PENGARUH TINDAKAN PENCEGAHAN, PENDETEKSIAN, DAN AUDIT INVESTIGATIF DALAM UPAYA MEMINIMALISASI KECURANGAN DALAM LAPORAN KEUANGAN

CINDY CLAUDIA HANDOKO & DANIEL SUGAMA STEPHANUS

MAKALAH MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN

PROGRAM STUDI AKUNTANSI – FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUPATEN MALANG

2014

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa adanya pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif terhadap upaya dalam meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan. Penelitian ini digunakan data primer yang penyebaran kuesionernya dilakukan di Malang dengan responden dari auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik Malang. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan convience sampling. Penganalisaan data untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan uji regresi berganda.

Kata-kata kunci: Tindakan Pencegahan, Pendeteksian, Audit Investigatif dan Meminimalisasi Kecurangan

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perusahaan merupakan entitas ekonomi yang mengelola dana yang bersumber dari  penjualan dan hasil labanya, dimana perusahaan memiliki kewajiban untuk membuat laporan keuangan secara berkala atas pengelolaan sumber dana tersebut  kepada para stakeholder. Laporan keuangan bermanfaat besar bagi sebagian besar kalangan untuk membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggung-jawaban manajemen atas sumber daya yang digunakan. Menurut Mulyadi dan Puradiredja (1998:3), Laporan keuangan merupakan salah satu media informasi yang sangat penting untuk mengetahui kinerja sebuah perusahaan. Laporan keuangan yang wajar adalah laporan keuangan yang penyajiannya memenuhi Standar Akuntansi Keuangan. Yaitu laporan keuangan yang penyajian laporan keuangan yang disajikan secara wajar, relevan dan transparan.

Tuntutan transparasi dan akuntabilitas dari stakeholder mendorong pihak manajemen untuk menghasilkan laporan yang berkualitas dan bebas dari unsur fraud. Semakin berkembangnya suatu perusahaan membuat dana yang dikelola perusahaan juga semakin besar. Maka, perlu adanya pengawasan yang lebih untuk mencegah terjadinya fraud  dalam lingkungan perusahaan tersebut.

Pengawasan tersebut dapat dilakukan oleh auditor internal dan auditor eksternal untuk mengembangkan teknik pemeriksaan terhadap kecurangan. Adanya gagasan oleh Panel on Audit Effectiveness dari AICPA yaitu auditor hendaknya melaksanakan jenis tindakan preventif, audit investigatif, pemeriksaan forensik dalam setiap auditnya untuk meningkatkan prospek dalam mendeteksi adanya kecurangan. Profesi akuntan telah memulai perubahan dari pengujian hal yang tidak biasa (irregulariries) menjadi pengujian terhadap adanya kecurangan (fraud). Perubahan yang terjadi ini mengakibatkan perubahan prosedur audit yaitu bagaimana mengembangkan teknik-teknik untuk menemukan adanya pola kecurangan yang potensial terjadi melalui pengembangan profil seseorang yang diduga sebagi pelaku serta melakukan prosedur subtantif yang akurat tidak hanya dengan melihat pengendaliannya saja.

Dalam mengungkapkan tindakan kejahatan ekonomi termasuk tindakan korupsi harus adanya kerjasama antara akuntan dengan penegak hukum bukan hanya penting namun merupakan sebuah keharusan. Auditor sebagai penyidik adanya tindakan kecurangan maupun perilaku korupsi harus mempelajari bagaimana menggunakan informasi keuangan untuk memperkuat hal yang diselidiki, sedangkan pihak akuntan harus mengerti dan memahami data-data dan keuangan apa saja yang dapat diterima oleh hukum.

Meningkatnya kecurangan dalam laporan keuangan dapat memberikan keuntungan bagi pelaku bisnis karena dapat melebih-lebihkan hasil usaha dan kondisi keuangan perusahaan tersebut sehingga laporan keuangan perusahaan terlihat baik di publik. Dengan adanya kecurangan pada laporan keuangan akan merugikan publik yang mengambil keputusan berdasarkan laporan keuangan perusahaan tersebut. Menurut teori GONE  dalam Simanjuntak (2008:122), empat motivasi yang mendasari seseorang melakukan kecurangan adalah Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), Exposure (pengungkapan).

Penelitian yang dilakukan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 1997) menemukan bahwa 83% kasus fraud terjadi dilakukan oleh pemilik perusahaan atau dewan direksi (Brennan dan McGrath, 2007). Selain itu Ernst & Young (2003) dalam Brennan dan McGrath (2007) juga menemukan lebih dari setengah pelaku fraud adalah manajemen.

Adanya kasus Enron  pada tahun 2001 yang merupakan perusahaan terbesar ke tujuh di Amerika Serikat yang bergerak di bidang industri energi yang jatuh bangkrut karena memanipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan yang besar pada perusahaan tersebut padahal perusahaan mengalami kerugian dan keadaan semakin parah karena tidak independennya seorang audit yang dilakukan oleh KAP Arthur Andersen, tidak hanya melakukan manipulasi laporan keuangan Enron, namun juga melakukan tindakan yang tidak etis dengan menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron.

Phar Mor Inc, termasuk perusahaan terbesar di Amerika Serikat yang dinyatakan bangkrut pada tahun 1992. Phar Mor sengaja melakukan fraud untuk mendapatkan keuntungan financial yang masuk ke dalam saku pribadi individu pada pihak manajemen. Melakukan fraud dengan membuat dua laporan keuangan yaitu, laporan inventory dan laporan keuangan. Pada laporan inventory dibuat dua laporan dimana salah satunya berisikan informasi yang tidak benar dan diserahkan kepada auditor. Laporan keuangan yang benar yang berisi mengenai kerugian yang dialami perusahaan ditujukan hanya untuk pihak manajemen dan laporan lainnya dimanipulasi sehingga terlihat bahwa perusahaan mendapatkan keuntungan yang banyak.

Hal apa yang membuat seseorang melakukan tindakan kecurangan dan standar akuntansi yang bagaimana yang harus dilakukan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia supaya kecurangan dapat diminimalisasi. Pencegahan yang bagaimana harus dilakukan untuk meminimalisasi kerugian-kerugian yang terjadi pada perusahaan dan apabila hal tersebut telah terjadi, pendeteksian dan investigasi apa yang harus dilakukan oleh auditor internal dan eksternal untuk mengetahui letak kecurangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Menurut Association  of Certified Fraud Examinations (ACFE) yang merupakan salah satu asosiasi di USA yang kegiatannya dalam pencegahan dan penanggulangan kecurangan dengan mengkategorikan kecurangan ke dalam tiga kelompok, antara lain:

1. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud). Kecurangan laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material laporan keuangan yang merugikan investor dan kredibtor. Kecurangan ini dapar bersifat financial ataupun non-financial.

2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation). Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam kecurangan kas dan kecurangan atas persediaan dan aset lainnya serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement).

3. Korupsi (Corruption). Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE bukan korupsi yang berdasarkan pada UU Pemberantasan TPK di Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (Economic extortion).

Oleh karena itu, seorang auditor harus memahami bagaimana standar audit, akuntan publik juga harus mematuhi kode etik profesi yang mengatur perilaku akuntan publik dalam menjalankan praktik profesinya baik dengan sesama anggota maupun dengan masyarakat umum. Kode etik ini mengatur tentang tanggung jawab profesi, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional serta standar teknis bagi seorang auditor dalam menjalankan profesinya.

Untuk membuat jera pelaku kecurangan harus diberikan hukuman (punishment) agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila hukum negara belum kuat, maka pelaku kecurangan pun tidak akan jera. Apabila tidak adanya tindakan pencegahan untuk meminimalisasi tindakan kecurangan tersebut maka akan terus berkembang dari waktu ke waktu.

Peneliti akan membahas mengenai tindakan apa yang harus dilakukan untuk meminimalisasi kecurangan yang sering terjadi di perusahaan dan tindakan selanjutnya apabila ditemukan adanya kecurangan dan akhirnya sanksi apa yang akan diberikan kepada pelaku kecurangan tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menyusun penelitian dengan judul Pengaruh Tindakan Pencegahan, Pendeteksian dan Audit Investigatif Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan dalam Laporan Keuangan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah tindakan pencegahan berpengaruh dalam upaya meminimalisasi   kecurangan dalam laporan keuangan?

2. Apakah tindakan pendeteksian berpengaruh dalam upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan?

3. Apakah tindakan audit investigatif berpengaruh dalam upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan?

4. Apakah tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif    berpengaruh dalam upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan?

1.3 Tujuan Penelitian           

Berdasarkan penelitian yang ingin diteliti, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisa pengaruh tindakan pencegahan terhadap upaya  meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

2. Untuk menganalisa pengaruh pendeteksian terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

3. Untuk menganalisa pengaruh audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

4. Untuk menganalisa pengaruh pencegahan,pendeteksian dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagi Peneliti

Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai ilmu yang diteliti khususnya mengenai pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Bagi Universitas

Hasil penelitian ini digunakan sebagai acuan untuk memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu akuntansi khususnya fraud karena penelitian ini mengacu pada pengaruh tindakan pencegahan , pendeteksian dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi keecurangan dalam laporan keuangan.

Bagi Kantor Akuntan Publik

Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk perbaikan dan perubahan yang positif dengan memahami faktor-faktor apa saja yang mencegah timbulnya kecurangan dan tindakan apa yang harus dilakukan apabila ditemukan adanya bukti-bukti audit yang negatif.

Bagi Pihak Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan bahan pertimbangan untuk mengadakan penelitian yang lebih lanjut.

  • LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Kecurangan (Fraud)

Fraud telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh para praktisi dan akademisi (Intal dan Do, 2002). Berikut ini definisi fraud dari sudut pandang yang berbeda:

1. Menurut Arens  dan Loebbecke (1997) dalam Soselisa dan Mukhlasin (2008), Kecurangan terjadi ketika terjadi salah saji dibuat dalam suatu keadaan yang mengetahui bahwa hal itu adalah suatu kepalsuan dan dilakukan dengan maksud untuk melakukan kecurangan.

2. Menurut Statement of Auditing Standards No. 99, Tindak kesengajaan untuk menghasilkan salah saji material dalam laporan keuangan yang merupakan subyek audit.

3. Menurut Encyclopedia Britannica dalam Intal dan Do (2002), Dalam hukum, fraud didefinisikan sebagian penyajian fakta yang keliru dengan tujuan merampas kepemilikan yang berharga dari seseorang.

4. Menurut Oxford English Dictionary dalam Intal dan Do (2002), Sebuah tindak pidana kecurangan dengan menggunakan penyajian yang palsu untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang tidak adil atau mengambil paksa hak atau kepentingan orang lain.

5. Menurut Binbangkum, n.d, Fraud merupakan suatu tindak ketidaksengajaan untuk menggunakan sumber daya perusahaan secara tidak wajar dan salah menyajikan fakta untuk memperoleh kepentingan pribadi.

6. Menurut Association of Certified Fraud Examiners dalam Ernst & Young LLP (2009), Kecurangan (fraud) sebagai tindakan penipuan atau kekeliruan yang dibuat oleh seseorang atau badan yang mengetahui bahwa kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan beberapa manfaat yang tidak baik kepada individu atau entitas atau pihak lain.

Dari beberapa definisi fraud (kecurangan) diatas, dapat diketahui bahwa pengertian fraud  sangat luas dan dapat dilihat pada beberapa kategori kecurangan. Menurut Binbangkum (n.d) secara umum, unsur-unsur dari kecurangan adalah sebagai berikut:

1. Harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation)

2. Dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present)

3. Fakta bersifat material (material fact)

4. Dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or recklessly)

5. Dengan maksud (intent)  untuk menyebabkan suatu pihak beraksi

6. Pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut (misrepresentation)

7. Yang merugikannya (detriment)

2.1.1 Jenis-jenis Fraud

Menurut Albrecth dan Albrecth (….) dikutip oleh Nguyen (2008), fraud diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:

1. Embezzlement employee atau occupational fraud merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh bawahan kepada atasan. Jenis fraud ini dilakukan oleh bawahan dengan melakukan kecurangan pada atasannya secara langsung maupun tidak langsung.

