membuktikan apakah laporan keuangan tersebut telah disajikan secara wajar. Pada umumnya antara klien dengan pihak-pihak pemakai laporan keuangan pasti memiliki kepentingan yang berbeda-beda antara satu sama lain. Sehingga, auditor dalam memberikan opininya terhadap laporan keuangan yang diperiksa harus bersikap independen terhadap kepentingan klien maupun pihak-pihak pemakai laporan keuangan tersebut (Wibowo, 2009: 19).

Dalam melaksanakan audit, adapula auditor yang mengalami kegagalan dalam mendeteksi kecurangan yang terbukti dengan adanya beberapa kasus keuangan yang melibatkan akuntan publik seperti Enron, Xerox, Walt Disney, World Com, Merck, dan Tyco yang terjadi di Amerika Serikat. Selain itu juga adapula kasus Kimia Farma dan sejumlah Bank Beku Operasi yang melibatkan akuntan publik di Indonesia.

Penelitian Beasley et al. (2001) yang didasarkan pada AAERs (Accounting and Auditing Releases) dari SEC selama 11 periode (Januari 1987-Desember 1997) menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah rendahnya tingkat skeptisme profesional audit. Berdasarkan penelitian ini, dari 45 kasus kecurangan dalam laporan keuangan, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi karena auditor tidak menerapkan tingkat skeptisme profesional yang memadai dan hal ini merupakan urutan ketiga dari audit defisiensi yang paling sering terjadi (Beasley et al. 2001). Jadi rendahnya tingkat skeptisme profesional dapat menyebabkan kegagalan dalam mendeteksi kecurangan. Kegagalan ini selain merugikan kantor akuntan publik secara ekonomis, juga dapat menyebabkan hilangnya reputasi akuntan publik di mata masyarakat dan hilangnya kepercayaan kreditor dan investor di pasar modal.

Auditor independen yang melakukan audit di lapangan akan melakukan interaksi sosial dengan klien, manajemen, dan staf klien. Interaksi sosial ini akan menimbulkan kepercayaan (trust) dari auditor terhadap klien. Tingkat kepercayaan auditor yang tinggi terhadap klien akan menurunkan sikap skeptisme profesionalnya. Kopp et al. (2003) telah mengembangkan model teoritis mengenai hubungan antara faktor trust  dengan sikap skeptisme profesional auditor. Kepercayaan ini harus selalu ditingkatkan dengan didukung oleh suatu keahlian audit. Auditor harus dapat melaksanakan tugasnya dengan sikap profesionalisme serta menjunjung tinggi kode etik profesi yang harus dijadikan pedoman dalam menjalankan setiap tugasnya. Berdasarkan Standar auditing Profesional akuntan Publik (SPAP), akuntan dituntut untuk dapat menjalankan setiap standar yang ditetapkan oleh SPAP tersebut. Standar-standar tersebut meliputi standar auditing, standar atestasi, standar jasa akuntan dan review, standar jasa konsultasi, dan standar pengendalian mutu. Dalam salah satu SPAP diatas terdapat standar umum yang mengatur tentang keahlian auditor yang independen (Asih, 2006:3).

Pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan dan dalam melaksanakan audit dilapangan dapat dilihat dari segi lamanya waktu dan juga banyaknya penugasan audit yang pernah dilakukan oleh auditor tersebut. Pengalaman kerja dari seorang auditor juga dapat mempengaruhi tingkat skeptismenya karena auditor yang lebih berpengalaman dapat mendeteksi adanya kecurangan yang terjadi pada laporan keuangan seperti siklus persediaan dan pergudangan, hal ini disebabkan karena auditor yang berpengalaman skeptismenya lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang tidak berpengalaman. Semakin banyak seorang auditor melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan, maka semakin tinggi tingkat skeptisme yang dimilikinya.

Pengalaman audit ditunjukkan dengan jam terbang auditor dalam melakukan prosedur audit terkait dengan pemberian opini atas laporan auditnya (Kushasyandita, 2012:3). Menurut penelitian Noviyanti & Bandi (2002) pengalaman akan berpengaruh positif terhadap pengetahuan auditor tentang jenis-jenis kekeliruan yang berbeda-beda yang diketahuinya. Sehingga, pengalaman termasuk dalam unsur profesional yang penting untuk membangun pengetahuan dan keahlian auditor yang berguna dalam proses pelaksanaan auditnya. Auditor yang tidak berpengalaman mempunyai tingkat kesalahan yang lebih signifikan dibandingkan dengan auditor yang lebih berpengalaman (Herman, 2009). Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu hal yang penting dalam memprediksi kinerja dari akuntan publik, sehingga pengalaman kerja auditor termasuk sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh izin menjadi akuntan publik. Hal ini sesuai dengan SK Menkeu No. 359/KMK.06/2003 tentang perubahan atas Kep Menkeu No. 423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik (Depkeu, 2003:56).

Standar profesional akuntan publik mendefinisikan bahwa skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAI, 2001). Standar auditing tersebut mensyaratkan agar auditor harus memiliki sikap skeptisme profesional dalam mengevaluasi dan mengumpulkan bukti audit terutama yang berkaitan dengan penugasan dalam mendeteksi kecurangan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ginda Bella Pramudita (2012) mengenai pengaruh pengalaman dan kompetensi auditor terhadap skeptisisme profesional auditor Kantor Akuntan Publik yang menunjukkan bahwa pengalaman auditor berpengaruh terhadap skeptisme profesional auditor baik secara parsial dan juga simultan. Selain itu adapula penelitian yang dilakukan oleh Herman (2009) yang meneliti tentang pengaruh pengalaman dan skeptisme profesional auditor yang berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa variabel skeptisme profesional auditor merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan.

Berdasarkan dari hasil penelitian sebelumnya, maka peneliti ingin meneliti tentang apakah terdapat pengaruh yang besar dari pengalaman kerja, independensi dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan. Sehingga penelitian ini diberi judul “PENGARUH PENGALAMAN, INDEPENDENSI DAN SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP PENDETEKSIAN KECURANGAN  PADA KAP DI MALANG”.

Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.         Bagaimana pengaruh pengalaman, indepedensi dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan ?

2.         Manakah dari ketiga variabel Independen tersebut yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pendeteksian kecurangan ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Untuk menganalisis pengaruh pengalaman, independensi dan skeptisme

profesional auditor terhadap pendekteksian kecurangan.

Untuk menganalisis dan mengetahui variabel independen yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pendekteksian kecurangan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.         Bagi Kantor Akuntan Publik (KAP)

Dapat memberikan kontribusi dalam melakukan perbaikan dan perubahan untuk dapat menjadi lebih baik lagi. Selain itu juga untuk melakukan evaluasi mengenai kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya kecurangan dalam proses audit.

2. Bagi Peneliti

Sarana dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pengaruh pengalaman, independensi dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan.

3. Bagi Universitas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang berguna untuk dijadikan acuan bagi seluruh civitas akademika mengenai pengaruh pengalaman, independensi, dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan.

4. Bagi Pembaca dan Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu dan informasi untuk keperluan penelitian sejenis. Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan referensi dan diharapkan juga dapat melengkapi penelitian sebelumnya serta menjadi bahan masukan bagi penelitian selanjutnya.

2. LANDASAN TEORI

Pengertian Audit

Menurut Meisser, Jr  (2003: 8) pengertian audit adalah:

“audit adalah proses yang sistematik dengan tujuan mengevaluasi bukti mengenai tindakan dan kejadian ekonomi untuk memastikan tingkat kesesuaian antara penugasan dan kriteria yang telah ditetapkan, hasil dari penugasan tersebut dikomunikasikan kepada pihak pengguna yang berkepentingan”.

Menurut The American Accounting Association’s Committee on Basic Auditing Concepts (2001: 1-2) pengertian auditing adalah:

“audit merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan umtuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta menyampaikan hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.

Menurut Arens dan Loebbecke (2003), pengertian auditing sebagai:

“Suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten.”

Menurut Mulyadi (2002), pengertian auditing merupakan:

“Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.”

Standar Auditing

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) merupakan standar auditing yang menjadi kriteria atau pedoman kerja minimum yang memiliki kekuatan hukum bagi para auditor dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya. Standar auditing adalah pengukur kualitas dan tujuan, sehingga jarang berubah. Sedangkan prosedur audit adalah metode-metode atau teknik yang rinci untuk melaksanakan standar tersebut, sehingga prosedur akan dapat berubah-ubah bila lingkungan auditnya berubah. Standar auditing  dibuat berdasarkan konsep dasar. Konsep dasar sangat diperlukan karena merupakan dasar pembuatan standar yang berguna untuk memberikan pengarahan dan pengukuran kualitas dari mana prosedur audit dapat diturunkan.

Standar auditing adalah sepuluh standar yang ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) yang terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan beserta interpretasinya. Standar auditing merupakan pedoman audit atas laporan keuangan historis. Standar auditing terdiri atas sepuluh standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Auditing (PSA). Di Amerika Serikat, standar auditing semacam ini disebut Generally Accepted Auditing Standards (GAAS) yang dikeluarkan oleh the American Institute of Certified Public Accountants (AICPA).

PSA merupakan penjabaran lebih lanjut dari masing-masing standar yang telah tercantum di dalam standar auditing. PSA berisi ketentuan-ketentuan dan pedoman utama yang harus diikuti oleh Akuntan Publik dalam melaksanakan penugasan auditnya. Kepatuhan terhadap PSA yang diterbitkan oleh IAPI ini bersifat wajib bagi seluruh anggota IAPI. Di dalam PSA juga terdapat Interpretasi Pernyataan Standar Auditng (IPSA), yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh IAPI terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh IAPI dalam PSA. Dengan demikian, IPSA memberikan jawaban atas pernyataan atau keraguan dalam penafsiran ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam PSA sehingga terdapat perluasan lebih lanjut mengenai berbagai ketentuan dalam PSA. Tafsiran resmi ini bersifat mengikat bagi seluruh anggota IAPI, sehingga pelaksanaannya bersifat wajib.

Konsep dasar untuk melahirkan standar auditing yaitu berdasarkan :

Bukti

Kehati-hatian dalam pemeriksaan

Penyajian atau pengungkapan wajar

Independensi

Etika

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) terdiri dari tiga standar yaitu:

Standar auditing

Standar atestasi

Standar jasa akuntansi dan review

Hubungan standar atestasi dan standar auditing adalah standar auditing merupakan bagian dari standar atestasi yang khusus mengatur mutu dari jasa akuntan publik yang berkaitan dengan pemeriksaan laporan keuangan historis. Audit atas laporan keuangan yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum di Indonesia merupakan satu diantara jasa atestasi yang dapat disediakan oleh kantor akuntan publik kepada masyarakat.

Standar auditing terdiri atas sepuluh standar, dan terbagi dalam tiga kelompok yaitu:

a.         Standar Umum

Keahlian dan kompetensi teknis yang memadai

Sikap mental yang independen

Kemahiran profesional dengan cermat dan seksama

b. Standar Pekerjaan Lapangan

Perencanaan dan supervisi audit

Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.

Pemahaman memadai atas pengendalian intern

Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh unutk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.

Bukti kompeten yang cukup

Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

c. Standar Pelaporan

Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia.

Istilah standar akuntansi keuangan di Indonesia yang digunakan dalam standar pelaporan pertama dimaksudkan meliputi tidak hanya prinsip dan praktik akuntansi, tetapi juga metode penerapannya. Standar pelaporan pertama tidak mengharuskan auditor untuk menyatakan tentang fakta (statement of fact), namun standar tersebut mengharuskan auditor untuk menyatakan suatu pendapat mengenai apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi tersebut. Jika pembatasan terhadap lingkup audit tidak memungkinkan auditor untuk memberikan pendapat mengenai kesesuaian tersebut maka pengecualian semestinya diperlukan dalam laporan auditnya.

Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.

Tujuan standar konsistensi adalah untuk memberikan jaminan bahwa jika daya banding laporan keuangan di antara dua periode dipengaruhi secara material oleh perubahan prinsip akuntansi, auditor akan mengungkapkan perubahan tersebut dalam laporannya. Juga dinyatakan secara tersirat dalam tujuan standar tersebut bahwa prinsip akuntansi tersebut telah diamati konsistensi penerapannya dalam setiap periode akuntansi yang bersangkutan. Standar pelaporan tersebut secara tersirat menggandung arti bahwa auditor puas bahwa daya banding laporan keuangan di antara dua periode akuntansi tidak dipengaruhi secara material oleh perubahan prinsip akuntansi dan bahwa prinsip akuntansi tersebut telah diterapkan secara konsisten di antara dua periode atau lebih periode akuntansi baik karena tidak terjadi perubahan prinsip akuntansi, atau terdapat perubahan prinsip akuntansi atau metode penerapannya, namun dampak perubahan prinsip akuntansi terhadap daya banding laporan keuangan tidak material. Dalam keadaan-keadaan tersebut auditor tidak perlu membuat pengungkapan mengenai konsistensi dalam laporan auditnya.

Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.

Penyajian laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia mencakup dimuatnya pengungkapan informatif yang memadai atas hal-hal material. Hal-hal tersebut mencakup bentuk, susunan, dan isi laporan keuangan, serta catatan atas laporan keuangan, yang meliputi, sebagai contoh, istilah yang digunakan, rincian yang dibuat, penggolongan unsur dalam laporan keuangan, dan dasar-dasar yang digunakan untuk menghasilkan jumlah yang dicantumkan dalam laporan keuangan. Auditor harus mempertimbangkan apakah masih terdapat hal-hal tertentu yang harus diungkapkan sehubungan dengan keadaan dan fakta yang diketahuinya pada saat melaksanakan audit

Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.

Tujuan standar pelaporan keempat adalah untuk mencegah salah tafsir tentang tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh akuntan bila namanya dikaitkan dengan laporan keuangan.

Etika Profesi (Kode Etik)

Salah satu cara profesi akuntan publik dalam mewujudkan perilaku profesional dengan adanya pengaruh dari pelaksanaan etika profesi yang telah ditetapkan oleh IAI yaitu Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode etik dibuat dengan tujuan untuk menentukan standar perilaku bagi para akuntan, terutama akuntan publik.

Kode etik profesi diperlukan karena adanya beberapa alasan yaitu sebagai berikut:

Kebutuhan akan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa yang diberikan.

Masyarakat diharapkan mampu menilai kualitas jasa yang diberikan oleh profesi.

Meningkatnya kompetisi diantara anggota profesi.

Kode Etik Akuntan Indonesia merupakan kode perilaku yang terdiri dari yaitu:

Ketentuan umum dalam kode etik akuntan publik memiliki kekuatan dalam hal penekanan pada kegiatan yang positif sehingga menghasilkan kualitas kerja yang tinggi. Tetapi kelemahannya adalah sulit untuk memaksakan perilaku umum yang ideal karena tidak adanya standar perilaku minimum.

Peraturan khusus memiliki keunggulan dalam penjabaran terinci, sehingga dapat dipaksakannya standar perilaku dan kinerja minimum. Tetapi kelemahannya adalah cenderung memberikan penafsiran pada para praktisi sebagai standar maksimum dan bukannya minimum.

Tujuan Audit

Tujuan umum dari audit adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran dari suatu laporan keuangan dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha serta arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum. Tujuan audit secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kelengkapan (Completeness) untuk meyakinkan bahwa seluruh transaksi telah dicatat atau ada dalam jurnal secara aktual telah dimasukkan.

Ketepatan (Accurancy) untuk memastikan transaksi dan saldo perkiraan yang ada telah dicatat berdasarkan jumlah yang benar, perhitungan yang benar, diklasifikasikan, dan dicatat dengan tepat.

Eksistensi (Existence) untuk memastikan bahwa semua harta dan kewajiban yang tercatat memiliki eksistensi atau keterjadian pada tanggal tertentu, jadi transaksi tercatat tersebut harus benar-benar telah terjadi dan tidak fiktif.

Penilaian (Valuation) untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum telah diterapkan dengan benar.

Klasifikasi (Classification) untuk memastikan bahwa transaksi yang dicantumkan dalam jurnal diklasifikasikan dengan tepat. Jika terkait dengan saldo maka angka-angka yang dimasukkan didaftar klien telah diklasifikasikan dengan tepat.

Ketepatan (Accurancy) untuk memastikan bahwa semua transaksi dicatat pada tanggal yang benar, rincian dalam saldo akun sesuai dengan angka-angka buku besar. Serta penjumlahan saldo sudah dilakukan dengan tepat.

Pisah Batas (Cut-Off) untuk memastikan bahwa transaksi-transaksi yang dekat tanggal neraca dicatat dalam periode yang tepat. Transaksi yang mungkin sekali salah saji adalah transaksi yang dicatat mendekati akhir suatu periode akuntansi.

Pengungkapan (Disclosure) untuk meyakinkan bahwa saldo akun dan persyaratan pengungkapan yang berkaitan telah disajikan dengan wajar dalam laporan keuangan dan dijelaskan dengan wajar dalam isi dan catatan dari laporan tersebut.

Pengklasifikasian Auditor

Orang atau kelompok yang melaksanakan audit dapat dikelompokan menjadi tiga golongan yaitu auditor independen, auditor pemerintah, dan auditor internal (Mulyadi, 2002:58).

Auditor Independen

Auditor independen adalah auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Audit tersebut terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para pemakai informasi keuangan seperti: kreditur, investor, calon kreditur, dan instansi pemerintah (terutama instansi pajak). Untuk berpraktik sebagai auditor independen, seseorang harus memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman kerja tertentu. Auditor independen harus telah lulus dari jurusan akuntansi fakultas ekonomi atau mempunyai ijazah yang disamakan, telah mendapat gelar akuntan dari Panitia Ahli Pertimbangan Persamaan Ijazah Akuntan, dan mendapat izin praktik dari Menteri Keuangan.

Auditor Pemerintah

Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas utamanya adalah melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan, atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Meskipun terdapat banyak auditor yang bekerja di instansi pemerintah, namun umumnya yang disebut auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta

instansi pajak.

Auditor internal

Auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun perusahaan swasta) yang tugas utamanya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.

Penggolongan Audit

Pada umumnya audit dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

Audit laporan keuangan (financial statement audit )

Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk  memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.

Audit kepatuhan (compliance audit)

Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa sesuai dengan kondisi, peraturan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit iternal, karena oleh pegawai perusahaan.

Audit operasional (operational audit)

Audit operasional merupakan penelahaan secara sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yag obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk menilai kinerja, kinerja dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan, standar-standar, dan sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh manajemen, mengidentifikasikan peluang, dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut. Pihak-pihak yang mungkin meminta dilakukannya audit operasional adalah manajemen dan pihak ketiga.

Prosedur Audit

Prosedur audit adalah instruksi rinci untuk mengumpulkan tipe bukti audit tertentu yang harus diperoleh pada saat tertentu dalam audit. Adapun prosedur audit yang biasa dilakukan oleh auditor yaitu sebagai berikut:

Inspeksi

Merupakan pemeriksaan secara rinci terhadap dokumen dan kondisi fisik sesuatu. Prosedur ini digunakan secara luas dalam auditing. Inspeksi seringkali digunakan dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti bootom-up maupun top-down. Dengan melakukan inspeksi atas dokumen, auditor dapat menentukan ketepatan persyaratan dalam faktur atau kontrak yang memerlukan pengujian bottom-up atas akuntansi transaksi tersebut. Pada saat yang sama, auditor seringkali mempertimbangkan implikasi bukti dalam konteks pemahaman faktor-faktor ekonomi dan persaingan entitas.

Pengamatan (Observation)

Pengamatan atau observasi merupakan prosedur audit untuk melihat dan menyaksikansuatu kegiatan. Kegiatan dapat berupa pemrosesan rutin suatu jenis transaksi tertentu seperti penerimaan kas, untuk melihat apakah para pekerja sedang melaksanakan tugas yang diberikan sesuai dengan kebijakan dan prosedur perusahaan. Pengamatan terutama penting untunk memperoleh pemahaman atas pengendalian internal. Auditor juga dapat mengamati kecermatan seorang karyawan dan klien dalam melaksanakan pemeriksaan tahunan atas fisik persediaan.

Permintaan Keterangan (enquiry)

Merupakan prosedur audit yang dilakukan dengan meminta keterangan secara lisan atau tertulis. Permintaan keterangan tersebut biasanya ditujukan kepada manajemen atau karyawan, umumnya berupa pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah dilaksanakannya prosedur analitis atau permintaan keterangan yang berkaitan dengan keusangan persediaan atau piutang yang dapat ditagih. Auditor juga dapat meminta langsung  keterangan pada pihak eksteren, seperti permintaan keterangan langsung kepada penasihat hukum klien tentang kemungkinan hasil litigasi. Hasil permintaan keterangan dapat berupa bukti lisan atau bukti dalam bentuk representasi tertulis.

Konfirmasi

Konfirmasi merupakan bentuk penyelidikan yang memungkinkan auditor memperoleh informasi secara langsung dari pihak ketiga yang bebas. Konfirmasi menyediakan bukti bottom-up penting dan digunakan dalam auditing karena bukti tersebut biasanya objektif dan berasal dari sumber yang independen.

Penelusuran (Tracing)

Penelusuran terutama dilakukan pada bahan bukti dokumenter. Dimana dilakukan mulai dari data awal direkamnya dokumen, yang dilanjutkan dengan pelacakan pengolahan data-data tersebut dalam proses akuntansi. Karena prosedur ini memberikan keyakinan bahwa data yang berasal dari dokumen sumber pada akhirnya dicantumkan dalam akun, maka secara khusus data ini sangat berguna untuk mendeteksi terjadinya salah saji berupa penyajian yang lebih rendah dari yang seharusnya (understatement) dalam catatan akuntansi.

Pemeriksaan bukti pendukung (vouching)

Pemeriksaan bukti pendukung (vouching) merupakan prosedur audit yang meliputi inspeksi terhadap dokumen-dokumen yang mendukung suatu transaksi atau data keuangan untuk menetukan kewajaran dan kebenarannya. Pembandingan dokumen tersebut dengan catatan akuntansi yang berkaitan. Dalam melakukan vouching, arah pengujian berlawanan dengan yang digunakan dalam tracing. Prosedur vouching digunakan secara luas untuk mendeteksi adanya salah saji berupa penyajian yang lebih tinggi dari yang seharusnya (overstatement) dalam catatan akuntansi.

Perhitungan (counting)

Prosedur audit ini meliputi perhitungan fisik terhadap sumber daya berwujud seperti kasatau sediaan tangan, pertangungjawaban semua formulir bernomor urut tercetak.

Scanning

Scanning merupakan penelaahan secara cepat terhadap dokumen, cacatan, dan daftar untuk mendeteksi unsur-unsur yang tampak tidak biasa yang memerlukan penyelidikan lebih mendalam.

Pelaksanaan Ulang

Prosedur audit ini merupakan pengulangan aktivitas yang dilaksanakan oleh klien. Auditor juga dapat melaksanakan ulang beberapa aspek pemrosesan transaksi tertentu untuk menentukan bahwa pemrosesan awal telah sesuai dengan pengandalian intern yang telah dirumuskan.

Computer-assisted audit techniques

Apabila catatan akuntansi dilaksanakan dalam media elektronik maka auditor perlu menggunakan Computer-assisted audit techniques dalam menggunakan berbagai prosedur audit di atas.

Risiko Audit

Risiko dalam auditing menurut  Arens & Loebbecke (2003) berarti auditor menerima suatu tingkat ketidakpastian tertentu dalam pelaksanaan auditnya. Risiko audit merupakan salah satu aspek penting yang mendasari proses audit. Menurut Henry (2002) ada dua jenis risiko yang dihadapi oleh auditor yang melakukan audit terhadap laporan keuangan, yaitu :

Risiko audit (audit risk)

risiko yang timbul karena auditor tanpa disadari tidak memofidikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.

Risiko bisnis auditor (auditor business risk)

terpaparnya auditor (auditor exposure) terhadap kerugian atau kerusakan praktik profesionalnya akibat litigasi, publisitas yang buruk, ataupun peristiwa lainnya yang mencuat sehubungan dengan laporan keuangan yang diaudit dan dilaporkannya.

Risiko bisnis auditor berbeda dengan risiko audit. Auditor bisa saja memutuskan untuk menggali lebih banyak bukti audit disebabkan meningkatnya risiko bisnisnya. Dalam standar auditing yang berlaku secara umum, auditor tidak boleh memutuskan untuk mengumpulkan lebih sedikit bukti audit hanya karena mengaudit klien dengan risiko bisnis yang minimal. Risiko bisnis auditor tidak dapat dikendalikan secara langsung oleh auditor, meskipun demikian beberapa pengendalian dapat dijalankan melalui penerimaan dan penolakan klien dengan hati-hati. Di lain pihak, risiko audit dapat dikendalikan secara langsung melalui lingkup prosedur tes auditor.

Risiko audit menurut SPAP (2010) adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor tanpa disadari tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.

Risiko audit yang diterima auditor mempunyai hubungan terbalik dengan tingkat keinginan mengekspresikan pendapat atau opini yang tepat. Adapun tingkatan risiko audit seperti rendah, sedang, atau tinggi. Tingkat risiko audit yang dianggap standar adalah 5% dan tingkat risiko audit tidak akan pernah tidak ada atau nol.

Risiko audit dapat dibagi menjadi dua bagian:

Risiko audit keseluruhan yang berkaitan dengan laporan keuangan sebagai keseluruhan.

Risiko audit individual yang berkaitan dengan setiap saldo akun individual yang dicantumkan dalam laporan keuangan.

Dalam SA Seksi 312 (PSA No. 25) mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan risiko dan materialitas baik dalam :

Merencanakan audit dan merancang prosedur audit

Mengevaluasi apakah laporan keuangan secara keseluruhan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai prinsip akuntansi yang berlaku secara umum di Indonesia.

Macam-Macam Risiko Audit

Ada tiga macam risiko audit menurut SPAP seksi 312 (2010) :

1.         Risiko Bawaan

Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yang terkait. Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Misalnya saja, perhitungan yang rumit akan lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana. Akun yang terdiri dari jumlah yang berasal dari estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko yang lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data berupa fakta. Faktor ekstern juga mempengaruhi risiko bawaan.

2.         Risiko Pengendalian

Risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektivitas desain dan operasi pengendalian intern untuk mencapai tujuan entitas yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan entitas. Beberapa risiko pengendalian akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian internnya.

3.         Risiko Deteksi

Risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut diperiksa 100%. Ketidakpastian lain tersebut muncul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit.

Komponen dari Risiko Audit

Menurut (Arens dan Loebbecke, 2003) terdapat empat unsur risiko audit yaitu sebagai berikut :

Planned Detection Risk

Planned detection risk (risiko deteksi terencana) merupakan ukuran risiko bahwa bukti audit atas segmen tertentu akan gagal mendeteksi keberadaan salah saji yang melebihi suatu nilai salah saji yang masih dapat ditoleransi, apabila salah saji semacam itu ada. Terdapat dua poin utama tentang risiko deteksi terencana ini. Pertama, risiko ini tergantung pada ketiga faktor lainnya yang terdapat dalam model. Risiko terdeteksi hanya akan berubah jika auditor melakukan perubahan pada salah satu dari ketiga faktor lainnya tersebut. Kedua, risiko ini menentukan nilai bukti substantive yang direncanakan oleh auditor untuk dikumpulkan, yang merupakan kebalikan dari ukuran risiko deteksi rencana itu sendiri.

Risiko Inheren

Risiko bawaan adalah faktor kerentanan laporan keuangan terhadap salah saji material, dengan asumsi tidak ada pengendalian intern. Sedangkan menurut SPAP (2010) risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji yang material dengan asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan prosedur struktur pengendalian internal yang terkait.

Hubungan antara risiko bawaan dengan risiko penemuan serta rencana pengumpulan bahan bukti yaitu bahwa risiko bawaan sifatnya adalah berbanding terbalik dengan risiko penemuan, dan berbanding lurus dengan bahan bukti (Arens dan Loebbecke, 2003).

Auditor harus melaksanakan audit untuk mengurangi risiko audit sampai tingkat yang terendah, yang menurut pertimbangan profesional auditor, tepat untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Dalam melakukannya, auditor perlu untuk mempertimbangkan risiko audit pada tingkat laporan keuangan dan pada tingkat saldo akun atau kelompok transaksi. Dalam mempertimbangkan risiko audit, pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan, auditor mempertimbangkan risiko salah saji material yang berkaitan secara luas dan mendalam (pervasively) terhadap laporan keuangan dan secara potensial mempengaruhi banyak asersi.