2. Management fraud merupakan jenis fraud  yang dilakukan oleh manajemen puncak kepada pemegang saham, kreditor dan pihak lain yang mengandalkan laporan keuangan. Jenis fraud  ini dilakukan manajemen puncak dengan cara menyediakan penyajian yang keliru, biasanya pada informasi keuangan.

3. Invesment scams merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh individu/ perorangan kepada investor. Jenis fraud ini dilakukan individu dengan mengelabui atau menipu investor dengan cara menanamkan uangnya dalam investasi yang salah.

4. Vendor fraud merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh organisasi atau perorangan yang menjual barang atau jasa kepada organisasi atau perusahaan yang menjual barang atau jasa. Jenis fraud ini dilakukan organisasi dengan memasang harga terlalu tinggi untuk barang dan jasa atau tidak adanya pengiriman barang meskipun pembayaran telah dilakukan.

5. Customer fraud merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh pelanggan kepada organisasi atau perusahaan yang menjual barang atau jasa. Jenis fraud  ini dilakukan pelanggan dengan cara membohongi penjual dengan memberikan kepada pelanggan yang tidak seharusnya atau menuduh penjual memberikan lebih sedikit dari yang seharusnya.

Dari bagan Uniform Occupational Fraud Classification System (ACFE) membagi fraud (kecurangan) dalam tiga jenis berdasarkan perbuatannya yaitu:

1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation) meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud  yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung.

2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement) merupakan tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.

3. Korupsi (Corruption), jenis fraud ini paling susah dideteksi karena menyangkut kerjasama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, dimana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat terdeteksi karena pihak yang bekerjasama menikmati keuntungan (simbolis mutualisme). Termasuk di dalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery),  penerimaan yang tidak sah/ illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic exortion).

 Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk pohon kecurangan (fraud tree). Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta ranting anaknya.

fraud-tree.jpg

Gambar 2.1. Pohon Kecurangan

Pada pohon kecurangan ini terdapat tiga cabang utama, yaitu: Corruption, Asset Misappropriation, dan fraudulent statements. Penjelasan dari masing-masing cabang beserta rantingnya secara umum adalah sebagai berikut:

a. Corruption

Korupsi dalam pengertian ini terdiri dari konsep benturan kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), pemberian hadiah yang melawan hukum (illegal graduaties) dan pemerasan (economic exortion).

1. Benturan kepentingan (conflict of interest)

Ciri-ciri indikasinya adalah:

a. Dilakukan selama bertahun-tahun. Bukan hanya saja selama pejabat tersebut berkuasa namun melalui kontrak jangka panjang, bisnis tetap berjalan meskipun pejabat tersebut telah lengser.

b. Nilai kontraknya relatif mahal daripada kontrak yang dibuat at arm’s length. Dalam bahasa sehari-hari praktek ini dikenal sebagai mark up atau penggelembungan.

c. Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Penguasa biasanya menggunakan saudaranya (nepotisme) sebagai  adanya keterlibatan kerjasama (kolusi)  yang melibatkan penyuapan (bribery).

2. Penyuapan (bribery)

Hal ini meliputi sumbangan, pemberian, penerimaan dan persembahan sesuatu yang bernilai dengan maksud untuk mempengaruhi suatu tindakan (official act). Official act mencakup penyuapan yang dilakukan untuk mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh bawahan atau terhadap instansi pemerintahan. Pemberian atau hadiah tersebut merupakan bentuk dari penyuapan.

b. Pengambilan aset (Asset Misappropriation)

Penyalahgunaan aset dapat digolongkan sebagai ke dalam kecurangan kas dan kecurangan atas persediaan dan aset lainnya, serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement). Dalam bahasa sehari-hari hal ini disebut sebagai mencuri. Namun, dalam istilah hukum, mengambil aset secara illegal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi asset disebut menggelapkan.

1. Skimming

Uang sudah dijarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke dalam perusahaan

2. Larceny

Penjarahan yang dilakukan ketika uang sudah masuk ke dalam  kas perusahaan dan baru dijarah.

3.  Billing Schemes

Skema permainan (schemes) dengan menggunakan proses billing atau pembebanan penagihan sebagai sarananya.

4. Payroll Schemes

Skema permainan melalui pembayaran gaji dengan adanya pembayaran pegawai secara fiktif (ghost employee) atau pemalsuan gaji karyawan.

5. Expense Reimbursement Schemes

Skema permainan pembayaran kembali biaya-biaya, misalnya biaya perjalanan.

6. Check Tampering

Skema permainan melalui pemalsuan cek. Cek tersebut ditandatangani oleh orang yang berkuasa terhadap cek tersebut.  

c. Fraudulent Statements

Kecurangan laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material dimana laporan keuangan tersebut akan merugikan pihak investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non-financial.

1. Salah saji material (misstatements, overstatements atau understatements)

a. Menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari sebenarnya (asset/revenue overstatements)

b. Menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari sebenarnya (asset/revenue understatements)

Sedangkan Delf (2004) menambahkan satu lagi tipologi fraud yaitu cybercrime. Ini jenis fraud yang paling canggih dan dilakukan oleh pihak yang mempunyai keahlian khusus yang tidak selalu dimiliki oleh pihak lain. Cybercrime juga akan menjadi jenis fraud  yang paling ditakuti di masa depan dimana teknologi berkembang dengan pesat dan canggih.

2.1.2 Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)

Segitiga kecurangan ini adalah gagasan dari seorang mahasiswa yang bernama Donald R. Cressy yang pada waktu itu dia melakukan penelitian disertasi doktornya di bidang sosiologi tentang kriminalitas di masyarakat.

Donald R. Cressey yang dikutip oleh Tuanakotta (2010) membuat model klasik untuk menjelakan occupational offender atau pelaku kecurangan dalam hubungan kerja dan penelitian tersebut memiliki hipotesis bahwa orang yang dipercaya melanggar kepercayaan ketika ia melihat dirinya sendiri sebgai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasi dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemegang kepercayaan di bidang keuangan dan tindak tanduk sehari-hari memungkinkan menyeuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana yang dipercayakan kepadanya.

Hipotesis ini dikenal sebagai segitiga kecurangan (fraud triangle) seperti pada gambar dibawah ini:

fraud-triangle.jpg

Gambar 2.2. Segitiga Kecurangan

Fraud Triangle tersebut menunjukkan bahwa seseorang melakukan kecurangan terdiri atas tiga faktor, yaitu:

1. Pressure (tekanan).

Cressey percaya bahwa pelaku kecurangan bermula dari faktor tekanan yang menghimpit. Pelaku kecurangan tersebut mempunyai kebutuhan yang mendesak yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain. Konsep yang terpenting disini adalah tekanan yang menghimpit hidupnya (kebutuhan akan uang), padahal orang tersebut tidak dapat berbagi dengan orang lain.  

Bagi pelaku kecurangan yang tidak dapat membagi masalah (keuangan) dengan orang lain, sebenarnya apabila ia berbagi masalah dengan orang lain dapat membantu mencari pemecahan masalahnya. Namun, Cressy mencatat adanya masalah non-financial­ tertentu yang dapat diselesaikan dengan mencuri uang atau aset dengan menyampingkan kepercayaan yang diberikan terkait dengan jabatannya.

Dalam penelitiannya juga Cressey menemukan bahwa Inon-shareable yang dihadapi oleh orang-orang yang diwawancarainya timbul berbagai situasi, yaitu:

a. Violation of Ascribed Obligation

Jabatan dengan tanggung jawab keuangan dan jujur serta mematuhi pedoman profesi prilaku yang ada diperusahaan tempat kita bekerja.

b. Problems Resulting from Personal Failure

Kegagalan pribadi merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang memiliki jabatan yang dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahan menggunakan akal sehatnya dan hal tersebut merupakan tanggung jawab pribadi.

c. Physical Isolation

Situasi ini dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam kesendirian yang disebabkan banyaknya tekanan masalah dan tidak mau menceritakan kepada orang lain.

d. Status Gaining

Status ini berkaitan dengan kebiasaan buruk yang tidak mau kalah dari tetangganya (pesaing). Pelaku berusaha mempertahankan status dan bahkan meningkatkan statusnya.

e. Employer-employee Relations

Hal ini mencerminkan kesalahan atau ketidaksukaannya seorang pegawai dalam menduduki jabatannya yang sedang dipegangnya sekarang. Tetapi pada saat yang sama ia tidak memiliki pilihan lain kecuali ia harus tetap bekerja (Theodorus, 2007:110).

2. Opportunity (kesempatan). Pelaku kecurangan memiliki persepsi bahwa adanya peluang untuk melakukan kejahatan tanpa diketahui oleh orang lain. Cressey berpendapat bahwa ada dua komponen dari persepsi tentang peluang. Pertama, general information yang merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang megandung kepercayaan dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini dapat diperoleh dari apa yang di dengar maupun di lihat. Kedua, technical skill merupakan keahlian atau ketrampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kecurangan tersebut.

3. Rationalization atau mencari pembenaran sebelum melakukan kecuranganbukan sesudahnya. Pembenaran sebenarnya merupakan bagian dari kejahatan itu sendiri bahkan merupakan bagian motivasi untuk melakukan tindakan kejahatan. Rationalization diperlukan agar pelaku  dapat mencerna perilakunya yang illegal untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya.

2.1.3 Faktor-Faktor Pendorong terjadinya Fraud

Menurut Cressey (….) , faktor-faktor pendorong terjadinya kecurangan, yaitu:

1. Niat (Intent)

Merupakan karakteristik yang membedakan kecurangan dengan kesalahan atau kekeliruan. Pelaku kecurangan berniat melakukan kecurangan untuk keuntungan dirinya dengan merugikan pihak lainnya.

2. Pendorong/tekanan (Incentive/Pressure)

Manajemen atau karyawan ada kemungkinan memiliki dorongan atau tekanan yang menjadi alasan melakukan kecurangan. Untuk melakukan kecurangan lebih banyak tergantung pada kondisi individu, seperti sedang menghadapi masalah keuangan, kebiasaan buruk seseorang seperti berjudi dan peminum atau mempunyai harapan atau tujuan yang tidak realitis.

3. Kesempatan (Oppurtunity)

Keadaan lingkungan yang ada di tempat kerja memberikan kesempatan untuk melakukan kecurangan yang disebabkan oleh pengawasan yang lemah.

4. Rasionalisasi/sikap (Rationalization/Attitude)

Beberapa individu memiliki sikap, karakter atau nilai etika yang mengikutinya untuk pembenaran dalam melakukan tindakan tidak jujur.

2.1.4 Faktor Pemicu Kecurangan

Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang disebut juga dengan GONE Theory adalah sebagai berikut:

            a. Keserakahan (Greed)

            b. Kesempatan (Opportunity)

            c. Kebutuhan (Need)

            d. Pengungkapan (Exposure)

            Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan disebut juga sebagai faktor individual. Faktor Opportunity dan Exposure  merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan disebut juga sebagai faktor generik atau umum.

1. Faktor generik

a. Kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan atau jabatan pelaku terhadap objek kecurangan. Kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan. Namun, ada yang memiliki kesempatan yang besar dan ada yang kecil. Secara umum manajemen suatu organisasi atau perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan kecurangan daripada karyawan.

b. Pengungkapan (Exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap. 

2. Faktor Individu

Faktor ini melekat pada diri seseorang. Hal ini dibagi dalam dua kategori, antara lain:

1. Moral 

Faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed). Beberapa hal untuk mengurangi risiko tersebut adalah:

a. Misi atau tujuan organisasi atau perusahaan, ditetapkan dan dicapai dengan melibatkan seluruh pihak (manajemen dan karyawan).

b. Aturan perilaku pegawai dikaitkan dengan lingkungan dan budaya organisasi atau perusahaan.

c. Gaya manajemen, memberikan contoh bekerja sesuai dengan misi dan aturan perilaku yang telah ditetapkan organisasi atau perusahaan.

d. Praktik penerimaan pegawai, dicegah diterimanya karyawan yang bermoral tidak baik.

2. Motivasi

Faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need). Beberapa cara mengurangi kemungkinan keterlibatan dalam kecurangan, antara lain:

a. Menciptakan lingkungan yang menyenangkan, misalnya; memperlakukan pegawai decara wajar, berkomunikasi secara terbuka dan adanya mekanisme agar setiap keluhan dapat didiskusikan dan diselesaikan.

b. Sistem pengukuran kinerja dan penghargaan yang wajar sehingga karyawan merasa diperlakukan secara adil.

c. Bantuan konsultasi pegawai untuk mengetahui masalah secara dini.

d. Proses penerimaan karyawan untuk mengidentifikasi calon karyawan yang berisiko tinggi dan mendiskualifikasinya.

e. Kehati-hatian, mengingat motivasi seseorang tidak dapat diamati dengan mata telanjang sebaliknya produk motivasi tersebut tidak dapat disembunyikan.

2.1.5 Gejala adanya Fraud

Kecurangan akan tercermin melalui timbulnya karakteristik tertentu, baik yang merupakan kondisi atau keadaan lingkungan, maupun perilaku seseorang. Karakteristik yang bersifat kondisi atau situasi tertentu,perilaku atau kondisi seorang pribadi tersebut disebut red flag (fraud indicators). Petunjuk adanya kecurangan biasanya ditunjukkan oleh munculnya gejala-gejala (symptoms)  seperti dibawah ini:

            a. adanya perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang.

            b. Dokumentasi yang mencurigakan.

            c. Keluhan dari pelanggan atau kecurigaan dari rekan sekerja.

2.1.5.1 Kecurangan Manajemen

Kecurangan manajemen merupakan sebuah bentuk kecurangan yang berada di luar definisi hukum yang sempit atas penggelapan, kecurangan dan pencurian. Kecurangan manajemen terdiri atas seluruh bentuk kecurangan yang dipraktikan oleh para manajer untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan perusahaan. Kecurangan manajemen lebih sering ditutupi daripada diungkapkan. Kecurangan manajemen biasanya ditutupi-tutupi oleh para korbannya untuk menghindari dampak merugikan dari publisitas yang buruk. Beberapa gejala kecurangan manajemen, antara lain:

            a. Ketidakcocokan diantara manajemen puncak.

            b. Moral dan motivasi karyawan rendah.

            c. Departemen akuntansi kekurangan staf.

d.Tingkat komplain yang tinggi terhadap perusahaan dari pihak konsumen, pemasok dan badan otoritas.

e. Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi.

f. Penjualan atau laba menurun sementara itu utang dan piutang dagang terus meningkat.

g. Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang lama.

h. Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan.

i. Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.

2.1.5.2 Kecurangan Karyawan

Berikut ini beberapa kecurangan karyawan, antara lain:

a. Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa perincian atau penjelasan pendukung.            

b. Pengeluaran tanpa dokumen pendukung.

c. Pencatatan yang salah atau tidak akurat pada buku jurnal atau buku besar.

d. Penghancuran, penghilangan, pengerusakan dokumen pendukung pembayaran.

e. Kekurangan barang yang diterima.

f. Kemahalan harga barang yang dibeli.

g. Faktur ganda.

h.         Penggantian mutu barang.

2.1.6 Klasifikasi Fraud

Selain itu, pengklasifikasikan fraud (kecurangan) dapat dilakukan dilihat dari beberapa sisi, yaitu:

1. Berdasarkan pencatatan merupakan kecurangan berupa pencurian aset dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori:

a. Pencurian aset yang terlihat secara terbuka pada buku, seperti duplikasi pembayaran yang tercantum pada catatan akuntansi.

b. Pencurian aset yang tampak pada buku, namun tersembunyi diantara catatan akuntansi yang valid, seperti kickback.

c. Pencurian aset yang tidak tampak pada buku, dan tidak akan dapat dideteksi melalui pengujian transaksi akuntansi yang dibukukan, seperti: pencurian uang pembayaran piutang dagang yang telah dihapusbukukan/di write off.

2. Berdasarkan frekuensi, Pengklasifikasian kecurangan dapat dilakukan berdasarkan frekuensi terjadinya yaitu:

a. Tidak berulang. Dalam kecurangan yang tidak berulang, walaupun terjadi beberapa kali pada dasarnya bersifat tunggal. Dalam arti, hal ini terjadi disebabkan oleh adanya pelaku setiap saat (misal: pembayaran cek mingguan karyawan memerlukan kartu kerja mingguan untuk melakukan pembayaran cek yang tidak benar).

b. Berulang. Dalam kecurangan berulang, tindakan yang menyimpang terjadi beberapa kali dan hanya diinisiasi/ diawali sekali saja. Selanjutnya kecurangan terjadi terus menerus sampai diberhentikan. Misalnya, cek pembayaran gaji bulanan yang dihasilkan secara otomatis tanpa harus melakukan penginputan setiap saat. Penerbitan cek terus berlangsung sampai diberikan perintah untuk menghentikannya.

c. Berdasarkan konspirasi. Kecurangan dapat diklasifikasikan sebagai: terjadi konspirasi atau kolusi, tidak terdapat konspirasi, dan tterdapat konspirasi parsial. Pada umumnya kecurangan terjadi karena adanya konspirasi, baik bona fide maupun pseudo. Dalam bona fide  conspiracy, semua pihak sadar akan adanya kecurangan, sedangkan dalam pseudo conspiracy, adanya pihak-pihak yang tidak mengetahui adanya kecurangan.

3. Berdasarkan keunikan, kecurangan berdasarkan keunikannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kecurangan khusus (specialized fraud), yang terjadi secara unik pada orang-orang yang bekerja pada operasi bisnis tertentu. Contoh: pengambilan aset yang disimpan oleh deposan pada lembaga-lembaga keuangan, seperti: bank, dana pensiun, reksa dana (disebut juga custodial fraud) dan klaim asuransi yang tidak benar.

b. Kecurangan umum (garden varieties of fraud) yang semua orang mungkin hadapi dalam operasi bisnis secara umum. Misal: kickback, penetapan harga yang tidak benar, pesanan pembelian/kontrak yang lebih tinggi dari kebutuhan yang sebenarnya, pembuatan kontrak ulang atas pekerjaan yang telah selesai, pembayaran ganda, dan pengiriman barang yang tidak benar.

2.1.7 Faktor Situasional Kecurangan

Faktor-faktor situasional kecurangan adalah sebagai berikut:

1. Faktor tekanan merupakan suatu perangsang yang berhubungan dengan motivasi karyawan untuk melakukan kecurangan sebagai ketamakan atau tekanan keuangan pribadi diantara bermacam pertimbangan.

2. Faktor rasionalisasi merupakan pertimbangan perilaku yang curang sebagai suatu konsekuensi dari suatu ketiadaan integritas pribadi karyawan atau penalaran moral lain.

3. Faktor peluang merupakan suatu kelemahan dalam sistem, dimana karyawan memiliki kuasa (tenaga atau kemampuan) untuk memanfaatkan kemungkinan berbuat curang.

2.2 Tindakan Pencegahan dalam Meminimalisasi Kecurangan

Ada ungkapan yang secara mudah menjelaskan penyebab atau akar permasalahan dari fraud. Menurut Donald R. Cressey ungkapan tersebut adalah fraud by need, by greed, by opportunity. Namun, jika kita ingin mencegah adanya kecurangan, hilangkan atau tekan sedapat mungkin penyebabnya. Menghilangkan atau menekan  need dan greed yang mengawali terjadi kecurangan dilakukan sejak menerima seseorang (recruitment process) meskipun proses tersebut bukan merupakan jaminan akan mencegah tindak kecurangan. Hal ini ditanamkan melalui fraud awareness dan contoh-contoh yang diberikan pimpinan perusahaan atau lembaga. Upaya pencegahan kecurangan dapat dimulai dari pengendalian internal. Pengendalian internal mengalami perkembangan dalam pemikiran prakteknya. Salah satu tujuan adanya pengendalian intern adalah saah satunya utnuk mengawasi kinerja manajemen serta karyawan agar tingkat kecurangan bisa ditekan (Metteo Wahyana, 2008:14). Menurut (COSO, 1992) kecurangan yang mungkin terjadi harus dicegah, antara lain:

a. Membangun struktur pegendalian internal yang baik

Dengan semakin berkembangnya perusahaan, maka tugas manajemen untuk mengawasi dan mengendalikan jalannya perusahaan menjadi semakin sulit. Untuk itu agar tujuan yang telah ditetapkan Top Manajemen dapat dicapai, keamanan aset perusahaan terjamin dan kegiatan operasi dapat dijalankan secara efektif dan efisien, maka pihak manajemen perlu menciptakan suatu struktur pengendalian intern yang baik dan efektif untuk mencegah kecurangan. Dalam memperkuat struktur pengendalian internal perusahaan COSO pada bulan September 1992 memperkenalkan suatu kerangka pengendalian yang lebih luas daripada model pengendalian akuntansi yang tradisional dan mencakup aspek manajemen risiko, yaitu pengendalian intern yang terdiri atas lima komponen yang saling terkait yaitu:

1. Lingkungan pengendalian (control environment)

Menetapkan corak suatu organisasi atau perusahaa, mempengaruhi kesadaran pengendalian orang-orangnya. Lingkungan pengendalian merupakan dasar untuk semua komponen pengendalian intern, menyediakan disiplin dan struktur.

2. Penaksiran risiko (risk assessment) adalah identifikasi entitas dan analisis terhadap risko yang relevan untuk mencapai tujuannya, membentuk suatu dasar untuk menentukan bagaimana risiko harus dikelola.

3. Standar pengendalian (control activities) adalah kebijakan dari prosedur yang membantu menjamin bahwa arahan manajemen dilaksanakan. Kebijakan dan prosedur yang dimaksud berkaitan dengan:

                        a. Penelaahan terhadap kinerja

                        b. Pengolahan informasi

                        c. Pengendalian fisik

                        d. Pemisahan tugas

4. Informasi dan komunikasi (information and communication) adalah pengidentifikasian, penangkapan dan pertukaran informasi dalam suatu bentuk dari waktu yang memungkinkan orang melaksanakan tanggung jawab mereka. Sistem informasi mencakup sistem akuntansi, terdiri atas metode dan catatan yang dibangun untuk mencatat, mengolah, meringkas, dan melaporkan transaksi entitas dan untuk memelihara akuntabilitas bagi aktiva, utang dan ekuitas. Komunikasi mnecakup penyediaan suatu pemahaman tentang peran dan tanggung jawab individual berkaitan dengan pengendalian intern terhadap pelaporan keuangan.

5. Pemantauan (monitoring) adalah proses menentukan mutu kinerja pengendalian internal sepanjang waktu. Pemantauan mencakup penentuan desain dan operasi pengendalian yang tepat waktu dan pengambilan tindakan koreksi.

b. Mengefektifkan Aktivitas Pengendalian

1.  Review Kinerja

Aktivitas pengendalian ini mencakup review atas kinerja yang sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran, prakiraan atau kinerja periode sebelumya, menghubungkan suatu rangkaian data yang berbeda operasi atau keuangan satu sama lain, bersama dengan analisis atas hubungan dan tindakan penyelidikan dan perbaikan dan review atas kinerja fungsional atau aktivitas seorang manajer kredit atas laporan cabang perusahaan tentang persetujuan dan penagihan pinjaman.

2. Pengolahan Informasi

Berbagai pengendalian dilaksanakan untuk mengecek ketepatan, kelengkapan, dan otorisasi transaksi. Dua pengelompokkan luas aktivitas pengendalian sistem informasi adalah pengendalian umum (general control) dan pengendalian aplikasi (application control). Pengendalian umum biasanya mencakup pengendalian atas operasi pusat data, pemprosesan dan pemeliharaan perangkat lunak sistem, keamanan akses, pengembangan dan pemeliharaan sistem aplikasi. Pengendalian ini berlaku untuk mainframe, minicomputer dan lingkungan pemakai akhir (end user). Pengendalian ini membantu menetapkan bahwa transaksi adalah sah, diotorisasi semestinya dan diolah secara lengkap dan akurat.

c. Meningkatkan kultur organisasi

Meningkatkan kultur organisasi dapat dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang saling terkait satu sama lain agar dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.

d. Mengefektifkan fungsi internal audit

Internal auditor tidak dapat menjamin bahwa kecurangan tidak akan terjadi, namun ia harus menggunakan kemahiran jabatannya dengan sesakma sehingga diharapkan mampu mendeteksi terjadinya kecurangan dan dapat memberikan saran-saran yang bermanfaat kepada manajemen untuk mencegah terjadinya kecurangan.