Risiko Pengendalian

Risiko pengendalian (control risk) merupakan ukuran yang dipergunakan oleh auditor dalam menilai adanya kemungkinan bahwa terdapat sejumlah salah saji material yang melebihi nilai salah saji yang masih dapat ditoleransi atas segmen tertentu dan tidak terhadang atau tidak terdeteksi oleh pengendalian intern yang dimiliki oleh klien. Risiko pengendalian ini memperlihatkan tentang penilaian apakah pengendalian intern yang dimiliki klien efektif untuk mencegah atau mendeteksi terjadinya salah saji dan kehendak auditor membuat penilaian tersebut senantiasa berada dibawah nilai maksimum 100% sebagai bagian dari rencana audit yang dibuatnya. Semakin efektif pengendalian internnya, maka semakin rendah pula faktor risiko yang dapat dibebankan pada risiko pengendalian.

Model risiko audit menunjukkan hubungan yang erat antara risiko inheren dan risiko pengendalian. Kombinasi risiko inheren dan risiko pengendalian ini dapat dianggap sebagai suatu ekspektasi atas nilai salah saji setelah mempertimbangkan pengaruh dari pengendalian intern.

Risiko Akseptibilitas Audit

Risiko akseptibilitas audit (acceptable audit risk) merupakan ukuran atas tingkat kesediaan auditor dalam menerima kenyataan bahwa laporan keuangan mungkin masih mengandung salah saji yang material setelah audit selesai dilaksanakan serta suatu laporan audit wajar tanpa syarat telah diterbitkan. Ketika auditor memutuskan untuk menetapkan suatu tingkat risiko akseptabilitas audit yang lebih rendah, hal itu dapat diartikan bahwa auditor ingin memperoleh tingkat keyakinan yang lebih tinggi dan bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang material. Risiko nol berarti yakin sekali, dan suatu tingkat risiko sebesar 100% berarti benar-benar tidak yakin.

Model Risiko Audit

Cara auditor untuk menangani masalah risiko dalam tahap perencanaan pengumpulan bahan bukti yaitu dengan menggunakan model risiko audit. Model risiko audit sangat diperlukan untuk mengerjakan audit secara efektif. Model risiko audit digunakan untuk tahap perencanaan dalam menentukan berapa besar bahan bukti yang harus dikumpulkan dalam tiap siklusnya.

Model risiko audit yang digunakan terutama untuk tahap perencanaan dalam menentukan berapa besar bahan bukti yang harus dikumpulkan dalam tiap siklusnya.

Rumusnya adalah sebagai berikut:

RA = RB X RP X RD

Keterangan:

RA = Risiko audit

RB = Risiko bawaan

RP = Risiko pengendalian

RD = Risiko deteksi

Pengalaman Auditor

Pengalaman merupakan cara pembelajaran yang baik bagi auditor internal untuk menjadikan auditor kaya akan teknik audit. Semakin tinggi pengalaman auditor, maka semakin mampu dan mahir auditor dalam menguasai tugasnya sendiri maupun aktivitas yang diauditnya. Pengalaman juga membentuk auditor mampu menghadapi dan menyelesaikan hambatan maupun persoalan dalam pelaksanaan tugasnya, serta mampu mengendalikan kecenderungan emosional terhadap pihak-pihak yang diperiksa. Selain pengetahuan dan keahlian, pengalaman auditor memberi kontribusi yang relevan dalam meningkatkan kompetensi auditor.

Farmer et al, (1987), mengemukakan bahwa auditor yang berpengalaman kurang menyetujui dibandingkan dengan auditor yang tidak berpengalaman dalam menyetujui perlakuan akuntansi yang dipreferensikan klien. Mereka menyimpulkan justru auditor staf cenderung lebih memperhatikan dalam mempertahankan dan menyenangkan klien dibandingkan para partner.

Gusnardi (2003:8), mengemukakan bahwa pengalaman audit (audit experience) dapat diukur dari jenjang jabatan dalam struktur tempat auditor bekerja, tahun pengalaman, gabungan antara jenjang jabatan dan tahun pengalaman, keahlian yang dimiliki auditor yang berhubungan dengan audit, serta pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti oleh auditor tentang audit. Masalah penting yang berhubungan dengan pengalaman auditor akan berkaitan dengan tingkat ketelitian auditor.

Puspa (2006), mengemukakan bahwa persuasi atas preferensi klien berdasarkan pengalaman audit masing-masing responden dalam penelitian ini memberikan hasil yang sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan setiap responden dihadapkan pada empat kasus yang berbeda, sehingga judgment masing-masing responden juga bervariasi tergantung dari pengetahuan, intuisi, dan persepsinya masing-masing. Hasil ini juga memberikan bukti bahwa auditor dengan tingkat pengalaman yang hampir sama (memiliki masa kerja dan penugasan yang hampir sama) ternyata memiliki pertimbangan yang berbeda-beda dan sangat bervariasi.

Shelton (1999), menyatakan bahwa pengalaman akan mengurangi pengaruh informasi yang tidak relevan dalam pertimbangan (judgment) auditor. Auditor yang berpengalaman (partner dan manajer) dalam membuat pertimbangan (judgment) mengenai going concern tidak dipengaruhi oleh kehadiran informasi yang tidak relevan. Sedangkan auditor yang kurang pengalamannya dalam membuat pertimbangan (judgment) mengenai going concern dipengaruhi oleh kehadiran informasi yang tidak relevan.

Penelitian Haynes et al, (1998) yang menyelidiki pengaruh peran auditor dalam melayani kepentingan klien menemukan bahwa auditor tidak secara otomatis mengambil posisi advokasi bagi klien, terutama bila kepentingan klien tidak dibuat eksplisit. Tetapi bila kepentingan itu ditonjolkan (salient), auditor khususnya yang berpengalaman akan berperilaku konsisten dengan posisi advokasi. Penelitian Haynes et al. ini menunjukkan pengalaman audit yang dipunyai audior ikut berperan dalam menentukan pertimbangan yang diambil.

Taufik (2008:72), memperlihatkan bahwa seseorang dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwa-peristiwa. Maka dengan adanya pengalaman kerja yang semakin lama diharapkan auditor dapat semakin baik dalam pendeteksian kecurangan yang terjadi dalam perusahaan klien. Dengan semakin bertambahnya pengalaman auditing, jumlah kecurangan yang diketahui oleh auditor diharapkan akan bertambah. Pada saat yang sama, hal ini menjadi lebih mudah untuk membedakan hal-hal yang termasuk dalam kategori yang berbeda. Bertambahnya pengalaman menghasilkan struktur kategori yang lebih tepat (akurat) dan lebih komplek. Konsep kecurangan yang dimiliki auditor kemungkinan menjadi lebih dapat ditegaskan dan kemampuan dalam menentukan kecurangan tertentu yang terjadi pada suatu siklus transaksi tertentu kemungkinan akan meningkat dengan bertambahnya pengalaman.

Independensi

Independen artinya tidak mudah dipengaruhi, karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun. Untuk memenuhi pertanggungjawaban profesionalnya, auditor harus bersikap independen karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan

dan menyatakan pendapatnya. Independensi menghindarkan diri dari hubungan yang bisa merusak obyektifitas seorang auditor dalam melakukan jasa atestasi. Menurut Pusdiklatwas BPKP (2005), auditor yang independen adalah auditor yang tidak memihak dan yang tidak dapat diduga memihak, sehingga tidak merugikan pihak manapun.

Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan Publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan Publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan,

namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas

pekerjaan akuntan publik (Christiawan, 2002).

Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga

berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya (Mulyadi:26-27).

Independensi dalam audit berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independence in fact yang dalam kenyataan akan ada apabila padakenyataanya auditor mampu mempertahankan sikap yangtidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa independensi mempunyai tiga buah pengertian bila dihubungkan dengan akuntan publik :

Dalam berbagai hal, independensi berarti kejujuran, integritas, obyektifitas dan tanggung jawab.

Dalam hal yang lebih sempit, bila dihubungkan dengan pemeriksaan akuntansi sehubungan dengan mengeluarkan pendapat atas laporan keuangan, maka independensi berarti menghindari berbagai hubungan yang memungkinkan (sekaligus tanpa sadar) merusak obyektif akuntan publik.

Independensi berarti menghindari hubungan yang dapat menimbulkan kesan seseorang pemeriksa mempunyai suatu konflik kepentingan.

Upaya dalam memelihara independensi yaitu:

Kewajiban hukum

Standar auditing yang berlaku umum

Standar pengendalian mutu

Komite audit

Komunikasi dengan auditor pendahulu

Pentingnya Independensi

Dalam Standar Auditing (SA) seksi 220 PSA No. 4 menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat umum atas independensi sikap auditor independen sangat penting bagi perkembangan profesi akuntan publik. Kepercayaan masyarakat akan menurun jika terdapat bukti bahwa independensi sikap auditor berkurang bahkan kepercayaan masyarakat dapat juga menurun disebabkan oleh keadaan yang oleh mereka yang berpikiran sehat (reasonable) dianggap dapat mempengaruhi sikap independen tersebut.

Sikap mental independen sama pentingnya dengan keahlian dalam bidang

praktik akuntansi dan prosedur audit yang harus dimiliki oleh setiap auditor. Disamping itu tidak hanya berkewajiban mempertahankan sikap mental independen, tetapi ia harus menghindari pula keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan independennya. Sikap mental independen auditor menurut persepsi masyarakat inilah yang tidak mudah untuk memperolehnya.

Menurut Supriyono (1988:34) yang dikutip dalam penelitian Mayangsari (2002), ada enam faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik, salah satunya adalah jasa-jasa lain selain audit yang dilakukan oleh auditor bagi klien. Seringkali manajemen klien meminta kantor akuntan publik untuk memberikan jasa lain selain jasa audit. Pemberian jasa lain selain jasa audit menimbulkan pertanyaan yang mendasar apakah akuntan publik tersebut dapat mempertahankan

independensinya.

Tiga Aspek Independensi Auditor

Independensi auditor mempunyai tiga aspek (Mulyadi & Kanaka: 49) yaitu sebagai berikut:

Independensi dalam diri auditor yang berupa kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang ditemuinya dalam auditnya. Aspek independensi ini disebut dengan istilah independensi dalam kenyataan atau independence in fact.

Independensi yang ditinjau dari sudut pandang pihak lain yang mengetahui informasi yang bersangkutan dengan diri auditor. Aspek independensi ini disebut dengan istilah independensi dalam penampilan atau perceived independence  atau independence in appearance.

Independensi dipandang dari sudut keahliannya. Seorang dapat mempertimbangkan fakta dengan baik jika ia mempunyai keahlian mengenai atas audit fakta tersebut.

Risiko yang Dapat Merusak Independensi

Independensi dalam penampilan akuntan publik dianggap rusak jika auditor mengetahui atau patut mengetahui keadaan atau hubungan yang mungkin mengkompromikan independensinya. Menurut Ruchjat Kosasih (2000) ada empat jenis risiko yang dapat merusak independensi akuntan publik , yaitu :

Self interest risk, yang terjadi apabila akuntan publik menerima manfaat dari keterlibatan keuangan klien.

Self review risk, yang terjadi apabila akuntan publik melaksanakan penugasan pemberian jasa keyakinan yang menyangkut keputusan yang dibuat untuk kepentingan klien atau melaksanakan jasa lain yang mengarah pada produk atau pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok bahasan dalam penugasan pemberian jasa keyakinan.

Advocacy risk, yang terjadi apabila tindakan akuntan publik menjadi terlalu erat kaitanya dengan kepentingan klien.

Client influence risk, yang terjadi apabila akuntan publik mempunyai hubungan erat yang kontinyu dengan klien, termasuk hubungan pribadi yang dapat mengakibatkan intimidasi oleh atau keramahtamahan (familiarity) yang berlebihan dengan klien.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Independensi Auditor

Tidak dapat dipungkiri bahwa klien berusaha agar laporan keuangan yang dibuat oleh klien mendapatkan opini yang baik oleh auditor. Banyak cara dilakukan agar auditor tidak menemukan kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan bahkan yang lebih parah lagi adalah kecurangan-kecurangan yang dilakukan tidak dapat dideteksi oleh auditor.

Independensi akuntan publik dapat terpengaruh jika akuntan publik mempunyai kepentingan keuangan atau mempunyai hubungan usaha dengan klien yang diaudit. Menurut Lanvin (1976) dalam Supriyono (1988) independensi auditor dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

Ikatan keuangan dan usaha dengan klien

Jasa-jasa lain selain jasa audit yang diberikan klien

Lamanya hubungan kantor akuntan publik dengan klien

Sedangkan menurut Shockley (1981) dalam Supriyono (1988) independensi akuntan publik dipengaruhi oleh faktor :

Persaingan antar akuntan publik

Pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien

Ukuran KAP

Lamanya hubungan antara KAP dengan klien

Dari faktor–faktor yang mempengaruhi independensi tersebut di atas bahwa independensi dapat dipengaruhi oleh ikatan keuangan dan usaha dengan klien, jasa-jasa lain yang diberikan auditor selain audit, persaingan antar KAP dan ukuran KAP. Seluruh faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik tersebut adalah ditinjau dari independensi dalam penampilan.

Skeptisme Profesional Auditor

Di dalam SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik, 2001:230.2), menyatakan skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Shaub dan Lawrence (1996) mengartikan skeptisisme profesional auditor adalah “professional scepticism is a choice to fulfill the professional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences of another person’s behavior”. Skeptisisme profesional digabungkan ke dalam literatur profesional yang membutuhkan auditor untuk mengevaluasi kemungkinan adanya kecurangan material. Selain itu juga dapat diartikan sebagai pilihan untuk memenuhi tugas audit profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dan perilaku orang lain (SPAP 2001 : 230.2)

Kee dan Knox’s (1970) dalam model “Professional Scepticism Auditor” menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor:

Faktor-faktor kecondongan etika

Faktor-faktor kecondongan etika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. The American Heritage Directory menyatakan etika sebagai suatu aturan atau standar yang menentukan tingkah laku para anggota dari suatu profesi. Pengembangan kesadaran etis/moral memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan (Louwers, 1997), termasuk dalam melatih sikap skeptisisme profesional akuntan.

Faktor-faktor situasi

Faktor-faktor situasi berperngaruh secara positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (situasi irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya.

Pengalaman

Pengalaman yang dimaksudkan disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Butt (1988) memperlihatkan dalam penelitiannya bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Jadi seorang auditor yang lebih berpengalaman akan lebih tinggi tingkat skeptisisme profesionalnya dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman.

Berkaitan dengan skeptisisme ini, penelitian yang dilakukan Kee & Knox’s (1970) yang menggambarkan skeptisisme profesional sebagai fungsi dari disposisi etis, pengalaman dan faktor situasional. Shaub dan Lawrence (1996) mengindikasikan bahwa auditor yang menguasai etika situasi yang kurang lebih terkait dengan etika profesional dan kurang lebih dapat melaksanakan skeptisisme profesionalnya. Faktor situasional merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan skeptisisme profesional auditor.

Pentingnya Skeptisisme Profesional Auditor

Pentingnya skeptisisme profesional banyak ditekankan oleh berbagai jenis profesi. Umumnya profesi yang membutuhkan skeptisisme profesional adalah profesi yang berhubungan dengan pengumpulan dan penilaian bukti-bukti secara kritis, dan melakukan pertimbangan pengambilan keputusan berdasarkan bukti yang dikumpulkan. Profesi-profesi yang dirujuk antara lain, detektif, polisi, auditor, pengacara dan hakim, dan penyelidik. Namun, dari berbagai bidang profesi dan akademis yang membutuhkan skeptisisme profesional, hanya auditor yang menyaratkan skeptisisme profesional dalam standar profesionalnya (Hurtt,2003).

Seperti yang tercantum dalam SPAP seksi 230 (IAPI, 2011), skeptisisme

profesional merupakan unsur yang terkandung dalam Standar Umum ketiga mengenai penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama dalam

pelaksanaan pekerjaan auditor (due professional care). Due professional care merupakan komponen yang penting dalam proses audit. Banyak diskusi telah dilakukan mengenai praktik kerja yang dilakukan oleh manajemen audit, supervisor, dan staff untuk menekankan pentingnya due professional care (Gallegos, 2003). Selain meningkatkan kualitas audit dan mendeteksi terjadinya fraud, skeptisisme profesional auditor juga berperan dalam mencegah terjadinya fraud. Penemuan Chen dkk (2009) mempertegas pentingnya skeptisisme  profesional auditor yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan audit (audit actions) karena dapat mengurangi kecenderungan manajer untuk melakukan fraud.

Penerapan tingkat skeptisisme dalam audit sangatlah penting karena dapat

mempengaruhi efektifitas dan efisiensi audit. Skeptisisme yang terlalu rendah akan memperburuk efektivitas audit, sedangkan terlalu tinggi akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan (Financial Reporting Council, 2010). Oleh karena itu, dalam melaksanakan audit, auditor seharusnya tidak serta-merta membuat pola pikir bahwa dalam informasi keuangan yang disediakan manajemen terdapat salah saji material atau kecurangan yang disengaja. Namun, seiring dengan proses pengumpulan bukti-bukti audit, auditor dapat meningkatkan kewaspadaannya jika

terdapat kemungkinan informasi keuangan tersebut memiliki salah saji material atau kecurangan yang disengaja.

Faktanya, skeptisisme profesional dalam auditing penting karena (Quadackers, 2009):

skeptisisme profesional merupakan syarat yang harus dimiliki auditor yang tercantum di dalam standar audit (SPAP),

perusahaan-perusahaan audit internasional menyaratkan penerapan skeptisisme profesional dalam metodologi audit mereka,

skeptisisme profesional merupakan bagian dari pendidikan dan pelatihan auditor,

literatur akademik dan profesional di bidang auditing menekankan pentingnya skeptisisme profesional.

Selain itu, banyak studi kasus yang oleh SEC (Security and Exchange Commissions) dilaporkan sebagai kegagalan auditor dalam mendeteksi salah saji material sebagai hasil dari kurangnya skeptisisme profesional, contohnya pada kasus Enron,WorldCom, Adelphia, dan Global Crossing.

Karakteristik Skeptisisme Profesional

Karakteristik skeptisisme profesional auditor terdiri dari (Hurtt, 2003):

pola pikir yang selalu bertanya-tanya (questioning mind), mencerminkan sikap keragu-raguan seperti yang terdapat dalam definisi skeptisisme profesional secara umum maupun khusus dalam auditing.

penundaan pengambilan keputusan (suspension of judgment), mencerminkan sikap yang tidak tergesa-gesa dalam melakukan suatu hal. Orang yang skeptis tetap akan mengambil suatu keputusan, namun tidak segera, karena mereka membutuhkan informasi-informasi pendukung lainnya untuk mengambil keputusan tersebut.

mencari pengetahuan (search for knowledge), meunjukkan bahwa orang yang skeptis memiliki sikap keingintahuan akan suatu hal. Berbeda dengan sikap bertanya-tanya, yang didasari keraguan atau ketidakpercayaan, karakteristik ketiga ini didasari karena keinginan untuk menambah pengetahuan.

Pemahaman interpersonal (interpersonal understanding), memberikan pemahaman bahwa orang yang skeptis akan mempelajari dan memahami individu lain yang memiliki pandangan dan persepsi yang berbeda mengenai suatu hal. Dengan memahami persepsi orang lain, orang yang skeptis akan mengambil kesimpulan dan beragumentasi untuk mengoreksi  pendapat orang lain.

percaya diri (self-confidence), diperlukan oleh auditor untuk dapat menilai bukti-bukti audit. Selain itu, percaya diri diperlukan oleh auditor untuk dapat berhadapan dan berinteraksi dengan orang lain atau klien, termasuk juga beradu argumentasi dan mengambil tindakan audit yang diperlukan berdasarkan keraguan atau pertanyaan yang timbul dalam dirinya.

determinasi diri (self-determination), diperlukan oleh auditor untuk mendukung pengambilan keputusan, yakni menentukan tingkat kecukupan bukti-bukti audit yang sudah diperolehnya.

Usaha yang Dapat Dilakukan untuk Meningkatkan Skeptisisme Profesional

Terdapat dua lingkup area yang dapat mengembangkan dan meningkatkan skeptisisme auditor, yakni:

rekrutmen, pelatihan dan motivasi/penghargaan.

metodologi audit yang digunakan.

Karakteristik skeptisisme bawaan setiap orang akan berbeda-beda, beberapa memiliki tingkat skeptisisme yang lebih tinggi daripada yang lain.

Pelatihan diperlukan untuk meningkatkan skeptisisme profesional auditor. Pelatihan fraud terbukti dapat mengurangi perbedaan antara auditor yang memiliki skeptisisme rendah dan tinggi, hal ini menunjukkan bahwa skeptisisme profesional dapat dipengaruhi dengan adanya pelatihan (Quadackers, 2009). Ada dua jenis pelatihan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan skeptisisme profesional adalah pelatihan langsung dan pelatihan tidak langsung (Financial Reporting Council, 2010). Pelatihan tidak langsung diperoleh dari simulasi yang disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya dengan workshop, atau pelatihan-  pelatihan audit. Sedangkan pelatihan langsung diperoleh melalui mentoring atau pelatihan yang diberikan secara langsung melalui praktik dan pengarahan oleh staf

auditor senior kepada staf auditor junior. Namun, pelatihan tidak langsung sendiri tidak akan efektif untuk melatih skeptisisme profesional dikarenakan faktor tekanan yang ada saat auditor terjun ke lapangan langsung. Oleh karena itu, pelatihan tidak langsung tersebut harus diperkuat dengan budaya perusahaan auditor dan pelatihan langsung seperti mentoring.

Menurut Financial Reporting Council (2010) usaha lainnya yang dapat dilakukan adalah pemberian motivasi atau penghargaan, yang akan lebih mendorong para auditor untuk berprestasi dalam bidangnya, dan untuk itu mereka harus dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik, salah satunya adalah pencarian bukti-bukti audit yang relevan dan reliable.

Selain pelatihan, motivasi dan penghargaan, metodologi audit juga dapat mempengaruhi skeptisisme. Auditor yang bekerja dengan metode checklist dalam menjalankan tugas auditnya tidak akan bebas mengekspresikan sikap skeptisnya. Oleh karena itu, untuk mendorong skeptisisme profesional auditor, sebaiknya selain menugaskan auditor untuk bekerja sesuai dengan checklist yang ada, digunakan juga metodologi yang mendorong auditor untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan terbuka kepada manajemen klien dan melakukan follow up

terhadap respon yang diberikan manajemen.

 Pendeteksian Kecurangan

Definisi kecurangan (Fraud) menurut Black Law Dictionary adalah “a knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce another to act to his or her detriment, is usual a tort, but in some cases (esp when the conduct is willful) it may be a crime”. Definisi diatas dapat diartikan bahwa kecurangan merupakan kesengajaan atassalah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan yang disembunyikan darisebuah fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukanperbuatan atau tindakan yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahannamun dalam beberapa kasus(khususnya dilakukan secara sengaja)memungkinkan merupakan suatu kejahatan.

AU seksi 316.05 mendefinisikan kecurangan adalah tindakan disengajayangmengakibatkan salah saji material dalam laporan keuangan yang diaudit.Ada dua tipe salah saji yang relevan dengan pertimbangan auditor tentangkecurangan dalam audit. Atas laporan keuangan salah saji yang timbul sebagaiakibat dari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan salah saji yang timbul dari

penyalahgunaan aset.

Karakteristik Kecurangan

Dalam Standar Auditing (SA) seksi 316–Pertimbangan atas Kecurangan Dalam Audit Laporan Keuangan–(PSA No. 70) menyebutkan ada dua tipe salah saji yang relevan dengan pertimbangan auditor tentang kecurangan dalam audit atas laporan keuangan:

Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan. Kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan seperti: (a) manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan (b) representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan (c) salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.

Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (seringkali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan) berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan  tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk penggelapan tanda terima barang/uang, pencurian aktiva, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar harga barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan dan dapat menyangkut satu atau lebih individu diantara manajemen, karyawan, atau pihak ketiga.

Penyebab Timbulnya Fraud

Ada beberapa faktor utama yang merupakan penyebab timbulnya fraud yaitu antara lain (1) adanya kerja sama dengan pihak ketiga, (2) adanya kerja sama antara karyawan perusahaan, (3) adanya internal control yang kurang memadai, (4) kurangnya kesadaran terhadap perbuatan yang salah dan (5) adanya perbedaan dalam etika bisnis. Selain itu, pada umumnya juga fraud terjadi karena tiga hal yang mendasarinya terjadi secara bersamaan, yaitu:

Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud

Peluang untuk melakukan fraud

Sikap atau rasionalisasi untuk membenarkan tindakan fraud

Fraud Laporan Keuangan

Menurut Ferdian & Na’im (2006), kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan sebagai berikut:

Manipulasi, pemalsuan atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.

Representasi yang dalam atau penghilangan dari laporan keuangan, peristiwa, transaksi atau informasi lain yang signifikan.

Salah penerapan secara sengaja atas prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapannya.

Fraud dalam pelaporan keuangan biasanya juga berbentuk salah saji atau kelalaian yang disengaja baik dalam jumlah maupun pengungkapan pos-pos dalam pelaporan keuangan untuk menyesatkan pemakai informasi laporan keuangan tersebut. Fraud laporan keuangan dapat dibedakan antara yang sifatnya inklusif dan eksklusif (Dooley dan Skalak, 2006). Fraud dianggap sebagai inklusif apabila laporan keuangan mengandung transaksi atau nilai yang tidak benar. Sedangkan fraud yang dianggap eksklusif cenderung menghilangkan transaksi yang seharusnya dimasukkan dalam laporan keuangan. Fraud yang inklusif lebih banyak ditemukan dalam praktik. Contoh fraud yang inklusif adalah overstated dari piutang dagang akan berdampak pada pos pendapatan.

Pendeteksian Fraud

Ada beberapa keterbatasan auditor eksternal dalam mendeteksi salah saji yang timbul dari fraud. Audit dan review yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan perusahaan bertujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan perusahaan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Penentuan apakah suatu laporan keuangan telah disajikan secara wajar pada umumnya dilakukan melalui pengujian (testing) terhadap sejumlah sampel dan bukan pengujian terhadap keseluruhan populasi. Dengan pengujian secara sampling, maka tidak dapat dihindari risiko adanya salah saji yang tidak terdeteksi, salah satunya karena penggunaan sampling risks.

Kemampuan auditor eksternal dalam mendeteksi fraud, bergantung pula pada kecanggihan pelaku fraud, frekuensi dari manipulasi, tingkat kolusi dan ukuran senioritas yang dilibatkan, karena semakin tinggi tingkat kolusi dalam fraud dan semakin tinggi tingkat manajemen yang terlibat dalam fraud ini, semakin sulit pula untuk mendeteksi fraud tersebut oleh auditor eksternal.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam perusahaan agar tingkat kemungkinan dideteksinya fraud lebih besar, yaitu:

Adanya diskusi antar anggota tim audit tentang kemungkinan risiko fraud sekarang menjadi wajib.

Semua pihak agar mengidentifikasi fraud.

Adanya respon yang lebih komprehensif dan terintegrasi terhadap risiko fraud.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan auditor dalam mendeteksi fraud adalah sebagai berikut:

Bagaimana auditor dapat berkomunikasi dengan efektif sehingga pihak klien lebih termotivasi untuk menyumbangkan informasi tentang fraud. Dengan kata lain, hal ini merupakan langkah awal bagaimana auditor mendapatkan informasi mengenai fraud.

Auditor menerapkan unsur unpredictability (tidak dapat ditebak) dalam prosedur auditnya, misalnya mengacak sifat, jadwal dan sampel pengujiannya.

Auditor perlu mengasah sensivitasnya akan hal-hal yang sifatnya tidak lazim yang bisa jadi merupakan indikasi akan terjadinya fraud. Misalnya memeriksa manual journal entry, auditor melihat adanya angka yang secara ganjil jumlahnya bulat, kemudian sewaktu dicek lebih lanjut ternyata benar bahwa angka tersebut merupakan angka yang dimarkup dengan cara dibulatkan ke atas.

Dalam menjalankan jasa profesionalnya, auditor perlu menerapkan praktik -praktik manajemen risiko secara lebih baik. Sebagai contoh, auditor akan melakukan penilaian, berdasarkan kriteria tertentu, atas hal-hal sebagai berikut: (1) apakah auditor dapat menerima suatu entitas sebagai kliennya, (2) apakah auditor dapat melanjutkan hubungan profesional dengan kliennya dari satu periode ke periode berikutnya, (3) apakah auditor dapat menerima suatu penugasan tertentu dari kliennya. Dengan kata lain, bila auditor meragukan integritas dari manajemen suatu entitas, atau berdasarkan pengalaman entitas tersebut rentan terhadap fraud, maka auditor dapat memutuskan untuk secara profesional tidak menerima entitas tersebut sebagai kliennya.