2.3 Pendeteksian Kecurangan

Pencegahan yang dilakukan oleh auditor internal tidak memadai, internal auditor harus memahami juga bagaimana cara mendeteksi kecurangan sejak dini. Tindakan pendeteksian tersebut tidak dapat digeneralisir terhadap semua kecurangan. Masing-masing jenis kecurangan memiliki karakterisitik tersendiri sehingga untuk dapt mendeteksi kecurangan harus adanya pemahaman yang baik terhadap jenis-jenis kecurangan yang mungkin ada dalam perusahaan. Sebagian besar bukti-bukti kecurangan merupakan bukti tidak langsung. Petunjuk adanya kecurangan biasanya ditunjukkan dengan munculnya gejala-gejala seperti adanya perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang, dokumentasi yang mencurigakan, keluhan dari pelanggan atau kecurigaan teman kerja. Kecurangan ini akan tercermin melalui timbulnya karakteristik tertentu baik yang merupakan kondisi atau keadaan lingkungan maupun perilaku seseorang.

Karakterisitik yang bersifat situasi/kondisi tertentu, perilaku/kondisi seseorang personal dinamakan red flag (fraud indicators). Timbulnya red flag tidak selalu merupakan indikasi adanya kecurangan, namun red flag selalu muncul disetiap kasus kecurangan yang terjadi. Pemahaman dan analisis lebih lanjut terhadap red flag dapat membantu langkah selanjutnya untuk memperoleh bukti awal atau mendeteksi adanya kecurangan.

2.3.1 Objek Pendeteksian

Dari beberapa referensi dan sumber, peneliti melihat objek-objek yang diteliti untuk meminimalisasi adalah sebagai berikut:

a. Kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud)

Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut:

1. Analisis Vertikal, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara item-item dalam laporan laba rugi, neraca atau laporan arus kas dengan menggambarkan presentasenya. Contoh, adanya kenaikan presentase hutang niaga dengan total hutang dari rata-rata 28% menjadi 52% dilain pihak adanya penurunan presentase biaya penjualan dengan total penjualan dari 20% menjadi 17% mungkin dapat menjadi satu dasar adanya pemeriksaan kecurangan.

2. Analisis Horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis presentase perubahan item laporan keuangan selama beberapa periode laporan. Contoh, adanya kenaikan penjualan sebesar 140% dengan asumsi tidak ada perubahan lainnya dalam unsur-unsur penjualan dan pembelian, maka hal ini dapat menimbulkan sangkaan adanya pembelian fiktif, penggelapan atau transaksi illegal lainnya.

3. Analisis Rasio, yaitu alat untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam laporan keuangan. Contoh, current ratio adanya penggelapan uang atau pencurian kas dapat menyebabkan turunnya perhitungan rasio tersebut.

b. Penyalahgunaan aset (asset misappropriation)

Teknik untuk mendeteksi kecurangan dalam hal ini sangat bervariasi. Namun, adanya pemahaman yang tepat atas pengendalian internal yang baik akan membantu dalam melaksanakan pendeteksian kecurangan. Maka dari itu terdapat banyak sekali teknik yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi setiap kasus penyalahgunaan aset. Masing-masing jenis kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa teknik yang berbeda. Misalnya, untuk mendeteksi kecurangan dalam pembelian ada beberapa metode deteksi yang dapat digunakan. Metode tersebut akan sangat efektif apabila digunakan secara kombinasi gabungan, setiap metode deteksi akan menunjukkan gejala penyimpangan yang dapat diinvestigasi lebih lanjut untuk menemukan ada tidaknya kecurangan. Selain itu, metode tersebut akan menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam pengendalian intern dan memberikan peringatan pada auditor akan adanya potensi terjadinya kecurangan di masa mendatang.

c. Korupsi (Corruption)

Sebagian besar kecurangan ini dapat dideteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak puas dan menyampaikan komplain ke perusahaan. Atas sangkaan terjadinya kecurangan kemudian dilakukan analisis terhadap tersangka atau transaksi. Pendeteksian atas kecurangan ini dapat dilihat dari karakteristik (red flag) si penerima maupun si pemberi. Kecurangan dalam laporan keuangan dapat dideteksi melalui teknik audit. Kecurangan seperti inidapat terbentuk:

1. Ayat jurnal penyesuaian yang kurang otorisasi dan rincian yang mendukung.

2. Pengeluaran yang kurang dokumen pendukung.

3. Pemasukan yang salah dan tidak tepat dalam buku besar.

4. Pembayaran yang tidak diotorisasi dan tidak sah.

5. Penggunaan dan konversi aktiva korporat yang tidak diotorisasi.

6. Penerapan dana korporat yang salah.

7. Pernyataan yang salah dan palsu dalam laporan keuangan dari segi keuntungan dan nilai aktiva.

8. Pencurian aktiva korporat oleh pegawai, agen dan petugas.

9. Pemusnahan, peniruan dan pemalsuan dokumen untuk mendukung pembayaran.

10. Kolom jumlah yang tidak benar jumlahnya.

2.4 Audit Investigatif

Audit investigatif adalah salah satu aktivitas dalam rangka implementasi upaya strategi memerangi korupsi dengan pendekatan investigatif (Haryono Umar, 2009). Audit investigati secara umum dapat dikatakan sebagai proses penyelidikan yang berlandaskan hukum dan rasa keadilan untuk mencari kebenaran dengan tingkat kebenaran yang tinggi (high level of assurance) mengenai suatu permasalahan yang ditemukan.

2.4.1 Tujuan Audit Investigatif

Menurut  Picket dan Picket ( 2002) dalam Financial Crime Investigation and Control adalah sebagai berikut:

1. Memberhentikan manajemen. Tujuannya adalah sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggungjawabkan kewajiban fidusiernya. Kewajiban fidusier ini termasuk mengawasi dan mencegah terjadinya kecurangan oleh karyawannya.

2. Memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukupnya relevan bukti. Tujuannya adalah menekankan bisa diterimanya bukti-bukti sebagai alat bukti untuk meyakinkan hakim di pengadilan.

3. melindungi reputasi karyawan yang tidak bermasalah

4. Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk investigasi. Banyaknya bukti dalam keuangan berupa dokumen yang disusun untuk membuat kebohongan.

5. Menemukan aset yang digelapkan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang terjadi.  Hal ini meliputi penelusuran rekening bank, pembekuan rekening, izin-izin untuk proses penyitaan atau penjualan aset.

6. Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lolos dari perbuatannya.

7. Menyapu bersih semua karyawan yang melakukan kejahatan.

8. Memastikan perusahaan tidak lagi menjadi korban penjarahan yang mengambil sumber daya perusahaan.

9. Menentukan bagaimana investigasi secara standar sesuai dengan peraturan perusahaan sesuai dengan buku pedoman.

10. Mengumpulkan cukup bukti yang dapat diterima oleh pengadilan, dengan sumber daya dan terhentinya kegiatan perusahaan seminimal mungkin.

11. Memperoleh gambaran yang wajar tentang kecurangan yang terjadi dan membuat keputusan yang tepat mengenai tindakan yang harus diambil.

12. mendalami tuduhan (baik oleh dalam atau luar perusahaan, baik lisan maupun tertulis,  baik dengan nama terang atau dalam bentuk surat kaleng)  untuk menanggapi secara tepat.

13. Memastikan bahwa hubungan dan suasana kerja tetap baik.

14. Melindungi nama baik perusahaan atau lembaga.

15. Melaksanakan investigasi dalam koridor kode etik.

16. Menentukan siapa saja pelaku dan mengumpulkan bukti mengenai niatnya.

17. Menindaklanjuti para pelaku kecurangan yang telah terbukti.

18. Mengidentifikasi praktek manajemen yang tidak dapat dipertanggung jawabkan atau perilaku yang melalaikan tanggung jawab.

19. Mempertahankan kerahasiaan dan memastikan bahwa perusahaan tidak terperangkap dalam ancaman tuntutan pencemaran nama baik.

20. Mengidentifikasikan saksi yang melihat atau terjadinya kecurangandan memastikan bahwa mereka memberik bukti yang mendukung tuduhan atau dakwaan terhadap si pelaku.

21. Memberikan rekomendasi mengenai bagaimana mengelola risiko terjadinya kecurangan ini dengan tepat.

2.4.2 Investigatif dengan Teknik Audit

Banyak auditor yang berpengalaman pu, merasa ragu untuk terjun dalam bidang investigatif. Padahal teknik-teknik audit yang mereka kuasai memadai untuk dipergunakan dalam audit investigatif. Teknik audit adalah cara-cara yang digunakan dalam mengaudit laporan keuangan. Hasil dari penerapan teknik audit adalah bukti audit.Teknik audit yang dilakukan ada tujuh tahap, yaitu:

a. Memeriksa fisik dan mengamati

Memeriksa fisik dapat diartikan bahwa sebagai perhitungan uang tunai (baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya.

Mengamati diartikan sebagai pemanfaatan indera kita untuk mengetahu sesuatu. Maka peneliti tidak membedakan antara memeriksa dan mengamati. Kedua teknik ini investigator menggunakan inderanya untuk mengetahui dan memahami sesuatu.

b. Meminta informasi dan konfirmasi

Meminta informasi baik lisan maupun tulisan kepada auditan merupakan prosedur biasa dilakukan oleh auditor. Dalam audit juga dalam investigatif permintaan informasi harus diperkuat dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat dengan cara lain. Permintaan informasi sangat penting dan memerlukan prosedur yang normal dalam suatu investigasi.

Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diinvestigasikan) untuk menegaskan kebenaran atau ketidakbenaran suatu informasi. Dalam audit, teknik ini umumnya diterapkan untuk mendapatkan kepastian mengenai saldo utang piutang. Tapi sebenarnya ia dapat diterapkan untuk berbagai informasi, keuangan maupun non keuangan. Dalam investigatif ini harus memperhatikan apakah pihak ketiga memiliki kepentingan dalam investigatif.

c. Memeriksa dokumen

Tidak ada  investigatif apabila tanpa pemeriksaan dokumen. Dengan kemajuan teknologi, definisi dokumen menjadi lebih luas termasuk informasi yang diolah, disimpan dan dipindahkan secara elektronis/digital.

d. Review Analitikal

Dellote Haskins dan Sells mencatat menggunakan teknik ini dalam audit manual mereka di tahun 1930-an. Di akhir 1960-an dan awal 1970-an DHS mengembangkan berbagai perangkat lunak review analikal diantaranya Statical Techniques for Analytical Review (STAR) in auditing. Dalam review analitikal yang penting bukan perangkat lunaknya tetapi semangatnya, seperti yang dikatakan Houck di atas “think analytical first” ini ciri auditor dan investigator yang tangguh.

Menurut Stringer dan Stewart dalam: Analytical review is a form of deductive reasoning in which the property of the individual details is inferred from evidence of the reasonableness of  the aggregate result.  Perhatikan mereka dalam mendifinisikan review analitikal sebagai a form of deductive reasoning, sebagai bentuk penalaran deduktif. Tekanannya adalah pada penalaran, proses berfikirnya. Penalaran yang membawa seseorang auditor atau investigator pada gambaran mengenai wajar, layak atau pantasnya suatu data individual disimpulkan dalam gambaran yang diperoleh secara global, menyeluruh atau agregat.

1. Membandingkan anggaran dengan realisasi

Membandingkan anggaran dengan realisasi dapat mengindikasikan adanya kecurangan. Yang harus benar-benar diketahui adalah seluruh mekanisme pelaksanaan anggaran, evaluasi atas pelaksanaan anggaran dan intensif (keuangan maupun non keuangan) yang terkandung didalamnya sistem anggaran.