Fraud dapat dideteksi bukan hanya melalui proses audit oleh akuntan publik saja tetapi secara lebih komprehensif melalui fraud deterrence cycle yang melibatkan manajemen, internal auditor, auditor eksternal dan auditor forensik. Analisis atas corporate reporting value chain mendukung pandangan bahwa auditor hanyalah salah satu bagian dalam mata rantai pelaporan perusahaan (termasuk pelaporan keuangan) dalam pencegahan dan pendeteksian fraud akan membutuhkan kerja sama  dari para partisipan atau bagian-bagian lain dari mata rantai ini.

Pihak-pihak yang  ikut menanggung beban dalam mendeteksi adanya fraud yaitu manajemen, dewan direksi, penyusun standar, dan regulator, yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam penegakan corporate governance dan masing-masing memiliki tanggung jawab tersendiri dalam memastikan bahwa pasar finansial investor dan pemakai laporan keuangan lainnya terpenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain pihak-pihak tersebut bersama pihak lainnya merupakan corporate reporting supply chain.

Pendeteksian kecurangan bukan merupakan tugas yang mudah dilaksanakan oleh auditor. Terjadinya kecurangan atau fraud sebenarnya berbeda dengan kekeliruan. Menurut Loebbecke et al. (1989), kecurangan lebih sulit untuk dideteksi karena biasanya melibatkan penyembunyian (concealment). Penyembunyian tersebut terkait dengan catatan akuntansi dan dokumen yang berhubungan, dan hal ini juga berhubungan dengan tanggapan pelaku kecurangan atas permintaan auditor dalam melaksanakan audit. Jika auditor meminta bukti transaksi yang mengandung kecurangan, pelaku kecurangan akan memberi informasi palsu atau informasi yang tidak lengkap.

Fraud Triangle Theory

Fraud triangle theory merupakan suatu gagasan yang meneliti tentang penyebab terjadinya kecurangan. Gagasan ini pertama kali diciptakan oleh Donald R. Cressey (1953) yang dinamakan fraud triangle atau segitiga kecurangan. Fraud triangle menjelaskan tiga faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud:

Pressure (tekanan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non keuangan.

Opportunity (peluang), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk memungkinkan suatu kecurangan terjadi.

Rationalization (rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud.

Ketiga hal di atas digambarkan dalam gambar berikut ini:

http://bhgrealestateblog.com/wp-content/uploads/2008/10/pressuretriangle1.jpg

Gambar 1. Fraud Triangle

Sumber : Fraud Triangle Theory oleh Cressey (1953)

Rerangka Pemikiran

Rerangka pemikiran merupakan suatu alat  dalam menganalisa suatu konsep penelitian, dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai Pengaruh Pengalaman, Indepedensi, dan Skeptisme Profesional Auditor terhadap Pendeteksian Kecurangan.

Variabel Independen                                                                   Variabel Dependen

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

 Perumusan Hipotesis

Perumusan hipotesis dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah terdapat pengaruh pengalaman, independensi, dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ha1 : Pengalaman berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan.

Ha2 : Indepedensi berpengaruh positif terhadap Pendeteksian kecurangan.

Ha3 : Skeptisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan.

3.  METODOLOGI PENELITIAN

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian mengenai pendeteksian kecurangan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara dua variabel atau lebih. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel independen, yaitu pengalaman, independensi dan skeptisme profesional auditor terhadap variabel dependen, yaitu pendeteksian kecurangan. Populasi dari penelitian ini adalah akuntan publik yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Kota Malang.

Metode Pengumpulan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode convenience sampling, yaitu teknik dalam memilih sampel berdasarkan kemudahan. Peneliti menggunakan metode convenience sampling karena peneliti memiliki kebebasan untuk dapat memilih sampel dengan cepat dari populasi yang datanya mudah diperoleh. Responden yang digunakan dalam penelitian ini yaitu auditor senior, partner, manajer, supervasior, auditor junior yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di Kota Malang.

Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan data primer yaitu sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya. Pengumpulan datanya dilakukan melalui metode survei dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang disebarkan secara langsung diberikan kepada auditor yang berada pada KAP di Kota Malang.

Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya yaitu meganalisis data. Kegiatan analisis dan pengolahan data ini dengan melakukan tabulasi terhadap kuisioner yaitu dengan cara memberikan dan menjumlahkan bobot jawaban pada masing-masing pertanyaan untuk masing-masing variabel.

Metode statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan regresi berganda dengan menggunakan software SPSS versi 16. Setelah semua data-data dalam penelitian ini terkumpul, maka selanjutnya dilakukan analisis data yang terdiri dari:

Uji Statistik Deskriptif

Analisis deskriptif akan menunjukkan mean, nilai maksimum, nilai minimum, dan deviasi standar dari tiap variabel (Gujarati, 2009). Selain itu juga dilakukan pengukuran skewness dan kurtosis untuk menggambarkan distribusi data apakah normal atau tidak.  Tujuan dari pengujian statistik deskriptif ini adalah untuk memberikan gambaran tentang keadaan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini secara garis besar selama periode penelitian. Dalam statistik deskriptif akan menggunakan tabel untuk lebih memudahkan analis dalam membaca data.

Uji Kualitas Data

Penelitian yang mengukur variabel dengan menggunakan instrumen kuisioner harus dilakukan pengujian kualitas terhadap data yang diperoleh. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan valid dan reliable sebab kebenaran data yang diolah sangat menentukan kualitas dari hasil penelitian.

Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuisioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuisioner mempu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Pengujian validitas ini menggunakan Pearson Correlation yaitu dengan cara menghitung korelasi antara skor masing-masing butir pertanyaan dengan total skor. Jika korelasi antara skor masing-masing butir pertanyaan dengan total skor mempunyai tingkat signifikansi di bawah 0,05 maka butir pertanyaan tersebut dinyatakan valid dan sebaliknya (Ghozali, 2009:49).

Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas data adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengukur suatu kuisioner yang merupakan indikator dari suatu variabel atau konstruk. Suatu kuisioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang dalam kuisioner konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Suatu kuisioner dikatakan relaibel atau handal jika memberikan nilai cronbach alpha di atas 0,6 (Ghozali, 2009:45).

Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear berganda yang berbasis ordinary least square (OLS). Uji asumsi klasik yang sering digunakan yaitu uji normalitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedasitas, dan uji autokorelasi. Tidak ada ketentuan pasti tentang urutan uji mana dulu yang harus dipenuhi. Analisis dapat dilakukan tergantung pada data yang ada. Sebagai contoh, dilakukan analisis terhadap semua uji asumsi klasik, lalu dilihat yang tidak memenuhi persyaratan, kemudian dilakukan perbaikan pada uji tersebut, dan setelah memenuhi persyaratan akan dilakukan pengujian pada uji yang lain. Uji asumsi klasik dilakukan agar mendapat model persamaan regresi yang baik dan benar-benar mampu memberikan estimasi yang handal dan tidak bias. Apabila data telah dipastikan bebas dari penyimpangan klasik, maka dilanjutkan dengan uji hipotesis.

Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji adanya korelasi antar variabel bebas (independen) dalam suatu model regresi linear berganda (Ghozali, 2009). Jika ada korelasi yang tinggi di antara variabel-variabel bebasnya, maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terkaitnya menjadi terganggu. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen.

Alat statistik yang sering dipergunakan untuk menguji gangguan pada multikolinearitas adalah dengan variance inflation factor (VIF), korelasi pearson antara variabel-variabel bebas, atau dengan melihat eigenvalues dan condition index (CI). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai tolerance dan lawannya variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya.

Jika nilai Tolerance ≤ 0.10 dan nilai VIF ≥ 10, maka terjadi masalah multikolinearitas, artinya model regresi tersebut tidak baik. (Ghozali, 2009).

Beberapa alternatif cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah sebagai berikut (Ghozali, 2009).

1.         Mengganti atau mengeluarkan variabel yang memunyai korelasi yang tinggi.

2.         Menambah jumlah observasi.

3.         Mentransformasikan data ke dalam bentuk lain, misalnya logaritma natural, akar kuadrat, dan first difference delta.

Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak.. Dalam uji normalitas ini ada 2 cara untuk mendeteksi residual berdistribusi normal atau tidak, yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik (Ghozali, 2009). Alat uji yang digunakan adalah dengan analisis grafik histogram, grafik normal probability plot, uji chi square, skewness, dan uji statistik dengan Kolmogorov-Smirnov Z (1-Sample K-S). Pengujian dengan metoda grafik sering menimbulkan perbedaan presepsi di antara beberapa pengamat, sehingga penggunaan uji normalitas dengan uji statistik bebas dari keragu-raguan, meskipun tidak ada jaminan bahwa pengujian dengan uji statistik lebih baik dari pada pengujian dengan metoda grafik (Ghozali, 2009).

 Dasar pengambilan keputusan uji statistik dengan Kolmogorov-Smirnov Z (1-Sample K-S) adalah sebagai berikut (Ghozali, 2009).

Jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) ≤ 0.05, maka H0 ditolak, dan Ha diterima. Hal ini berarti data residual terdistribusi tidak normal.

Jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) ≥ 0.05, maka H0 diterima, dan Ha ditolak. Hal ini berarti data residual terdistribusi normal.

Dasar pengambilan keputusan dengan analisis grafik normal probability plot adalah sebagai berikut (Ghozali, 2009).

Jika titik menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.

Jika titik menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

Uji Heteroskedastisitas

Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang memenuhi persyaratan adalah di mana terdapat kesamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap atau disebut homoskedastisitas.

Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode scatter plot dengan memplotkan nilai ZPRED (nilai prediksi) dengan SRESID (nilai residualnya). Model yang baik didapatkan jika tidak terdapat pola tertentu pada grafik, seperti mengumpul di tengah, menyempit kemudian melebar atau sebaliknya melebar kemudian menyempit. Uji statistik yang dapat digunakan adalah uji Glejser, uji Park atau uji White.

Beberapa alternatif solusi jika model menyalahi asumsi heteroskedastisitas adalah dengan mentransformasikan ke dalam bentuk logaritma, yang hanya dapat dilakukan jika semua data bernilai positif. Selain itu juga dapat dilakukan dengan membagi semua variabel dengan variabel yang mengalami gangguan heteroskedastisitas.

Uji Hipotesis

Uji Signifikansi Parameter Individual ( Uji Statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel individu independen secara individu dalam menerangkan variabel          dependen        (Ghozali, 2009:88). Dalam penelitian ini menggunakan uji signifikan dua arah atau two tailed test, yaitu suatu uji yang mempunyai dua daerah penolakan Ho yaitu terletak di ujung sebelah kanan dan kiri. Kriteria dalam uji parsial (Uji t) dapat dilihat berdasarkan uji hipotesis dengan membandingkan t hitung dengan t tabel yaitu :

1) Apabila – t hitung < – t tabel atau t hitung > t tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen,

2) Apabila thitung ≤ t tabel atau – t hitung ≥ – t tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya variabel independen secara parsial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.

Selain itu, dapat juga dengan melihat nilai probabilitas. Jika nilai probabilitas lebih kecil daripada 0,05 (untuk tingkat signifikansi=5%), maka variabel independen secara satu persatu berpengaruh terhadap variabel dependen. Sedangkan jika nilai probabilitas lebih besar dari pada 0,05 maka variabel independen secara satu persatu tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.

Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

Uji statistik simultan atau disebut juga dengan analisis varian (ANOVA) merupakan uji koefisien regresi secara bersama-sama (uji F). Uji F bertujuan untuk menunjukkan semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Pengujian ini menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5% dengan ketentuan sebagai berikut (Santoso, 2012) :

1.         Apabila signifikan ≥ 0.05 maka H0 diterima dan Ha ditolak (variabel bebas tidak berpengaruh secara simultan)

2.         Apabila signifikan ≤ 0.05 maka H0 ditolak dan Ha diterima (variabel bebas berpengaruh secara simultan).

Analisis Regresi Linier Berganda

a. Uji Persamaan Regresi Linier Berganda 

Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis regresi linier berganda yang bertujuan untuk menguji hubungan pengaruh antara satu variabel terhadap variabel lain. Variabel yang dipengaruhi disebut variabel dependen, sedangkan variabel yang mempengaruhi disebut variabel bebas atau independen.

Model persamaannya dapat digambarkan sebagai berikut:

Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + e

Keterangan:

            Y          : Pendeteksian Kecurangan 

            X1 : Pengalaman

            X2 : Independensi 

X3        : Skeptisme Profesional Audit

a          : Konstanta

bx : Koefisien regresi  

e : Error

Linearitas hanya dapat diterapkan pada regresi berganda karena memiliki variabel independen lebih dari satu, suatu model regresi berganda dikatakan linier jika memenuhi syarat-syarat linieritas, seperti normalitas data (baik secara individu maupun model), bebas dari asumsi klasik statistik multikolineritas, autokorelasi, heteroskedastisitas.

Uji R2 (Koefisien Determinasi)

Koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dapat menjelaskan variasi variabel dependen. Dalam pengujian hipotesis pertama koefisien determinasi dilihat dari besarnya nilai R Square (R2) untuk mengetahui seberapa jauh variabel bebas yaitu Pengalaman, Independensi dan Skeptisme Profesional Audit terhadap Pendeteksian Kecurangan. Nilai R2 mempunyai interval antara 0 sampai 1 (0 ≤ R2 ≤1). Jika nilai R2 bernilai besar (mendekati 1) berarti variabel bebas dapat memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen. Sedangkan jika R2 bernilai kecil berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel dependen sangat terbatas (Ghozali, 2009:87).

Dalam pengujian hipotesis kedua koefisien determinasi dilihat dari besarnya nilai Adjusted R-Square. Kelemahannya mendasar pada penggunaan R2 adalah bias terhadap jumlah variabel bebas yang dimasukan ke dalam  model. Setiap tambahan satu variabel bebas maka R2 pasti meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat. Tidak seperti R2, nilai Adjusted R-square dapat naik atau turun apabila satu variabel independen ditambahkan ke dalam model (Ghozali, 2009:87).

Operasional Variabel Penelitian

Variabel Bebas (Variabel Independen)

Variabel bebas adalah variabel yang             menjelaskan atau mempengaruhi variabel lainnya. Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari:

Pengalaman

Dampak pengalaman dalam kompleksitas tugas, tugas spesifik dan gaya pengambilan keputusan, memberikan kesimpulan bahwa kompleksitas tugas merupakan faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pertambahan pengalaman. Auditor junior biasanya memperoleh pengetahuan dan pengalamannya terbatas dari buku sedangkan auditor senior mengembangkan pengetahuan dan pengalaman lewat pelatihan dan pengembangan lebih lanjut dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan (Asih, 2006:22). Pengalaman kerja dapat memperdalam dan memperluas kemampuan kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama, semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Indepedensi

Independensi merupakan salah satu ciri paling penting yang harus dimiliki oleh profesi akuntan publik, karena banyak pihak yang menggantungkan kepercayaannya kepada kebenaran laporan keuangan berdasarkan laporan auditor yang dibuat oleh akuntan publik. Akuntan publik harus bersikap indpenden jika melaksanakan praktik publik (public pratice). Pratik publik adalah aktivitas profesi akuntan publik yang mempengaruhi publik (Suryaningtias, 2007:35).

Menurut Sawyer (2006:35) terdapat 3 mengenai independensi, yaitu: independensi dalam verifikasi, independensi dalam program audit, dan independensi dalam pelaporan yang dapat diperuntukkan bagi akuntan publik atau auditor eksternal, tetapi konsep yang sama dapat diterapkan untuk auditor internal dalam bersikap objektif.

Independensi akuntan publik dapat dibagi ke dalam 3 aspek yaitu:

Program Independen

Laporan audit akan mempunyai sedikit nilai jika didukung oleh suatu penyelidikan secara seksama. Suatu penyelidikan sesama mungkin tidak akan diminati oleh direktur. Sekalipun mereka tidak mempunyai apapun untuk disembunyikan, para direktur dapat mengurangi fee audit atau menerbitkan laporan keuangan dengan cepat setelah tahun berakhir dan hal seperti itu mungkin saja terjadi.

Independen investigasi (verifikasi)

Program independen melindungi kemampuan auditor untuk memilih strategi yang paling sesduai untuk hasil audit mereka dalam bekerja. Sedangkan investigasi independen melindungi cara dimana mereka menerapkan strategi ini. 

Laporan Independen

Jika para direktur berusaha untuk menyesatkan pemegang saham dengan memberitahukan informasi akuntansi yang salah atau tidak sempurna, mereka pasti mencegah auditor dari perbuatannya terhadap publik. Ketika independen auditor menjadi rumit, tentu banyak kesalahpahaman yang terjadi dalam hubungan seperti penafsiran suatu standar akuntansi atau suatu perkiraan atau seperti suatu ketetapan untuk hutang yang tidak terbayar. Skeptisme Profesional Auditor

Menurut Waluyo (2008:7) menyatakan bahwa auditor menerapkan sikap skeptisme profesional pada saat mengajukan pertanyaan dan menjalankan prosedur audit, dengan tidak cepat puas dengan bukti audit yang kurang persuasive yang hanya didasarkan pada kepercayaan bahwa manajemen dan pihak terkait selalu memiliki pikiran kritis, professional, bersikap jujur dan memunyai sikap percaya diri.

Skeptisme profesional auditor merupakan sikap (attitude) auditor dalam melakukan penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit, karena bukti audit dikumpulkan dan dinilai selama proses audit, maka skeptisme profesional harus digunakan selama proses audit, maka skeptisme profesional harus digunakan selama proses tersebut. Skeptisme profesional auditor akan mengarahkannya untuk menanyakan  setiap isyarat yang menunjukkan kemungkinan terjadinya fraud (Waluyo, 2008:24).

Variabel Terikat (Dependent Variabel)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau tergantung pada faktor-faktor lain dan variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pendeteksian kecurangan. Deteksi kecurangan mencakup identifikasi indikator-indikator kecurangan (fraud indicators) yang memerlukan tindak lanjut oleh auditor untuk melakukan investigasi.

Empat faktor yang teridentifikasi yang menjadikan pendeteksian kecurangan menjadi sulit dilakukan sehingga auditor gagal dalam usaha mendeteksi. Faktor-faktor penyebabnya yaitu:

a.         Karakteristik terjadinya kecurangan

b.         Standar pengauditan (SPI) mengenai pendeteksian kecurangan

c.         Lingkungan pekerjaan audit yang mengurangi kualitas audit

d.         Metode dan prosedur audit yang tidak efektif dalam pendeteksian kecurangan.

Daftar pustaka

Ikatan Akuntan Indonesia. Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2001

William F. Messier, dan Margareth Boh. (2003). Auditing and Assurance: A Systematic Approach (3th edition). USA : McGraw-Hill.

Boyton, W.C., R.J.Johnson and W.G. Kell,. (2001). Modern Auditing (7th edition). New York : John Wiley & Sons,Inc.

Farmer, T.A, L.E. Rittenberg dan G.M. Trompeter. 1987. An investigation of the impact of economic and organizational factors on auditors independence. Auditing: A Journal of Practice and Theory 7 (Fall): 1-14.

Gusnardi. 2003. Analisis Perbandingan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Judgment Penetapan Risiko Audit oleh Auditor yang Berpengalaman dan Auditor yang Belum Berpengalaman. Tesis. Bandung : Universitas Padjadjaran. (Tidak Dipublikasikan)

Puspa A, Enggar Diah. 2006. Pengaruh Persuasi atas Preferensi Klien dan Pengalaman Audit Terhadap Pertimbangan Auditor dalam Mengevaluasi Bukti Audit. Tesis Bandung : Universitas Padjadjaran. (Tidak Dipublikasikan)

Shelton, S. W. 1999. The Effect of Experience on the Use of Irrelevant Evidence in Auditor Judgment. The Accounting Review. Vol.74. No. 2. April: 217 – 224.

Haynes, C. M., J. G. Jenkins and S. R. Nutt. 1998. “The Relationship between Client Advocacy and Audit Experience: An Exploratory Analysis”. Auditing: A Journal of Practice & Theory. Vol.17 (2) Fall : 88 – 104.

Ruchjat Kosasih, 2000, Akuntan Publik Tidak Independen Bila Terlalu Lama Menjadi Auditor Suatu Entitas ?, Juni, Media Akuntansi, pp. 47 – 48

Supriyono. (1988). Pemeriksaan Akuntan (Auditing). Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Shaub, K. Michael dan Jenice E. Lawrence. 1996. “Ethics Experience and Professional Scepticism: A Situational Analysis”. Behavioral Research In Accounting Vol 8, 124-157.

Kee, H.W. dan R.E. Knox. 1976. “Conceptual and Metoda Logical Considerations in The Study of Trust and Suspicion”. Journal of Conflict Resolution 14, hal 357-366.

Quadackers, L. et al., 2009, “Auditors’ Skeptical Characteristic and Their Relationship”, Amsterdam: VUUniversity

Hurtt, R. Kathy, Martha Eining, dan David Plumlee. (2003). Professional Skepticism: A Model with Implications for Research, Practice, and Education. Working Paper. Universit of Wisconsin.

Financial Reporting Council. (2010). Auditor Scepticism: Raising the Bar. Discussion Paper. The Auditing Practice Board.

Yulius Jogi Christiawan. 2002. Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik : Refleksi Hasil Penelitian Empiris. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 4 No. 79-92

Asih, Dwi Annaning Tyas, 2006. “Pengaruh Pengalaman Terhadap Peningkatan Keahlian Auditor Dalam Bidang Auditing”. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta,.

Beasley, M.S., Carcello, J.V., and Hermanson, D.R. (2001). “Top 10 Audit Deficiencies”. Journal of Accountancy.

 Ghozali, Imam, 2009.”Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS”, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang.

  Herman, Edy, 2009. “Pengaruh Pengalaman dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan”, Universitas Islam Negeri, Jakarta.

 Ikatan Akuntan Indonesia 2001. Standar Auditing Seksi 316 : “Pertimbangan atas Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan”. Standar Profesional Akuntan Publik. IAI-KAP. Jakarta : Salemba – Empat.

Mulyadi. “Auditing”. Edisi Enam; cetakan kesatu. Salemba Empat, Jakarta, 2002.

Sawyer, B, Lawrence, 2006. Dittenhofer A, Mortimer., dan Scheiner H, James.

“Internal Auditing”. Buku 1. Jakarta: Salemba Empat.

Setyaningrum, 2010. “Pengaruh Independensi Dan Kompetensi Auditor Terhadap Tanggung Jawab Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan Dan Kekeliruan Laporan Keuangan”, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Surabaya, 

Suryaningtiyas, “Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Independensi Akuntan

Publik”, Fakultas Ekonomi Widyatama, Jakarta, 2007

Taufik, Muchammad. “Pengaruh Pengalaman Kerja dan pendidikan Profesional Auditor Internal terhadap Kemampuan Mendeteksi Fraud”. FEIS UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 2008.

Waluyo, Agung “Skeptisme    professional auditor dalam    pendeteksian kecurangan”, Junal 2005.

http://ilmuakuntansi.web.id/pengertian-auditing-menurut-ahli/ 

http://journal.ui.ac.id/index.php/jaki/article/viewFile/2886/2266

http://e-journal.uajy.ac.id/4867/1/karya%20ilmiah%20andi.pdf

PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALIAS AUDIT PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK (KAP) DI MALANG

IAN PRADIPTA WIJAYA & DANIEL SUGAMA STEPHANUS

MAKALAH MATE KULIAH METODOLOGI PENELITIAN

PROGRAM STUDI AKUNTANSIFAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUPATEN MALANG

2014

ABSTRAK

Akuntan publik merupakan auditor independen yang menyediakan jasa kepada masyarakat umum terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Tugas akuntan publik adalah memeriksa dan memberikan opini terhadap kewajaran laporan keuangan suatu entitas usaha berdasarkan standar yang telah ditentukan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Berdasarkan hal tersebut maka akuntan publik memiliki kewajiban menjaga kualitas audit yang dihasilkannya. Terlebih dengan adanya kasus keuangan yang menimpa banyak perusahaan yang ikut melibatkan akuntan publik, membuat akuntan publik harus memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya. Karena dalam kualitas audit yang baik akan dihasilkan laporan auditan yang mampu menyajikan temuan dan melaporkan dengan sesungguhnya tentang kondisi keuangan kliennya. Adapun kualitas audit, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor-faktor yang sangat penting peranannya dalam menentukan kualitas audit tersebut diantaranya adalah kompetensi dan independensi. Oleh karena itu maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah : (1)Apakah kompetensi dan independensi secara simultan mempunyai pengaruh terhadap kualitas audit. (2)Apakah kompetensi dan independensi secara parsial mempunyai pengaruh terhadap kualitas audit.

Penelitian ini menggunakan Sampel Auditor yang berada di wilayah Kota Malang. karena tidak semua KAP mau diberikan kuisioner maka peneliti menggunakan sampel auditor yang berada di Kota Malang. Penelitian ini diharapkan mampu melihat pengaruh Independensi dan Kompetensi seorang auditor terhadap Kualitas Audit di kota Malang.

Kata-kata kunci: Kompetensi, Indepensi, Auditor Independen, Kantor Akuntan Publik

1.  PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Hal ini didasari oleh pekerjaan auditor sendiri yang mana pekerjaan tersebut menuntut independensi dan kejujuran dari dalam diri seorang auditor. Dari profesi akuntan publik, masyarakat mengharapkan penilaian bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang telah disajikan oleh manajemen perusahaan         dalam laporan keuangan (Mulyadi dan Puradiredja,1998). Profesi akuntan publik ini bertanggung jawab dalam menaikan dan menilai kelayakan dari laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen perusahaan. Sehingga masyarakat memperoleh keandalan mengenai informasi dalam laporan keuangan guna mengambil keputusan.

Guna menunjang profesionalismenya sebagai seorang auditor, IAI ( ikatan Akuntan Indonesia)  menetapkan sebuah pedoman bagi seorang auditor, yakni standar umum, standar pekerjaan lapangan dan stnadar pelaporan. Pedoman inilah yang harus ditaati dan diikuti oleh seorang auditor guna menunjang profesionalismenya.

Selain standar audit yang telah ditetapka dan telah dibuat, seorang auditor juga harus mentaati kode etik profesi yang mana kode etik ini mengatur mengenai perilaku akuntan publik atau auditor dalam menjalankan praktik profesinya baik didalam masyarakat umum maupun dengan sesama anggota audit. Kode etik ini mengatur berbagai hal mengenai tanggung jawab profesi, kerahasiaan, perilaku profesionalitas serta standart teknis bagi seorang auditor dalam menjalankan tugasnya.

Akuntan publik atau auditor independen yang mengaudit perusahaan klien memiliki posisi strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan perusahaan klien yakni ketika akuntan publik mengembang tugas dan tanggung jawab dari manajemen untuk mengaudit laporan keuangan yang diaudit. Karena perusahaan ingin laporan keuangannya tampak lebih baik oleh pihak luar agar kinerja manajemen tampak baik di mata pihak luar.

Kepercayaan yang diterima dari pemakai laporan keuangan auditan dan jasa lain yang ditawarkan oleh perusahaan audit maka auditor harus meningkatkan kualita audit yang dihasilkan. Skandal dalam negri yang terjadi pada 1998 yang terjadi pada 10 kantor akuntan publik yang diindikasi melakukan pelanggaran berat saat mengaudit bank bank yang dilikuidasi. Selain itu terdapat kasus keuangan dan manajerial perusahaan publik yang tidak bisa terdeteksi oleh akuntan publik yang menyebabkan persusahaan didenda oleh Barpepam (Winarto, 2002 dalam Christiawan 2003).

Karena banyaknya terjadi skandal keuangan, memunculkan pertanyaan pertanyaan mengenai kemampuan auditor dalam mendeteksi trik trik rekayasa atau apakah rekaya tersebut telah diketaui auditor namun auditor ikut menutupi rekayasa tersebut. seperti yang terjadi pada kasus Enron, Andersen, Xerox, WorldCom, Tyco, Global Crossing, Adelphia dan Walt Disney (Sunarsip 2002 dalam Christiawan 2003). Oleh sebab itu perlu adanya independensi auditor. Terkait kondisi tersebut, muncul pertanyaan seberapa tinggi tingkat kompetensi dan independensi auditor saat ini dan apakah komptensi dan independensi auditor tersebut mempengaruhi hasil audit yang dihasilkan oleh auntan publik.

Kualitas audit ini sangant penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. Selain itu muncul kekhawatiran akan merebaknya skandal keuangan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan keuangan auditan yang telah dibuat dan profesi akuntan publik.

AAA Financial Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2002) menyatakan bahwa kualitas audit ditentukan oleh kompetensi dan kualitas audit. Dimana ke dua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit. Kemungkinan dimana seorang auditor menemukan kesalahan saji tergantung pada kompetensi auditor. Sedangkan pada saat menemukan salah saji tersebut, kemungkinan auditor melaporkan kesalahan tersebut tergantung pada independensi auditor. Sehingga kedua hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas audit.

Adapun Kusharyanti (2003:3) mengatakan bahwa untuk melakukan

tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum

dan khusus), pengetahuan mengenai bidang auditing dan akuntansi serta

memahami industri klien.

Penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti (2003:26) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Kemudian Tubbs (1990) dalam artikel yang sama berhasil menunjukkan bahwa semakin berpengalamannya auditor, mereka semakin peka dengan kesalahan penyajian laporan keuangan dan semakin memahami hal-hal yang terkait dengan kesalahan yang ditemukan tersebut. sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor dapat dibentuk melalui pengetahuan dan pengalaman.

Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap auditor, maka kantor auditor sendiri perlu di audit oleh sesama auditor demi menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai stadar kualitas yang tinggi.

Penelitian mengenai kualitas audit penting bagi KAP dan auditor agar

mereka dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit

dan selanjutnya dapat meningkatkannya kualitas audit yang dihasilkannya.

Bagi pemakai jasa audit, penelitian ini penting yakni untuk menilai

sejauh mana akuntan publik dapat konsisten dalam menjaga kualitas jasa

audit yang diberikannya.

Atas dasar latar belakang di atas, maka peneliti mengangkat judul

“Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit Pada Kantor Akuntan Publik di Malang”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Apakah kompetensi dan independensi auditor

berpengaruh terhadap kualitas audit secara simultan dan parsial?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan bukti

empiris bahwa kompetensi dan independensi auditor berpengaruh terhadap

kualitas audit baik secara simultan maupun parsial.

1.4 Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yakni:

1.Manfaat bagi mahasiswa

Dapat mengetahui pentingnya kompetensi dan independensi bagi seorang auditor

2. Manfaat bagi KAP

Dengan adanya penelitian tersebut, diharapkan hasil dari peneltian tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam peningkatan independensi dan kompetensi auditornya.

3. Manfaat bagi universitas

Sebagai media pengetahuan dan pengembangan mengenai kompetensi dan independensi bagi seorang auditor

4. Manfaat bagi masyarakat

Dapat dijadikan acuan mengenai pentingnya suatu independensi dan kempetensi bagi seorang auditor.

2.  LANDASAN TEORI

2.1 Kualitas Audit

Akuntan publik atau auditor independen dalam menjalankan tugasnya  harus memegang prinsip profesi.  Menurt simamora (2002) terdapat 8 prinsip yang dipatuhi akuntan publik yakni:

1. Tanggung jawab profesi.

Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukan.

2. Kepentingan publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publk dan menghormati kepercayaan publik serta menunjukan komitmen atau profesionalisme  

3. Objektivitas

Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalismenya.

4. kompetensi dab kehati hatian profesional

Setiap anggota harus melakukan jasa profeionalisnya dengan hati hati, kompetensi dan ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan pengetahuan dan ketrapilan profesional.

5. Integritas

Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin

6. Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan

7. Kerahasiaan

Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan.

8. Perilaku profesional

Setiap anggota harus berprilaku yang konsisten dengan repurtasi profesi yang baik dan menjahui tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.

Selain 8 prinsip yang harus dipatuhi oleh seorang audit. Akuntan publik juga harus berpedoman terhadap Standar yang telah ditetapkan yakni Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang telah ditetapkan oleh Ikantan Akuntan Indonesia (IAI). Standar tersebut terdiri dari Standar umum, Standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan (SPAP, 2001; 150:1):

1. Standar Umum

Audit harus dilaksanakan oeh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang mencukupi sebagai seorang auditor.

Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertimbangkan oleh auditor.

Dalam pelaksanaan dan penyususnan laporan audit, auditor wajib menggunakan kemahiran profesinalnya dengan cermat dan seksama.

2. Standar Pekerjaan Lapangan

Pekerjaan harus direncanakan sebaik baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya

Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian inten harus dapat diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat lingkup pengujian yang akan dilakukan.

Bukti audit kompeten yang cukup harus dapat melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan, pertanyaan dan konfrimasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keunagan audit.

3. Standar pelaporan.

Laporan audior harus menyatakan apakan laporan keuangan teah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Laporan auditor harus menunjukan atau menyatakan jika ada ketidak konsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya

Pengungkapan informatid dalam laporan keunagan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.

Laporan auditor harus memuat pernyataa pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluluhan atau suatu asersri.

Oleh sebab itu, seorang audit memiliki fungi untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manjer dan para pemegang saham dengan menggunakna pihak luar sebagai pemberi pengesahan terhadap laporan keungan. Para pemegang saham dapat menggunakan laporan keunagan yang telah di audit sebagai dasar pengambilan keputusan. Oleh karena itu, auditor dituntut untuk dapat memberikan laporan audit yang berkualitas sehingga dapat mengurangi ketidak selarasn yang teradi antara pihak majemen dan pemilik.

Moizer (1986) menyatakan bahwa pengukuran kualitas proses audit sendiri terpusat pada kinerja yang dilaukan  oleh auditor dan kepatuhan auditor terhadap stnadar yang telah ditetapkan tau digariskan. IAI sendiri menyatakan bahwa audit yang dilakukan oleh auditor dikatakan berkualitas bila memenuhi standar auditing dan standar pnegendalian mutu.

AAA Financial Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2002) menyatakan bahwa ;

“Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yitu kompetensi dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualita audit. Lebih lanjutm persepsi penggunaan laporan keunganan atas kualitas audit merupakan fungi dari persepsi atas independensi dan keahlian auditor”

Maka dari pendapat diatas, terlihat bahwa audit dituntut oleh pihak yang berempentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen dan untuk menjalankan kewajiban, auditor harus memiliki kompetensi, independensi, dan due profesional care. Tetapi dalam fungsinya, auditor sendiri sering mengalami konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Dimana manajemen inin operaso perusahaan atau kinerjanya tampak baik dimata pemegang saham dengan menggambarkan laba yang tinggi dengan maksud agar mendapatkan penghargaan.

Berbagai penelitian tentang kualitas audit yang perna dilakukan salah satunya adalah oleh Deis dan Gitoux(1992) mereka meneliti faktir penentu kualitas audit di sektor publik dengan menggunakan sampel KAP yang mengaudit intuisi sektor publik. Hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa hubungan dengan klien (audit tenure), jumlah klien, telaah dari rekan auditor (peer review), ukuran dan kesehatan keuangan klien serta jam kerja audit secara signifikan berhubungan dengan kualitas audit. Faktor penentu kualitas audit yang lain adalah pendidikan, struktur audit kemampuan pengawas, profesionalisme dan beban kerja.

2.2 Kompetensi

Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalitasnya dengan cermat dan seksama.

Lee dan Stone (1995), mendefinissikan kompetensi sebagai keahlian yang cukup yang secara eksplisit dapat digunakan uuntuk melakukan audit secara objektif. Pendapat lain adalah dari Dreyfus (1986), yang mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian seseorang yang berperan secara berkelanjutan di pergerakannya yang melalui proses pemberlajaran, dari “mengetahui sesuatu”  menjadi “mengetahui bagaimana”. Seperti misalnya dari sekedar pegetahuan yang tergantung pada aturan tertenntu kepada suatu pernyataan yang bersifat intitusif.

Keahlian atau kompetensi diartikan sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukan dalam pengalaman audit Bedard(1986) dalam Sri Lastanti (2005:88). Berdasarkan uraia tersebut, dapat dikatakan bahwa kompetensi auditor adalah auditor yang berpengetahuan dan berpengalaman yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.

2.2.1 Pengetahuan

SPAP 2001 mengenai standar umum, menjelasan bahwa ketika melakukan audit, seorang auditor harus memiliki keahlian dan pengetahuan yang cukup. Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seseorang karena dengan demikian auditor akan mempunya banyak pehetahuan mengenai bidang yang digelutinya. Sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih seksama. Selain itu auditor juga akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang makin kompleks (Meinhard, 1987 dalam Harhinto, 2004:35).

Harhinto (2004) menemukan bahwa pengetahuan keahlian seorang audit pada gilirannya akan menentukan kualitas audit. Secara umum menurut kushayanto (2003) terdapat 5 pengetahuan yang haru dimiliki auditor, yakni:  pengetahuan pengauditan umum, pengetahuan mengenai isu akuntansi yang baru, pengetahuan area fungsional, pengetahuan mengenai bisnis umum serta pengetahuan penyelesaian masalah, pengetahuan mengenai industri khusus.

Sedangkan menutur Murtanto dan Gundono, (1999) terdapta 2 pandangan mengenau keahlian, yakno pangdangan perilaku terhadap keahlian yang didasarkan paradigma einhorn.  Pandangan ini bertujuan untuk menggunakan lebih banyak kriteria objektif dalam mendefinisikan seorang ahli. Yang kedua yakni pandangan kognitif mengenai keahlian dari sudut pandang pengerahuan. Dimana pengetahuan diperoleh melalui pengalaman langsung (pertimbangan yang dibuat dimasa lalu dan umpan balik terhadap kinerja) dan pengalaman tidak langsung (pendidikan).

2.2.2 Pengalaman

Seorang audit dituntut untuk memiliki keahlian dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian seorang audit tidak dipengaruhi oleh pendidikan formal, tetapi banyak dipengaruhi oleh faktor lain diantaranya adalah pengalaman. Auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal mendeteksi kesalahan dan memahamu kesalahan secara akurat.

2.3 Independensi

Independen berarti seorang auditor tidak mudah dipengaruhi. Seorang akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik berkewajiban untuk jujur dan tidak hanya jujur terhadap manajemen dan terhadap pemilik perusahaan, namun juga terhadap piak lain yang memberikan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik tersebut (Chrisstiawan, 2002).

Independensi sendiri adlah sikap yang diharapkan oleh seorang akuntan publik atau auditor, dimana seorang auditor diharapkan tidak emmpunya kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prisip integritas dan objekrivitas. Hal tersebut tertuang dalam kode etik auditor.

Penelitian terdahulu mengenai independensi telah dilakukan oleh Shockley (1981) dimana terdapat 4 faktor yang mempengaruhi independensi yakni: (1.) Persaingan antar akuntan publik, (2.) Pemberian jasa konsultan manajemen kepada klien (3.) Ukuran KAP, dan (4.) Lamanya hubungan audit.

2.3.1 Lama Hubungan Dengan Klien (Audit Tenure)

Di Indonesia sendirim masa kerja auditor telah diatur dalam keputusan mentri No.423/KMK.06/2002 tentang jasa akunan publik. Keputusan mentri tersebut membatasi masa kerja auditor dengan klien paling lama adalah 3 tahun untuk klien yang sama. Sementasa untuk Kantor Akuntan Publik diperbolehkan sampai 5 tahun lamanya. Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien, sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntasi. Penugasan audit yang terlalu lama dapat mengurangi independensi seoran auditor. Karena auditor merasa puas, kurang inovasi dan kurang ketat dalam menjalankan prosedur audit. Sebaliknya penugasan audit yang lama dapat pula meningkatkan independesi karena akuntan publik sudah familiar, pekerjaan dapat dilaksanakan dengan efisiendan lebih tahan terhadap tekanan klien (Supriyono, 1988)

2.3.2 Tekanan Dari Klien

Saat melakukan tugasnya, auditor sering kali mengalami konflk kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen ingin operasi perusahaan dan kinerjaya tampak berhasil  melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud menciptakan suatu penghargaan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tak jarang manajemen perusahaan melakukan tekanan terhadap auditor agar laporan keuangan auditan sesuai dengan keinginan klien. Pada saat tersebut, auditor megalami konflik pribadi, dimana bila menuruti manajemen, maka hal tersebut tentunya melanggar standar profesi. Sedangkan bila tidak menuruti manajemen, maka klien dapat menghentikan penugasan atau mengganti KAP auditornya.

Selain itu tekanan dari kantor akuntan yang lain (KAP) semakin besar, dimana KAP semakin bertambah sedangkan pertumbuhan perusahaan tidak sebanding dengan pertumbuhan KAP. Terlebih mulai banyaknya perusahaan yang melakukan merjer atau akuisi akibat adanya krisis ekonomi. Sehinga KAP akan semakin sulit untuk mendapatkan klien baru dan enggan melepas klien yang sudah ada.

Harianto (2004) menemukan bahwa klien yang mempunyai kondisi keuangan yang kuat dapat memberikanfee audit yang cukup besar dan dapat memberikan fasilitas yang baik bagi auditor. Dan probabilitas terhadi kebangkrutan klien yang mempunyai keunagan yang baik cenderung kecil.  Pada kondisi tersebut menyebabkan seorang auditor merasa puas diri dan uran teliti dalam melakukan tugas auditnya.

Untuk memenuhi kualitas audit yang baik, maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa laporan keungan harus berpedoman pada kode etik, stndar profesi, dan standar akuntansi keunagan yang berlaku di Indonesia. Setiap auditor harus mempertahankan integritas dan objektivitasnya dalam menjalankan tugas dengan bertindak jujur, tegas, tanpa pretensi sehingga dapat bertindak adilm tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan ihak tertentu untuk memnuhi kepentingan pribadinya.

2.3.3 Telaah dari Rekan Auditor (Peer Review)

Tuntutan pada profesi auditor untuk memberikan jasa yang berkualitas menuntut transparansi informasi mengenai pekerjaan dan operasi kantor akuntan publik. Kejelasan mengenai informasi adanya sistem pengendalian yang berkualitas dan sesuai dengan standar profesi merupak salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap klien dan masyarakat luas mengenai jasa yang diberikan.

Oleh karena hal ium pekerjaan akuntan pubik dan operasi akuntan publik perlu di audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang lain. Adanya monitor atau audit ini guna melihat keayakan desain sistem pengendalia kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapart mencapai kualitas audit yang tinggi. Peer review ini sebagai mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor ini dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit.

2.3.4 Jasa Non Audit

Jasa yang diberikan oleh KAP ini tidak hanya jasa atestasi saja melainkan juga jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa lain seperti penyusunan laporan keuangan (Kusharyanti 2002). Adanya dua jenis jasa yang diberikan oleh suatu KAP menjadikan independensi auditor terhadap kliennya dipertanyakan dan akan mempengaruhi kualitas audit sendiri.

Pemberian jasa selain audit merupakan ancaman potensial bagi independensi auditor, kerena manajemen akan meningkarkan tekanan pada auditor agar bersedia mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh manajemen sendiri, yakni opini wajar tanpa pengecualian (Harhinto, 2004). Jika saat pengujian laporan keuangan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang diberikan auditor tersebut. kemudian auditor tidak mau repurtasinya menjadi buruk karena memberkan alternatif yang salah bagi kliennya. Maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas dari auditor tersebut.

2.4 Kerangka Teoritis

Salah satu fungsi akuntan publik adalah untuk menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya untuk pengambilan keuputusan. Namun sering kali adanya konflik kepentingan antara pihak internal dan ekseternal perusahaan menuntut aditor untuk menghasilkan laporan auditan yang berkualitas supaya dapat digunakan oleh pihak pihak tersebut.

Dalam melaksanakan proses audit, auditor membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang baik karena dengan kedua hal tersebut auditor mampu memahami kondisi keuangan dan laporan keunagan kliennya. Kemudian dengan sikap independensi yang dimiliki auditor, maka ia dapat melaporkan dalam laporan auditan jika terjadi pelanggaran dalam laporan keuangan kliennya. Sehingga kompetensi dan independensi memiliki pengaruh dalam menghasilkan laporan audit yang berkualitas baik proses maupun hasilnya.

2.5 Hipotesis

Hipotesis yang dibuat oleh peneliti yakni

H1 Ada pengatuh secara parsial antara kompetensi dan Independensi auditor terhadap kualitas audit.

H2 Ada pengaruh secara simltan antara kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas audit.

Kedua hipotesis diatas didasarkan pada perkiraan sementara peneliti yang menyatakan bahwa apabila tingkat kompetensi dan independensi tinggi, maka di duga bahwa tingkat kualitas audit akan meningkat, begitupun sebaliknya jika tingkat kompetensi dan independensi auditor menurun maka kualitas audit akan turun.

3.  METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Menurut Robert Donmoyer (dalam Given, 2008) penelitian kuantitatif adalah pendekatan pendekatan terhadap kajian empiris untuk mengumpulkan, menganalisa, dan menampilkan data dalam bentuk numerik dibanding naratif. Sedangkan menurut Cooper & Schindler (2006), Penelitian kuantitatif adalah riset yang mencoba melakukan pengukuran akurat mengenai sesuatu.

Penelitian kuantitatif sering dipandang sebagai antitesis atau lawan dari penelitian kualitatif, walau sebenarnya pembedaan kualitatif-kuantitatif tersebut agak menyesatkan. Donmoyer beralasan, banyak peneliti kuantitatif tertarik mempelajari aspek-aspek kualitatif dari fenomena. Mereka melakukan kuantifikasi gradasi kualitas menjadi skala-skala numerik yang memungkinkan analisis statistik.

3.2 Populasi Dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian. Populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi auditor yang bekerja di KAP yang terdapat di kota Malang.

Sedangkan untuk sampel penelitian, peneliti menggunakan auditor di 8 KAP yang ada di kota Malang. karena dari beberapa penelitian sebelumnya, tidaksemua KAP mau menerima kuisioner yang telah dibuat dan mau mengisinya.

3.3 Data Penelitian

3.3.1 Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel independen, yakni Kompetensi Auditor sebagai variabel X1 dan Independensi Auditor sebagai X2. Sedangkan untuk variabel dependen adalah Kualitas Audit sebagai Y.

Kompetensi Auditor (X1) adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalamannya yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.

Independensi (X2) adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak memunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prisip integritras dan objektivitas

Sedangkan untuk cariabel dependen yakni kualitas audit (Y) adalahh segala kemungkinan (probabiliy) dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan meaporkannya dalam laporan keunagan auditan, diman dalam melaksanakan tugasnya auditor berpedoman pada standar audit dan kode etik akuntan publik yang relvan dan berlaku di Indonesia.

3.3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan yakni tinjauan lapangan, dimana peneliti terjun langsung kelapangan dan membagikan kuisioner kepada auditor yang berada di kota malang dan diharapkan memperoleh data langsung di lapangan melalui kuisioner yang dibagikan

Peneliti juga menggunakan metode dokumentasi, dimana penelitian ini mempelajari literatur dan buku buku serta relevansi yang relevan dengan permasalahan yang dikaji untuk mendapatkan kejelasan konsep dalam upaya penyusunan landasan teori yang berguna dalam pembahasan penelitian.

3.3.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yakni :

1. Data primer

Data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2006). Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Indriantoro dan Bambang Supeno (1999) yang mengatakan bahwa daa primer meruakan data yang diperoleh langsung dari sumber atau tempat penelitian dilakukan secara langsung. Data primer ini diperoleh dari kuesioner yang dibagikan kepada responden, yakni auditor yang berada di KAP kota Malang.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara (Indriantoro dan Bambang Supeno (1999). Sebagai penelitian empiris atau pendukung penelitian, maka peneliti menggunakan sumber data yang berasal dari artikel, jurnal, dan penelitian terdahulu yang terkait.

3.4 Instrumen Penelitian

Konesep penelitian meliputi konsep kompetensi dan independesi sebagai ariabel bebas, dimana kompetensi diproksikan menjadi 2 sub variabel yakni pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan independensi diproksikan menjadi 4 sub variabel yakni tekanan dar klien, lama hubungan dengan klien, telaah dari auditor lain, dan jasa non audit. Dan variabel terikatnya adalah kualitas audit.

Konsep tersebut diukur dengan memberikan skor untuk tiap jawaban yang diberikan responden melalui kuisioner terututup. Adapun untuk pemberian skornya telah ditetapkan. Berikut tabel penilaian atau skor alternatif dari setiap pernyataan yang diberilkan dan akan digunakan dalam penelitian.

Jenis PernyataanJenis JawabanSkor
PositifSangat Tidak Sesuai (STS)1
Tidak Sesuai (SS)2
Ragu-ragu (R)3
Sesuai (S)4
Sangat Sesuai (SS)5
NegatifSangat Tidak Sesuai (STS)1
Tidak Sesuai (SS)2
Ragu-ragu (R)3
Sesuai (S)4
Sangat Sesuai (SS)5

Bentuk pernyataan tersebut terbagi menjadi positif dan negati. Tabel berikut menyajikan mengenai keterangan setiap jenis pernyataan yang terdapat dalam instrumern

Variabel PenelitianSub Variabel PenelitianJenis PernyataanNomer Pernyataan
Kompetensi1. Pengetahuanpositif1,3,4,6
negatif2,5
2. Pengalamanpositif7,8,10
negatif9
Independensi3. Lama Hubungan dengan klienpositif1,2
negatif3
4. Tekanan dari Klienpositif5
negatif4,6,7,8,9,
5. Telaah dari rekan Auditpositif
negatif10,11
6. Jasa non auditpositif12,14
negatif13
Kualitas auditpositif2,3,4,5,6
negatif1

3.5 Model dan Teknik Analisis Data

3.5.1 Model Analisis Data

Model analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda (Multiple Linear Regression Analysis). Purbayu (2005) mengemukakan bahwa korelasi berganda adalah hubungan dari beberapa variabel independen dengan satu variabel dependen. Jika suatu variabel dependen bergantung pada lebih dari satu variabel independen, hubungan kedua variabel tersebut disebut analisis regresi berganda (Wahid Sulaiman, 2004)

Persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut :

Y =α + β1X1 + β2X2 + e

Keterangan :   Y : Kualitas Audit.

X1 : Kompetensi Auditor.

X2 : Independensi Auditor.

α : Konstanta.

β : Koefisien Regresi.

e : Error.

3.5.2 Teknik Analisis Data

3.5.2.1 Uji Kualitas Data

Komitemen pengukuran dan pengujian suatu kuesioner atau hipotesis sangat bergantung pada kualitas data yang dipakai dalam pengujian tersebut. data penelitian tidak berguna bila instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data tidak memiliki reabilitas (tingkat keandalan) dan validity (tingkat kebenaran). Pengujian pengujuran tersebut masing masung menunjukan konsisternsi dan akurasi data yang dikumpulkan. Pengujian ini menggunakan SPSS (Statistical Product and Service Solituon)

a. Uji Validitas

Validitas adalah ukuran yang meunjukan sejauh mana instrumen pengukuran tersebut mampu mengukur apa yang ingin diukur oleh penguji (Purbaya, 2005). Uji ini dotunjukan guna mengukut seberapa nyata suatu pengujian atau instrument. Dikatakan valid bila mengukur tujuannya dengan nyata dan benar.

Pengujian validitas data dilakukan secara statistik dengan menghitung korelasi antara masing masing pertanayaan dengan skor total. Data dikatakan valid bila r-hitung yang merupakan nilai dari Corrected Item-Total Correlation > dari r-tabel pada signifikansi 5% (0,05)

b. Uji Realinilitas

Realibilitas adalah ukuran yang menunjukan konsistensi dari alat ukur dalam mengukur gejala yang sama di lain kesempatan. Reliabilitas variabel yang dibentuk dari daftar pertanyaan dikatakan baik jika memiliki nilai Cronbach’s Alpha < dari 0,60

3.6.2.2 Uji Asumsi Klasik

Untuk memperoleh nilai yang tidak bias, maka model regresi harus memenuhi beberapa asumsi yang disebut asusmsi kelasik. Asumsi kelasi tersbeut yakni:

a.Uji Normalitas

Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel dependen dan independen keduanya terdistribusi normal atau tidak (Goazli, 2005). Model regresi yang baik adalah yang memiliki data normal atau mendekati normal.

Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan SPSS untuk pengujian terhadap tiap bariabel. Untuk mendeteksi normalitas suati data, data dikatakan normal bila jika gambar distribusi dengan titik-titik data yang menyebar di sekitar garis diagonal, dan penyebaran titik-titik data searah mengikuti garis diagonal (Nugroho, 2005: 24 dalam Jimmy, 2007).

b. Multikolinearitas

Uji ini dimaksudkan untuk mendeteksi gejala korelasi antara variabel bebas yang  satu dengan variable bebas yanglain. Asumsi multikolinearitas menyatakan bahwa variabel independen harus terbebas dari gejala multikolinearitas. Gejala multikolinearitas adalah gejala korelasi antarvariabel independen. Gejala ini ditunjukkan dengan korelasi yang signifikan antarvariabel independen. Apabila

terjdi gejala multikolinearitas, salah satu langkah untuk memperbaiki model adalah dengan menghilangkan variabel dari model regresi, sehingga bisa dipilih model yang paling baik (Purbayu, 2005: 238). Wahid Sulaiman (2004: 89).

Uji Multikolinieritas dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan melihat VIF (Variance Inflation Factors) dan nilai tolerance.Jika VIF > 10 dan nilai tolerance < 0,10 maka tidak terjadi gejala Multikolinieritas (Ghozali, 2005:92).

c. Heterokedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamataan ke pengamatan yang lain tetap, atau disebut homoskedastisitas (Ghozali, 2005 :105). Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas, tidak heteroskedastisitas(Ghozali, 2005 :105). Salah satu uji untuk menguji heterokedastisitas ini adalah dengan melihat penyebaran dari varians residual (Purbayu, 2005: 242).

3.5.2.3 Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini akan diuji dengan menggunakan analisis regresi linear yaitu analisis yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kompetensi dan indepensi auditor sebagai variabel independen terhadap kualitas audit sebagai variabel dependen. untuk menguji hipotesis mengenai kompetensi dan indepensi

auditor secara simultan dan parsial berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, digunakan pengujian hipotesis secara simultan dengan uji F dan secara parsial dengan uji t. a. Uji Parsial (Uji t) Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh masingmasing variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji t dilakukan dengan membandingkan antara t hitung dengan t tabel. Untuk menentukan nilai t tabel ditentukan dengan tingkat signifikasi 5% dengan derajat kebebasan df = (n-k- 1) dimana n adalah jumlah responden dan k adalah jumlah variabel.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah :

Jika t hitung > t tabel (n-k-1) maka Ho ditolak

Jika thitung < ttabel (n-k-1) maka Ho diterima

Selain itu uji t tersebut dapat pula dilihat dari besarnya probabilitas value (p value) dibandingkan dengan 0,05 (Taraf signifikansi α = 5%). Adapun Kriteria pengujian yang digunakan adalah

Jika p value < 0,05 maka Ho ditolak

Jika p value > 0,05 maka Ho diterima

Utuk mengetahui seberapa besar prosentase sumbangan dari variabel independen X1,X2 secara parsial terhadap kualitas audit sebagai variabel dependen dapat dilihat dari besarnya koefisien determinasi (r2). Dimana r2 menjelaskan seberapa besar variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini mampu menjelaskan variabel dependen.

b. Uji Simultan (Uji F)

Uji F ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh secara bersama-sama (simultan) variable-variabel independen (bebas) terhadap variable dependen (terikat).Pembuktian dilakukan dengan cara membandingkan nilai Fhitung dengan Ftabel pada tingkat kepercayaan 95% dan derajat kebebasan (degree of freedom) df = (n-k-1) dimana n adalah jumlah responden dan k adalah jumlah variabel. Kriteria pengujian yang digunakan adalah :

Jika Fhitung> Ftabel (n-k-1) maka Ho ditolak

Arti secara statistik data yang digunakan membuktikan bahwa semua variabel independen (X1 dan X2) berpengaruh terhadap nilai variabel

( Y ) Jika Fhitung< Ftabel (n-k-1) maka Ho diterima

Arti secara statistik data yang digunakan membuktikan bahwa semua variabel independen (X1 dan X2) tidak berpengaruh terhadap nilai

variabel (Y). Selain itu uji F dapat pula dilihat dari besarnya

probabilitas value (p value) dibandingkan dengan 0,05 (Taraf signifikansi α = 5%). Adapun Kriteria pengujian yang digunakan adalah :

Jika p value < 0,05 maka Ho ditolak

Jika p value > 0,05 maka Ho diterima

Dengan tingkat signifikansi dalam penelitian ini menggunakan alpha 5% atau 0,05 maka hasil uji F dapat dihitung dengan bantuan program SPSS pada table ANOVA.

Selanjutnya untuk mengetahui seberapa besar prosentase sumbangan dari variabel independen X1,X2 secara bersama-sama terhadap kualitas audit sebagaivariabel dependen dapat dilihat dari besarnya koefisien determinasi (r2). Dimana r2 menjelaskan seberapa besar variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini mampu menjelaskan variabel dependen.