Dalam entitas yang merupakan profit center atau revenue center, pejabat tertentu menerima intensif sesuai dengan keberhasilan yang diukur dengan pelampauan anggaran. Investigator perlu mengantisipasi kecenderungan realisasi penjualannya dibuat tinggi (overstated).

2. Hubungan antara satu data dengan data keuangan lainnya

Beberapa akun baik dalam satu maupun beberapa laporan keuangan bisa mempunyai keterkaitan yang  dapat dimanfaatkan untuk review awal.

3. Menggunakan data non keuangan

Inti dari adanya review analitikal adalah mengenal pola hubungan (relationship pattern). Pola hubungan ini tidak mesti hanya antara data satu data keuangan dengan data keuangan lainnya. Pola hubungan non keuangan pun bisa berbagai macam bentuknya.

4. Regresi atau analisis trend

Dengan data historical yang memadai review analitikal dapat mengungkapkan trend. Berbagai perangkat lunak mempermudah hitungan dan grafiknya. Misalnya, STAR, perangkat lunak Delloite.          

5. Menggunakan indikator ekonomi makro

Hubungan antara besarnya pajak penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun dengan indikator-indikator ekonom seperti inflasi, tingkat pengangguran, cadangan devisa, indikator ekonomi negara-negara yang menjadi partner perdagangan Indonesia, harga minya mentah dan komoditi lainnya. Kehandalan perumusan ekonometri akan membantu auditor atau investigator melalui data agregat tanpa harus melakukan pemeriksaan SPT sebagai langkah pertama.

e. Menghitung kembali

Menghitung kembali tidak lain untuk mengecek kebenaran perhitungan. Ini merupakan prosedur yang sangat wajar dalam audit. Tugas ini biasanya diberikan kepada seorang yang baru mulai bekerja sebagai auditor yaitu seorang junior auditor. Dalam investigatif perhitungan yang dihadapi umumnya sangat kompleks didasarkan pada kontrak atau perjanjian yang rumit, yang mungkin telah tejadi perubahan dan renegoisasi berkali-kali dengan pejabat yang berbeda. Perhitungan ini dilakukan oleh investigator yang berpengalaman.

2.4.3 Prinsip-Prinsip Investigatif

a. Investigatif merupakan metode atau teknik yang dapat digunakan dalam audit investigatif.

b. investigatif memerlukan penerapan kecerdasan, pertimbangan yang sehat dan pengalaman selain itu memerlukan pemahaman terhadap ketentuan perundang-undangan dan prinsip-prisip investigatif guna pemecahan permasalahan yang dihadapi.

Ada juga prinsip berdasarkan pengalaman dan praktek yang dapat dijadikan pedoman bagi investigator dalam setiap situasi adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan investigatif mencakup pemanfaatan sumber-sumber bukti yang dapat mendukung fakta yang dipermasalahkan.

2. Investigator mengumpulkan fakta-fakta sedemikian rupa sehingga bukti-bukti yang diperoleh dapat memberikan kesimpulan tersendiri.

3. Informasi merupakan napas dan darahnya investigasi sehingga investigator harus mempertimbangkan segala kemungkinan untuk dapat memperoleh informasi.

4. Pengamatan, informasi dan wawancara merupakan bagian yang penting dalam investigatif.

5. Pelaku kejahatan adalah manusia, oleh karena itu jika ia diperlakukan sebagaimana layaknya manusia maka mereka akan juga merespon sebagaimana manusia.

2.4.4 Tahap-Tahap Audit Investigatif

Dalam melakukan audit investigatif ada beberapa tahapan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Persiapan dan perencanaan. Setiap kegiatan audit harus disertai dengan persiapan dan perencanaan. Audit investigatif lebih ditekankan pada sikap kehati-hatian           dan independen serta arif karena sering terjadi konflik kepentingan antara auditor dan auditan. Dalam menunjuk petugas investigatif harus dipertimbangkan auditor yang memiliki pengalaman, integritas yang tinggi, kemauan, keuletan, keberanian, independen dan tidak ada hubungan istimewa antara auditor dengan auditan.

1. Membuat PKA. Dalam menyusun PKA audit investigatif, auditor harus memahami betul permasalahan yang akan diaudit. Oleh karena itu perlu ditetapkan sasaran, ruang lingkup, waktu audit, menyusun strategi dan langkah audit.

2. Pelaksanaan audit terlebih dahulu diladakan pembicaraan pedahuluan dengan auditan  untuk menjelaskan tujuan audit dan mendapat informasi tambahan serta menciptakan suasana yang mendukung kelancaran.

Dalam melaksanakan investigatif perlu diperhatikan agar pelaku mudah diarahkan untuk mengakui perbuatannya maka diperlukan untuk mengumpulkan bahan dan bukti yang berkaitan dengan kasus yang diaudit dan dapat dijadikan sebagai bukti. Alat bukti menurut KUHP pasal 184:

            1. Keterangan saksi

            2. Keterangan saksi ahli

            3. Bukti petunjuk

            4. Keterangan/ pengakuan terdakwa

            Keterangan atau pengakuan terdakwa tidak saja cukup untuk pembuktian melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lainnya. Bukti dalam audit adalah (1) klarifikasi (2) hasil pengujian fisik (3) dokumentasi (4) observasi (5) tanya jawab atau hasil wawancara (6) prosedur analisa.

2.4.5 Laporan Audit Investigatif

Laporan audit merupakan alat formal auditor untuk mengkomunikasikan kesimpulan yang diperoleh tentang hasil auditnya kepada pihak yang bekepentingan. Saat ini belum ada standar khusus untuk laporan audit investigatif atau audit khusus. Standar umum bahwa laporan harus dibuat secara tertulis setelah berakhirnya pelaksanaan audit dan laporan disampaikan kepada pihak yang berwewenang dan bersifat rahasia. Laporan audit investigatif biasany diberikan kepada pihak yang memberi instruksi (kepolisian, jaksa, pengadilan).

2.5 Rerangka Pemikiran

Rerangka pemikiran yang dibuat dalam penelitian ini mengenai pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian, dan audit investigatif terhadap upaya dalam meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Rounded Rectangle: Pencegahan (X1)Variabel Independen                                                              Variabel Dependen

Rounded Rectangle: Pendeteksian (X2)
Rounded Rectangle: Meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan (Y)

            Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran

2.6 Perumusan Hipotesis

Perumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian, dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Berdasarkan pemikiran tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:           

Ha1: Tindakan pencegahan berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

H01: Tindakan pencegahan tidak berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Ha2: Tindakan pendeteksian berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

H02: Tindakan pendeteksian tidak berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Ha3:Tindakan audit investigatif berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

H03: Tindakan audit investigatif tidak berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Ha4: Tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

H04: Tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif tidak berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

  • METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu, metode yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai suatu fenomena yang terjadi dalam suatu populasi (Indrianto dan Supomo, 2002:26).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kausal yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel independen yaitu tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif terhadap variabel dependen yaitu pengaruhnya terhdap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

3.2 Metode Penentuan Sampel

Penelitian ini mengambil objek auditor yang bertugas di Kantor Akuntan Publik di kota Malang. Metode sampling yang digunakan adalah convience sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahan, sehingga penulis mempunyai kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan mudah.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu sumber data penelitian yang diperoleh langsung dari sumber. Data primer ini dikumpulkan melalui metode survey dengan menggunakan kuesioner (Indriantoro dan Supomo, 2002:26). Kuesioner langsung diberikan secara langsung kepada responden.

3.4 Metode Analisis

Data yang diperlukan terkumpul, langkah selanjutnya adalah meganalisis data berdasarkan metode penilaian data. Kegiatan analisis dan pengolahan data dengan melakukan tabulasi terhadap kuisioner dengan memberikan dan menjumlahkan bobot jawaban pada masing-masing pertanyaan untuk masing-masing variabel.

Analisis data ini menggunakan metode regresi berganda yang dimaksudkan untuk menguji pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. Analisis regresi adalah studi menegenai ketergantungan variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel independen dengan tujuan untuk mengestimasi dan memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang diketahui.

Hasil analisis regresi adalah berupa koefisien untuk masing-masing variabel independen. Koefisien ini diperoleh dengan cara memprediksi nilai variabel dependen dengan satu persamaan. Koefisien regresi dihitung dengan dua tujuan yaitu meminimumkan penyimpangan antara nilai aktual dan nilai estimasi variabel dependen yang ada. Dalam penelitian ini persamaan regresi yang digunakan adalah sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e

Penjelasan model diatas adalah sebagai berikut:

Y         : Meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan

b1,b2,b3 : Koefisien regresi

X1          : Tindakan pencegahan

X2          : Pendeteksian

X3          : Audit investigatif

a          : Konstan

3.5 Uji Instrumen Penelitian           

Peneliti uji instrumen penelitian data-data akan diolah sebagai berikut:

1. Uji Validitas

Uji validitas yang digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Dalam penelitian ini, uji validitas diukur dengan melakukan korelasi antara skor butir pertanyaan dengan total skor variabel.

2. Uji Reabilitas

 Hasil uji reabilitas digunakan untuk mengetahui instrumen penelitian yang dipakai dapat digunakan berkali-kali pada waktu yang berbeda. Pengujian dilakukan dengan menggunakan teknik cronbach alpha. Dimana suatu instrumen dikatakan tidak reliabel bila memiliki koefisien atau alpha sebesar; (1) <0,6 tidak reliabel (2) 0,6-0,7 acceptable (3) 0,7-0,8 baik (4) > 0,8 sangat tidak baik.

3.6 Uji  Hipotesis

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi berganda. Pada dasarnya merupakan eksistensi dari modal regresi dalam analisis bivariate yang umumnya digunakan untuk menguji pengaruh dua variable atau lebih  variabel independen terhadap variabel dependen dengan skala interval atau rasio dalam suatu pengukuran linear.

Riset dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan media kuesioner. Kuesioner diberikan kepada responden dengan meminta izin dan membuat janji terlebih dahulu. Penelitian ini dilaksanakan oleh peneliti sendiri dengan menandatangani kantor tempat penelitian dan bertemu langsung dengan objek penelitian dalam hal ini auditor eksternal yang bekerja di Kantor Akuntan Publik yang ada diwilayah Malang.

1. Uji Asumsi Klasik

Dalam melakukan uji asumsi klasik ini, peneliti melakukan dua uji, yaitu sebagai berikut:

a. Uji Multikolonieritas

Multikolonieritas menyatakan hubungan antar sesama variabel independen (Santoso, 2000:206) menyatakan bahwa deteksi adanya multikolineritas dibagi menjadi dua yaitu: (a) besaran VIF (Variance Inflation Factor)  dan tolerance. Pedoman model regresi bebas multikolinearitas adalah mempunyai nilai VIF disekitar angka 1 dan mempunyai nilai tolerance mendekati 1, dan (b) besaran korelasi antar variabel independen. Pedoman suatu model regresi bebas multikolinearitas adalah koefisien korelasi antar variabel independen.

b. Uji Heterokedastisitas

Heterokedastisitas terjadi jika varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain yang terjadi ketidaksamaan. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heterokedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heterokedastisitas dapat melihat grafik scatterplot. Deteksinya dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik dimana sumbu X adalah Y yang telah diprediksi dan sumbu Y (Santoso, 2000:210).

Dasar pengembilan keputusan adanya heterokedastisitas antara lain: (a) jika ada pola tertentu, seperti titik yang membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar) maka telah terjadi heterokedastisitas dan (b) jika tidak ada pola yang jelas, serta titik menyebar di atas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedastisitas. Deteksi heterokedastisitas dapat menggunakan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresikan variabel independen residual. Jika hasil uji Glejser signifikan, maka model regresi tersebut bebas heterokedastisitas (Ghozali, 2005:105).

c. Uji Normalitas

Menguji dalam sebuah model regresi berganda yaitu variabel dependen, variabel independen atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi normal atau mendekati normal. Untuk mendeteksi normalitas dapat melihat grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual, deteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik (Santoso, 2000:214). Dasar pengambilan keputusan data normal adalah sebagai berikut: (a) Jika data menyebar dsekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi normalitas dan (b) jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas ( Ghozali, 2005:110).

2. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian, dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan melalui analisis regresi berganda, yaitu:

a. Uji Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen, yaitu pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif dalam menjelaskan variasi variabel dependen yaitu: berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan. Nilai koefisien determinasi (R2) untuk menunjukkan presentase tingkat kebenaran prediksi dari pengujian regresi yang dilakukan. Nilai R2 memiliki range antara 0 sampai 1, jika nilai R2 memiliki range antara 0  sampai dengan 1, jika R2 semakin mendekati 1 maka semakin besar variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen diukur dengan korelasi (R), jika R diatas 0,5 maka korelasi atau hubungan antar variabel independen adalah kuat. Sebaliknya jika angka R dibawah 0,5 maka korelasi atau hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen adalah lemah (Santoso, 2002:167).

b. Uji Signifikansi Parameter Individual ( Uji Statistik t)

Uji t diperlukan untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan dari variabel masing-masing independen terhadap variabel dependen. Apabila sig t lebih besar dari 0,05 maka Ha ditolak. Demikian pula sebaliknya jika sig t lebih kecil dari 0,05 maka Ha diterima, bila Ha diterima maka ada hubungan yang sigifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2005:58).

c. Uji Signifikansi Simultan ( Uji Statistik F)

Uji F dilakukan dengan tujuan untuk menguji keseluruhan variabel independen, yaitu: pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigasi yang mempengaruhi terhadap satu variabel dependen, yaitu: berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan. Secara bebas dengan signifikansi sebesar 0,05 dapat disimpulkan (Ghozali, 2005:45) :

                        1. Jika nilai signifikan < 0,05 maka Ha diterima.

                        2. Jika nilai signifikan > 0,05 maka Ha ditolak.

3.7 Definisi Operasional Variabel dan Pengukurannya

Variabel independen dalam penelitian ini adalah tindakan pencegahan, pendeteksian, dan audit investigatif sedangkan variabel dependennya adalah berpengaruhnya terhadap upaya dalam meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan. Dalam penelitian ini, skala pengukuran yang digunakan oleh peneliti adalah skala Likert yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Skala Likert umumnya menggunakan lima angka penelitian, yaitu: (1) sangat setuju, (2) setuju, (3) netral, (4) tidak setuju dan (5) sangat tidak setuju. Pengukuran dari masing-masing variabel dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Tindakan Pencegahan

Pencegahan kecurangan adalah aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan sudah dilakukan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personil lain perusahaan untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam mencapai tiga tujuan pokok, yaitu: keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku ( Amin Widjaja, 2009:12).

2. Tindakan Pendeteksian

Kecurangan akan terlihat melalui timbulnya karakteristik tertentu, baik yang merupakan kondisi/keadaan lingkungan maupun perilaku seseorang. Karakteristik yang bersifat kondisi atau situasi tertentu, perilaku atau kondisi seseorang tersebut dinamakan Redflag (fraud indicators). Meskipun timbulnya red flag tersebut tidak selalu merupakan indikasi adanya kecurangan, namun red flag ini biasanya selalu muncul disetiap kasus kecurangan yang terjadi (Amrizal, 2004:11-16).

3. Audit Investigatif

Salah satu aktivitas dalam rangka implementasi upaya dalam meminimalisasi kecurangan dengan melakukan pendekatan investigatif. Audit investigatif dapat dikatakan sebagai proses penyelidikan yang berlandaskan pada hukum dan rasa keadilan untuk mencari kebenaran dengan tingkat kebenaran yang tinggi (high level of assurance) mengenai suatu permasalahan yang ditemukan (Theodorus M, 2007:201).

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Ratna. 2012. “Pengaruh Audit Internal Terhadap Pencegahan dan Pendeteksian Fraud (Kecurangan)”.

ACFE. (2004). “Occupational Fraud and Abuse”. USA: Association of Certified Fraud Examiners.

Amrizal. (2004). “Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Auditor Internal”. Jakarta. Dari http://www.pdf.com

Cressey, D. R. (1973). “Other People’s Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlesment”. New Jersey: Montclair Patterson Smith.

Fitriyani, Rika. (2012).”Pengaruh Kemampuan Auditor Investigatif Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Prosedur Audit dalam Pembuktian Kecurangan (Fraud) Studi Kasus Pada Auditor Investigatif di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Barat Bandung”. Skripsi: Universitas Pasundan.

Ghozali, Iman. (2005). “Aplikasi Analis Multivariate dengan Program SPSS”. Semarang: Universitas Diponegoro.

Koroy. (2008). “Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh Auditor Eksternal”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 10, h. 22-31.

Martantya, Daljono. (2013). “Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan Melalui Faktor Risiko Tekanan dan Peluang”.  Diponegoro Journal of Accounting. Vol. 12, h. 1-12.

Muhammad, Iqbal. (2010). “Pengaruh Tindakan Pencegahan, Pendeteksian dan Audit Investigatif Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan Dalam Laporan Keuangan”. Skripsi: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Mulyadi dan Puradiredja, K. (1998). “Auditing”. Salemba Empat: Jakarta.

Nabila, Atia Rahma. (2013). “Deteksi Kecurangan Laporan Keuangan Dalam Perspektif Fraud Triangle”.

Norbarani, Listiana. (2012). “Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan dengan Analisis Fraud Triangle yang diadopsi dalam SAS No.99”.

Riduan Simanjuntak, Ak, MBA, CISA, CIA. “Kecurangan: Pengertian dan Pencegahan”.

Rosandi, Raisya. (2009). “Persepsi Mahasiswa Akuntansi terhadap Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan”. Skripsi.

Skousen, C.J., K. R. Smith,  dan C. J .Wright. (2009). “Detecting and Predicting Financial Statement Fraud: The Effectiveness of The Fraud Triangle and SAS No.99”. Corporate Governance and Firm Performance Advances in Financial Economics, Vol. 13, h. 53-81.

Soselisa dan Mukhlasin. (2008). “Pengaruh Faktor Kultur Organisasi Manajemen Strategik Keuangan dan Auditor Terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi pada Perusahaan Publik di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi XI Unika Atmajaya.

Tuanakotta, Theodorus M. (2007). “Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi”. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Wibowo, Winny W. (2009). “Pengaruh Penetapan Fraud Early Warning System (FEWS) Terhadap Aktivitas Bisnis Perusahaan”. Jurnal Informasi, Perpajakan, Akuntansi dan Keuangan Publik. Vol. 4, h. 77-111.

Widjaya, Amin. (1992). “Pemeriksaan Kecurangan (Fraud Auditing)”. Rineka Cipta:  Jakarta.

Wilopo. (2006). “Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi”.

Pengaruh Tindakan Pencegahan, Pendeteksian dan Audit Investigatif Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan Dalam Laporan Keuangan

Lembar Pertanyaan / Kuesioner

Kepada Yth,

Bapak/Ibu Auditor

Di KAP

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama               : Cindy Claudia Handoko

Status              : Mahasiswa

Fak/Jur            : Fakultas Ekonomi dan Bisnis/ Akuntansi

Tujuan             : Kelengkapan Informasi Penyusunan Ekonometrik

Dalam menyelesaikan tugas mata kuliah ekonometrik, saya sangat mengharapkan bantuan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam pengisian kuesioner. Daftar pertanyaan/kuesioner ini ditunjukkan kepada anggota komite audit di tempat anda bekerja. Anggota yang dimaksudkan merupakan satu satuan tim komite audit. Keberhasilan ini tergantung pada kejujuran dan kesediaan Bapak/Ibu dalam mengisinya. Atas kesediaan waktunya saya ucapkan banyak terima kasih.

Malang , 25 November 2014

Cindy Claudia Handoko

Data dan Keterangan Responden

Nama                                       : ………………………………………..

Umur                                       : …………. tahun

Jenis Kelamin                          :       Laki-laki        Perempuan

Pendidikan terakhir                 :

        D3                 S1                          S2                           S3

Nama instansi tempat anda bekerja saat ini    :

Lama bekerja di instansi ini    :

       < 3 tahun              3-10 tahun            10-20 tahun                > 20 tahun

Posisi anda saat ini                  :

      Partner       Manajer       Supervisor      Auditor Senior       Auditor Junior

Berikan penilaian dengan memilih salah satu dari 5 point skala berikut ini dengan memberikan tanda check (√) pada kolom yang telah disediakan:

Keterangan JawabanNilai Penelitian
STS : Sangat Tidak Setuju1
TS : Tidak Setuju2
 N : Netral3
S : Setuju4
SS : Sangat Setuju5

Pertanyaan tentang Tindakan Pencegahan Berpengaruh Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan (X1)

No.PertanyaanSTSTSNSSS
1.Apakah kesadaran tentang adanya kecurangan (Fraud awareness) dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya kecurangan.     
2.Dapatkah pemecatan menimbulkan efek jera (deter) bagi pelaku kecurangan.     
3.Apakah pemberian sanksi (punishment) yang tegas kepada yang melakukan kecurangan dan berikan penghargaan (reward) kepada mereka.     
4.Dengan menerapkan Sistem Pengendalian Internal yang baik dapat mencegah terjadinya kecurangan.     
5.Menjalankan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dapat mencegah adanya kecurangan.     
6.Apakah dengan melaksanakan evaluasi kinerja secara berkala dapat mencegah adanya kecurangan.     
7.Menerapkan pegendalian pengembangan sistem dan dokumen (Systems Development and Documentation controls) dapat mencegah timbulnya kecurangan.     
8.Melakukan inspeksi mendadak dan melaksanakan pertemuan antara pengawas /pemeriksa dengan karyawan instansi pemerintah atau swasta dapat mencegah adanya kecurangan.     
9.Apakah mengevaluasi, merancang, dan menerapkan kontrol yang secara proaktif dapat mencegah timbulnya kecurangan.     
10.Hati nurani seorang karyawan sangat berpengaruh dalam pekerjaannya dapat menekan timbulnya kecurangan.     

Pertanyaan tentang Tindakan Pendeteksian Berpengaruh Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan (X2)

No.PertanyaanSTSTSNSSS
1.Dengan melihat ayat jurnal penyesuaian yang kurang otorisasi dan rincian yang kurang mendukung dapat mendeteksi suatu kecurangan.     
2.Sebuah pernyataan yang salah dan palsu dalam laporan keuangan dari segi keuntungan dan nilai aktiva dapat dijadikan alasan adanya indikasi kecurangan.     
3.Pelajari orang-orang dilingkungan audit kita, seperti pengendalian intern, jurnal penyesuaian, catatan hukuman dan rasio.     
4.Membandingkan laporan keuangan dalam beberapa periode dapat dijadikan alat deteksi untuk melihat kecurangan.     
5.Perubahan gaya hidup seorang karyawan yang tiba-tiba berubah dapat dijadikan alasan adanya indikasi pendeteksian kecurangan.     
6.Kecurangan dapat dideteksi dengan memeriksa dokumen, telaah data ekstren, dan wawancara.     
7.Melakukan review analitik yang dilakukan oleh auditor secara keseluruhan dapat menemukan indikasi adanya kecurangan.     
8.Apakah mencocokan faktur pembelian perusahaan dengan faktur pejualan perusahaan menyuplai barang bisa dijadikan dokumen bukti adanya indikasi adanya kecurangan.     

Pertanyaan Audit Investigasi Berpengaruh Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan (X3)

No.PertanyaanSTSTSNSSS
1.Auditor memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukupnya bukti yang relevan dan bertujuan untuk menekankan bisa diterimanya bukti-bukti transaksi sebagai alat bukti adanya indikasi kecurangan.     
2.Membandingkan antara anggaran  dengan realisasi dapat dijadikan alasan untuk menilai adanya indikasi kecurangan.     
3.Apakah seorang auditor atau investigator mempunyai gambaran mengenai wajar, layak, dan pantasnya suatu data individual yang disimpulkan dari gambaran yang diperoleh secara global, menyeluruh atau agregat untuk melihat adanya indikasi adanya kecurangan.     
4.Menggunakan data non-keuangan, mengenal pola hubungan, (relationship pattern) tiap transaksi dapat dijadikan refrensi untuk melihat adanya indiksi kecurangan.     
5.Investigasi memerlukan penerapan kecerdasan, pertimbangan yang sehat dan pengalaman, selain itu memerlukan pemahaman terhadap ketentuan perundang-undangan dan prinsip-prinsip investigasi guna pemecahan permasalahan yang dihadapi.     
6. Apakah informasi merupakan nafas dan darahnya investigasi sehingga investigator harus mempertimbangkan segala kemungkinan untuk dapat memperoleh informasi.     
7.Pengamatan, informasi dan wawancara merupakan bagian yang penting dalam melakukan audit investigasi.     
8.Seorang petugas investigatif harus mempunyai pengalaman, integritas yang tinggi, kemauan, keuletan dan keberanian, independen dapat mempengaruhi ditemukan indikasi adanya kecurangan.     
9.Tekanan negatif yang diberikan kepada seorang investigator oleh pihak-pihak yang kontra dapat mempengaruhi independensi saat dia melakukan audit investigasi.     
10.Indikasi adanya kecurangan itu bisa berasal dari pengalaman dalam pengoperasian sitem informasi akuntansi.     

Pertanyaan tentang Meminimalisasi Kecurangan

No.PertanyaanSTSTSNSSS
1.Sebagai auditor eksternal saya bekerja secara profesional, independen dan menjalankan kode etik.     
2.Saya berperan besar dalam menentukan kecurangan dalam laporan keuangan.     
3.Investor akan menilai baik perusahaan atas peran saya dalam proses audit perusahaan tersebut.     
4.Peran saya dalam mengaudit terkadang dibatasi oleh pihak manajemen.     
5.Apabila saya tidak menemukan kecurangan, saya merasa diri saya tidak pantas untuk menjadi auditor.     
6.Sebagai seorang auditor eksternal saya harus bisa mencegah dan mendeteksi lebih dini agar  tidak terjadi kecurangan.     
7.Pengaturan rotasi auditor (akuntan publik) merupakan salah satu cara untuk mencegah timbulnya kecurangan yang diakibatkan kolusi antara manajemen perusahaan dengan akuntan publik.     
8.Identifikasi atas faktor-faktor penyebab kecurangan, menjadi dasar untuk memahami kesulitan dan hambatan dalam pendeteksian kecurangan.     
9.Auditor harus dapat memperkirakan bentuk-bentuk kecurangan apa saja yang bisa terjadi.     
10.Auditor harus dapat megidentifikasi pihak-pihak yang dapat melakukan kecurangan.     
11.Ketertutupan pihak manajemen dapat berakibat sulitnya melakukan pendeteksian kecurangan.     
12.Auditor harus melakukan pengujian atas dokumen-dokumen atau informasi-informasi yang diperoleh.     
13.Kondisi mental dan pengawasan kerja yang buruk merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecurangan.     

KORUPSI SEBAGAI TINDAKAN YANG MELANGGAR KODE ETIK PROFESI

Stephanie Calista & Daniel Sugama Stephanus

Program Pendidikan Karakter

Universitas Ma Chung Malang

2011

Artikel ini berisi tentang bagaimana korupsi yang terjadi di berbagai negara seperti di AS, China dan Indonesia yang dapat mengubah kehidupan negara tersebut. Penulis berharap dengan adanya kasus korupsi tersebut, kita sebagai manusia dapat belajar dari kasus tersebut untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Pada dasarnya, setiap manusia pasti memiliki aturan-aturan dalam berperilaku di kehidupan bermasyarakat. Aturan – aturan tersebut digunakan supaya manusia dapat mengatur segala tindakan, perilaku dan tutur kata supaya setiap manusia dapat membangun kebersamaan satu sama lain dengan saling menghormati, saling menghargai dan saling menyayangi.

Di dunia pekerjaan, setiap manusia harus bertanggung jawab atas pekerjaan yang sudah diberikan. Tanggung jawab tersebut dapat ditunjukkan dengan loyalitas terhadap perusahaan dan mematuhi aturan-aturan baik aturan perusahaan dan kode etik profesi. Pada kenyataannya, banyak manusia tidak menjalani hidupnya dengan etika yang seharusnya. Manusia sering melakukan pelanggaran-pelanggaran etika karena didukung oleh banyak faktor, khususnya uang. Pelanggaran tersebut termasuk dengan melakukan korupsi. Melalui artikel ini, penulis mencoba menjelaskan tentang pentingnya suatu etika dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak akibat-akibat yang terjadi karena pelanggaran etika tersebut. Jadi, penulis berharap dengan adanya artikel ini, pembaca dapat mengerti bahwa manusia harus mempunyai etika yang baik dalam menjalani hidupnya.

Pendahuluan

Korupsi adalah tindakan yang termasuk dalam pelanggaran etika profesi. Pelanggaran tersebut dapat terjadi karena didukung banyak hal misalnya meningkatnya kebutuhan hidup manusia sehingga manusia harus meningkatkan biaya yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Karena perekonomian sedang dalam keadaan tidak baik maka manusia lebih memilih jalan cepat untuk mendapatkan uang yaitu dengan korupsi. Korupsi terjadi di mana-mana.

Amerika Serikat

AS menjalankan sistem ekonomi kapitalis yaitu sistem yang menganut paham kebebasan individu untuk memiliki, mengumpulkan dan mengusahakan kekayaan secara individu. Dari definisi tersebut, kita bisa tahu bawa paham kapitalis yang dianut negara AS mengajarkan kepada rakyatnya untuk mencari kekayaan individu masing-masing, mementingkan diri sendiri, tidak peduli dengan orang lain,yang ia pikirkan hanya bagaimana meningkatkan kekayaannya sendiri. Akhirnya negara AS makmur karena banyak orang di sana bisnisnya lancar, tetapi di sisi lain hal itu bisa menyebabkan kesenjangan sosial, golongan miskin dengan golongan miskin, begitu juga dengan sebaliknya golongan kaya  juga dengan golongan kaya. Karena di AS ekonominya berjalan lancar, banyak orang kaya di sana, akhirnya pertumbuhan ekonomi negara AS menjadi kokoh di permukaannya, pengangguran dan inflasi rendah, dan defisit perdagangan yang rendah.

Ekonomi AS merupakan salah satu yang terpenting di dunia. Banyak negara telah menjadikan dollar AS sebagai tolak ukur mata uangnya, artinya berharga atau tidaknya mata uang mereka ditentukan oleh dollar. Sejumlah negara menggunakan dollar sebagai mata uangnya. Bursa saham AS dipandang sebagai indikator ekonomi dunia. AS dipandang oleh negara lain sebagai negara adidaya, rakyatnya tergolong konsumtif, semua serba ada di sana, semua yang diinginkan dapat terpenuhi, intinya orang yang punya kekuasaan di sana, kekuasaan berupa uang dan harta benda lainnya, bisa hidup di AS . Tetapi kenapa sejak 3 September 2006 terbukti bahwa banyak korporasi besar yang melakukan penipuan di AS dan hal itu sudah menjadi wabah yang tidak bisa dihindari lagi, banyak pengusaha-pengusaha di sana terlalu rakus dalam mencari uang, mereka memikirkan bagaimana perusahaannya harus memperoleh kekayaaan sebanyak-banyaknya dengan cara apa pun. Akhirnya karena di pikiran mereka hanya uang,uang dan uang, mereka melakukan pelanggaran contohnya penipuan dalam perdagangan saham, pembukuan palsu, pemalsuan harga obat dan lainnya, yang penting tindakan mereka itu bisa memperlancar bisnisnya. Hambatan-hambatan yang dihadapi diselesaikan dengan uang, dikendalikan olah uang (money talks). Mereka melakukan begitu karena memang mereka tidak mau kehilangan kekayaannya, mereka tidak mau perusahaannya bangkrut, mereka sudah terlanjur dididik dengan paham kapitalis yang mempunyai tujuan bahwa hakikat manusiaharus direndahkan, mereka hidup untuk mengejar kemakmuran ekonomi fisik semata dan mengabaikan kekuatan Tuhan. Inilah bukti kegagalan paham kapitalis, paham ini terlalu mengajarkan kepada rakyatnya untuk mementingkan diri sendiri. Banyak dampak yang terjadi karena menggunakan paham ini contohnya terjadi pemanasan global dan kerusakan bumi,terjadi ketidakadilan distribusi kekayaan,ancaman kekerasan, konflik, kemiskinan, korupsi, penyalagunaan kekuasaan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang,gaya hidup yang konsumtif,muncul tanda-tanda tekanan mental/psikologis, penyakit gaya hidup modern. Itulah dampak-dampak yang terjadi karena paham kapitalis dan faktanya, dampak-dampak tersebut terjadi di AS.

Persebaran Korupsi

Korupsi tidak hanya terjadi di negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis saja tetapi korupsi dapat terjadi di negara penganut sistem ekonomi komunis dan sistem ekonomi Pancasila.  Pertama, Sistem Ekonomi Pancasila dapat definisikan sebagai sistem ekonomi yang di jiwai ideologi Pancasila yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional. Memiliki lima ciri yaitu sebagai berikut :
1.         Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial

            dan moral.
2.         Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan

            kemerataan sosial, sesuai asas- asas kemanusiaan

3.         Prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian

      nasional yang tangguh,yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi.

4.         Koperasi merupakan tiang utama perekonomian dan merupakan

            bentuk paling kongkret dari usaha bersama.

5.         Adanya pertimbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di

      tingkat nasional dengan desentralisasi (tata pemerintahan yang lebih bayak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah) dengan pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan nasional.

Sistem Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi campuran yang mengandung ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim yang dikenal yaitu kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis. Moralitas Ekonomi Pancasila mencakup ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Indonesia adalah negara yang menetapkan sistem ekonomi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi walaupun negara telah menetapkan Pancasila sebagai landasan ”hidup” negara Indonesia, tetap saja banyak warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran terhadap Pancasila, dengan berbagai tindakan termasuk korupsi, penyuapan dan lain sebagainya. Sebagai contoh kasus penyuapan yang melibatkan mantan anggota DPR yaitu Al Amin Nur Nasution dan Anthony Zeidra Abidin. Al Amin yang terbukti menerima suap alih fungsi hutan di Bintan, sedangkan Anthony adalah orang yang terlibat dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI).  Banyak korupsi yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, tidak hanya itu saja, banyak kasus yang sedang di tindak karena korupsi.

Kedua, Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia, selain kapitalisme dan ideologi lainnya. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana mereka mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh. Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi. Prinsip komunisme adalah semua milik rakyat harus dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme juga disebut anti liberalisme. Sistem ekonomi komunis adalah sistem yang menganut paham kemakmuran masyarakat secara keseluruhan, bukan kemakmuran orang per orang. Buktinya bahwa di negara komunis tetap saja ada yang melakukan korupsi. Sejumlah langkah pemberantasan korupsi tak henti-henti nya dilakukan oleh pemerintahan penganut paham komunis yaitu China. Di China banyak nama-nama dan gambar pejabat negara yang sudah melakukan korupsi dipajang dalam sebuah pameran di Beijing sebagai contoh Chen Liangyu, mantan sekretaris partai di Shanghai yang dekat dengan Jiang Zemin diajukan ke pengadilan. Dia diduga terlibat skandal korupsi senilai 1,25 milliar dollar AS. Begitu juga kasus pemecatan Menteri Keuangan Jin Renqing pada akhir Agustus 2007. Setelah dikabarkan terlibat skandal wanita, belakangan diketahui dia berperan dalam penggalangan dana untuk menindas Falun Gong. Sebanyak triliunan Yuan uang negara disalahgunakan demi politik Jiang itu. Warganya juga dididik agar membenci koruptor melalui game online, dimana para pejabat yang korupsi boleh dibunuh dengan senjata, ilmu hitam, atau disiksa. Banyak negara termasuk pemerintah Indonesia cukup tercengang atas keberanian negara komunis itu dalam menjerat para koruptor. Lebih-lebih hukuman mati dikenakan kepada mereka. Tak heran jika China kini telah menjadi model dalam pemberantasan korupsi di Asia. Beberapa negara merasa perlu belajar dari China. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menjalin kerjasama dengan China untuk pemberantasan korupsi. China telah menerapkan tiga langkah untuk memberantas korupsi, yaitu memperbaiki sistem birokrasi, meningkatkan penyidikan terhadap pegawai negeri, dan mengawasi kekuasaan. Pengawasan ditingkat administrasi pemerintahan dilakukan oleh Kementrian Pengawasan, sedangkan pengawasan internal di tubuh partai dijalankan oleh Direktorat Disiplin. Seperti di Indonesia, meski pemerintah China terus melakukan kampanye antikorupsi dan penangkapan ratusan pejabat namun aksi penyuapan, penggelapan, dan berbagai bentuk tindak korupsi masih terjadi. Hal itu dimungkinkan karena elite partai masih menguasai industri penting seperti perbankan, real estate dan manufaktur, dan pemerintah pusat tidak bisa mengontrolnya. Oleh karena itu dibutuhkan pegawasan yang sangat ketat yang harus dilakukan pemerintah China untuk memberantas korupsi.

Jadi walaupun semakmur apapun negara itu, ekonominya bagus, paham-paham yang dianut sangat baik dan berguna bagi rakyatnya, penyelewengan-penyelewengan  seperti korupsi, manipulasi dan kejahatan lainnya pasti akan terjadi di negara tersebut. Karena semua itu akan dapat terselesaikan apabila manusia sadar bahwa tindakan mereka salah, kalau sampai sekarang manusia belum sadar bahwa tindakan seperti itu harus dilanggar, semua akan diserahkan kepada pemerintah untuk memberikan ”hukuman” kepada mereka yang melanggar aturan negara. Oleh karena itulah, masalah kejahatan seperti korupsi dan lain sebagainya bisa saja tidak terulang kembali tetapi semua itu  tergantung kesadaran masing-masing.

Lima Dimensi Bisnis

Perilaku korporasi-korporasi besar di AS yang melanggar kode etik profesi, dikaitkan dengan lima dimensi bisnis yaitu :

      1.   Dimensi ekonomi

Korporasi-korporasi besar tersebut memang bergerak di bidang masing-masing yang mempunyai tujuan sama yaitu mencari profit. Tetapi mereka juga melakukan aktivitas produksi dengan tujuan mencari keuntungan tetapi dengan cara yang salah yaitu melakukan pembukuan palsu, penyuapan dan lainnya guna meningkatkan keuntungan pribadi serta meningkatkan keuntungan perusahaan.

      2.   Dimensi etis

Jelas yang dilakukan korporasi-korporasi besar di AS adalah perbuatan yang tidak etis, melanggar etika di mana etika bisnis adalah etika untuk berbisnis secara baik dan fair dengan menegakkan hukum dan keadilan secara konsisten dan konsekuen. Seharusnya bisnis yang baik, harus mematuhi peraturan yang dibuat pemerintah, mereka boleh mencari keuntungan dari masyarakat asal dengan cara yang benar. Berdasarkan tingkat kesadaran yag ada, perbuatan korporasi-korporasi besar di AS termasuk tingkat kesadaran hewani (terlalu egois/ memikirkan kepentingan diri sendiri). Dari tingkat kesadaran itulah, kita bisa tahu bahwa tingkat keterlibatan CSR (Corporate Social Responsibility)nya juga tergolong rendah.

      3.   Dimensi hukum

Korporasi-korporasi tersebut jelas berbadan hukum dan disetujui pemerintah sebagai contoh perusahaan AT & T, Boeing, Converse Technology dan korporasi lainnya.

  • Dimensi Sosial

Setiap korporasi di AS termasuk korporasi yang terlibat dalam penipuan, pasti mempunyai 2 faktor dalam dimensi sosial yaitu :

Faktor internal : direktur, karyawan, manajer dan bagian penting perusahaan lainnya.

Faktor eksternal : investor, pemasok dan pelanggan. Mereka termasuk dalam stakeholders.

  • Dimensi Spiritual

Faktanya bisnis yang dijalankan korporasi-korporasi besar di AS ini hanya mencari keuntungan (profit semata), tidak mempunyai tujuan utama yang lebih penting daripada itu semua yaitu kesetiaan kepada Tuhan (God Devotion), bisa dilihat dari keterlibatan mereka dalam penipuan tersebut yang secara langsung mencerminkan mereka adalah manusia hina karena mereka bertingkah laku buruk dengan melakukan penipuan – penipuan tersebut (berdasarkan teori keutamaan). Perilaku mereka secara moral juga dianggap tidak baik karena mereka tidak mengikuti aturan Tuhan (Teori Teonom). Di sisi lain, korporasi-korporasi tersebut memakmurkan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan konsumen, karena jika korporasi tersebut memenuhi konsumen, keuntungan berupa uang bisa didapatkan untuk perusahaan. Setelah itu, korporasi-korporasi tersebut mempunyai kewajiban untuk menjaga lingkungan sekitarnya.

Indonesia

Negara kita Republik Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi menjelang akhir abad ke-20. Keadaan tersebut jauh sekali dari keadaan yang kita kehendaki ketika memproklamasikan kemerdekaan. Kondisi rakyat yang miskin, diperberat dengan berbagai kesulitan contohnya saja dalam bidang pendidikan, biaya sekolah untuk anak-anak mereka yang terlalu tinggi, walaupun pemerintah sudah menyiapkan bantuan untuk bidang pendidikan yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tetapi kenyataanya distribusi bantuan itu tidak dapat terlakasa dengan baik, biaya untuk membeli buku saja sudah mahal. Keadaan yang sudah berat itu ditambah lagi dengan datangnya berbagai bencana secara bertubi-tubi, seperti tsunami, gempa bumi dan juga bencana yang disebabkan karena ulah manusia seperti kapal tenggelam, pesawat terbang jatuh, dan salah satu contoh bencana yang terjadi di Indonesia, yang masih hangat-hangatnya dibicarakan adalah ”tsunami” yang disebabkan karena jebolnya tanggul Lapindo.

Selain itu, bangsa Indonesia belum juga bebas dari merajalelanya perbuatan korupsi yang amat merugikan negara dan bangsa. Keadaan negara dan bangsa Indonesia ini sangat jauh sekali dengan harapan bangsa pada waktu kita memproklamasikan kemerdekaan bangsa pada 17 Agustus 1945 dan bertekad membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.   

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia mengalami keterpurukan menjelang akhir abad ke 20. Penyebabnya berada pada pemerintahan itu sendiri, pemerintah yang kurang mengimplementasikan landasan Pancasila dalam bidang apa pun, pemerintah yang kurang mampu dalam menyelesaikan masalah negara. Sistem ekonomi Pancasila sudah benar, tinggal pemerintah dan kita sebagai rakyatnya harus dapat ikut menjalankan sistem tersebut di kehidupan sehari-hari. Semoga saja pemerintah menyadari kesalahannya selama ini dan mempunyai komitmen tinggi untuk mengubah bangsa ini menuju sebuah posisi yang lebih baik dari sekarang. Salah satu cara untuk bisa mewujudkannya adalah melalui pemberantasan korupsi dan menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Karena jika tidak, bangsa ini akan semakin lama terjerumus ke dalam lubang yang dalam tanpa  ada solusi yang benar-benar membuat Indonesia keluar dari ketererpurukan.

Penyebab Korupsi

Korupsi adalah penyelewengan/penggelapan (uang negara / perusahaan,dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain sedangkan manipulasi adalah upaya kelompok / perorangan untuk mempengaruhi perilaku, sikap dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya. Dari definisi tersebut, kita tahu bahwa tindakan yang berupa korupsi, manipulasi, dan kejahatan lainnya adalah tindakan yang salah, melanggar hukum. Tetapi masalahnya mengapa tindakan itu masih dilakukan, mengapa para eksekutif seperti di AS masih ingin melakukan tindakan tersebut padahal mereka tahu bahwa tindakan tersebut adalah tindakan salah, banyak dampak buruk yang bisa terjadi karena melakukan tindakan tersebut? Alasannya sangat bermacam-macam. Banyak manusia yang ingin enaknya saja, tidak mau bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu hal yang diinginkan. Diibaratkan kalau ada jalan mudah (”tidak bersih”) supaya cepat kaya, yang dilalui pasti jalan yang mudah, tidak mau memilih jalan sulit (”bersih”) yang membutuhkan kerja keras, pengorbanan untuk mendapatkan hal yang ”abadi”. Memang dengan kita melewati jalan mudah, semua mudah, cepat dapat uang, laba perusahaan cepat naik, tetapi semua yang didapatkan dengan cara cepat dan mudah, tidak akan bertahan lama. Seiring berjalannya waktu semua akan hilang. Jadi karena sifat manusia itulah, yang tidak mau bekerja keras, mau mudahnya saja, akhirnya terjerumus dalan hal-hal negatif termasuk korupsi, manipulasi dan kejahatan lainnya.

Memang di AS sudah dibentuk Corporate Fraud Task Force (CFTF), yaitu sebuah badan yang digunakan pemerintah untuk memberantas korupsi, hukum AS memang sudah ditegakkan, tetapi walaupun hukum sudah ditegakkan tetap saja banyak korporasi besar yang melakukan pelanggaran etika dalam berbisnis yaitu penipuan. Oleh karena itulah, bisa kita simpulkan bahwa mengapa para eksekutif AS masih melakukan kejahatan tersebut karena pada kenyataannya, hukum di AS kurang ”menakutkan” bagi mereka, mereka tidak takut akan ancaman-ancaman pemerintah berupa denda yang besar, ancaman penjara dan lain sebagainya. Oleh sebab itulah, AS harus lebih tegas dalam membuat undang-undang tentang korupsi, hukuman yang dijatuhkan harus lebih berat dari sebelumya contohnya saja Cina. Hukuman bagi yang melakukan korupsi di Cina adalah hukuman mati. Cina tidak peduli dengan anggapan negara lain tentang negarannya yang sangat ”sadis” terhadap manusia. Keadilan harus tetap dijalankan, banyak kerugian yang terjadi karena perbuatan koruptor, termasuk merugikan negara, jadi pantas saja hukumannya juga ”sadis” yaitu hukuman mati.

Kita bisa tahu mengapa banyak orang termasuk para eksekutif AS memilih melakukan kejahatan tersebut. Korupsi bisa kita ibaratkan seperti ”Setan”, kalau kita mengikuti jalan tersebut, risiko yang kita hadapi akan banyak sekali, Tuhan akan memberikan hukuman kepada kita, tergantung diri kita masing-masing kapan kita sadar bahwa korupsi, manipulasi dan lainnya adalah cara yang salah untuk mendapatkan uang, cara yang seharusnya memang tidak dilakukan, cara yang harus dilanggar. Kita sebagai manusia bisa mendapatkan apa saja yang kita inginkan asal kita mempunyai tekad yang kuat untuk berusaha dan usaha tersebut pasti membuahkan hasil yang memuaskan jika kita terus berpegang pada Tuhan.

Korupsi sangatlah merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan melakukan korupsi, kita sebagai manusia tidak menjalankan kehidupan dengan etika yang seharusnya. Banyak perusahaan atau pejabat yang melanggar kode etik profesi mereka dengan melakukan korupsi. Padahal etika profesi adalah aturan – aturan yang digunakan untuk mengatur tindakan kita dalam menjalani profesi kita di dalam masyarakat. Dengan etika profesi, maka kita dapat melakukan pekerjaan kita dengan baik dan benar. Namun, pada kenyataannya, banyak yang melanggar kode etik tersebut yaitu salah satunya dengan melakukan korupsi. Sebaiknya kita sebagai manusia janganlah melanggar kode etik profesi kita masing-masing karena dampaknya akan merugikan kehidupan kita sendiri yaitu menurunnya kredibilitas profesi kita di mata masyarakat. Kita harus melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya dengan mematuhi kode etik profesi kita masing-masing.

Referensi

Rizal.2009.Perkembangan Etika Profesi, (online), (http://rizal.blog.undip.ac.id/files/2009/07/dipakai_siskom_etika-profesi.pdf,diakses 22 April 2010).

Widiastama,Errol.2009.Masalah Korupsi di Indonesia, (online), (http://www-errol273ganteng.blogspot.com/,diakses22 April 2010).

Suryadi,Yudi.2009.Masalah Korupsi di China, (online),(http://yudiesuryadie.blogspot.com/2009/05/masalah-korupsi-di-china.html,diakses 22 April 2010).