Daftar Pustaka

Irawati. 2011. Pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas audit pada kantor akuntan publik di makassar. Skripsi Fakultas Ekonomi Pada Universitas Hasanuddin Makasar

Amirin, Tatang. 2009. Populasi dan Sampel Penelitian 3: Pengambilan Sampel dari Populasi Tak Terhingga dan Tak Jelas.

Elfarini, Eunike Christina. 2007. Pengaruh Kompetensi Dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit (Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik di Jawa Tengah. Skripsi Fakultas Ekonomi Pada Universitas Negeri Semarang

Ghozali, Imam.2005. Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS. Semarang : BP Undip

Gujarati, D.1999. Ekonometrika (Alih bahasa: Sumarno Zein). Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Standar Profesional Akuntan Publik Per 1 Januari 2001. Salemba Empat: Jakarta.

Indriantoro, Nur dan Bambang Supeno. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Edisi I Yogyakarta : BPFE

Kusharyanti. 2003. Temuan Penelitian Mengenai Kualitas Audit Dan Kemungkinan Topik Penelitian Di Masa Datang. Akuntansi dan Manajemen (Desember).

ANALISIS PENGARUH PENGALAMAN, INDEPENDENSI, DAN SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP PENDETEKSIAN KECURANGAN PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI KOTA MALANG

SKOLASTIKA KIRBY LOVELYN & DANIEL SUGAMA STEPHANUS

ARTIKEL EKONOMETRIKA

PROGRAM STUDI AKUNTANSI – FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUPATEN MALANG

2014

ABSTRAK

Penelitian mengenai pendeteksian kecurangan atau fraud adalah untuk melihat apakah pengalaman kerja auditor, independensi, dan skeptisme profesional auditor dapat berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan. Variabel independen dari penelitian ini adalah pengalaman kerja auditor, independensi, dan skeptisme profesional auditor. Sedangkan variabel dependennya yaitu pendeteksian kecurangan. Selain itu penelitian ini juga untuk melihat variabel independen manakah yang paling berpengaruh paling besar terhadap variabel dependennya yaitu pendeteksian kecurangan. Sampel yang digunakan adalah auditor dari seluruh KAP yang ada di Malang. Metode pengambilan sampel dengan menggunakan teknik convenience sampling. Uji yang digunakan adalah regresi linier berganda.

Kata-kata kunci: pengalaman, independensi, skeptisme profesional auditor, pendeteksian kecurangan.

  1. PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman terdapat berbagai macam profesi yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah profesi dalam bidang jasa. Terdapat banyak profesi dalam bidang jasa, salah satunya yaitu profesi auditor. Semakin banyak bermunculan perusahaan-perusahaan baru, menjadikan profesi auditor ini semakin dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (kreditor, pemerintah, pemilik perusahaan, dan juga para investor) terhadap informasi dari laporan keuangan perusahaan. Profesi auditor sebagai pihak yang independen bertugas memberikan penilaiannya terhadap laporan keuangan yang telah di audit untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan oleh pihak manajemen dan juga stakeholders.

Seorang auditor dalam menjalankan penugasan audit di lapangan seharusnya tidak hanya sekedar mengikuti prosedur audit yang tertera dalam program audit , namun juga harus disertai dengan sikap skeptisme profesionalnya. Standar profesional akuntan publik mendefinisikan skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAI 2001, SA seksi 230. 06). Tanpa menerapkan skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan akan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan.

Audit merupakan jasa yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Jasa yang diberikan oleh Kantor Akuntan Publik yaitu jasa audit operasional, audit kepatuhan, dan audit laporan keuangan. Dilakukannya audit dalam suatu perusahaan yaitu untuk melihat apakah laporan keuangan dalam perusahaan tersebut telah tersaji secara wajar dan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia, yang kemudian auditor memberikan opininya atas laporan keuangan yang telah di auditnya. Selain itu auditor dalam melakukan audit juga harus menentukan tingkatan risiko audit dan materialitasnya atas laporan keuangan tersebut. Seorang auditor dalam bekerja harus sesuai dengan standar-standar yang telah diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia.

Terdapat dua macam auditor yaitu auditor internal dan auditor eksternal. Umumnya perusahaan menggunakan jasa auditor eksternal yang ada di Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melakukan audit dalam perusahaannya. SA seksi 220 dalam SPAP 2001, menyatakan bahwa ”Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor”. Standar ini mengharuskan bahwa setiap auditor harus bersikap independen, karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Keberadaan auditor ditentukan oleh independensinya (Setyaningrum, 2010:35). Independensi auditor berhubungan dengan tanggung jawab auditor dalam mendeteksi kecurangan pada laporan keuangan yang berdasarkan independensi berupa kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang ditemukan pada proses auditnya.  

Dengan adanya jasa profesi auditor, masyarakat mengharapkan adanya penilaian yang bebas tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen dalam laporan keuangan (Mulyadi, 2002). Selain itu pada PSA (Pernyataan Standar Audit) No. 04 (SA Seksi 220), di dalam standar ini mengharuskan auditor untuk bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum, tetapi dalam hal ini dibedakan dengan auditor yang berpraktik sebagai auditor intern.

Seorang auditor dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap laporan keuangan telah memperoleh kepercayaan dari kliennya dan juga dari pihak-pihak pemakai laporan keuangan tersebut untuk membuktikan apakah laporan keuangan tersebut telah disajikan secara wajar. Pada umumnya antara klien dengan pihak-pihak pemakai laporan keuangan pasti memiliki kepentingan yang berbeda-beda antara satu sama lain. Sehingga, auditor dalam memberikan opininya terhadap laporan keuangan yang diperiksa harus bersikap independen terhadap kepentingan klien maupun pihak-pihak pemakai laporan keuangan tersebut (Wibowo, 2009: 19).

Dalam melaksanakan audit, adapula auditor yang mengalami kegagalan dalam mendeteksi kecurangan yang terbukti dengan adanya beberapa kasus keuangan yang melibatkan akuntan publik seperti Enron, Xerox, Walt Disney, World Com, Merck, dan Tyco yang terjadi di Amerika Serikat. Selain itu juga adapula kasus Kimia Farma dan sejumlah Bank Beku Operasi yang melibatkan akuntan publik di Indonesia.

Penelitian Beasley et al. (2001) yang didasarkan pada AAERs (Accounting and Auditing Releases) dari SEC selama 11 periode (Januari 1987-Desember 1997) menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah rendahnya tingkat skeptisme profesional audit. Berdasarkan penelitian ini, dari 45 kasus kecurangan dalam laporan keuangan, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi karena auditor tidak menerapkan tingkat skeptisme profesional yang memadai dan hal ini merupakan urutan ketiga dari audit defisiensi yang paling sering terjadi (Beasley et al. 2001). Jadi rendahnya tingkat skeptisme profesional dapat menyebabkan kegagalan dalam mendeteksi kecurangan. Kegagalan ini selain merugikan kantor akuntan publik secara ekonomis, juga dapat menyebabkan hilangnya reputasi akuntan publik di mata masyarakat dan hilangnya kepercayaan kreditor dan investor di pasar modal.

Auditor independen yang melakukan audit di lapangan akan melakukan interaksi sosial dengan klien, manajemen, dan staf klien. Interaksi sosial ini akan menimbulkan kepercayaan (trust) dari auditor terhadap klien. Tingkat kepercayaan auditor yang tinggi terhadap klien akan menurunkan sikap skeptisme profesionalnya. Kopp et al. (2003) telah mengembangkan model teoritis mengenai hubungan antara faktor trust  dengan sikap skeptisme profesional auditor. Kepercayaan ini harus selalu ditingkatkan dengan didukung oleh suatu keahlian audit. Auditor harus dapat melaksanakan tugasnya dengan sikap profesionalisme serta menjunjung tinggi kode etik profesi yang harus dijadikan pedoman dalam menjalankan setiap tugasnya. Berdasarkan Standar auditing Profesional akuntan Publik (SPAP), akuntan dituntut untuk dapat menjalankan setiap standar yang ditetapkan oleh SPAP tersebut. Standar-standar tersebut meliputi standar auditing, standar atestasi, standar jasa akuntan dan review, standar jasa konsultasi, dan standar pengendalian mutu. Dalam salah satu SPAP diatas terdapat standar umum yang mengatur tentang keahlian auditor yang independen (Asih, 2006:3).

Pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan dan dalam melaksanakan audit dilapangan dapat dilihat dari segi lamanya waktu dan juga banyaknya penugasan audit yang pernah dilakukan oleh auditor tersebut. Pengalaman kerja dari seorang auditor juga dapat mempengaruhi tingkat skeptismenya karena auditor yang lebih berpengalaman dapat mendeteksi adanya kecurangan yang terjadi pada laporan keuangan seperti siklus persediaan dan pergudangan, hal ini disebabkan karena auditor yang berpengalaman skeptismenya lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang tidak berpengalaman. Semakin banyak seorang auditor melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan, maka semakin tinggi tingkat skeptisme yang dimilikinya.

Pengalaman audit ditunjukkan dengan jam terbang auditor dalam melakukan prosedur audit terkait dengan pemberian opini atas laporan auditnya (Kushasyandita, 2012:3). Menurut penelitian Noviyanti & Bandi (2002) pengalaman akan berpengaruh positif terhadap pengetahuan auditor tentang jenis-jenis kekeliruan yang berbeda-beda yang diketahuinya. Sehingga, pengalaman termasuk dalam unsur profesional yang penting untuk membangun pengetahuan dan keahlian auditor yang berguna dalam proses pelaksanaan auditnya. Auditor yang tidak berpengalaman mempunyai tingkat kesalahan yang lebih signifikan dibandingkan dengan auditor yang lebih berpengalaman (Herman, 2009). Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu hal yang penting dalam memprediksi kinerja dari akuntan publik, sehingga pengalaman kerja auditor termasuk sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh izin menjadi akuntan publik. Hal ini sesuai dengan SK Menkeu No. 359/KMK.06/2003 tentang perubahan atas Kep Menkeu No. 423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik (Depkeu, 2003:56).

Standar profesional akuntan publik mendefinisikan bahwa skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAI, 2001). Standar auditing tersebut mensyaratkan agar auditor harus memiliki sikap skeptisme profesional dalam mengevaluasi dan mengumpulkan bukti audit terutama yang berkaitan dengan penugasan dalam mendeteksi kecurangan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pramudita (2012) mengenai pengaruh pengalaman dan kompetensi auditor terhadap skeptisisme profesional auditor Kantor Akuntan Publik yang menunjukkan bahwa pengalaman auditor berpengaruh terhadap skeptisme profesional auditor baik secara parsial dan juga simultan. Selain itu adapula penelitian yang dilakukan oleh Herman (2009) yang meneliti tentang pengaruh pengalaman dan skeptisme profesional auditor yang berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa variabel skeptisme profesional auditor merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan.

Berdasarkan dari hasil penelitian sebelumnya, maka peneliti ingin meneliti tentang apakah terdapat pengaruh yang besar dari pengalaman kerja, independensi dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan. Sehingga, penelitian ini diberi judul “PENGARUH PENGALAMAN, INDEPENDENSI DAN SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP PENDETEKSIAN KECURANGAN  PADA KAP DI MALANG”.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.  Bagaimana pengaruh pengalaman, indepedensi dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan ?

2.  Manakah dari ketiga variabel Independen tersebut yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pendeteksian kecurangan ?

  1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk menganalisis pengaruh pengalaman, independensi dan skeptisme

profesional auditor terhadap pendekteksian kecurangan.

  • Untuk menganalisis dan mengetahui variabel independen yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pendekteksian kecurangan.
    • Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.   Bagi Kantor Akuntan Publik (KAP)

Dapat memberikan kontribusi dalam melakukan perbaikan dan perubahan untuk dapat menjadi lebih baik lagi. Selain itu juga untuk melakukan evaluasi mengenai kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya kecurangan dalam proses audit. 

  • Bagi Peneliti

Sarana dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pengaruh pengalaman, independensi dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan.

3. Bagi Universitas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang berguna untuk dijadikan acuan bagi seluruh civitas akademika mengenai pengaruh pengalaman, independensi, dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan.

4. Bagi Pembaca dan Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu dan informasi untuk keperluan penelitian sejenis. Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan referensi dan diharapkan juga dapat melengkapi penelitian sebelumnya serta menjadi bahan masukan bagi penelitian selanjutnya.

2.  LANDASAN TEORI

  • Pengertian Audit

Menurut Meisser, Jr  (2003: 8) pengertian audit adalah: “audit adalah proses yang sistematik dengan tujuan mengevaluasi bukti mengenai tindakan dan kejadian ekonomi untuk memastikan tingkat kesesuaian antara penugasan dan kriteria yang telah ditetapkan, hasil dari penugasan tersebut dikomunikasikan kepada pihak pengguna yang berkepentingan”.

Menurut The American Accounting Association’s Committee on Basic Auditing Concepts (2001: 1-2) pengertian auditing adalah: “audit merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan umtuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta menyampaikan hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.

Menurut Arens dan Loebbecke (2003), pengertian auditing sebagai: “Suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten.”

Menurut Mulyadi (2002), pengertian auditing merupakan: “Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.”

  • Standar Auditing

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) merupakan standar auditing yang menjadi kriteria atau pedoman kerja minimum yang memiliki kekuatan hukum bagi para auditor dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya. Standar auditing adalah pengukur kualitas dan tujuan, sehingga jarang berubah. Sedangkan prosedur audit adalah metode-metode atau teknik yang rinci untuk melaksanakan standar tersebut, sehingga prosedur akan dapat berubah-ubah bila lingkungan auditnya berubah. Standar auditing  dibuat berdasarkan konsep dasar. Konsep dasar sangat diperlukan karena merupakan dasar pembuatan standar yang berguna untuk memberikan pengarahan dan pengukuran kualitas dari mana prosedur audit dapat diturunkan.

Standar auditing adalah sepuluh standar yang ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) yang terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan beserta interpretasinya. Standar auditing merupakan pedoman audit atas laporan keuangan historis. Standar auditing terdiri atas sepuluh standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Auditing (PSA). Di Amerika Serikat, standar auditing semacam ini disebut Generally Accepted Auditing Standards (GAAS) yang dikeluarkan oleh the American Institute of Certified Public Accountants (AICPA).

PSA merupakan penjabaran lebih lanjut dari masing-masing standar yang telah tercantum di dalam standar auditing. PSA berisi ketentuan-ketentuan dan pedoman utama yang harus diikuti oleh Akuntan Publik dalam melaksanakan penugasan auditnya. Kepatuhan terhadap PSA yang diterbitkan oleh IAPI ini bersifat wajib bagi seluruh anggota IAPI. Di dalam PSA juga terdapat Interpretasi Pernyataan Standar Auditng (IPSA), yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh IAPI terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh IAPI dalam PSA. Dengan demikian, IPSA memberikan jawaban atas pernyataan atau keraguan dalam penafsiran ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam PSA sehingga terdapat perluasan lebih lanjut mengenai berbagai ketentuan dalam PSA. Tafsiran resmi ini bersifat mengikat bagi seluruh anggota IAPI, sehingga pelaksanaannya bersifat wajib.

Konsep dasar untuk melahirkan standar auditing yaitu berdasarkan :

  1. Bukti
  2. Kehati-hatian dalam pemeriksaan
  3. Penyajian atau pengungkapan wajar
  4. Independensi
  5. Etika

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) terdiri dari tiga standar yaitu:

  1. Standar auditing
  2. Standar atestasi
  3. Standar jasa akuntansi dan review

Hubungan standar atestasi dan standar auditing adalah standar auditing merupakan bagian dari standar atestasi yang khusus mengatur mutu dari jasa akuntan publik yang berkaitan dengan pemeriksaan laporan keuangan historis. Audit atas laporan keuangan yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum di Indonesia merupakan satu diantara jasa atestasi yang dapat disediakan oleh kantor akuntan publik kepada masyarakat.

Standar auditing terdiri atas sepuluh standar, dan terbagi dalam tiga kelompok yaitu:

a.  Standar Umum

  1. Keahlian dan kompetensi teknis yang memadai
  2. Sikap mental yang independen
  3. Kemahiran profesional dengan cermat dan seksama

b. Standar Pekerjaan Lapangan

  1. Perencanaan dan supervisi audit

Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.

  • Pemahaman memadai atas pengendalian intern

Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh unutk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.

  • Bukti kompeten yang cukup

Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

c. Standar Pelaporan

  1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia.

Istilah standar akuntansi keuangan di Indonesia yang digunakan dalam standar pelaporan pertama dimaksudkan meliputi tidak hanya prinsip dan praktik akuntansi, tetapi juga metode penerapannya. Standar pelaporan pertama tidak mengharuskan auditor untuk menyatakan tentang fakta (statement of fact), namun standar tersebut mengharuskan auditor untuk menyatakan suatu pendapat mengenai apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi tersebut. Jika pembatasan terhadap lingkup audit tidak memungkinkan auditor untuk memberikan pendapat mengenai kesesuaian tersebut maka pengecualian semestinya diperlukan dalam laporan auditnya.

  • Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.

Tujuan standar konsistensi adalah untuk memberikan jaminan bahwa jika daya banding laporan keuangan di antara dua periode dipengaruhi secara material oleh perubahan prinsip akuntansi, auditor akan mengungkapkan perubahan tersebut dalam laporannya. Juga dinyatakan secara tersirat dalam tujuan standar tersebut bahwa prinsip akuntansi tersebut telah diamati konsistensi penerapannya dalam setiap periode akuntansi yang bersangkutan. Standar pelaporan tersebut secara tersirat menggandung arti bahwa auditor puas bahwa daya banding laporan keuangan di antara dua periode akuntansi tidak dipengaruhi secara material oleh perubahan prinsip akuntansi dan bahwa prinsip akuntansi tersebut telah diterapkan secara konsisten di antara dua periode atau lebih periode akuntansi baik karena tidak terjadi perubahan prinsip akuntansi, atau terdapat perubahan prinsip akuntansi atau metode penerapannya, namun dampak perubahan prinsip akuntansi terhadap daya banding laporan keuangan tidak material. Dalam keadaan-keadaan tersebut auditor tidak perlu membuat pengungkapan mengenai konsistensi dalam laporan auditnya.

  • Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.

Penyajian laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia mencakup dimuatnya pengungkapan informatif yang memadai atas hal-hal material. Hal-hal tersebut mencakup bentuk, susunan, dan isi laporan keuangan, serta catatan atas laporan keuangan, yang meliputi, sebagai contoh, istilah yang digunakan, rincian yang dibuat, penggolongan unsur dalam laporan keuangan, dan dasar-dasar yang digunakan untuk menghasilkan jumlah yang dicantumkan dalam laporan keuangan. Auditor harus mempertimbangkan apakah masih terdapat hal-hal tertentu yang harus diungkapkan sehubungan dengan keadaan dan fakta yang diketahuinya pada saat melaksanakan audit

  • Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan.

Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.  Tujuan standar pelaporan keempat adalah untuk mencegah salah tafsir tentang tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh akuntan bila namanya dikaitkan dengan laporan keuangan.

  • Etika Profesi (Kode Etik)

Salah satu cara profesi akuntan publik dalam mewujudkan perilaku profesional dengan adanya pengaruh dari pelaksanaan etika profesi yang telah ditetapkan oleh IAI yaitu Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode etik dibuat dengan tujuan untuk menentukan standar perilaku bagi para akuntan, terutama akuntan publik.

Kode etik profesi diperlukan karena adanya beberapa alasan yaitu sebagai berikut:

  1. Kebutuhan akan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa yang diberikan.
  2. Masyarakat diharapkan mampu menilai kualitas jasa yang diberikan oleh profesi.
  3. Meningkatnya kompetisi diantara anggota profesi.

Kode Etik Akuntan Indonesia merupakan kode perilaku yang terdiri dari yaitu:

  1. Ketentuan umum dalam kode etik akuntan publik memiliki kekuatan dalam hal penekanan pada kegiatan yang positif sehingga menghasilkan kualitas kerja yang tinggi. Tetapi kelemahannya adalah sulit untuk memaksakan perilaku umum yang ideal karena tidak adanya standar perilaku minimum.
  2. Peraturan khusus memiliki keunggulan dalam penjabaran terinci, sehingga dapat dipaksakannya standar perilaku dan kinerja minimum. Tetapi kelemahannya adalah cenderung memberikan penafsiran pada para praktisi sebagai standar maksimum dan bukannya minimum.
    1. Tujuan Audit

Tujuan umum dari audit adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran dari suatu laporan keuangan dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha serta arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum. Tujuan audit secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Kelengkapan (Completeness) untuk meyakinkan bahwa seluruh transaksi telah dicatat atau ada dalam jurnal secara aktual telah dimasukkan.
  2. Ketepatan (Accurancy) untuk memastikan transaksi dan saldo perkiraan yang ada telah dicatat berdasarkan jumlah yang benar, perhitungan yang benar, diklasifikasikan, dan dicatat dengan tepat.
  3. Eksistensi (Existence) untuk memastikan bahwa semua harta dan kewajiban yang tercatat memiliki eksistensi atau keterjadian pada tanggal tertentu, jadi transaksi tercatat tersebut harus benar-benar telah terjadi dan tidak fiktif.
  4. Penilaian (Valuation) untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum telah diterapkan dengan benar.
  5. Klasifikasi (Classification) untuk memastikan bahwa transaksi yang dicantumkan dalam jurnal diklasifikasikan dengan tepat. Jika terkait dengan saldo maka angka-angka yang dimasukkan didaftar klien telah diklasifikasikan dengan tepat.
  6. Ketepatan (Accurancy) untuk memastikan bahwa semua transaksi dicatat pada tanggal yang benar, rincian dalam saldo akun sesuai dengan angka-angka buku besar. Serta penjumlahan saldo sudah dilakukan dengan tepat.
  7. Pisah Batas (Cut-Off) untuk memastikan bahwa transaksi-transaksi yang dekat tanggal neraca dicatat dalam periode yang tepat. Transaksi yang mungkin sekali salah saji adalah transaksi yang dicatat mendekati akhir suatu periode akuntansi.
  8. Pengungkapan (Disclosure) untuk meyakinkan bahwa saldo akun dan persyaratan pengungkapan yang berkaitan telah disajikan dengan wajar dalam laporan keuangan dan dijelaskan dengan wajar dalam isi dan catatan dari laporan tersebut.

2.5 Pengklasifikasian Auditor

Orang atau kelompok yang melaksanakan audit dapat dikelompokan menjadi tiga golongan yaitu auditor independen, auditor pemerintah, dan auditor internal (Mulyadi, 2002:58).

  1. Auditor Independen

Auditor independen adalah auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Audit tersebut terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para pemakai informasi keuangan seperti: kreditur, investor, calon kreditur, dan instansi pemerintah (terutama instansi pajak). Untuk berpraktik sebagai auditor independen, seseorang harus memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman kerja tertentu. Auditor independen harus telah lulus dari jurusan akuntansi fakultas ekonomi atau mempunyai ijazah yang disamakan, telah mendapat gelar akuntan dari Panitia Ahli Pertimbangan Persamaan Ijazah Akuntan, dan mendapat izin praktik dari Menteri Keuangan.

  • Auditor Pemerintah

Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas utamanya adalah melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan, atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Meskipun terdapat banyak auditor yang bekerja di instansi pemerintah, namun umumnya yang disebut auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta  instansi pajak.

  • Auditor internal

Auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun perusahaan swasta) yang tugas utamanya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.

2.6 Penggolongan Audit

Pada umumnya audit dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

  1. Audit laporan keuangan (financial statement audit )

Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk  memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.

  • Audit kepatuhan (compliance audit)

Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa sesuai dengan kondisi, peraturan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit iternal, karena oleh pegawai perusahaan.

  • Audit operasional (operational audit)

Audit operasional merupakan penelahaan secara sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yag obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk menilai kinerja, kinerja dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan, standar-standar, dan sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh manajemen, mengidentifikasikan peluang, dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut. Pihak-pihak yang mungkin meminta dilakukannya audit operasional adalah manajemen dan pihak ketiga.

2.7 Prosedur Audit

Prosedur audit adalah instruksi rinci untuk mengumpulkan tipe bukti audit tertentu yang harus diperoleh pada saat tertentu dalam audit. Adapun prosedur audit yang biasa dilakukan oleh auditor yaitu sebagai berikut:

  1. Inspeksi

Merupakan pemeriksaan secara rinci terhadap dokumen dan kondisi fisik sesuatu. Prosedur ini digunakan secara luas dalam auditing. Inspeksi seringkali digunakan dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti bootom-up maupun top-down. Dengan melakukan inspeksi atas dokumen, auditor dapat menentukan ketepatan persyaratan dalam faktur atau kontrak yang memerlukan pengujian bottom-up atas akuntansi transaksi tersebut. Pada saat yang sama, auditor seringkali mempertimbangkan implikasi bukti dalam konteks pemahaman faktor-faktor ekonomi dan persaingan entitas.

  • Pengamatan (Observation)

Pengamatan atau observasi merupakan prosedur audit untuk melihat dan menyaksikansuatu kegiatan. Kegiatan dapat berupa pemrosesan rutin suatu jenis transaksi tertentu seperti penerimaan kas, untuk melihat apakah para pekerja sedang melaksanakan tugas yang diberikan sesuai dengan kebijakan dan prosedur perusahaan. Pengamatan terutama penting untunk memperoleh pemahaman atas pengendalian internal. Auditor juga dapat mengamati kecermatan seorang karyawan dan klien dalam melaksanakan pemeriksaan tahunan atas fisik persediaan.

  • Permintaan Keterangan (enquiry)

Merupakan prosedur audit yang dilakukan dengan meminta keterangan secara lisan atau tertulis. Permintaan keterangan tersebut biasanya ditujukan kepada manajemen atau karyawan, umumnya berupa pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah dilaksanakannya prosedur analitis atau permintaan keterangan yang berkaitan dengan keusangan persediaan atau piutang yang dapat ditagih. Auditor juga dapat meminta langsung  keterangan pada pihak eksteren, seperti permintaan keterangan langsung kepada penasihat hukum klien tentang kemungkinan hasil litigasi. Hasil permintaan keterangan dapat berupa bukti lisan atau bukti dalam bentuk representasi tertulis.

  • Konfirmasi

Konfirmasi merupakan bentuk penyelidikan yang memungkinkan auditor memperoleh informasi secara langsung dari pihak ketiga yang bebas. Konfirmasi menyediakan bukti bottom-up penting dan digunakan dalam auditing karena bukti tersebut biasanya objektif dan berasal dari sumber yang independen.

  • Penelusuran (Tracing)

Penelusuran terutama dilakukan pada bahan bukti dokumenter. Dimana dilakukan mulai dari data awal direkamnya dokumen, yang dilanjutkan dengan pelacakan pengolahan data-data tersebut dalam proses akuntansi. Karena prosedur ini memberikan keyakinan bahwa data yang berasal dari dokumen sumber pada akhirnya dicantumkan dalam akun, maka secara khusus data ini sangat berguna untuk mendeteksi terjadinya salah saji berupa penyajian yang lebih rendah dari yang seharusnya (understatement) dalam catatan akuntansi.

  • Pemeriksaan bukti pendukung (vouching)

Pemeriksaan bukti pendukung (vouching) merupakan prosedur audit yang meliputi inspeksi terhadap dokumen-dokumen yang mendukung suatu transaksi atau data keuangan untuk menetukan kewajaran dan kebenarannya. Pembandingan dokumen tersebut dengan catatan akuntansi yang berkaitan. Dalam melakukan vouching, arah pengujian berlawanan dengan yang digunakan dalam tracing. Prosedur vouching digunakan secara luas untuk mendeteksi adanya salah saji berupa penyajian yang lebih tinggi dari yang seharusnya (overstatement) dalam catatan akuntansi.

  • Perhitungan (counting)

Prosedur audit ini meliputi perhitungan fisik terhadap sumber daya berwujud seperti kasatau sediaan tangan, pertangungjawaban semua formulir bernomor urut tercetak.

  • Scanning

Scanning merupakan penelaahan secara cepat terhadap dokumen, cacatan, dan daftar untuk mendeteksi unsur-unsur yang tampak tidak biasa yang memerlukan penyelidikan lebih mendalam.

  • Pelaksanaan Ulang

Prosedur audit ini merupakan pengulangan aktivitas yang dilaksanakan oleh klien. Auditor juga dapat melaksanakan ulang beberapa aspek pemrosesan transaksi tertentu untuk menentukan bahwa pemrosesan awal telah sesuai dengan pengandalian intern yang telah dirumuskan.

  1. Computer-assisted audit techniques

Apabila catatan akuntansi dilaksanakan dalam media elektronik maka auditor perlu menggunakan Computer-assisted audit techniques dalam menggunakan berbagai prosedur audit di atas.

  • Risiko Audit

Risiko dalam auditing menurut  Arens & Loebbecke (2003) berarti auditor menerima suatu tingkat ketidakpastian tertentu dalam pelaksanaan auditnya. Risiko audit merupakan salah satu aspek penting yang mendasari proses audit. Menurut Henry (2002) ada dua jenis risiko yang dihadapi oleh auditor yang melakukan audit terhadap laporan keuangan, yaitu :

  1. Risiko audit (audit risk)

Risiko yang timbul karena auditor tanpa disadari tidak memofidikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.

  • Risiko bisnis auditor (auditor business risk)

Terpaparnya auditor (auditor exposure) terhadap kerugian atau kerusakan praktik profesionalnya akibat litigasi, publisitas yang buruk, ataupun peristiwa lainnya yang mencuat sehubungan dengan laporan keuangan yang diaudit dan dilaporkannya.

Risiko bisnis auditor berbeda dengan risiko audit. Auditor bisa saja memutuskan untuk menggali lebih banyak bukti audit disebabkan meningkatnya risiko bisnisnya. Dalam standar auditing yang berlaku secara umum, auditor tidak boleh memutuskan untuk mengumpulkan lebih sedikit bukti audit hanya karena mengaudit klien dengan risiko bisnis yang minimal. Risiko bisnis auditor tidak dapat dikendalikan secara langsung oleh auditor, meskipun demikian beberapa pengendalian dapat dijalankan melalui penerimaan dan penolakan klien dengan hati-hati. Di lain pihak, risiko audit dapat dikendalikan secara langsung melalui lingkup prosedur tes auditor.

Risiko audit menurut SPAP (2010) adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor tanpa disadari tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.

Risiko audit yang diterima auditor memunyai hubungan terbalik dengan tingkat keinginan mengekspresikan pendapat atau opini yang tepat. Adapun tingkatan risiko audit seperti rendah, sedang, atau tinggi. Tingkat risiko audit yang dianggap standar adalah 5% dan tingkat risiko audit tidak akan pernah tidak ada atau nol.

Risiko audit dapat dibagi menjadi dua bagian:

  1. Risiko audit keseluruhan yang berkaitan dengan laporan keuangan sebagai keseluruhan.
  2. Risiko audit individual yang berkaitan dengan setiap saldo akun individual yang dicantumkan dalam laporan keuangan.

Dalam SA Seksi 312 (PSA No. 25) mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan risiko dan materialitas baik dalam:

  1. Merencanakan audit dan merancang prosedur audit
  2. Mengevaluasi apakah laporan keuangan secara keseluruhan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai prinsip akuntansi yang berlaku secara umum di Indonesia.
    1. Macam-Macam Risiko Audit

Ada tiga macam risiko audit menurut SPAP seksi 312 (2010) :

1.   Risiko Bawaan

Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yang terkait. Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Misalnya saja, perhitungan yang rumit akan lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana. Akun yang terdiri dari jumlah yang berasal dari estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko yang lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data berupa fakta. Faktor ekstern juga mempengaruhi risiko bawaan.

2.   Risiko Pengendalian

Risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektivitas desain dan operasi pengendalian intern untuk mencapai tujuan entitas yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan entitas. Beberapa risiko pengendalian akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian internnya.

3.   Risiko Deteksi

Risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut diperiksa 100%. Ketidakpastian lain tersebut muncul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit.

  • Komponen dari Risiko Audit

Menurut (Arens dan Loebbecke, 2003) terdapat empat unsur risiko audit yaitu sebagai berikut:

  1. Planned Detection Risk

Planned detection risk (risiko deteksi terencana) merupakan ukuran risiko bahwa bukti audit atas segmen tertentu akan gagal mendeteksi keberadaan salah saji yang melebihi suatu nilai salah saji yang masih dapat ditoleransi, apabila salah saji semacam itu ada. Terdapat dua poin utama tentang risiko deteksi terencana ini. Pertama, risiko ini tergantung pada ketiga faktor lainnya yang terdapat dalam model. Risiko terdeteksi hanya akan berubah jika auditor melakukan perubahan pada salah satu dari ketiga faktor lainnya tersebut. Kedua, risiko ini menentukan nilai bukti substantive yang direncanakan oleh auditor untuk dikumpulkan, yang merupakan kebalikan dari ukuran risiko deteksi rencana itu sendiri.

  • Risiko Inheren

Risiko bawaan adalah faktor kerentanan laporan keuangan terhadap salah saji material, dengan asumsi tidak ada pengendalian intern. Sedangkan menurut SPAP (2010) risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji yang material dengan asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan prosedur struktur pengendalian intern yang terkait.

Hubungan antara risiko bawaan dengan risiko penemuan serta rencana pengumpulan bahan bukti yaitu bahwa risiko bawaan sifatnya adalah berbanding terbalik dengan risiko penemuan, dan berbanding lurus dengan bahan bukti (Arens dan Loebbecke, 2003).

Auditor harus melaksanakan audit untuk mengurangi risiko audit sampai tingkat yang terendah, yang menurut pertimbangan profesional auditor, tepat untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Dalam melakukannya, auditor perlu untuk mempertimbangkan risiko audit pada tingkat laporan keuangan dan pada tingkat saldo akun atau kelompok transaksi. Dalam mempertimbangkan risiko audit, pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan, auditor mempertimbangkan risiko salah saji material yang berkaitan secara luas dan mendalam (pervasively) terhadap laporan keuangan dan secara potensial mempengaruhi banyak asersi.

  • Risiko Pengendalian

Risiko pengendalian (control risk) merupakan ukuran yang dipergunakan oleh auditor dalam menilai adanya kemungkinan bahwa terdapat sejumlah salah saji material yang melebihi nilai salah saji yang masih dapat ditoleransi atas segmen tertentu dan tidak terhadang atau tidak terdeteksi oleh pengendalian intern yang dimiliki oleh klien. Risiko pengendalian ini memperlihatkan tentang penilaian apakah pengendalian intern yang dimiliki klien efektif untuk mencegah atau mendeteksi terjadinya salah saji dan kehendak auditor membuat penilaian tersebut senantiasa berada dibawah nilai maksimum 100% sebagai bagian dari rencana audit yang dibuatnya. Semakin efektif pengendalian internnya, maka semakin rendah pula faktor risiko yang dapat dibebankan pada risiko pengendalian.

Model risiko audit menunjukkan hubungan yang erat antara risiko inheren dan risiko pengendalian. Kombinasi risiko inheren dan risiko pengendalian ini dapat dianggap sebagai suatu ekspektasi atas nilai salah saji setelah mempertimbangkan pengaruh dari pengendalian intern.

  • Risiko Akseptibilitas Audit

Risiko akseptibilitas audit (acceptable audit risk) merupakan ukuran atas tingkat kesediaan auditor dalam menerima kenyataan bahwa laporan keuangan mungkin masih mengandung salah saji yang material setelah audit selesai dilaksanakan serta suatu laporan audit wajar tanpa syarat telah diterbitkan. Ketika auditor memutuskan untuk menetapkan suatu tingkat risiko akseptabilitas audit yang lebih rendah, hal itu dapat diartikan bahwa auditor ingin memperoleh tingkat keyakinan yang lebih tinggi dan bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang material. Risiko nol berarti yakin sekali, dan suatu tingkat risiko sebesar 100% berarti benar-benar tidak yakin.

  • Model Risiko Audit

Cara auditor untuk menangani masalah risiko dalam tahap perencanaan pengumpulan bahan bukti yaitu dengan menggunakan model risiko audit. Model risiko audit sangat diperlukan untuk mengerjakan audit secara efektif. Model risiko audit digunakan untuk tahap perencanaan dalam menentukan berapa besar bahan bukti yang harus dikumpulkan dalam tiap siklusnya.

Model risiko audit yang digunakan terutama untuk tahap perencanaan dalam menentukan berapa besar bahan bukti yang harus dikumpulkan dalam tiap siklusnya.

Rumusnya adalah sebagai berikut:

RA = RB X RP X RD

Keterangan:

RA = Risiko audit

RB = Risiko bawaan

RP = Risiko pengendalian

RD = Risiko deteksi

  • Pengalaman Auditor

Pengalaman merupakan cara pembelajaran yang baik bagi auditor internal untuk menjadikan auditor kaya akan teknik audit. Semakin tinggi pengalaman auditor, maka semakin mampu dan mahir auditor dalam menguasai tugasnya sendiri maupun aktivitas yang diauditnya. Pengalaman juga membentuk auditor mampu menghadapi dan menyelesaikan hambatan maupun persoalan dalam pelaksanaan tugasnya, serta mampu mengendalikan kecenderungan emosional terhadap pihak-pihak yang diperiksa. Selain pengetahuan dan keahlian, pengalaman auditor memberi kontribusi yang relevan dalam meningkatkan kompetensi auditor.

Farmer, et al., (1987), mengemukakan bahwa auditor yang berpengalaman kurang menyetujui dibandingkan dengan auditor yang tidak berpengalaman dalam menyetujui perlakuan akuntansi yang dipreferensikan klien. Mereka menyimpulkan justru auditor staf cenderung lebih memperhatikan dalam mempertahankan dan menyenangkan klien dibandingkan para partner.

Gusnardi (2003:8), mengemukakan bahwa pengalaman audit (audit experience) dapat diukur dari jenjang jabatan dalam struktur tempat auditor bekerja, tahun pengalaman, gabungan antara jenjang jabatan dan tahun pengalaman, keahlian yang dimiliki auditor yang berhubungan dengan audit, serta pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti oleh auditor tentang audit. Masalah penting yang berhubungan dengan pengalaman auditor akan berkaitan dengan tingkat ketelitian auditor.

Puspa (2006) mengemukakan bahwa persuasi atas preferensi klien berdasarkan pengalaman audit masing-masing responden dalam penelitian ini memberikan hasil yang sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan setiap responden dihadapkan pada empat kasus yang berbeda, sehingga judgment masing-masing responden juga bervariasi tergantung dari pengetahuan, intuisi, dan persepsinya masing-masing. Hasil ini juga memberikan bukti bahwa auditor dengan tingkat pengalaman yang hampir sama (memiliki masa kerja dan penugasan yang hampir sama) ternyata memiliki pertimbangan yang berbeda-beda dan sangat bervariasi.

Shelton (1999) menyatakan bahwa pengalaman akan mengurangi pengaruh informasi yang tidak relevan dalam pertimbangan (judgment) auditor. Auditor yang berpengalaman (partner dan manajer) dalam membuat pertimbangan (judgment) mengenai going concern tidak dipengaruhi oleh kehadiran informasi yang tidak relevan. Sedangkan auditor yang kurang pengalamannya dalam membuat pertimbangan (judgment) mengenai going concern dipengaruhi oleh kehadiran informasi yang tidak relevan.

Penelitian Haynes, et al., (1998) yang menyelidiki pengaruh peran auditor dalam melayani kepentingan klien menemukan bahwa auditor tidak secara otomatis mengambil posisi advokasi bagi klien, terutama bila kepentingan klien tidak dibuat eksplisit. Tetapi bila kepentingan itu ditonjolkan (salient), auditor khususnya yang berpengalaman akan berperilaku konsisten dengan posisi advokasi. Penelitian Haynes, et al., ini menunjukkan pengalaman audit yang dipunyai audior ikut berperan dalam menentukan pertimbangan yang diambil.

Taufik (2008:72) memperlihatkan bahwa seseorang dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwa-peristiwa. Maka dengan adanya pengalaman kerja yang semakin lama diharapkan auditor dapat semakin baik dalam pendeteksian kecurangan yang terjadi dalam perusahaan klien. Dengan semakin bertambahnya pengalaman auditing, jumlah kecurangan yang diketahui oleh auditor diharapkan akan bertambah. Pada saat yang sama, hal ini menjadi lebih mudah untuk membedakan hal-hal yang termasuk dalam kategori yang berbeda. Bertambahnya pengalaman menghasilkan struktur kategori yang lebih tepat (akurat) dan lebih komplek. Konsep kecurangan yang dimiliki auditor kemungkinan menjadi lebih dapat ditegaskan dan kemampuan dalam menentukan kecurangan tertentu yang terjadi pada suatu siklus transaksi tertentu kemungkinan akan meningkat dengan bertambahnya pengalaman.

2.10 Independensi

Independen artinya tidak mudah dipengaruhi, karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun. Untuk memenuhi pertanggungjawaban profesionalnya, auditor harus bersikap independen karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya. Independensi menghindarkan diri dari hubungan yang bisa merusak obyektifitas seorang auditor dalam melakukan jasa atestasi. Menurut Pusdiklatwas BPKP (2005), auditor yang independen adalah auditor yang tidak memihak dan yang tidak dapat diduga memihak, sehingga tidak merugikan pihak manapun.

Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan Publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan Publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan,

namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas

pekerjaan akuntan publik (Christiawan, 2002).

Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga

berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya (Mulyadi:26-27).

Independensi dalam audit berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independence in fact yang dalam kenyataan akan ada apabila padakenyataanya auditor mampu mempertahankan sikap yangtidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa independensi memunyai tiga buah pengertian bila dihubungkan dengan akuntan publik :

  1. Dalam berbagai hal, independensi berarti kejujuran, integritas, obyektifitas dan tanggung jawab.
  2. Dalam hal yang lebih sempit, bila dihubungkan dengan pemeriksaan akuntansi sehubungan dengan mengeluarkan pendapat atas laporan keuangan, maka independensi berarti menghindari berbagai hubungan yang memungkinkan (sekaligus tanpa sadar) merusak obyektif akuntan publik.
  3. Independensi berarti menghindari hubungan yang dapat menimbulkan kesan seseorang pemeriksa mempunyai suatu konflik kepentingan.

Upaya dalam memelihara independensi yaitu:

  1. Kewajiban hukum
  2. Standar auditing yang berlaku umum
  3. Standar pengendalian mutu
  4. Komite audit
  5. Komunikasi dengan auditor pendahulu

2.10.1 Pentingnya Independensi

Dalam Standar Auditing (SA) seksi 220 PSA No. 4 menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat umum atas independensi sikap auditor independen sangat penting bagi perkembangan profesi akuntan publik. Kepercayaan masyarakat akan menurun jika terdapat bukti bahwa independensi sikap auditor berkurang bahkan kepercayaan masyarakat dapat juga menurun disebabkan oleh keadaan yang oleh mereka yang berpikiran sehat (reasonable) dianggap dapat mempengaruhi sikap independen tersebut.

Sikap mental independen sama pentingnya dengan keahlian dalam bidang praktik akuntansi dan prosedur audit yang harus dimiliki oleh setiap auditor. Disamping itu tidak hanya berkewajiban mempertahankan sikap mental independen, tetapi ia harus menghindari pula keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan independennya. Sikap mental independen auditor menurut persepsi masyarakat inilah yang tidak mudah untuk memperolehnya.

Menurut Supriyono (1988:34) yang dikutip dalam penelitian Mayangsari (2002), ada enam faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik, salah satunya adalah jasa-jasa lain selain audit yang dilakukan oleh auditor bagi klien. Seringkali manajemen klien meminta kantor akuntan publik untuk memberikan jasa lain selain jasa audit. Pemberian jasa lain selain jasa audit menimbulkan pertanyaan yang mendasar apakah akuntan publik tersebut dapat mempertahankan

independensinya.

2.10.2 Tiga Aspek Independensi Auditor

Independensi auditor mempunyai tiga aspek (Mulyadi & Kanaka: 49) yaitu sebagai berikut:

  1. Independensi dalam diri auditor yang berupa kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang ditemuinya dalam auditnya. Aspek independensi ini disebut dengan istilah independensi dalam kenyataan atau independence in fact.
  2. Independensi yang ditinjau dari sudut pandang pihak lain yang mengetahui informasi yang bersangkutan dengan diri auditor. Aspek independensi ini disebut dengan istilah independensi dalam penampilan atau perceived independence  atau independence in appearance.
  3. Independensi dipandang dari sudut keahliannya. Seorang dapat mempertimbangkan fakta dengan baik jika ia mempunyai keahlian mengenai atas audit fakta tersebut.

2.10.3 Risiko yang Dapat Merusak Independensi

Independensi dalam penampilan akuntan publik dianggap rusak jika auditor mengetahui atau patut mengetahui keadaan atau hubungan yang mungkin mengkompromikan independensinya. Menurut Ruchjat Kosasih (2000) ada empat jenis risiko yang dapat merusak independensi akuntan publik, yaitu:

  1. Self interest risk, yang terjadi apabila akuntan publik menerima manfaat dari keterlibatan keuangan klien.
  2. Self review risk, yang terjadi apabila akuntan publik melaksanakan penugasan pemberian jasa keyakinan yang menyangkut keputusan yang dibuat untuk kepentingan klien atau melaksanakan jasa lain yang mengarah pada produk atau pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok bahasan dalam penugasan pemberian jasa keyakinan.
  3. Advocacy risk, yang terjadi apabila tindakan akuntan publik menjadi terlalu erat kaitanya dengan kepentingan klien.
  4. Client influence risk, yang terjadi apabila akuntan publik mempunyai hubungan erat yang kontinyu dengan klien, termasuk hubungan pribadi yang dapat mengakibatkan intimidasi oleh atau keramahtamahan (familiarity) yang berlebihan dengan klien.

2.10.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Independensi Auditor

Tidak dapat dipungkiri bahwa klien berusaha agar laporan keuangan yang dibuat oleh klien mendapatkan opini yang baik oleh auditor. Banyak cara dilakukan agar auditor tidak menemukan kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan bahkan yang lebih parah lagi adalah kecurangan-kecurangan yang dilakukan tidak dapat dideteksi oleh auditor.

Independensi akuntan publik dapat terpengaruh jika akuntan publik mempunyai kepentingan keuangan atau mempunyai hubungan usaha dengan klien yang diaudit. Menurut Lanvin (1976) dalam Supriyono (1988) independensi auditor dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Ikatan keuangan dan usaha dengan klien
  2. Jasa-jasa lain selain jasa audit yang diberikan klien
  3. Lamanya hubungan kantor akuntan publik dengan klien

Sedangkan menurut Shockley (1981) dalam Supriyono (1988) independensi akuntan publik dipengaruhi oleh faktor :

  1. Persaingan antar akuntan publik
  2. Pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien
  3. Ukuran KAP
  4. Lamanya hubungan antara KAP dengan klien

Dari faktor–faktor yang memengaruhi independensi tersebut di atas bahwa independensi dapat dipengaruhi oleh ikatan keuangan dan usaha dengan klien, jasa-jasa lain yang diberikan auditor selain audit, persaingan antar KAP dan ukuran KAP. Seluruh faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik tersebut adalah ditinjau dari independensi dalam penampilan.

  • Skeptisme Profesional Auditor

Dalam Standar Profesi Akuntan Publik ( SPAP, 2001:230.2), menyatakan skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Shaub dan Lawrence (1996) mengartikan skeptisisme profesional auditor adalah “professional scepticism is a choice to fulfill the professional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences of another person’s behavior”. Skeptisisme profesional digabungkan ke dalam literatur profesional yang membutuhkan auditor untuk mengevaluasi kemungkinan adanya kecurangan material. Selain itu juga dapat diartikan sebagai pilihan untuk memenuhi tugas audit profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dan perilaku orang lain (SPAP 2001 : 230.2)

Kee dan Knox’s (1970) dalam model “Professional Scepticism Auditor” menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor:

  1. Faktor-faktor kecondongan etika

Faktor-faktor kecondongan etika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. The American Heritage Directory menyatakan etika sebagai suatu aturan atau standar yang menentukan tingkah laku para anggota dari suatu profesi. Pengembangan kesadaran etis/moral memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan (Louwers, 1997), termasuk dalam melatih sikap skeptisisme profesional akuntan.

  • Faktor-faktor situasi

Faktor-faktor situasi berperngaruh secara positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (situasi irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya.

  • Pengalaman

Pengalaman yang dimaksudkan disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Butt (1988) memperlihatkan dalam penelitiannya bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Jadi seorang auditor yang lebih berpengalaman akan lebih tinggi tingkat skeptisisme profesionalnya dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman.

Berkaitan dengan skeptisisme ini, penelitian yang dilakukan Kee & Knox’s (1970) yang menggambarkan skeptisisme profesional sebagai fungsi dari disposisi etis, pengalaman dan faktor situasional. Michael K. Shaub dan Janice E. Lawrence (1996) mengindikasikan bahwa auditor yang menguasai etika situasi yang kurang lebih terkait dengan etika profesional dan kurang lebih dapat melaksanakan skeptisisme profesionalnya. Faktor situasional merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan skeptisisme profesional auditor.

  • Pentingnya Skeptisisme Profesional Auditor

Pentingnya skeptisisme profesional banyak ditekankan oleh berbagai jenis profesi. Umumnya profesi yang membutuhkan skeptisisme profesional adalah profesi yang berhubungan dengan pengumpulan dan penilaian bukti-bukti secara kritis, dan melakukan pertimbangan pengambilan keputusan berdasarkan bukti yang dikumpulkan. Profesi-profesi yang dirujuk antara lain, detektif, polisi, auditor, pengacara dan hakim, dan penyelidik. Namun, dari berbagai bidang profesi dan akademis yang membutuhkan skeptisisme profesional, hanya auditor yang menyaratkan skeptisisme profesional dalam standar profesionalnya (Hurtt, 2003).

Seperti yang tercantum dalam SPAP seksi 230 (IAPI, 2011), skeptisisme

profesional merupakan unsur yang terkandung dalam Standar Umum ketiga mengenai penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama dalam

pelaksanaan pekerjaan auditor (due professional care). Due professional care merupakan komponen yang penting dalam proses audit. Banyak diskusi telah dilakukan mengenai praktik kerja yang dilakukan oleh manajemen audit, supervisor, dan staff untuk menekankan pentingnya due professional care (Gallegos, 2003). Selain meningkatkan kualitas audit dan mendeteksi terjadinya fraud, skeptisisme profesional auditor juga berperan dalam mencegah terjadinya fraud. Penemuan Chen, dkk., (2009) mempertegas pentingnya skeptisisme  profesional auditor yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan audit (audit actions) karena dapat mengurangi kecenderungan manajer untuk melakukan fraud.

Penerapan tingkat skeptisisme dalam audit sangatlah penting karena dapat memengaruhi efektifitas dan efisiensi audit. Skeptisisme yang terlalu rendah akan memperburuk efektivitas audit, sedangkan terlalu tinggi akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan (Financial Reporting Council, 2010). Oleh karena itu, dalam melaksanakan audit, auditor seharusnya tidak serta-merta membuat pola pikir bahwa dalam informasi keuangan yang disediakan manajemen terdapat salah saji material atau kecurangan yang disengaja. Namun, seiring dengan proses pengumpulan bukti-bukti audit, auditor dapat meningkatkan kewaspadaannya jika terdapat kemungkinan informasi keuangan tersebut memiliki salah saji material atau kecurangan yang disengaja.

Faktanya, skeptisisme profesional dalam auditing penting karena (Quadackers, 2009):

  1. skeptisisme profesional merupakan syarat yang harus dimiliki auditor yang tercantum di dalam standar audit (SPAP),
  2. perusahaan-perusahaan audit internasional menyaratkan penerapan skeptisisme profesional dalam metodologi audit mereka,
  3. skeptisisme profesional merupakan bagian dari pendidikan dan pelatihan auditor,
  4. literatur akademik dan profesional di bidang auditing menekankan pentingnya skeptisisme profesional.

Selain itu, banyak studi kasus yang oleh SEC (Security and Exchange Commissions) dilaporkan sebagai kegagalan auditor dalam mendeteksi salah saji material sebagai hasil dari kurangnya skeptisisme profesional, contohnya pada kasus Enron, WorldCom, Adelphia, dan Global Crossing.

  • Karakteristik Skeptisisme Profesional

Karakteristik skeptisisme profesional auditor terdiri dari (Hurtt, 2003):

  1. Pola pikir yang selalu bertanya-tanya (questioning mind), mencerminkan sikap keragu-raguan seperti yang terdapat dalam definisi skeptisisme profesional secara umum maupun khusus dalam auditing.
  2. Penundaan pengambilan keputusan (suspension of judgment), mencerminkan sikap yang tidak tergesa-gesa dalam melakukan suatu hal. Orang yang skeptis tetap akan mengambil suatu keputusan, namun tidak segera, karena mereka membutuhkan informasi-informasi pendukung lainnya untuk mengambil keputusan tersebut.
  3. Mencari pengetahuan (search for knowledge), meunjukkan bahwa orang yang skeptis memiliki sikap keingintahuan akan suatu hal. Berbeda dengan sikap bertanya-tanya, yang didasari keraguan atau ketidakpercayaan, karakteristik ketiga ini didasari karena keinginan untuk menambah pengetahuan.
  4. Pemahaman interpersonal (interpersonal understanding), memberikan pemahaman bahwa orang yang skeptis akan mempelajari dan memahami individu lain yang memiliki pandangan dan persepsi yang berbeda mengenai suatu hal. Dengan memahami persepsi orang lain, orang yang skeptis akan mengambil kesimpulan dan beragumentasi untuk mengoreksi  pendapat orang lain.
  5. Percaya diri (self-confidence), diperlukan oleh auditor untuk dapat menilai bukti-bukti audit. Selain itu, percaya diri diperlukan oleh auditor untuk dapat berhadapan dan berinteraksi dengan orang lain atau klien, termasuk juga beradu argumentasi dan mengambil tindakan audit yang diperlukan berdasarkan keraguan atau pertanyaan yang timbul dalam dirinya.
  6. Determinasi diri (self-determination), diperlukan oleh auditor untuk mendukung pengambilan keputusan, yakni menentukan tingkat kecukupan bukti-bukti audit yang sudah diperolehnya.
    1. Usaha yang Dapat Dilakukan untuk Meningkatkan Skeptisisme Profesional

Terdapat dua lingkup area yang dapat mengembangkan dan meningkatkan skeptisisme auditor, yakni:

  1. Rekrutmen, pelatihan dan motivasi/penghargaan.
  2. Metodologi audit yang digunakan.

Karakteristik skeptisisme bawaan setiap orang akan berbeda-beda, beberapa memiliki tingkat skeptisisme yang lebih tinggi daripada yang lain.

Pelatihan diperlukan untuk meningkatkan skeptisisme profesional auditor. Pelatihan fraud terbukti dapat mengurangi perbedaan antara auditor yang memiliki skeptisisme rendah dan tinggi, hal ini menunjukkan bahwa skeptisisme profesional dapat dipengaruhi dengan adanya pelatihan (Quadackers, 2009). Ada dua jenis pelatihan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan skeptisisme profesional adalah pelatihan langsung dan pelatihan tidak langsung (Financial Reporting Council, 2010). Pelatihan tidak langsung diperoleh dari simulasi yang disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya dengan workshop, atau pelatihan-  pelatihan audit. Sedangkan pelatihan langsung diperoleh melalui mentoring atau pelatihan yang diberikan secara langsung melalui praktik dan pengarahan oleh staf

auditor senior kepada staf auditor junior. Namun, pelatihan tidak langsung sendiri tidak akan efektif untuk melatih skeptisisme profesional dikarenakan faktor tekanan yang ada saat auditor terjun ke lapangan langsung. Oleh karena itu, pelatihan tidak langsung tersebut harus diperkuat dengan budaya perusahaan auditor dan pelatihan langsung seperti mentoring.

Menurut Financial Reporting Council (2010) usaha lainnya yang dapat dilakukan adalah pemberian motivasi atau penghargaan, yang akan lebih mendorong para auditor untuk berprestasi dalam bidangnya, dan untuk itu mereka harus dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik, salah satunya adalah pencarian bukti-bukti audit yang relevan dan reliable.

Selain pelatihan, motivasi dan penghargaan, metodologi audit juga dapat memengaruhi skeptisisme. Auditor yang bekerja dengan metode checklist dalam menjalankan tugas auditnya tidak akan bebas mengekspresikan sikap skeptisnya. Oleh karena itu, untuk mendorong skeptisisme profesional auditor, sebaiknya selain menugaskan auditor untuk bekerja sesuai dengan checklist yang ada, digunakan juga metodologi yang mendorong auditor untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan terbuka kepada manajemen klien dan melakukan follow up terhadap respon yang diberikan manajemen.

  • Pendeteksian Kecurangan

Definisi kecurangan (Fraud) menurut Black Law Dictionary adalah “a knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce another to act to his or her detriment, is usual a tort, but in some cases (esp when the conduct is willful) it may be a crime”. Definisi diatas dapat diartikan bahwa kecurangan merupakan kesengajaan atassalah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan yang disembunyikan darisebuah fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukanperbuatan atau tindakan yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahannamun dalam beberapa kasus(khususnya dilakukan secara sengaja)memungkinkan merupakan suatu kejahatan.

AU seksi 316.05 mendefinisikan kecurangan adalah tindakan disengajayangmengakibatkan salah saji material dalam laporan keuangan yang diaudit.Ada dua tipe salah saji yang relevan dengan pertimbangan auditor tentangkecurangan dalam audit. Atas laporan keuangan salah saji yang timbul sebagaiakibat dari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan salah saji yang timbul dari

penyalahgunaan aset.

  • Karakteristik Kecurangan

Dalam Standar Auditing (SA) seksi 316–Pertimbangan atas Kecurangan Dalam Audit Laporan Keuangan–(PSA No. 70) menyebutkan ada dua tipe salah saji yang relevan dengan pertimbangan auditor tentang kecurangan dalam audit atas laporan keuangan:

  1. Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan. Kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan seperti: (a) manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan (b) representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan (c) salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.
  2. Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (seringkali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan) berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan  tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk penggelapan tanda terima barang/uang, pencurian aktiva, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar harga barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan dan dapat menyangkut satu atau lebih individu diantara manajemen, karyawan, atau pihak ketiga.
    1. Penyebab Timbulnya Fraud

Ada beberapa faktor utama yang merupakan penyebab timbulnya fraud yaitu antara lain (1) adanya kerja sama dengan pihak ketiga, (2) adanya kerja sama antara karyawan perusahaan, (3) adanya internal control yang kurang memadai, (4) kurangnya kesadaran terhadap perbuatan yang salah dan (5) adanya perbedaan dalam etika bisnis. Selain itu, pada umumnya juga fraud terjadi karena tiga hal yang mendasarinya terjadi secara bersamaan, yaitu:

  1. Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud
  2. Peluang untuk melakukan fraud
  3. Sikap atau rasionalisasi untuk membenarkan tindakan fraud
    1. Fraud Laporan Keuangan

Menurut Ferdian & Na’im (2006), kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan sebagai berikut:

  1. Manipulasi, pemalsuan atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.
  2. Representasi yang dalam atau penghilangan dari laporan keuangan, peristiwa, transaksi atau informasi lain yang signifikan.
  3. Salah penerapan secara sengaja atas prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapannya.

Fraud dalam pelaporan keuangan biasanya juga berbentuk salah saji atau kelalaian yang disengaja baik dalam jumlah maupun pengungkapan pos-pos dalam pelaporan keuangan untuk menyesatkan pemakai informasi laporan keuangan tersebut. Fraud laporan keuangan dapat dibedakan antara yang sifatnya inklusif dan eksklusif (Dooley dan Skalak, 2006). Fraud dianggap sebagai inklusif apabila laporan keuangan mengandung transaksi atau nilai yang tidak benar. Sedangkan fraud yang dianggap eksklusif cenderung menghilangkan transaksi yang seharusnya dimasukkan dalam laporan keuangan. Fraud yang inklusif lebih banyak ditemukan dalam praktik. Contoh fraud yang inklusif adalah overstated dari piutang dagang akan berdampak pada pos pendapatan.

  • Pendeteksian Fraud

Ada beberapa keterbatasan auditor eksternal dalam mendeteksi salah saji yang timbul dari fraud. Audit dan review yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan perusahaan bertujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan perusahaan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Penentuan apakah suatu laporan keuangan telah disajikan secara wajar pada umumnya dilakukan melalui pengujian (testing) terhadap sejumlah sampel dan bukan pengujian terhadap keseluruhan populasi. Dengan pengujian secara sampling, maka tidak dapat dihindari risiko adanya salah saji yang tidak terdeteksi, salah satunya karena penggunaan sampling risks.

Kemampuan auditor eksternal dalam mendeteksi fraud, bergantung pula pada kecanggihan pelaku fraud, frekuensi dari manipulasi, tingkat kolusi dan ukuran senioritas yang dilibatkan, karena semakin tinggi tingkat kolusi dalam fraud dan semakin tinggi tingkat manajemen yang terlibat dalam fraud ini, semakin sulit pula untuk mendeteksi fraud tersebut oleh auditor eksternal.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam perusahaan agar tingkat kemungkinan dideteksinya fraud lebih besar, yaitu:

  1. Adanya diskusi antar anggota tim audit tentang kemungkinan risiko fraud sekarang menjadi wajib.
  2. Semua pihak agar mengidentifikasi fraud.
  3. Adanya respon yang lebih komprehensif dan terintegrasi terhadap risiko fraud.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan auditor dalam mendeteksi fraud adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana auditor dapat berkomunikasi dengan efektif sehingga pihak klien lebih termotivasi untuk menyumbangkan informasi tentang fraud. Dengan kata lain, hal ini merupakan langkah awal bagaimana auditor mendapatkan informasi mengenai fraud.
  2. Auditor menerapkan unsur unpredictability (tidak dapat ditebak) dalam prosedur auditnya, misalnya mengacak sifat, jadwal dan sampel pengujiannya.
  3. Auditor perlu mengasah sensivitasnya akan hal-hal yang sifatnya tidak lazim yang bisa jadi merupakan indikasi akan terjadinya fraud. Misalnya memeriksa manual journal entry, auditor melihat adanya angka yang secara ganjil jumlahnya bulat, kemudian sewaktu dicek lebih lanjut ternyata benar bahwa angka tersebut merupakan angka yang dimarkup dengan cara dibulatkan ke atas.
  4. Dalam menjalankan jasa profesionalnya, auditor perlu menerapkan praktik -praktik manajemen risiko secara lebih baik. Sebagai contoh, auditor akan melakukan penilaian, berdasarkan kriteria tertentu, atas hal-hal sebagai berikut: (1) apakah auditor dapat menerima suatu entitas sebagai kliennya, (2) apakah auditor dapat melanjutkan hubungan profesional dengan kliennya dari satu periode ke periode berikutnya, (3) apakah auditor dapat menerima suatu penugasan tertentu dari kliennya. Dengan kata lain, bila auditor meragukan integritas dari manajemen suatu entitas, atau berdasarkan pengalaman entitas tersebut rentan terhadap fraud, maka auditor dapat memutuskan untuk secara profesional tidak menerima entitas tersebut sebagai kliennya.

Fraud dapat dideteksi bukan hanya melalui proses audit oleh akuntan publik saja tetapi secara lebih komprehensif melalui fraud deterrence cycle yang melibatkan manajemen, internal auditor, auditor eksternal dan auditor forensik. Analisis atas corporate reporting value chain mendukung pandangan bahwa auditor hanyalah salah satu bagian dalam mata rantai pelaporan perusahaan (termasuk pelaporan keuangan) dalam pencegahan dan pendeteksian fraud akan membutuhkan kerja sama  dari para partisipan atau bagian-bagian lain dari mata rantai ini.

Pihak-pihak yang  ikut menanggung beban dalam mendeteksi adanya fraud yaitu manajemen, dewan direksi, penyusun standar, dan regulator, yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam penegakan corporate governance dan masing-masing memiliki tanggung jawab tersendiri dalam memastikan bahwa pasar finansial investor dan pemakai laporan keuangan lainnya terpenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain pihak-pihak tersebut bersama pihak lainnya merupakan corporate reporting supply chain.

Pendeteksian kecurangan bukan merupakan tugas yang mudah dilaksanakan oleh auditor. Terjadinya kecurangan atau fraud sebenarnya berbeda dengan kekeliruan. Menurut Loebbecke et al. (1989), kecurangan lebih sulit untuk dideteksi karena biasanya melibatkan penyembunyian (concealment). Penyembunyian tersebut terkait dengan catatan akuntansi dan dokumen yang berhubungan, dan hal ini juga berhubungan dengan tanggapan pelaku kecurangan atas permintaan auditor dalam melaksanakan audit. Jika auditor meminta bukti transaksi yang mengandung kecurangan, pelaku kecurangan akan memberi informasi palsu atau informasi yang tidak lengkap.

2.12.5 Fraud Triangle Theory

Fraud triangle theory merupakan suatu gagasan yang meneliti tentang penyebab terjadinya kecurangan. Gagasan ini pertama kali diciptakan oleh Donald R. Cressey (1953) yang dinamakan fraud triangle atau segitiga kecurangan. Fraud triangle menjelaskan tiga faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud:

  1. Pressure (tekanan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non keuangan.
  2. Opportunity (peluang), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk memungkinkan suatu kecurangan terjadi.
  3. Rationalization (rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud.

Ketiga hal di atas digambarkan dalam gambar berikut ini:

http://bhgrealestateblog.com/wp-content/uploads/2008/10/pressuretriangle1.jpg

Gambar 1. Fraud Triangle

Sumber : Fraud Triangle Theory oleh Cressey (1953)

  • Rerangka Pemikiran

Rerangka pemikiran merupakan suatu alat  dalam menganalisa suatu konsep penelitian, dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai Pengaruh Pengalaman, Indepedensi, dan Skeptisme Profesional Auditor terhadap Pendeteksian Kecurangan.

Variabel Independen                                                                   Variabel Dependen

Text Box: Pengalaman (X1)
Text Box: Independensi (X2)
Text Box: Skeptisme Profesional Auditor  (X3)

Gambar 2. Rerangka Pemikiran

  • Perumusan Hipotesis

Perumusan hipotesis dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah terdapat pengaruh pengalaman, independensi, dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 

Ha1: Pengalaman berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan.

Ha2: Indepedensi berpengaruh positif terhadap Pendeteksian kecurangan.

Ha3: Skeptisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan.

3.  METODOLOGI PENELITIAN

  • Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian mengenai pendeteksian kecurangan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara dua variabel atau lebih. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel independen, yaitu pengalaman, independensi dan skeptisme profesional auditor terhadap variabel dependen, yaitu pendeteksian kecurangan. Populasi dari penelitian ini adalah akuntan publik yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Kota Malang.

  • Metode Pengumpulan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode convenience sampling, yaitu teknik dalam memilih sampel berdasarkan kemudahan. Peneliti menggunakan metode convenience sampling karena peneliti memiliki kebebasan untuk dapat memilih sampel dengan cepat dari populasi yang datanya mudah diperoleh. Responden yang digunakan dalam penelitian ini yaitu auditor senior, partner, manajer, supervasior, auditor junior yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di Kota Malang.

  • Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan data primer yaitu sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya. Pengumpulan datanya dilakukan melalui metode survei dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang disebarkan secara langsung diberikan kepada auditor yang berada pada KAP di Kota Malang.

  • Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya yaitu meganalisis data. Kegiatan analisis dan pengolahan data ini dengan melakukan tabulasi terhadap kuisioner yaitu dengan cara memberikan dan menjumlahkan bobot jawaban pada masing-masing pertanyaan untuk masing-masing variabel.

Metode statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan regresi berganda dengan menggunakan software SPSS versi 16. Setelah semua data-data dalam penelitian ini terkumpul, maka selanjutnya dilakukan analisis data yang terdiri dari:

  1. Uji Statistik Deskriptif

Analisis deskriptif akan menunjukkan mean, nilai maksimum, nilai minimum, dan deviasi standar dari tiap variabel (Gujarati, 2009). Selain itu juga dilakukan pengukuran skewness dan kurtosis untuk menggambarkan distribusi data apakah normal atau tidak.  Tujuan dari pengujian statistik deskriptif ini adalah untuk memberikan gambaran tentang keadaan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini secara garis besar selama periode penelitian. Dalam statistik deskriptif akan menggunakan tabel untuk lebih memudahkan analis dalam membaca data.

  • Uji Kualitas Data

Penelitian yang mengukur variabel dengan menggunakan instrumen kuisioner harus dilakukan pengujian kualitas terhadap data yang diperoleh. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan valid dan reliable sebab kebenaran data yang diolah sangat menentukan kualitas dari hasil penelitian.

  1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuisioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuisioner mempu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Pengujian validitas ini menggunakan Pearson Correlation yaitu dengan cara menghitung korelasi antara skor masing-masing butir pertanyaan dengan total skor. Jika korelasi antara skor masing-masing butir pertanyaan dengan total skor mempunyai tingkat signifikansi di bawah 0,05 maka butir pertanyaan tersebut dinyatakan valid dan sebaliknya (Ghozali, 2009:49).

  • Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas data adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengukur suatu kuisioner yang merupakan indikator dari suatu variabel atau konstruk. Suatu kuisioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang dalam kuisioner konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Suatu kuisioner dikatakan relaibel atau handal jika memberikan nilai cronbach alpha di atas 0,6 (Ghozali, 2009:45).

  • Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear berganda yang berbasis ordinary least square (OLS). Uji asumsi klasik yang sering digunakan yaitu uji normalitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedasitas, dan uji autokorelasi. Tidak ada ketentuan pasti tentang urutan uji mana dulu yang harus dipenuhi. Analisis dapat dilakukan tergantung pada data yang ada. Sebagai contoh, dilakukan analisis terhadap semua uji asumsi klasik, lalu dilihat yang tidak memenuhi persyaratan, kemudian dilakukan perbaikan pada uji tersebut, dan setelah memenuhi persyaratan akan dilakukan pengujian pada uji yang lain. Uji asumsi klasik dilakukan agar mendapat model persamaan regresi yang baik dan benar-benar mampu memberikan estimasi yang handal dan tidak bias. Apabila data telah dipastikan bebas dari penyimpangan klasik, maka dilanjutkan dengan uji hipotesis.

  1. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji adanya korelasi antar variabel bebas (independen) dalam suatu model regresi linear berganda (Ghozali, 2009). Jika ada korelasi yang tinggi di antara variabel-variabel bebasnya, maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terkaitnya menjadi terganggu. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen.

Alat statistik yang sering dipergunakan untuk menguji gangguan pada multikolinearitas adalah dengan variance inflation factor (VIF), korelasi pearson antara variabel-variabel bebas, atau dengan melihat eigenvalues dan condition index (CI). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai tolerance dan lawannya variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya.

Jika nilai Tolerance ≤ 0.10 dan nilai VIF ≥ 10, maka terjadi masalah multikolinearitas, artinya model regresi tersebut tidak baik. (Ghozali, 2009).

Beberapa alternatif cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah sebagai berikut (Ghozali, 2009).

1.        Mengganti atau mengeluarkan variabel yang memunyai korelasi yang tinggi.

2.  Menambah jumlah observasi.

3.                 Mentransformasikan data ke dalam bentuk lain, misalnya logaritma natural, akar kuadrat, dan first difference delta.

b. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak.. Dalam uji normalitas ini ada 2 cara untuk mendeteksi residual berdistribusi normal atau tidak, yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik (Ghozali, 2009). Alat uji yang digunakan adalah dengan analisis grafik histogram, grafik normal probability plot, uji chi square, skewness, dan uji statistik dengan Kolmogorov-Smirnov Z (1-Sample K-S). Pengujian dengan metoda grafik sering menimbulkan perbedaan presepsi di antara beberapa pengamat, sehingga penggunaan uji normalitas dengan uji statistik bebas dari keragu-raguan, meskipun tidak ada jaminan bahwa pengujian dengan uji statistik lebih baik dari pada pengujian dengan metoda grafik (Ghozali, 2009).

Dasar pengambilan keputusan uji statistik dengan Kolmogorov-Smirnov Z (1-Sample K-S) adalah sebagai berikut (Ghozali, 2009).

  1. Jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) ≤ 0.05, maka H0 ditolak, dan Ha diterima. Hal ini berarti data residual terdistribusi tidak normal.
  2. Jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) ≥ 0.05, maka H0 diterima, dan Ha ditolak. Hal ini berarti data residual terdistribusi normal.

Dasar pengambilan keputusan dengan analisis grafik normal probability plot adalah sebagai berikut (Ghozali, 2009).

  1. Jika titik menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.
  2. Jika titik menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
  3. Uji Heteroskedastisitas

Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang memenuhi persyaratan adalah di mana terdapat kesamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap atau disebut homoskedastisitas.

Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode scatter plot dengan memplotkan nilai ZPRED (nilai prediksi) dengan SRESID (nilai residualnya). Model yang baik didapatkan jika tidak terdapat pola tertentu pada grafik, seperti mengumpul di tengah, menyempit kemudian melebar atau sebaliknya melebar kemudian menyempit. Uji statistik yang dapat digunakan adalah uji Glejser, uji Park atau uji White.

Beberapa alternatif solusi jika model menyalahi asumsi heteroskedastisitas adalah dengan mentransformasikan ke dalam bentuk logaritma, yang hanya dapat dilakukan jika semua data bernilai positif. Selain itu juga dapat dilakukan dengan membagi semua variabel dengan variabel yang mengalami gangguan heteroskedastisitas.

  • Uji Hipotesis
  • Uji Signifikansi Parameter Individual ( Uji Statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel individu independen secara individu dalam menerangkan variabel   dependen        (Ghozali, 2009:88).     Dalam penelitian         ini menggunakan uji signifikan dua arah atau two tailed test, yaitu suatu uji yang mempunyai dua daerah penolakan Ho yaitu terletak di ujung sebelah kanan dan kiri. Kriteria dalam uji parsial (Uji t) dapat dilihat berdasarkan uji hipotesis dengan membandingkan t hitung dengan t tabel yaitu :

1) Apabila – t hitung < – t tabel atau t hitung > t tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen,

2) Apabila thitung ≤ t tabel atau – t hitung ≥ – t tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya variabel independen secara parsial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.

Selain itu, dapat juga dengan melihat nilai probabilitas. Jika nilai probabilitas lebih kecil daripada 0,05 (untuk tingkat signifikansi=5%), maka variabel independen secara satu persatu berpengaruh terhadap variabel dependen. Sedangkan jika nilai probabilitas lebih besar dari pada 0,05 maka variabel independen secara satu persatu tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.

  • Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

Uji statistik simultan atau disebut juga dengan analisis varian (ANOVA) merupakan uji koefisien regresi secara bersama-sama (uji F). Uji F bertujuan untuk menunjukkan semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Pengujian ini menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5% dengan ketentuan sebagai berikut (Santoso, 2012) :

1.        Apabila signifikan ≥ 0.05 maka H0 diterima dan Ha ditolak (variabel bebas tidak berpengaruh secara simultan)

2.        Apabila signifikan ≤ 0.05 maka H0 ditolak dan Ha diterima (variabel bebas berpengaruh secara simultan).

  • Analisis Regresi Linier Berganda

a. Uji Persamaan Regresi Linier Berganda 

Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis regresi linier berganda yang bertujuan untuk menguji hubungan pengaruh antara satu variabel terhadap variabel lain. Variabel yang dipengaruhi disebut variabel dependen, sedangkan variabel yang mempengaruhi disebut variabel bebas atau independen.

Model persamaannya dapat digambarkan sebagai berikut:

Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + e

Keterangan:

Y : Pendeteksian Kecurangan 

X1 : Pengalaman

X2 : Independensi 

X3             : Skeptisme Profesional Audit

a : Konstanta

bx : Koefisien regresi  

e : Error

Linearitas hanya dapat diterapkan pada regresi berganda karena memiliki variabel independen lebih dari satu, suatu model regresi berganda dikatakan linier jika memenuhi syarat-syarat linieritas, seperti normalitas data (baik secara individu maupun model), bebas dari asumsi klasik statistik multikolineritas, autokorelasi, heteroskedastisitas.

  • Uji R2 (Koefisien Determinasi)

Koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dapat menjelaskan variasi variabel dependen. Dalam pengujian hipotesis pertama koefisien determinasi dilihat dari besarnya nilai R Square (R2) untuk mengetahui seberapa jauh variabel bebas yaitu Pengalaman, Independensi dan Skeptisme Profesional Audit terhadap Pendeteksian Kecurangan. Nilai R2 mempunyai interval antara 0 sampai 1 (0 ≤ R2 ≤1). Jika nilai R2 bernilai besar (mendekati 1) berarti variabel bebas dapat memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen. Sedangkan jika R2 bernilai kecil berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel dependen sangat terbatas (Ghozali, 2009:87).

Dalam pengujian hipotesis kedua koefisien determinasi dilihat dari besarnya nilai Adjusted R-Square. Kelemahannya mendasar pada penggunaan R2 adalah bias terhadap jumlah variabel bebas yang dimasukan ke dalam  model. Setiap tambahan satu variabel bebas maka R2 pasti meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat. Tidak seperti R2, nilai Adjusted R-square dapat naik atau turun apabila satu variabel independen ditambahkan ke dalam model (Ghozali, 2009:87).

  • Operasional Variabel Penelitian
  • Variabel Bebas (Variabel Independen)

Variabel bebas adalah variabel yang   menjelaskan atau mempengaruhi variabel lainnya. Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari:

  1. Pengalaman

Dampak pengalaman dalam kompleksitas tugas, tugas spesifik dan gaya pengambilan keputusan, memberikan kesimpulan bahwa kompleksitas tugas merupakan faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pertambahan pengalaman. Auditor junior biasanya memperoleh pengetahuan dan pengalamannya terbatas dari buku sedangkan auditor senior mengembangkan pengetahuan dan pengalaman lewat pelatihan dan pengembangan lebih lanjut dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan (Asih, 2006:22). Pengalaman kerja dapat memperdalam dan memperluas kemampuan kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama, semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan tersebut.

b.         Indepedensi

Independensi merupakan salah satu ciri paling penting yang harus dimiliki oleh profesi akuntan publik, karena banyak pihak yang menggantungkan kepercayaannya kepada kebenaran laporan keuangan berdasarkan laporan auditor yang dibuat oleh akuntan publik. Akuntan publik harus bersikap indpenden jika melaksanakan praktik publik (public pratice). Pratik publik adalah aktivitas profesi akuntan publik yang mempengaruhi publik (Suryaningtias, 2007:35).

Menurut Sawyer (2006:35) terdapat 3 mengenai independensi, yaitu: independensi dalam verifikasi, independensi dalam program audit, dan independensi dalam pelaporan yang dapat diperuntukkan bagi akuntan publik atau auditor eksternal, tetapi konsep yang sama dapat diterapkan untuk auditor internal dalam bersikap objektif.

Independensi akuntan publik dapat dibagi ke dalam 3 aspek yaitu:

  1. Program Independen

Laporan audit akan memunyai sedikit nilai jika didukung oleh suatu penyelidikan secara seksama. Suatu penyelidikan sesama mungkin tidak akan diminati oleh direktur. Sekalipun mereka tidak mempunyai apapun untuk disembunyikan, para direktur dapat mengurangi fee audit atau menerbitkan laporan keuangan dengan cepat setelah tahun berakhir dan hal seperti itu mungkin saja terjadi.

  • Independen investigasi (verifikasi)

Program independen melindungi kemampuan auditor untuk memilih strategi yang paling sesduai untuk hasil audit mereka dalam bekerja. Sedangkan investigasi independen melindungi cara dimana mereka menerapkan strategi ini. 

  • Laporan Independen

Jika para direktur berusaha untuk menyesatkan pemegang saham dengan memberitahukan informasi akuntansi yang salah atau tidak sempurna, mereka pasti mencegah auditor dari perbuatannya terhadap publik. Ketika independen auditor menjadi rumit, tentu banyak kesalahpahaman yang terjadi dalam hubungan seperti penafsiran suatu standar akuntansi atau suatu perkiraan atau seperti suatu ketetapan untuk hutang yang tidak terbayar.

c. Skeptisme Profesional Auditor

Menurut Waluyo (2008:7) menyatakan bahwa auditor menerapkan sikap skeptisme profesional pada saat mengajukan pertanyaan dan menjalankan prosedur audit, dengan tidak cepat puas dengan bukti audit yang kurang persuasive yang hanya didasarkan pada kepercayaan bahwa manajemen dan pihak terkait selalu memiliki pikiran kritis, professional, bersikap jujur dan mempunyai sikap percaya diri.

Skeptisme profesional auditor merupakan sikap (attitude) auditor dalam melakukan penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit, karena bukti audit dikumpulkan dan dinilai selama proses audit, maka skeptisme profesional harus digunakan selama proses audit, maka skeptisme profesional harus digunakan selama proses tersebut. Skeptisme profesional auditor akan mengarahkannya untuk menanyakan  setiap isyarat yang menunjukkan kemungkinan terjadinya fraud (Waluyo, 2008:24).

2. Variabel Terikat (Dependent Variabel)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau tergantung pada faktor-faktor lain dan variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pendeteksian kecurangan. Deteksi kecurangan mencakup identifikasi indikator-indikator kecurangan (fraud indicators) yang memerlukan tindak lanjut oleh auditor untuk melakukan investigasi.

Empat faktor yang teridentifikasi yang menjadikan pendeteksian kecurangan menjadi sulit dilakukan sehingga auditor gagal dalam usaha mendeteksi. Faktor-faktor penyebabnya yaitu:

a.         Karakteristik terjadinya kecurangan

b.         Standar pengauditan (SPI) mengenai pendeteksian kecurangan

c.         Lingkungan pekerjaan audit yang mengurangi kualitas audit

d.         Metode dan prosedur audit yang tidak efektif dalam pendeteksian kecurangan.

4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan kepada auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik yang berada di Kota Malang. Pengumpulan datanya dilakukan melalui metode survei dengan menggunakan kuisioner. Penyebaran kuisioner dilakukan secara langsung tanpa perantara. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode convenience sampling. Berikut adalah daftar nama Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk penyebaran kuisioner yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Nama Instansi

No.Nama Kantor Akuntan Publik (KAP)
1.Kantor Akuntan Publik Made Sudarma, Thomas & Dewi
2.Kantor Akuntan Publik Drs. Nasikin
3.Kantor Akuntan Publik Drs. Suprihadi & Rekan
4.Kantor Akuntan Publik Thoufan & Rasyid
5.Kantor Akuntan Publik Krisnawan, Busroni, Achsin & Alamsyah
6.Kantor Akuntan Publik Benny, Tony, Frans & Daniel
7.Kantor Akuntan Publik Doli, Bambang , Sulistiyanto, Dadang & Ali

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Peneliti melakukan penyebaran kuisioner sebanyak 44 lembar. Penyebaran kuisioner ini dilakukan pada bulan November 2014 . Sedangkan pengembalian dan pengumpulan data dilakukan sampai awal desember 2014. Kuisioner yang yang kembali hanya sebanyak 37 kuisioner. Hal ini dapat ditunjukkan dalam tabel berikut:

Tabel 2. Sampel dan Tingkat Pengembalian Kuisioner

KeteranganJumlahPresentase
Penyebaran Kuesioner44100%
Kuesioner yang tidak kembali614%
Kuesioner yang kembali3785%
Kuesioner yang bisa diolah3068%

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Data diatas menunjukkan bahwa dari 44 kuisioner yang disebarkan yang dapat kembali hanya sebanyak 37 lembar kuisioner. Sedangkan kuisioner yang dapat diolah hanya sebanyak 30 lembar kuisioner. Tetapi jika dilihat dari tingkat pengembaliannya cukup tinggi, walaupun tidak semua kuisioner dapat kembali. 

4.2 Karakteristik Responden          

Karakteristik responden yang diukur dengan skala nominal yang menunjukkan besarnya frekuensi absolut dan persentase jenis kelamin, umur responden, pendidikan terakhir responden, dan pengalaman kerja. Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah auditor yang berada pada wilayah jakarta. Data mengenai karakteristik responden ditampilkan pada tabel berikut ini:  

Tabel 3. Jenis Kelamin Responden

Jenis KelaminJumlahPresentase
Laki-laki1653%
Perempuan1447%
Jumlah30100%

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 16 responden atau 53% responden. Sedangkan pada jenis kelamin perempuan sebanyak 14 responden atau 47% responden. Dengan total keseluruhan responden yaitu 30.  

Tabel 4. Pendidikan Responden

PendidikanJumlahPresentase
D3620%
D400%
S12273,3%
S226,7%
S300%
Jumlah30100%

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah responden berdasarkan jenjang pendidikan terakhir yaitu Diploma tiga (D3) sebanyak 6 orang atau sebesar 20%, Diploma empat (D4)  tidak ada responden atau 0%, Strata satu (S1) sebanyak 22 orang atau sebesar 73,3%, Strata dua (S2) terdiri dari 2 orang atau sebesar 6,7%, dan yang terakhir yaitu Strata tiga (S3) tidak ada responden.

Tabel 5. Jabatan Responden

JabatanJumlahPresentase
Partner00%
Supervasior310%
Manajer26,7%
Auditor Senior826,7%
Auditor Junior1756,6%
Jumlah30100%

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Tabel ini menunjukkan bahwa jabatan yang dimiliki oleh responden pada data yang telah diolah. Responden yang menjabat sebagai Partner tidak ada responden, Supervasior sebanyak 3 orang sebesar 10%, Manajer sebanyak 2 orang sebesar 6,7%,  Auditor Senior sebanyak 8 orang sebesar 26,7%, dan  Auditor Junior sebanyak 17 orang dengan presentase sebesar 56,6%.

Tabel 6. Pengalaman Kerja Sebagai Auditor

Lama BekerjaJumlahPresentase
1 tahun620%
1–3 tahun930%
3-10 tahun1136,7%
> 10 tahun413,3%
Jumlah30100%

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah responden berdasarkan pengalaman kerja sebagai auditor yaitu 1 tahun sebanyak 6 orang atau sebesar 20%, sedangkan selama 1 sampai 3 tahun yaitu sebanyak 9 orang atau sebesar 30%, pengalaman kerja 3 sampai 10 tahun sebanyak 11 orang atau sebesar 36,7% dan pengalaman lebih dari 10 tahun yaitu sebanyak 4 orang atau sebesar 13,3%.

4.3 Hasil Analisis Data

4.3.1 Uji Statistik Deskriptif

Pengukuran statistik deskriptif variabel dilakukan untuk memberikan gambaran umum mengenai kisaran teoritis, kisaran aktual, rata-rata (mean) dan standar deviasi dari masing – masing variabel.

Tabel 7. Hasil Uji Statistik Deskriptif

Descriptive Statistics
 NMinimumMaximumMeanStd. Deviation
x13028.0045.0037.10003.81783
x23038.0060.0049.86674.70314
x33030.0050.0041.16674.25144
Y3040.0065.0052.76675.79943
Valid N (listwise)30    

Sumber: Hasil pengolahan data, 2014

Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat didekripsikan bahwa jumlah responden (N) adalah sebesar 30. Dari 30 responden ini variabel pengalaman memiliki nilai minimum 28,00, nilai maksimum 45,00, nilai mean 37,1000, dengan standar deviasi 3,81783. Independensi memiliki nilai minimum 38,00, nilai maksimum 60,00, nilai mean 49,8667, dengan standar deviasi 4,70314. Skeptisme profesional auditor memiliki nilai minimum 30,00, nilai maksimum 50,00, nilai mean 41,1667, dengan standar deviasi 4,25144. Sedangkan pada variabel dependen (pendeteksian kecurangan) nilai minimum 40,00, nilai maksimum 65,00, nilai mean 52,7667 dengan standar deviasi 5,79943.

 4.4 Uji Kualitas Data

4.4.1 Uji Validitas

Pengujian validitas dari instrumen penelitian dilakukan dengan menghitung angka korelasional atau r hitung dari nilai jawaban tiap responden untuk tiap butir pertanyaan, kemudian dibandingkan dengan r tabel. Nilai r tabel 0,317, didapat dari (df) = n-2, atau 30–2 = 28, tingkat signifikansi 5%, maka didapat rtabel 0,317. Setiap butir pertanyaan dikatakan valid bila angka korelasional yang diperoleh dari perhitungan lebih besar atau sama dengan rtabel (Imam Ghozali, 2009:53). Tabel di bawah ini menunjukkan hasil uji validitas dari variabel pengalaman:  

Tabel 8. Hasil Uji Validitas Variabel Pengalaman Auditor

PertanyaanVariabelr hitungr tabelKeterangan
1.Pengalaman Auditor0,8160,317Valid
2.Pengalaman Auditor0,7230,317Valid
3.Pengalaman Auditor0,5390,317Valid
4.Pengalaman Auditor0,8620,317Valid
5.Pengalaman Auditor0,7980,317Valid
6.Pengalaman Auditor0,7080,317Valid
7.Pengalaman Auditor0,7370,317Valid
8.Pengalaman Auditor0,5090,317Valid
9.Pengalaman Auditor0,6300,317Valid

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa variabel pengalaman auditor dari 9 pertanyaan menunjukkan valid karena r hitung  lebih besar dari r tabelnya. Dari perhitugan validitas diatas menunjukkan bahwa pengalaman auditor valid terhadap pendeteksian kecurangan.

Tabel 9. Hasil Uji Validitas Variabel Independensi

PertanyaanVariabelr hitungr tabelKeterangan
1.Independensi0,7110,317Valid
2.Independensi0,7840,317Valid
3.Independensi0,7220,317Valid
4.Independensi0,6590,317Valid
5.Independensi0,6090,317Valid
6.Independensi0,7250,317Valid
7.Independensi0,4650,317Valid
8.Independensi0,6360,317Valid
9.Independensi0,7010,317Valid
10.Independensi0,7430,317Valid
11.Independensi0,7640,317Valid
12.Independensi0,4590,317Valid

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Pada Tabel 9 menunjukkan variabel independensi dari 12 pertanyaaan tersebut menunjukkan valid karena semua nilai r pada setiap pertanyaan lebih besar daripada r tabelnya.

Tabel 10. Hasil Uji Validitas Variabel Skeptisme Profesional Auditor   

PertanyaanVariabelr hitungr tabelKeterangan
1.Skeptisme Profesional Auditor0,6860,317Valid
2.Skeptisme Profesional Auditor0,6750,317Valid
3.Skeptisme Profesional Auditor0,6910,317Valid
4.Skeptisme Profesional Auditor0,8100,317Valid
5.Skeptisme Profesional Auditor0,7280,317Valid
6.Skeptisme Profesional Auditor0,7580,317Valid
7.Skeptisme Profesional Auditor0,7280,317Valid
8.Skeptisme Profesional Auditor0,9110,317Valid
9.Skeptisme Profesional Auditor0,8180,317Valid
10.Skeptisme Profesional Auditor0,7660,317Valid

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Pada Tabel 10 menunjukkan variabel skeptisme profesional auditor dari 10 pertanyaan menunjukkan valid karena semua nilai r pada setiap pertanyaan lebih besar dari r tabel.

Tabel 11. Hasil Uji Variabel Pendeteksian Kecurangan

PertanyaanVariabelr hitungr tabelKeterangan
1.Pendeteksian Kecurangan0,4260,317Valid
2.Pendeteksian Kecurangan0,7410,317Valid
3.Pendeteksian Kecurangan0,6680,317Valid
4.Pendeteksian Kecurangan0,6520,317Valid
5.Pendeteksian Kecurangan0,6960,317Valid
6.Pendeteksian Kecurangan0,7370,317Valid
7.Pendeteksian Kecurangan0,7540,317Valid
8.Pendeteksian Kecurangan0,6480,317Valid
9.Pendeteksian Kecurangan0,8110,317Valid
10.Pendeteksian Kecurangan0,6960,317Valid
11.Pendeteksian Kecurangan0,4500,317Valid
12.Pendeteksian Kecurangan0,7710,317Valid
13.Pendeteksian Kecurangan0,6240,317Valid

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa variabel pada pendeteksian kecurangan dari 13 pertanyaan menunjukkan valid karena semua nilai r hitung dari 13 peertanyaan tersebut lebih besar dari r tabel.

4.4.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas data adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengukur suatu kuisioner yang merupakan indikator dari suatu variabel atau konstruk. Suatu kuisioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang dalam kuisioner konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Suatu kuisioner dikatakan relaibel atau handal jika memberikan nilai cronbach alpha di atas 0,6 (Ghozali, 2009:45).

Tabel 12. Hasil Uji Realiabilitas

VariabelJumlah PertanyaanCronbach AlphaKeterangan
Pengalaman Auditor9 butir0,857Reliabel
Independensi12 butir0,866Reliabel
Skeptisme Profesional Auditor10 butir0,915Reliabel
Pendeteksian Kecurangan13 butir0,890Reliabel

Sumber: Hasil pengolahan data, 2014

Berdasarkan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa instrumen untuk setiap variabel penelitian adalah semuanya reliabel, karena α hitung > 0,6. Pada pengalaman auditor α hitung 0,857  > 0,6. Pada independensi α hitung 0,866 > 0,6.  Pada skeptisme profesional auditor α hitung 0,915 > 0,6 dan variabel dependen pendeteksian kecurangan α hitung 0,890 > 0,6.

4.5 Uji Asumsi Klasik

4.5.1 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji adanya korelasi antar variabel bebas (independen) dalam suatu model regresi linear berganda (Ghozali, 2009). Jika ada korelasi yang tinggi di antara variabel-variabel bebasnya, maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terkaitnya menjadi terganggu. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen.

Alat statistik yang sering dipergunakan untuk menguji gangguan pada multikolinearitas adalah dengan variance inflation factor (VIF), korelasi pearson antara variabel-variabel bebas, atau dengan melihat eigenvalues dan condition index (CI). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai tolerance dan lawannya variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya.

Jika nilai Tolerance ≤ 0.10 dan nilai VIF ≥ 10, maka terjadi masalah multikolinearitas, artinya model regresi tersebut tidak baik. (Ghozali, 2009).

Tabel 13. Hasil Uji Multikolinearitas

Coefficientsa

ModelCollinearity Statistics 
ToleranceVIF 
1(Constant)   
x1.4722.120 
x2.1825.480 
x3.1427.033 
   
a. Dependent Variable: Pendeteksian Kecurangan      

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Pada Tabel 13 terlihat nilai tolerance pada variabel X1 sebesar 0,472 dengan VIF 2,120. Variabel X2 nilai tolerance sebesar 0,182 dengan VIF  5,480 dan variabel X3 memiliki nilai tolerance  0,142 dengan VIF 7,033. Pada uji multikolinearitas nilai tolerance > 0,1 dan nilai VIF < 10 terlihat tidak terjadi korelasi diantara variabel dan data terbebas dari gejala multikolinearitas.

4.5.2 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas digunakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah model regresi terjadi ketidaksamaan variansi dari residual pengamatan satu dengan pengamatan lain (Ghozali, 2009). Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan melihat grafik Scatterplot antara nilai prediksi variabel dependen yaitu ZPRED dengan residualnya yaitu SRESID. Titik-titik harus menyebar secara random (acak), baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Apabila kondisi tersebut terpenuhi, maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Hasil pengujian heteroskedastisitas dalam penelitian ini dapat ditunjukkan pada gambar sebagai berikut:

Gambar 2. Hasil Uji Heteroskedastisitas

            Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini tidak terjangkit heteroskedastisitas pada model regresi. Hal ini dibuktikan dengan scatterplot diatas yang tidak membentuk suatu pola tertentu yang teratur.

4.5.3 Uji Normalitas

Uji normalitas diuji dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji Kolmogorov-Smirnov merupakan salah satu uji yang dilakukan untuk melihat apakah data yang digunakan dalam model penelitian bedistribusi normal. Jika probabilitas signifikan ≥ 0.05, maka data berdistribusi normal (Ghozali, 2009). Berikut ini merupakan hasil uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
  x1x2x3y
N30303030
Normal ParametersaMean37.100049.866741.166752.7667
Std. Deviation3.817834.703144.251445.79943
Most Extreme DifferencesAbsolute.210.212.225.184
Positive.210.138.216.184
Negative-.187-.212-.225-.125
Kolmogorov-Smirnov Z1.1531.1631.2341.008
Asymp. Sig. (2-tailed).140.133.095.262
a. Test distribution is Normal.    
      

Berdasarkan Tabel pengujian normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan jumlah data sebanyak 30 data, data tersebut menunjukkan berdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Sig.>0.05.

Uji normalitas data juga dapat dilakukan dengan mengamati normal probability plot (Normal P-P). Pada prinsipnya, uji normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu garis dari distribusi normal. Apabila residual berasal dari distribusi normal, maka nilai-nilai distribusi akan terletak di sekitar garis lurus yang merupakan garis dari distribusi normal. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, maka grafik Normal P-P dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 3.  Hasil Uji Normalitas

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Gambar 4. Normal P-Plot

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Pada gambar di atas menunjukkan adanya persebaran data pada sumbu diagonal yang medekati garis diagonal. Berdasarkan pedoman uji normalitas jika persebaran data mengikuti atau mendekati garis normal maka suatu penelitian dapat dikatakan normal.

4.6 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

4.6.1 Hasil Uji Koefisien Determinasi (Adjusted R2

Menurut Ghozali (2009:87) untuk menentukan seberapa besar variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen, maka perlu diketahui nilai koefisien determinasi (Adjusted R-Square). Adapun hasil uji determinasi Adjusted R2.

Tabel 15. Hasil Uji Koefisien Determinasi

ModelRR SquareAdjusted R SquareStd. Error of the Estimate 
Durbin-Watson
1.800a.640.5983.677031.938
a. Predictors: (Constant), x3, x1, x2  
b. Dependent Variable: y   

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien Adjusted R Square yang dihasilkan oleh variabel-variabel independen sebesar 0,598. Angka koefisien korelasi (R) sebesar 0,800 menunjukkan bahwa hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen adalah kuat karena memiliki nilai koefisien korelasi diatas 0,5. Standard Error of Estimate (SEE) sebesar 3,67703. Makin kecil nilai SEE akan membuat model regresi semakin tepat dalam memprediksi variabel dependen. Sedangkan nilai DW sebesar 1,938.

  • Hasil Uji Persamaan Regresi Linier Berganda

Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen, adapun hasil uji regresi linier berganda adalah sebagai berikut: 

Tabel 16. Hasil Uji Regresi Linier Berganda

Coefficientsa

ModelUnstandardized CoefficientsStandardized Coefficients
BStd. ErrorBeta
1(Constant)5.0167.867 
x1.395.260.260
x2-.011.340-.009
x3.818.426.599
a. Dependent Variable: y  

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Berdasarkan Tabel 16 di atas hasil yang telah diperoleh dari koefisien regresi di atas, maka dapat dibuat suatu persamaan regresi sebagai berikut:

  • 5,016 + 0,395 X1 -0,011 X2 + 0,818 X3

Pada persamaan regresi di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 5,016. Hal ini menyatakan bahwa jika variabel pengalaman, independensi dan skeptisme profesionalisme auditor dianggap konstan atau bernilai 0 (nol), maka pendeteksian kecurangan akan meningkat sebesar 5,016 satuan.

Koefisien regresi pada variabel pengalaman sebesar 0,395, hal ini berarti jika variabel independensi bertambah satu satuan maka variabel pendeteksian kecurangan akan meningkat sebesar 0,395 satuan, dengan catatan variabel lain dianggap konstan.

Koefisien regresi pada variabel independensisebesar -0,011, hal ini berarti jika variabel independensi bertambah satu satuan maka variabel pendeteksian kecurangan akan meningkat sebesar -0,011.

Koefisien regresi pada variabel skeptisme profesionalisme auditorsebesar 0,818, hal ini berarti jika variabel skeptisme profesionalisme auditor bertambah satu satuan maka variabel pendeteksian kecurangan akan meningkat sebesar 0,818.

4.7 Hasil Uji Hipotesis Penelitian

4.7.1 Hasil Uji t

Tabel 17. Hasil Uji t

ModelUnstandardized CoefficientsStandardized CoefficientstSig.
BStd. ErrorBeta
1(Constant)5.0167.867 .638.529
x1.395.260.2601.517.141
x2-.011.340-.009-.033.974
x3.818.426.5991.920.066
a. Dependent Variable: y    

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

1. Uji Hipotesis 1: Pengalaman Auditor (X1)

Hasil pengujian untuk pengalaman auditor ini mempunyai angka signifikansi 0,141 sehingga nilai tersebut lebih besar dari 0,05. Dengan demikian menolak Ha. Hal ini membuktikan bahwa pengalaman tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap pendeteksian kecurangan.

2. Uji Hipotesis 2: Independensi (X2)

Hasil pengujian untuk independensi ini memiliki angka signifikan 0,974 yang nilai tersebut lebih besar dari 0,05. Dengan demikian menolak Ha, hal ini membuktikan bahwa independensi tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap pendeteksian kecurangan.

3. Uji Hipotesis 3: Skeptisme Profesional Auditor (X3)

Hasil pengujian untuk skeptisme profesional auditor ini mempunyai angka signifikansi 0,066 sehingga nilai tersebut lebih besar dari 0,05. Dengan demikian menolak Ha, hal ini membuktikan bahwa skeptisme profesional auditor tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap pendeteksian kecurangan.

4.7.2 Hasil Uji F

Pengujian ini bertujuan untuk membuktikan apakah variabel independen secara simultan memiliki pengaruh terhadap variabel dependen (Ghozali, 2009:88). Hasil uji statistik F dapat dilihat pada tabel di bawah ini, jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka Ha diterima dan menolak Ho, sedangkan jika nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima dan menolak Ha.

Tabel 18. Hasil Uji F

ANOVAb
ModelSum of SquaresdfMean SquareFSig.
1Regression623.8323207.94415.380.000a
Residual351.5352613.521  
Total975.36729   
a. Predictors: (Constant), x3, x1, x2   
b. Dependent Variable: y    

Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2014

Berdasarkan tabel di atas, nilai probabilitas signifikan yaitu Sig. sebesar 0.000, maka nilai tersebut lebih kecil dari 0.05 (Sig>0.05). Sehingga, Ha diterima dan menolak Ho.                            

5.  PENUTUP

  • Simpulan

Penelitian ini menggunakan metode kuisioner yang penyebarannya pada KAP di Kota Malang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode convenience sampling. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan survei.

Setelah dilakukan analisis pada penelitian ini, menghasilkan kesimpulan yaitu pada pengalaman auditor menunjukkan bahwa pengalaman auditor tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap pendeteksian kecurangan. Sedangkan pada independensi menunjukkan bahwa juga tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap pendeteksian kecurangan. Pada hasil pengujian skeptisme profesional auditor menunjukkan bahwa tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap pendeteksian kecurangan. Hal itu ditunjukkan dengan angka sig yang memiliki nilai lebih besar dari 0,05. Sehingga Ha ditolak dan Ho diterima.

Daftar pustaka

Ikatan Akuntan Indonesia. Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2001

William F. Messier, dan Margareth Boh. (2003). Auditing and Assurance: A Systematic Approach (3th edition). USA : McGraw-Hill.

Boyton, W.C., R.J.Johnson and W.G. Kell,. (2001). Modern Auditing (7th edition). New York : John Wiley & Sons,Inc.

Farmer, T.A, L.E. Rittenberg dan G.M. Trompeter. 1987. An investigation of the impact of economic and organizational factors on auditors independence. Auditing: A Journal of Practice and Theory 7 (Fall): 1-14.

Gusnardi. 2003. Analisis Perbandingan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Judgment Penetapan Risiko Audit oleh Auditor yang Berpengalaman dan Auditor yang Belum Berpengalaman. Tesis. Bandung : Universitas Padjadjaran. (Tidak Dipublikasikan)

Puspa A, Enggar Diah. 2006. Pengaruh Persuasi atas Preferensi Klien dan Pengalaman Audit Terhadap Pertimbangan Auditor dalam Mengevaluasi Bukti Audit. Tesis Bandung : Universitas Padjadjaran. (Tidak Dipublikasikan)

Shelton, S. W. 1999. The Effect of Experience on the Use of Irrelevant Evidence in Auditor Judgment. The Accounting Review. Vol.74. No. 2. April: 217 – 224.

Haynes, C. M., J. G. Jenkins and S. R. Nutt. 1998. “The Relationship between Client Advocacy and Audit Experience: An Exploratory Analysis”. Auditing: A Journal of Practice & Theory. Vol.17 (2) Fall : 88 – 104.

Ruchjat Kosasih, 2000, Akuntan Publik Tidak Independen Bila Terlalu Lama Menjadi Auditor Suatu Entitas ?, Juni, Media Akuntansi, pp. 47 – 48

Supriyono. (1988). Pemeriksaan Akuntan (Auditing). Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Shaub, K. Michael dan Jenice E. Lawrence. 1996. “Ethics Experience and Professional Scepticism: A Situational Analysis”. Behavioral Research In Accounting Vol 8, 124-157.

Kee, H.W. dan R.E. Knox. 1976. “Conceptual and Metoda Logical Considerations in The Study of Trust and Suspicion”. Journal of Conflict Resolution 14, hal 357-366.

Quadackers, L. et al., 2009, “Auditors’ Skeptical Characteristic and Their Relationship”, Amsterdam: VUUniversity

Hurtt, R. Kathy, Martha Eining, dan David Plumlee. (2003). Professional Skepticism: A Model with Implications for Research, Practice, and Education. Working Paper. Universit of Wisconsin.

Financial Reporting Council. (2010). Auditor Scepticism: Raising the Bar. Discussion Paper. The Auditing Practice Board.

Yulius Jogi Christiawan. 2002. Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik : Refleksi Hasil Penelitian Empiris. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 4 No. 79-92

Asih, Dwi Annaning Tyas, 2006. “Pengaruh Pengalaman Terhadap Peningkatan Keahlian Auditor Dalam Bidang Auditing”. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta,.

Beasley, M.S., Carcello, J.V., and Hermanson, D.R. (2001). “Top 10 Audit Deficiencies”. Journal of Accountancy.

 Ghozali, Imam, 2009.”Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS”, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang.

  Herman, Edy, 2009. “Pengaruh Pengalaman dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan”, Universitas Islam Negeri, Jakarta.

 Ikatan Akuntan Indonesia 2001. Standar Auditing Seksi 316 : “Pertimbangan atas Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan”. Standar Profesional Akuntan Publik. IAI-KAP. Jakarta : Salemba – Empat.

Mulyadi. “Auditing”. Edisi Enam; cetakan kesatu. Salemba Empat, Jakarta, 2002.

Sawyer, B, Lawrence, 2006. Dittenhofer A, Mortimer., dan Scheiner H, James.

“Internal Auditing”. Buku 1. Jakarta: Salemba Empat.

Setyaningrum, 2010. “Pengaruh Independensi Dan Kompetensi Auditor Terhadap Tanggung Jawab Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan Dan Kekeliruan Laporan Keuangan”, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Surabaya, 

Suryaningtiyas, “Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Independensi Akuntan

Publik”, Fakultas Ekonomi Widyatama, Jakarta, 2007

Taufik, Muchammad. “Pengaruh Pengalaman Kerja dan pendidikan Profesional Auditor Internal terhadap Kemampuan Mendeteksi Fraud”. FEIS UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 2008.

Waluyo, Agung “Skeptisme    professional auditor dalam     pendeteksian kecurangan”, Junal 2005.

http://ilmuakuntansi.web.id/pengertian-auditing-menurut-ahli/ 

http://journal.ui.ac.id/index.php/jaki/article/viewFile/2886/2266

http://e-journal.uajy.ac.id/4867/1/karya%20ilmiah%20andi.pdf

LAMPIRAN 1. KUESIONER

PENGARUH PENGALAMAN, INDEPENDENSI, DAN SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP PENDETEKSIAN KECURANGAN PADA KAP DI KOTA MALANG

  1. Identitas Responden

Untuk keperluan keabsahan data penelitian ini, saya mengharapkan kepada Bapak/Ibu/Sdr/i untuk mengisi data berikut:

Nama                            : ………………………………………………………………..

Nama KAP                    : ……………………………………………………………….

Jenis Kelamin                :                   Laki-laki                              Perempuan

Umur                            : ………………… tahun

Posisi Terakhir               :                   Auditor Senior                   Partner

Rounded Rectangle:                                                             Manajer                             Supervasior

                                                          Auditor Junior

Pendidikan Terakhir       :                  D3                                         D4

                                                           S1                                         S2

                                                          S3

Pengalaman Kerja          :               < 1 tahun                                 1-3 tahun

                                                    3-10 tahun                            > 10 tahun               

Berikan penilaian dengan memilih salah satu dari 5 point skala berikut ini dengan memberikan tanda check (√) pada kolom yang telah disediakan:

Keterangan JawabanNilai Penelitian
STS : Sangat Tidak Setuju1
TS : Tidak Setuju2
 N : Netral3
S : Setuju4
SS : Sangat Setuju5

Pertanyaan yang Berhubungan Dengan Pengalaman Auditor (X1)

NoPertanyaanSTSTSNSSS
1.Pengalaman auditor berpengaruh terhadap keputusan yang dibuat.     
2.Pengalaman dalam pekerjaan pada umumnya dapat mengembangkan karir.     
3.Pengalaman auditor sudah pasti meningkat karena seringnya melakukan tugas     
4.Pengalaman dapat membantu auditor mengetahui kekeliruan disuatu perusahaan berikut penyelesaiannya     
5.Semakin banyak pengalaman yang dimiliki auditor, semakin besar kemampuan auditor dalam mengatasi setiap permasalahan yang ada.     
6.Pengalaman membantu auditor dalam menganalisis masalah     
7.Pengalaman membantu auditor dalam memprediksi dan mendeteksi masalah secara profesional.     
8.Auditor dikatakan berpengalaman bila menjalankan tugas lebih dari tiga tahun.     
9.Auditor junior untuk mencapai kompetensinya dapat belajar dari pengalaman pada auditor seniornya.     

Pertanyaan yang Berhubungan Dengan Independensi (X2)

NoPertanyaanSTSTSNSSS
1.Dalam melaksanakan audit, akuntan publik memiliki rasa percaya diri.     
2.Dalam melaksanakan audit, akuntan publik memiliki kemampuan dan keahlian.     
3.Dalam melakukan audit, akuntan publik bersikap jujur dan adil.     
4.Rasa tanggung jawab yang tinggi harus dimiliki akuntan publik dalam melakukan audit.     
5.Akuntan publik diberi kebebasan dalam mengaudit.     
6.Dalam melaksanakan audit seorang akuntan publik bebas dari tekanan klien.     
7.Akuntan publik tidak diperbolehkan mengaudit laporan keuangan perusahaan milik kerabat.     
8.Dalam setiap perikatan audit, akuntan publik memegang teguh kode etik independensi.     
9.Sikap independensi merupakan ukuran profesionalisme seorang auditor.     
10.Sikap independensi merupakan cermin ketaatan akuntan publik terhadap standar profesi.     
11.Independensi diatur sesuai dengan standar profesi akuntan publik.     
12.KAP mengikuti standar ketentuan IAI tentang independensi profesional auditor.     

Pertanyaan yang Berhubungan Dengan Skeptisme Profesional Auditor (X3)

NoPertanyaanSTSTSNSSS
1.Skeptisme profesional auditor mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit.     
2.Skeptisme profesional perlu dimiliki oleh auditor terutama saat memperoleh dan mengevaluasi bukti audit.     
3.Auditor harus memiliki kemahiran profesional yang cermat dalam mengaudit laporan keuangan.     
4.Auditor harus memiliki independensi dan kompetensi dalam melaksanakan audit.     
5.Auditor tidak boleh mengasumsikan begitu saja bahwa manajemen adalah tidak jujur, tetapi auditor juga tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen sepenuhnya jujur.     
6.Auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan mengakui bahwa ada kemungkinan terjadinya salah saji dalam laporan keuangan.     
7.Auditor membuat penaksiran yang kritis terhadap validitas dari bukti audit yang diperoleh.     
8.Auditor menerapkan sikap skeptisme profesional dengan tidak cepat puas dengan bukti audit yang ada.     
9.Auditor harus waspada terhadap bukti audit yang bersifat kontradiksi.     
10.Kepercayaan diri yang tinggi harus dimiliki oleh auditor ketika melaksanakan audit.     

Pertanyaan yang Berhubungan Dengan Pendeteksian Kecurangan (Y)

NoPertanyaanSTSTSNSSS
1.Sebelum melaksanakan audit, auditor harus memahami struktur pengendalian internal perusahaan klien.     
2.Deteksi kecurangan mencakup identifikasi indikator-indikator kecurangan yang memerlukan tindak lanjut auditor untuk melakukan investigasi.     
3.Auditor harus memahami karakteristik terjadinya kecurangan.     
4.Diperlukan standar pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan.     
5.Lingkungan pekerjaan audit sangat mempengaruhi kualitas audit.     
6.Metode dan prosedur audit yang tidak efektif dapat mengakibatkan kegagalan dalam usaha pendeteksian kecurangan.     
7.Auditor menyusun langkah-langkah yang dilakukan guna pendeteksian kecurangan.     
8.Identifikasi atas faktor-faktor penyebab kecurangan, menjadi dasar untuk memahami kesulitan dan hambatan dalam pendeteksian kecurangan.     
9.Auditor harus dapat memperkirakan bentuk-bentuk kecurangan apa saja yang bisa terjadi.     
10.Auditor harus dapat mengidentifikasi pihak-pihak yang dapat melakukan kecurangan.     
11.Keterbukaan pihak manajemen dapat berakibat sulitnya melakukan pendeteksian kecurangan.     
12.Auditor  harus melakukan pengujian atas dokumen-dokumen atau informasi-informasi yang diperoleh.     
13.Kondisi mental dan pengawasan kerja yang buruk merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecurangan.