PENGHITUNGAN KERUGIAN DENGAN AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF PADA KASUS FRAUD YANG DILAKUKAN OLEH LIPPO GROUP PADA TAHUN 2002

KEVIN & DANIEL SUGAMA STEPHANUS               

MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN

PROGRAM STUDI AKUNTANSI – FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUPATEN MALANG

2014

  1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bank Century merupakan salah satu bank besar yang beberapa tahun lalu mengalami masalah dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Bank Century terhadap laporan keuangan yang diterbitkannya. Dalam kasus ini, peran auditor sangat dibutuhkan untuk memeriksa laporan keuangan tersebut. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai Bank Century dianggap menyesatkan antara lain karena audit investigasi BPK memuat ‘dosa’ Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang belum secara resmi menetapkan penghitungan perkiraan biaya penanganan Bank Century secara keseluruhan. Hal tersebut dapat muncul karena adanya penghilangan fakta yang material, atau adanya pernyataan fakta material yang salah (www.antara.co.id dalam Pramitasari, 2013).

Bila ditelusuri lebih dalam, yang berada di balik penyimpangan tersebut adalah auditor itu sendiri. Dalam hal ini, pihak auditor bertindak secara tidak professional dalam auditnya dan terjadi persekongkolan antara pihak dalam dengan auditor, spesifiknya dalam hal ini auditor menerima sogokan dari Bank Century agar laporan keuangan yang tidak sehat menjadi sehat kembali. Hal ini jelas menguntungkan perusahaan, karena hal ini memudahkan perusahaan untuk bisa mendapat dana pinjaman dari Bank Indonesia dan kemudian para investor tertarik untuk menginvestasikan sahamnya ke Bank Century, dan menarik nasabah ke Bank Century. Karena hal ini, auditor secara jelas telah melanggar kode etik yang ada, spesifiknya mengenai independensi (karodalnet.blogspot.com dalam Pramitasari, 2013).

Kasus lainnya adalah mengenai fraud dalam Bank Negara Indonesia (BNI) yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1,7 triliun. Kasus ini terkuak oleh Kepala Divinisi Internasional terhadap kejanggalan prosedur L/C BNI cabang Kebayoran Baru. Berdasarkan laporan dari Divisi Internasional yang dirilis pada 7 Agustus 2003, Direktur Utama BNI menurunkan tim audit khusus yang dirilis pada awal September 2003 membuktikan kebenaran pembobolan uang negara sebesar Rp 1,7 tiliun (www.kompas.co.id dalam  Pramitasari 2013).

Pemaparan dua kasus di atas merupakan contoh nyata terjadinya fraud pada beberapa perusahaan di Indonesia. Terlihat jelas bahwa peran auditor sangat penting dalam menilai kewajaran dan kelayakan laporan keuangan serta dalam mengunkap indikasi fraud yang terjadi di perusahaan. Profesi auditor merupakan profesi yang ‘menjual’ kepercayaan kepada masyarakat. Profesi auditor memiliki peran penting dalam penyediaan informasi keuangan yang andal bagi seluruh pemangku kepentingan. Peranan auditor juga penting dalam pengungkapan praktik keuangan yang dapat merugikan negara atau perusaan yang dilakukan dengan akuntansi forensik, yang merupakan bagian dari audit khusus.

Akuntansi forensik adalah suatu ilmu akuntansi yang digunakan untuk menyelidiki kemungkinan adanya kecurangan, terutama terhadap perusahaan-perusahaan yang mati secara misterius untuk mengungkap kecurangan dan penyelewengan yang melanggar hukum yang berlaku (Miqdad dalam Pramitasari, 2013).

Beberapa contoh di atas menunjukkan pentingnya audit, khususnya audit khusus dalam penangan kasus yang berhubungan dengan fraud dan telah banyak penelitian mengenai akuntansi forensik dan audit investigatif yang merupakan bagian dari audit khusus. Namun, penelitian-penelitian tersebut masih merupakan penelitian yang bersifat normative dan berisi data kualitatif saja. Untuk penelitian yang dilakukan oleh Pramitasari (2013) merupakan penelitian yang melakukan rekonstruksi pada kasus yang ditangani oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan menghitung kerugian negara.

Melalui penelitian ini, peneliti bermaksud untuk mengembangkan penelitian-penelitian sebelumnya. Pengembangan dan penyempurnaan ini dilakukan dengan melakukan perhitungan kerugian keuangan yang disebabkan oleh fraud yang dilakukan oleh Lippo Group. Sepsifiknya, kasus yang dipilih adalah kasus yang terjadi pada tahun 2002, dimana Bank Lippo melaporkan tiga buah laporan keuangan yang isinya berbeda. Oleh Sebab itu, judul dalam penelitian ini adalah Penghitungan Kerugian dengan Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif pada kasus Fraud yang Dilakukan oleh Lippo Group pada tahun 2002.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

Bagaimanakah prosedur pelaksanaan akuntansi forensik dan audit investigatif pada kasus Penghitungan Kerugian Keuangan pada Fraud yang Dilakukan oleh Lippo Group?

Bagaimanakah peran akuntansi forensik dan audit investigatif untuk menghitung krtugian keuangan pada kasus fraud yang dilakukan oleh Lippo Group?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Untuk memahami prosedur penanganan kasus Penghitungan Kerugian pada fraud yang dilakukan oleh Lippo Group.

Untuk mengidentifikasi peran akuntansi forensik dan audit investigatif dalam menghitung kerugian keuangan pada kasus fraud yang dilakukan oleh Lippo Group.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain.

Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan bagi peneliti mengenai ilmu akuntansi forensik dan audit investigatif serta pelaksanaan akuntansi forensik dan audit investigatif dalam kasus penhitungan kerugian yang disebabkan oleh fraud yang dilakukan oleh Lippo Group.

Bagi Dunia Praktik

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai praktik akuntansi forensik dan audit investigatif dalam kasus-kasus tertentu. Hal ini dapat digunakan sebagai pertimbangan mengenai pelaksanaan akuntansi forensik dan audit investigatif ini dalam dunia praktik sehingga dapat mencegah fraud yang sama terjadi kembali.

Bagi Penelitian yang Akan Datang

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi pada penelitian sejenis dan sebgagai referensi untuk mempraktikkan pelaksanaan akuntansi forensik dan audit investigatif dalam kasus oleh Lippo Group.

  • LANDASAN TEORI

Audit

Pengertian dan Jenis-jenis Audit

Menurut  Arens dan Loebbecke (2003), audit adalah sebuah proses pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti mengenai informasi dengan tujuan untuk menentukan dan melaporkan korespondensi informasi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan audit seharusnya hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang independen dan kompeten. Menurut Mulyadi (2002), audit adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi untuk menetapkan tingkat kepatuhan antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan pelaporannya kepada pemakai yang berkepentingan.

Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan definisi audit sebagai suatu proses sistematik dalam pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti mengenai informasi kegiatan dan kejadian ekonomi yang dinyatakan untuk menentukan kelayakan informasi yang dinyatakan tersebut dalam mematuhi kriteria yang telah ditetapkan yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen. Dalam melaksanakan audit, terdapat beberapa faktor yang harus diperatikan, yaitu:

Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan standar yang dapat digunakan sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut.

Penetapan entitas ekonomi dan perioda waktu yang diaudit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggung jawab auditor.

Bahan bukti harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan audit.

Kemampuan auditor memahami kriteria yang digunakan serta sikap independen dalam mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya.

Menurut Arens, Elder, dan Beasley (2008), pada umumnya audit dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

Audit laporan keuangan.

Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal pada laporan keuangan klien untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hasil audit ini kemudian digunakan oleh pihak lain sebagai acuan.

Audit kepatuhan.

Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa sesuai dengan kondisi, peraturan, dan undang-undang tertentu. Kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda, tergantung pengguna laporan audit. Contohnya, kriteria yang digunakan adalah sistem pengendalian internal perusahaan tersebut, atau standar akuntansi yang berlaku di negara perusahaan. Audit kepatuhan juga sering disebut sebagai fungsi audit internal karena yang melakukan adalah internal perusahaan.

Audit operasional.

Audit Operasional adalah penelaahan secara sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubugannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang objektif dan analisis yang komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk menilai kinerja berdasarkan kebijakan, standar, atau target yang ditetapkan manajemen, mengidentifikasi peluang, dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut. Hasil dari audit operasional ini akan diserahkan kepada pihak yang meminta dilakukan audit ini.

Tujuan dan Manfaat Audit Independen

Tujuan umum audit atas laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Kewajaran Laporan keuangan diukur berdasarkan asersi yang terkandung dalam setiap unsur yang disajikan dalam laporan keuangan , yang disebut dengan asersi manajemen. Asersi manajemen yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori (Arens dan Loebbecke, 2003).

Keberadaan atau kejadian. Asersi ini merupakan pernyataan manajemen aktiva, kewajiban, dan ekutias yang tercantum dalam neraca benar-benar pada tanggal neraca serta apakah pendapatan dan beban yang tercantum dalam laporan laba rugi benar-benar terjadi selama perioda akuntansi.

Kelengkapan. Kelengkapan berarti semua transaksi dan akun-akun yang seharusnya dicatat dalam laporankeuangan telah dicatat. Asersi kelengkapan berlawanan dengan asersi keberadaan. Jika asersi keberadaan tidak benar, maka akun akan dinyatakan terlalu tinggi, sementara jika asersi kelengkapan tidak benar, maka akun akan dinyatakan terlalu rendah. Asersi kelengkapan berkaitan dengan kemungkinan hilangnya hal-hal yang harus dicantumkan dalam laporan keuangan, sedangkan asersi ekebradaan berkaitan dengan penyebutam amgka yang seharusnya tidak dimasukkan.

Hak dan kewajiban. Auditor harus memastikan apakah aktiva memang menjadi hak klien dan apakah kewajiban merupakan utang klien pada tanggal tertentu.

Penlialian atau alokasi. Asersi ini menyangkut apakah aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan, atau beban telah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah yang tepat.

Penyajian dan pengungkapan. Asersi ini menyangkut masalah apakah komponen-komponen laporan keuangan telah diklasifikasikan, diuraikan, dan diungkapkan secara tepat. Pengungkapan berhubungan dengan apakah informasi dalam laporan keuangan termasuk catatan yang terkait, telah menjelaskan secara jelas hal-hal yang dapat memengaruhi penggunaannya.

Auditor

Jenis-jenis Auditor

Menurut Arens, Elder, dan Beasley (2008), auditor umumnya diklasifikasikan berdasarkan siapa yang mempekerjakan auditor tersebut.

Akuntan Publik. Akuntan publik adalah akuntan profesional yang menjual jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang telah dibuat oleh kliennya.

Akuntan pemerintah. Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang berkerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya  melakukan pemeriksaan terhadap eprtanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dlam pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah.

Akuntan internal. Akuntan internal adalah akuntan yang berkerja dalam perusahaan yang bertugas menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap aset-aset organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan iformasi yang dihasilkan oleh ebrbagai bagian organisasi.

Laporan Auditor

Pengertian dan Jenis-jenis Laporan Auditor

Pembuatan laporan auditor merupakan langkah terakhir dan yang paling penting dari proses audit. Secara umum laporan auditor dapat didefinisikan sebagai laporan yang menyatakan pendapat auditor yang independen mengenai kelayakan atau ketepatan pernyataan klien bahwa laporan keuangannya disajikan secara wajar sesuai dengan pronsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum, yang diterapkan secara konsisten dengan tahun sebelumnya. Dalam menyiapkan dan menerbitkan sebuah laporan audit, auditor harus berpedoman pada empat standar pelaporan yang terdapat dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).

Sangat penting untuk dilihat standar yang terakhir, karena standar ini mensyaratkan suatu pernyataan atas laporan keuangan secara keseluruhan, atau pernyataan bahwa pendapat tidak dapat diberikan disertai dengan alasannya. Standar ini mensyaratkan adanya pernyataan auditor secara jelas mengenai sifat pemeriksaan yang telah dilakukan dan sampai dimana auditor membatasi tanggung jawabnya. Pendapat auditor tersebut disajikan dalam suatu laporan tertulis yang umumnya berupa laporan audit bentuk baku.

Dikarenakan fungsi utama laporan audit sebagai media komunikasi antara manajemen dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka dibutuhkan adanya keeragaman pelaporan untuk menghindari bias. Oleh karena itu, standar profesional telah merumuskan dan merinci berbagai jenis laporan audit yang ahrus disertakan pada laporan keuangan.

Secara umum, menurut Arens, Elder, dan Beasley (2008),  terdapat lima opini auditor, yaitu:

Wajar tanpa pengecualian

Opini wajar tanpa pengecualian diberikan oleh auditor jika  tidak terjadi pembatasan dalam lingkup audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai kewajaran dan penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam penyusunan laporan keuangan, konsisten dalam penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, serta pengungkapan yang memadai dalam laporan keuangan. Laporan keuangan dianggap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha satu organisasi, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum jika sudah menggunakan prinsip dalam pembuatan laporan keuangan, bila ada perubahan prinsip dari perioda ke perioda, maka harus cukup dijelaskan, dan informasi-informasi dalam catatan-catatan yang mendukungnya telah digambarkan dan dijelaskan dengan cukup dalam laporan keuangan sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Wajar dengan catatan penjelas

Laporan keuangan tetap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan klien namun ditambah dengan hal-hal yang memerlukan Bahasa penjelasan. Hal ini biasanay terjadi bila ada auditor lain yang telah melakukan audit pada bagian tertentu, atau adanya tansaksi yang tidak  sesuai denga kaidah akuntansi yang berlaku umum namun masih bisa diterima oleh auditor.

Wajar dengan pengecualian

Opini ini hanya diberikan jika secara keseluruhan laporan keuangan yang disajikan wajar, namun ada beberapa unsur atau akun yang dikecualikan dengan kondisi bahwa pengecualian ini tidak memengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Terdapat beberapa keadaan yang membuat auditor harus memberikan pengecualian, diantaranya adalah adanya pembatasan lingkup audit, auditor tidak dapat memperoleh informasi atau melakukan proses audit yang penting karena kondisi-kondisi yang di luar kekuatan auditor dank lien, laporan keuangan tidak disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, tidak adanya konsistensi dalam penyusunan laporan keuangan.

Tidak wajar

Opini ini diberikan jika laporan keuangan tidak disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum sehingga tidak menyajikan posisi keuangan, hasil usaha, perbahan saldo laba, dan arus kas organisasi dengan wajar. Auditor memberikan opini ini bila tidak dilakukan pembatasan ruang lingkup audit, sehingga auditor bisa dan harus mengumpulkan seluruh bukti untuk menyatakan opini ini.

Tidak berpendapat

Auditor tidak menyatakan opini jika auditor tidak berhasil meyakinkan dirinya bahwa keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Pernyataan ini diberikan jika auditor banyak dibatasi lingkup auditnya, dan tidak adanya independensi auditor. Bila salah satu dari kondisi tadi terpenuhi, maka auditor tidak bisa memberikan opini mengenai laporan keuangan secara keseluruhan.

Tujuan dan Manfaat Laporan Auditor

Dalam perusahaan perseroan, pemilik perusahaan, atau pemegang saham akan mempekerjakan para manajer dan karyawan untuk menjalankan perusahaan dan mendapatkan keuntungan. Para manajer yang menjalankan perusahaan akan memberikan pertanggungjawabannya pada pemegang saham melalui lapora keuangan. Oleh karena kinerja dari para manajer diukur menggunakan laporan keuangan, maka para manajer akan tergiur untuk melakukan manipulasi pada laporan keuangan agar kinerjanya terlihat bagus sehingga para manajer bisa mendapat timbal balik yang besar dari pemegang saham. Akibat dari adanya manipulasi tersebut, maka akan berbahaya bagi para pemangku kepentingan untuk mengambil keputusan berdasarkan laporan keuangan yang dibuat oleh manajer saja.

Oleh karena adanya fenomena ini, maka para pemangku kepentingan yang menggunakan laporan keuangan membutuhkan jasa professional yang menjamin kewajaran dari laporan keuangan yang dibuat oleh para manajer. Laporan atau opini auditor adalah salah satu alat yang bisa digunakan oleh pemangku kepentingan secara umum untuk menjamin kewajaran dari laporan keuangan sehingga bisa meminimalisir risiko informasi yang ada. Dengan adanya laporan auditor yang independen, maka pemerintah juga diuntungkan karena mempercepat proses pelaporan pajak karena sudah ada yang menjamin dan pertanggungjawaban untuk program yang bekerjasama dengan pemerintah akan lebih kredibel.

Fraud Audit

Pengertian Fraud

Menurut Garner (2009) dalam bukunya yang berjudul “Black Law Dictionary”, definisi fraud adalah:

1. A knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce another to act to his or her detriment; is a usual a tort, but in some cases (esp. when the conduct is willful) it may be a crime, 2. A misrepresentation made recklessly without belief in its truth to induce another person to act, 3. A tort arising from knowing misrepresentation, concealment of a material fact or reckless misrepresentation made to induce another to act to his or her detriment.”

Kamus Hukum mengartikan Fraud (Ing) = Fraude (Bld) sebagai kecurangan = Frauderen/verduisteren (Bld): menggelapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 KUHP dan Pasal 268 KUHPer.  

Dari kedua definisi mengenai fraud tersebut, dapat disimpulkan definisi fraud adalah kecurangan atau penggelapan yang dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja, namun ada kecurigaan dan tetap dibiarkan, atau mengetahui dan membiarkan adanya salah saji, atau bahkan memang direncanakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.

Unsur-unsur Fraud

Dari definisi-definisi yang telah dibahas, maka dapat dikatakan bahwa cakupannya sangat luas da nada beberapa kategori dari kecurangan tersebut. Namun, secara umum, unsur-unsur kecurangan adalah:

Harus ada salah pernyataan

Dari suati masa lampau atau sekarang

Fakta bersifat material

Dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan

Dengan maksud untuk menyebabkan suatu pihak beraksi

Pihak yang dirugikan harus beraksi terhadap salah pernyataan tersebut

Yang merugikannya

Kecurangan dalam hal ini juga termasuk manipulasi, penyalahgunaan jabatan, penggelapan pajak, pencurian aktiva, dan tindakan buruk lainnya yang dilakukan oleh seseoang yang dapat mengakibatkan kerugian bagi organisasi.

Klasifikasi Fraud

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan organisasi professional yang bergerak di bidang pemeriksaan atas kecuarangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan memunyai tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal sebagai Fraud Tree.

http://www.acfe.com/uploadedImages/ACFE_Website/Content/images/fraud-tree-large.jpg

Gambar 1. Fraud Tree

Sumber: Association of Certified Examiners, 2004

Dari bagan tersebut, ACFE membagi fraud menjadi tiga jenis berdasarkan perbuatan.

Penyimpangan atas aset

Penyimpangan atas aset meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Hal ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya tangible atau mudah diukur. Penyimpangan atas aset dalam bentuk penjarahan kas dilakukan dalam tiga bentuk berdasarkan arus masuknya kas.

Skimming

Uang dijarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke perusahaan. Cara ini terlihat dalam fraud yang sangat dikenal para auditor, yaitu lapping.

Larceny

Uang dijarah saat uang tersebut telah masuk ke perusahaan, secara umum disebut pencurian. Larceny merupakan bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan lemahnya sistem pengendalian internal, khususnya yang berkenaan dengan perlindungan keselamatan aset (Tuanakota, 2010).

Fraudulent disbursements

Uang dijarah sekali arus uang sudah terekam dalam sistem. Isitlah ini dekat dengan penggelapan dalam Bahasa Indonesia.

Billing Schemes

Skema permainan dengan menggunakan proses billing atau pembebanan tagihan sebagai sasarannya. Pelaku fraud dapat mendirikan perusahaan bayangan yang seolah-olah merupakan pemasok atau rekanan atau kontraktor. Perusahaan bayangan ini merupakan sarana untuk mengalirkan dana secara tidak sah ke luar perusahaan (Tuanakotta, 2010).

Payroll Schemes

Merupakan skema permainan melalui pembayaran gaji. Bentuk permainannya antara lain dengan pegawai atau karyawan fiktif atau dalam pemalsuan jumlah gaji. Jumlah gaji yang dilapoerkan lebih besar daripada gaji yang dibayarkan.

Expense reimbursement schemes

Merupakan sekma permainan melalui pembayaran kembali biaya-biaya, misalnya biaya perjalanan, ada beberapa permainan melalui skema permainan melalui mekanisma reimbursement ini, antara lain rincian biaya menyamarkan jenis pengeluaran yang sebenarnya atau biaya dilaporkan lebih besar dari pengeluaran yang sebenarnya, hal ini lazimnya dilakukan dalam pengeluaran yang tidak ada atau tidak memerlukan bukti pendukung.

Check tampering

Merupakan skema permainan melalui pemalsan cek. Hal yang dipalsukan bisa tanda tangan orang yang memunyai kuasa mengeluarkan cek, endorsemennya, nama kepada siapa cek dibayarkan, atau ceknya disembunyikan.

Register disbursements

Merupakan pengeluaran yang sudah masuk ke dalam cash register. Skema permainan melalui mekanisma ini pada dasarnya ada dua, yakni false refunds dan false voids.

Pernyataan Palsu atau Salah Pernyataan

Pernyataan palsu meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atay ekskutif suat perusahaan atau instansi pemerintah untuk menurupi kondisi keuangan yang sebnarnya dengan melakukan rekayasa keuangan dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing. Jenis fraud ini sangat dikenal auditor yang melakukan audit umum. Fraud yang berkenaan dengan penyajian laporan keuangan sangat menjadi perhatian auditor, masyarakat, atau para Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), namun tudak menjadi perhatian akuntan forensik (Tuanakotta, 2010).

Korupsi

Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi. Korupsi merupakan jenis yang paling banyak terjadi di negara-negara berkembang yang proses hukumnya lemah dan masih belum memiliki kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor ontegritasnya masih belum jelas. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerjasama sama-sama menikmati keuntungan

Penyalahgunaan wewenang

Penyuapan

Penerimaan yang tidak sah

Pemerasan secara ekonomi

Cybercrime

Selain itu, menurut Simanjuntak (2008) fraud dapat diklaisifikasikan sebagai berikut:

Berdasarkan Pencatatan

Kecurangan yang berupa pencurian aset dapat dikelompokkan dalam tiga kategori.

Pencurian aset yang tampak secara terbuka pada buku, seperti duplikasi pembayaran yang tercantum pada catatan akuntansi

Pencurian aset yang tampak pada buku, namun tersembunyi di antara catatan akuntansi yang valid, seperti kickback.

Pencurian aset yang tidak tampak pada buku dan tidak dapat dideteksi melalui pengujian transaksi akuntansi yang dibukukan, seperti pencurian untuk pembayaran piutang dagang yang telah dihapusbukukan.

Berdasarkan Frekuensi

Pengklasifikasian kecurangan dapat dilakukan berdasarkan frekuensi terjadinya.

Tidak berulang

Dalam kecurangan yang tidak berulang, tindakan kecurangan, walaupun terjadi beberapa kali, pada dasarnya bersifat tunggal. Dalam arti, hal ini terjadi disebabkan oleh adanya pelaku setiap saat, misalnya pembayaran cek meingguan karyawan memerlukan kartu kerja mingguan untuk melakukan pembayaran cek yang tidak benar.

Berulang

Dalam kecurangan beruulang, tindakan menyimpang terjadi beberapa kali dan hanya diinisias, diawali sekali saja. Selanjutnya, kecurangan terjadi terus menerus sampai dihentikan. Misalnya, pembayaran gaji bulanan yang dihasilkan secara otomatis tanpa harus melakukan pemasukan data setiap saat. Penerbitan cek terus berlangsung sampai diberikan perntah untuk menghentikannya.

Berdasarkan Konspirasi

Kecurangan dapat diklasifikasikan sebagai terjadi konspirasi atau kolusi, tidak terdapat konspirasi, dan terdapat konspirasi parsial. Pada umumnya, kecurangan terjadi karena adanya konspirasi, baik bonafide maupun pseudo. Dalam bonafide conspiracy, semua pihak sadar akan adanya kecurangan; sedangan dalam pseudo conspiracy, ada pihak-pihak yang tidak mengetahui terjadinya kecurangan.

Berdasarkan Keunikan

Kecurangan berdasarkan keunikannya dapat dikelompokkan sebagai berikut.

Kecurangan khusus

Kecurangan khusus terjadi secara unik pada orang-orang yang bekerja pada operasi bisnis tertentu. Contoh (1) pengambilan aset yang disimpan deposan pada lembaga-lembaga keuangan seperti bank, dana pension, reksadana dan (2) klaim asuransi yang tidak benar.

Kecurangan umum

Kecurangan ini mungkin dihadapi oleh semua orang dalam operasi bisnis secara umum. Misalnya, kickback, penetapan harga yang tidak benar, pesanan pembelian/kontrak yang lebih tinggi dari kebutuhan yang sebenarnya, pembuatan kontrak ulang atas pekerjaan yang telah selesai, pembayaran ganda, dan pengiriman barang yang tidak benar.

Faktor Pemicu Fraud

Terdapat empat faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, atau disebut juga dengan istilah GONE (Simanjuntak, 2008).

Greed

Opportunity

Need

Exposure

Faktor greed dan need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan. Sedangkan faktor opportunity dan exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan.

Tabel 1.

Faktor Pemicu Fraud

Faktor IndividualFaktor Umum
Greed (Keserakahan)Opportunity (Kesempatan)
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengurangi risiko tersebut adalah sebagai berikut. Misi/tujuan organisasi/perusahaan ditetapkan dan dicapai dengan melibatkan seluruh pihak Aturan perilaku pegawai dikaitkan dengan lingkungan dan budaya organisasi/perusahaan Gaya manajemen memberikan contoh bekerja sesuai dengan dan aturan perilaku yang ditetapkan perusahaan/organisasi Praktik penerimaan pegawai mencegah diterimanya karyawan yang bermoral tidak baikKesempatan untuk melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan pelaku terhadap objek kecurangan. Kesemaptan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan, namun ada yang mempunyai kesempatan lebih besar. Secara umum manajemen suatu organisasi/perusahaan memunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan kecurangan daripada karyawan.
Need (Kebutuhan)Exposure (Pengungkapan)
Motivasi, berhubungan dengan kebutuhan, yang cenderung berhubungan dengan pikiran/pandangan dan keperluan pegawai yang terkait dengan aset yang dimiliki perusahaan tempat ia bekerja. Selain itu, tekanan yang dihadapi dalam bekerja dapat menyebabkan orang yang jujur memunyai motif untuk melakukan kecurangan. Beberapa kemungkinan keterlibatan kecurangan. Lingkungan kerja yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan. Sistem pengukuran kinerja dan penghargaan yang tidak wajar sehingga karyawan merasa tidak diperlakukan secara adil. Tidak adanya bantuan konsultasi pegawai untuk mengetahui masalah secara dini. Proses penerimaan karyawan yang tidak adil. Kecerobohan atau tidak hati-hati, mengingat motivasi seseorang tidak dapat diamati mata telanjang, sebaluknya produk motivasi tersebut tidak dapat disembunyikan.Pengungkapan suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan tersebut, baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenai sanksi apabila perbuatannya terungkap.

Sumber: Simanjuntak, 2008

Gejala Adanya Fraud

Fraud menurut Amrizal (2004) bila dilakukan oleh manajemen umumnya lebih sulit ditemukan daripada kecurangan yang dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, perlu diketahui gejala yang menunjukkan adanya kecurangan tersebut.

Gejala kecurangan pada manajemen.

Ketidakcocokkan diantara manajemen puncak.

Moral dan motivasi karyawan rendah.

Departemen akuntansi kekurangan staf.

Tingkat keluhan yang tinggi terhadap organisasi/perusahaan dari pihak konsumen. Pemasok, atau badan otoritas.

Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi.

Penjualan/laba menurun, sementara utang dan piutang dagang meningkat.

Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang lama.

Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan

Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.

Gejala kecurangan pada karyawan

Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa penjelasan yang mendukung.

Pengeluaran tanpa dokumen pendukung.

Pencatatan yang salah/tidak akurat pada buku besar atau jurnal.

Penghancuran, penghilangan, perusakan dokumen pendukung pembayaran.

Kekurangan barang yang diterima.

Faktur ganda.

Penggantian mutu barang.

Pelaku dan Perilaku Fraud

Pelaku kecurangan di atas dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu manajemen dan karyawan/pegawai. Pihak manajemen melakukan kecurangan biasanya untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuanan. Sedangkan karyawan melakukan kecurangan bertujuan untuk keuntungan pribadi, misalnya salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva.

Kecurangan pelaporan keuangan biasanya dolakukan karena dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen, salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilah irregularities. Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen, misalnya berupa manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan sumber penyajian laporan keuangan. Lesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja menghilangkan atau sengaja menghilangkan syatu transaksi, kejadian, atau informasi penting dari laporan keuangan (Amrizal, 2004).

Kecurangan penyalahgunaan aktiva biasanya disebut kecurangan karyawan. Salah saji yang berasal dari penyalahgunaan aktiva meluputi penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsp akuntansu yang berlaku umum. Penggelapan aktiva umumnya dilakukan oleh karyawan yang menghadapi masalah keuangan dan dilakukan karena melihat adanya peluang dari kelemagan pada pengendalian internal perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut.

Berikut merupakan beberapa perilaku seseorang yang harus menjadi perhatiam larena dapat merupakan indikasi adanya kecurangan yang dilakukan orang tersebut.

Perubahan perilaku secara siginifikan, seperti easy going, tidak seperti biasanya.

Gaya hidup mewah, mobil atau pakaian mahal.

Gaya hidup di atas rata-rata.

Sedang menjalani trauma emosional di rumah atau tempat kerja.

Penjudi berat.

Peminum berat.

Sedang dililit utang.

Temuan audit atas kekeliruan atau ketakberesan dianggap tidak material ketika ditemukan.

Bekerja tenang, bekerja keras, bekerja melampaui jam kerja, sering kerja sendiri.

Pencegahan Fraud

Menurut Amrizal (2004), sebelum terjadi fraud, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh seorang auditor internal. Tindakan pencegahan tersebut antara lain sebagai berikut.

Membangun struktur pengendalian internal yang baik.

Manajemen perlu mengadakan struktur pengendalian internal yang baik dan efektif dalam mencegah kecurangan. Struktur pengendalian internal itu terdiri dari lima komponen.

Lingkungan pengendalian.

Penaksiran risiko.

Standar pengendalian.

Informasi dan komunikasi.

Pemantauan/pengawasan.

Mengefektifkan aktivitas pengendalian.

Review kinerja.

Pengelolaan informasi.

Pengendalian fisik.

Pemisahan tugas.

Meningkatkan kultur organisasi melalui implementasi prinsip-prinsip dasar Good Corporate Governance (GCG).

Keadilan

Melindungi pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya dari rekayasa transaksi yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Transparansi

Keterbukaan bagi stakeholder yang terkait untuk memahami proses suatu pengambilan keputusan/pengelolaan suatu perusahaan. Perusahaan juga wajib mengungkapkan informasi material kepada pemgang saham dan pemerintah secara benar, akurat, dan tepat waktu.

Akuntabilitas

Menciptakan sistem pengawasan yang efektif didasarkan atas distribusi dan keseimbangan kekuasaan antara anggota direksi, komisaris, pemegang saham, dan pengawas.

Tanggung jawab

Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum dan ketentuan yang berlaku, termasuk tanggap terhadap lingkungan di mana perusahaan berada.

Moralitas

Manajemen dan seluruh individu dalam perusahaan wajib menjunjung tinggi moralitas, di dalam prnsip ini terkandung unsur-unsur kejujuran, kepekaan sosial, dan tanggun jawab individu.

Keandalan

Pihak manajemen perusahaan dituntut untuk memiliki kompetensi dan profesionalisma dalam pengelolaan perusahaan.

Komitmen

Pihak manajemen dutuntut untuk memiliki komitmen penuh untuk selalu menungkatkan nila perusahaan dan bekerja untuk mengoptimalkan nilai pemegang sahamnya serta menurunkan risiko perusahaan.

Akuntansi Forensik

Pengertian dan Lingkup Akuntansi Forensik

Di Amerika Serikat pada awalnya, akuntansi forensik digunakan untuk menentukan pembagian warisan atau mengungkap motif pembunuhan. Istilah akuntansi forensik tersebut bermula dari penerapan akuntansi untuk menyelesaikan atau memecahkan persoalan hukum. Di Amerika, profesi yang bergerak di bidang akuntansi forensik disebut auditor forensik atau pemerika fraud bersertifikasi (Certified Fraud Examiners/CFE) yang bergabung dalam Association of Certified Fraud Examiners (ACFE).

Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan, di sector public maupun privat (Tuanakotta, 2010). Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan atau dalam proses peninjauan yudisial atau tinjauan administrative. Akuntansi forensik merupakan praktik khusus budang akuntansi yang menggambarkan keterlibatan yang dihasilkan dari perselisihan actual atau yang diantisipasi atau litigasi (Crumbley, 2005).

Dari berbagai kesimpulan di atas, Pramitasari (2013) menyimpulkan  akuntansi forensik sebagai bidang ilmu akuntansi yang menangani secara khusus tentang kecurangan yang berhubungan dengan masalah hukum. Penyelesaian masalah dalam temuan akuntansi forensik dilaksanakan melalui proses pengadilan.

Awalnya akuntansi forensik merupakan perpaduan sederhana antara akuntansi dan hukum, akan tetapi dalam beberapa kasus yang sylit ada satu bidang tembahan yang berpadu, yaiut bidang auditing, sehingga akuntansi forensik menjadi perpaduan antara akuntansi, hukum, dan auditing. Akuntansi forensik dapat dipraktikkan di sector public maupun sector privat (Tuanakotta, 2010).

Di sector public maupun privat, akuntansi forensik berurusan dengan kerugian, di sector public berurusan dengankerugian bagi negara dan keuangan dengara, sedangkan di sector privat, berurusan dengan kerugian karena terjadi cidera janji dalam suatu perikatan. Kerugian merupakan titik pertama dalam segitiga akuntansi forensik. Titik kedua adalah tindakan melawan hukum yang dapat menimbulkan tuntutan akibat terjadi kerugian. Titik ketifa menunjukkan adanya keterkaitan antara kerugian dengan perbuatan melawan hukum. Berikut ini segitiga akuntansi forensik yang menjelaskan hubungan kasualitas antara kerugian dengan perbuatan melawan hukum (Tuanakitta, 2010).

Gambar X Segitiga Akuntansi Forensik

Sumber: Tuanakotta, 2010

Oerbuatan melawan hukum dan hubungan kausalitas adalah ranah para ahli dan praktisi hukum, sedangkan perhitungan besarnya kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum adalag ranah akuntansi forensik. Akuntan forensik membantu para ahli dan praktisi hukum dalam mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk menentukan hubungan kausalitas tersebut. Segitiga akuntansi forensik, selain menjelaskan hubungan kausalitas antara kerugian dengan perbuatan melawan hukum, juga menjelaskan hbungan antara ulmu akuntansi, hukum, dan auditing.

Atribut, Standar, dan Kode Etik Akuntansi Forensik

Setiap profesi memiliki persyaratan bagi anggotanya. Umumnya persyaratan bagi akuntan forensik serupa dengan auditor pada umumnya, misalnya dalam menerapkan professional skepticism dansifat pantang menyerah. Namun, sifat khas pekerjaan investigator (auditor yang melakukan investifasi) atau akuntan forensik mewarnai ciri khas tuntutan dan persyaratan profesi ini.

Atribut

Davia (2000) memberi lima nasihat kepada seorang auditor pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud.

Hindari pengmpulan fakta dan data yang berlebihan secara premature.

Auditor harus mengidentifikasi terlebih dahulu siapa pelaku. Banyak auditor berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan namun tidak dapat menjawab pertanyaan penting, yaitu siapa yang melakukannya.

Fokus pada pengumpulan bukti untuk proses pengadilan.

Fraud auditor harus mampu membuktikan niat pelaku melakukan kecurangan. Banyak kasus kecurangan kandas di siding pengadilan karena penyidik dan saksi ahli (akuntan forensik) gagal membuktikan niat melakukan kejahatan pelanggaran.

Kreatif dalam menerapkan teknik investigasi.

Seorang fraud auditor harus kreatif, berpikir seperti pelaku kejahatan, dan jangan mudah ditebak dalam hal arah pemeriksaan, penyelidikan, atau investigasi yang dilakukan.

Identifikasi adanya persekongkolan.

Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan. Pengendalian internal yang bagaimanapun baiknya, tidak akan dapat mencegah hal ini, ada dua macam persekongkolan, yaitu persekongkolan yang bersifat sukarela dan persekongkolan yang terjadi karena seseorang tidak menyadari bahwa keluguannya dimanfaatkan oleh rekan kerjanya.

Kenali pola fraud.

Dalam memilih strategi untuk menemukan kecurangan dalam investigasi proaktif, auditor harus mempertimbangkan apakah kecurangan dilakukan di dalam penbukuan atau di luar pembukuan.

Kualitas Akuntan Forensik

Akuntan forensik memiliki ciri-ciri yang sama dengan akuntan dan auditor, yaitu harus tunduk kepada kode etik profesinya. Sikap independen, objektif, dan skeptic juga harus dimiliki oleh akuntan forensik (Howard dan Sheetz, 2007). Kualitas yang harus dimiliki oleh akuntan forensik menurut Bologna dan Lindquist (2005) adalah sebagai berikut.

Kreatif: kemampuan untuk melihat sesuatu yang dianggap orang lain situasi bisnis normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak perlu merupakan situasi bisnis yang normal.

Rasa ingin tahu: keinginan untuk menemukan apa yang sesingguhnya terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi.

Tidak menyerah: kemampuan untuk terus maju pantang mundur walaupun fakta tidak mendukung dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.

Akal sehat: kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang menyebutnya perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan.

Business sense: kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan dan bukan sekadar memahami bagaimana transaksi dicatat.

Percaya diri: kemampuan untuk memercayai diri sendiri dan temuan kita sehingga kita dapat bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela).

Standar

Secara sederhana, standar adalah ukuran mutu. Karena itu, dalam pekerjaan audit, para auditor ingin menegaskan standar mereka. Dengan standar ini, puhak yang diaudit, pihak yang memakai laporan audit, dan pihak-pihak lain dapat mengukur mutu kerja auditor. Hal yang sama juga ingin dicapai para investigator dan forensik accountant (Pramitasari, 2013).

Pickett dan Pickett (2002) merumuskan standar untuk mereka yang melakukan investigasi terhadap fraud. Konteks yang dirujuk adalah investigasi atas fraud yang dilakukan pegawai di perusahaan. Standar tersebut adalah sebagai berikut (Tuanakotta, 2010).

Seluruh investigasi harus dilandasi praktik terbaik yang diakui

Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian sehingga bukti-buktu tersebut dapat diterima di pengadilan

Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks, serta jejak audit tersedia.

Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak azasi pegwai dan senantiasa menghormatinya.

Beban pembuktian ada pada yang menduga pegawainya melakukan kecurangan dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam hukum administrative maupun dalam hukum pidana.

Cakup seluruh substansi investigasi dan kuasai seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.

Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protocol, dikumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.

Pekerjaan Akuntan Forensik

Akuntan forensik sering disebut juga sebagai auditor forensik atau auditor investigasi. Di Indonesia terlihat peran-peran akuntan forensik, seperti BPKP, BPK, dan aparat pengawasan internal pemerintah menghitung kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Auditor forensik dituntut mampu melihat keluar dan menelusuri hingga di balik angka-angka yang tampak, serta dapat mengaitkan dengan situasi bisnis yang sedang berkembang agar dapat mengungkapkan informasi yang akurat, obyektif, serta dapat menemukan adanya penyimpangan (Pramitasari, 2013). Menurut Karni (2000), Pekerjaan auditor atau akuntan forensik dapat diuraikan sebagai berikut.

Fraud Auditor.

Fraud auditor berperan untuk mencegah dan mengoreksi kecurangan-kecurangan dalam dunia bisnis pada umumnya. Keahlian seorang fraud auditor dapat dikembangkan antara lain untuk mengevaluasi laporan keuangan karena adanya window dressing yang dapat menyesatkan para investor dalam mengambil keputusan.

Expert witness.

Dalam hal ini, auditor memberkan keterangan sesuai dengan keahliannya jika diminta oleh enyidik dengan harapan dapat memperjelas perkara pidana khusus yang sedang ditangani oleh penyidik.

Litigation Consultant.

Peran auditor forensik sebagai konsultan litigasi terbatas pada pemberian nasihat dan konsultasi pada pengacara.

Metodologi Akuntansi Forensik

Perbedaan utama akuntansi forensik dengan akuntansi maupun audit konvensional lebih terletak pada mindset. Metodologi kedua jenis akuntansi tersebut tidak jauh berbeda. Akuntansi forensik lebih menekankan pada keanehan (exceptions, oddities, irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada kesalahan (errors) dan keteledoran (ommisions) seperti pada audit umum. Prosedur utama dalam akuntansi forensik menekankan pada analytical review dan teknik wawancara mendalam walaupun seringkali masih juga menggunakan teknik audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi, konfirmasi, dan lain sebagainya (Tuanakotta, 2010).

Akuntansi forensik umumnya fokus pada area-area tertentu (misalnya penjualan atau pengeluaran tertentu) yang ditengarai telah terjadi tindak kecurangan, baik dari laporan pihak dalam, atau orang ketiga, atau petunjuk terjadinya kecurangan, serta petunjuk lainnya. Data menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan terbongkar karena laporan dari pihak dalam atau orang ketiga dan ketidaksengajaan (Tuanakotta, 2010).

Agar dapat membongkar terjadinya fraud, maka seorang akuntan forensik harus memiliki pengetahuan dasar akuntansi dan audit yang kuat. Seorang akuntan forensik juga harus memiliki pengetahuan mengenai perilaku manusia/organisasi, pengetahuan tentang aspek yang mendorong terjadinya kecurangan, pengetahuan tentang hukum, pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi, pemahaman terhadap pengendalian internal, dan kemampuan berpikir seperti pencuri (Tuanakotta, 2010).

Audit Investigatif

Investigasi secara dapat didefinisikan sebagai penmbuktian. Umumnya pembuktian ini berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum (acara) yang berlaku. Dalam filsafat auditing, dikenal konsep due audit care, prudent auditor, seorang professional yang berupaya untuk menghindari tuntutan dengan tuduhan teledor dalam melaksanakan tugasnya (Mautz dan Sharaf, 1961).

Aksioma dalam Investigasi

Pemeriksa fraud atau investigator perlu mengetahui aksioma dalam pemerukaan fraud. Aksioma adalah asumsi dasar yang tidak memerlukan pembuktian mengenai kebenarannya. Ada tiga aksioma yang tidak boleh diabaikan oleh pemeriksa fraud atau investigator (Fraud Examiners Manual, 2006).

Fraud selalu tersembunyi.

Berbeda dengan kejahatan laun, sifat fraud adalah tersembunyi atau mengandung tipuan, yang terlihat di permukaan bukanlah yang sebenarnya terjadi. Metoda untuk menutupi fraud ini begitu rapi sehingga pemerika fraud atau investigator yang berpengalaman sekalipun seringkali terkecoh, karena itu, pemerika fraud atau investigator harus menolak memberikan pernyataan bahwa hasil pemerikaannya membuktikan tidak ada fraud.

Pembuktian fraud secara timbal balik.

Pembuktian ada atau telah terjadinya fraud meliputi upaya untuk membuktikan fraud tidak terjadi. Sebaluknya, untuk membuktikan fraud tidak terjadi, kita harus berupaya untuk membuktikan fraud itu terjadi. Harus ada upaya pembuktian timbal balik. Kedua sisi fraud harus diperiksa

Hanya pengadilan yang menetapkan bahwa fraud memang terjadi.

Pemeriksa fraud berupaya membuktikan fraud terjadu. Hanya pengadilan yang memunyai kewenangan untuk menetapkan hal tersebut. Dalam upaya menyelidiki adanya fraud, pemeriksa membuat dugaan mengenai apakah seseorang bersalah atau tidak. Bersalah atau tidaknya seseotang merupakan dugaan atau bagian dari teori, sampau pengadilan memberikan keputusannya

Metodologi Investigasi

Kemahiran pemeriksa dalam menguasai konsep keuangan dalam kasus yang dihadapinya dan kemampuannya dalam menarik kesimpulan dari penerapan konsep tersebut akan membantunya dalam mengungkapkan apakah perbuatan itu merupakan fraud menurut hukum. Dalam contoh L/C fiktif, seorang pemeriksa harus memahami dengan baik segala seluk beluk mengenai L/C dan celah-celah, bahkan tipologi dari kejahatan dan modus operandi L/C fiktif (Pramitasari, 2013).

Tidak kalah penting adalah kemahiran pemeriksa untuk menyampaikan konsep-konsep penting itu secara sederhana, sehingga mudah dicerna oleh hakim yang harus memutuskan dan jaksa atau pengacara pembela yang harus diyakinkan. Diagram yang menunjukkan arus uang dari hasil kejahatan kepada pelaku yang merupakan oak kejahatan merupakan contoh dari kemampuan menyajikan sesuatu yang rumit secara sederhana. Fraud Examiners Manual (2006) menjelaskan predication sebagai berkut:

predication is the totally of circumstances that would lead a reasonable, professionally trained, and prudent individual to believe a fraud has occurred, is occurring, and/or will occur. Predication is the basis upon which an examination is the basis upon which an examinations should not be conducted without proper predication.”

Setiap investigasi dumulai dengan keinginan atau harapan bahwa kasus ini berakhir dengan suatu litigasi. Padahal, ketika memulai litigasi pemeriksa belum memiliki bukti yang cukup. Ia baru memiliki dugaan atas dasar predication yang dijelaskan di atas. Keadaan ini tidak berbeda dengan ilmuan yang membuat dugaan atas pengamatannya terhadap berbagai fakta, kemudian dugaan ini diujinya. Seperti hopotesis yang harus diuji oleh ilmuan, pemeriksa fraud membuat teori fraud meliputi langkah-langka berikut (Tuanakotta, 2010).

Analisis data yang tersedia.

Ciptakan hipotesis berdasarjan analisis tersebut.

Uji atau tes hipotesis tersebut.

Perhalus atau ubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian sebelumnya.

Investigasi dengan Teknik Audit

Kata investigasi dalam akuntansi forensik umumnya berarti audit investigasi atau audit investigatif. Karena itu, secara alamiah, di antara beberapa teknik investigasi ada teknik-teknik audit, teknik audit adalah cara-cara dalam mengaudit kewajaran penyajian laporan keuangan. Hasil dari penerapan teknik audit adalah ukti audit. Karena itu, ada penulis yang menggunakan istilah teknik audit dan jenis bukti audit secara bergantian. Ada lima teknik yang diterapkan dalam audit investigatif (Tuanakotta, 2010).

Memeriksa fisik dan mengamati

Memeriksa fisik lazimnya diartikan sebagai perhitungan secara tunai, surat berharga, persediaan barang, aktiva tetap, dan barang berwujud lainnya. Mengamati sering diartikan sebagai pemanfaatanindera kita untuk mengetahui sesuatu. Indera yang digunakan bisa salah satu atau beberapa indera sekaligus.

Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditan dan konfirmasi

Seperti dalam audit pada umumnya, juga dalam investigasi, permintaan informasi harus dibarengi, diperkuat, atau dikolaborasi dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat dengan cara lain. Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain untuk menegaskan kebenaran atau ketidakbenaran suatu informasi. Dalam invetigasi, kuta harus memerhatikan apakah pihak ketiga memunyai kepentingan dalam investigasi.

Memeriksa dokumen

Tidak ada investigasi tanpa pemeriksaan dokumen. Hanya saja, dengan kemajuan teknologi, definisi dokumen menjadi lebih luas, termasuk informasi yang diolah, disimpan, dan dipindahkan secara elektronis.

Review analitikal

Teknik review analitikal yang dapat diterapkan adalah sebagai ebrikut.

Betriebs Vergleich dan Zeit Vergleich.

Betriebs Vergleich dan Zeit Vergleich merupakan istilah yang diambil dari Bahasa Jerman. Dalam Betriebs Vergleich, kita mebandingkan perusahaan yang kita investigasi dengan saingannya yang memiliki ukuran yang sama. Apabila perusahaan lainnya memiliki jumlah yang cukup banyak, kita dapat memiliki rata-rata industry yang lebih andal. Pada dasarnya betriebs vergleich ini yang dimanfaatkan oleh para akademisi untuk menganalisis kompetisi atau persaingan.

Dalam Zeit Vergleich kita membandingkan perusahaan yang kita investigasi sekarang dengan hal yang sama di masa lalu. Dalam zeit vergleich kita mencoba memahami bagaimana perusahaan yang kita investigasi ini berbeda dengan masa lalunya dan mengapa hal tersebut dapat terjadi.

Membandingkan anggaran dan realisasi

Membandingkan data anggaran dan realisasi dapat mengindikasikan adanya fraud. Dalam teknik ini, yang perlu dipahamu adalah mekanisma pelaksanaan anggaran, evaluasi atas pelaksanaan anggaran, dan insentif yang terkandung dalam sistem anggarannya.

Dalam entitas yang merupakan sentral laba, pejabat tertentu menerima insentif sesuai dengan keberhasilan yang diukurn dengan pelampauan anggaran. Investigator perlu mengantisipasi kecenderungan realisasi penjualannya dibuat tinggi. Penjualan kredit dan pengiriman barang secara besar-besaran pada akhir tahun merupakan indikasi mengenai hal itu. Pengembalian barang setelah akhir tahun memperkuat adanya indikasi fraud.

Hubungan antara satu data keuangan dengan data keuangan lain.

Beberapa akun, baik dalam satu atau beberapa laporan keuangan, bisa memiliki keterkaitan yang dapat dimanfaatkan untuk review analitikal. Contoh: angka penjualan dengan eprsediaan dan piutang rata-rata, angka penjualan dengan Boys bagian penjualan, penghasilan bunga dengan saldo rata-rata tabungan, dan sebagainya.

Menggunakan data non keuangan.

Inti dari review analitikal adalah mengenal pola hubungan. Pola ini tidak hanya terihat dalam data keuangan. Pola hubungan non keuangan pun dapat bermacam-macam bentuknya. Berbagai macam rasio pun telah dikembangkan dan dapat digunakan untuk berbagai industry.

Regresi atau analisis tren

Dengan data historical yang memadai, review analitikal dapat menungkapkan tren. Tren ini dapat semakin mudah dianalisis dalam bentuk grafik.

Menggunakan indicator ekonomi makro.

Indicator-indikator ekonomi makro seperti inflasi, tingkat pengangguran, cadangan devisa, indicator ekonomi negara-negara yang menjadi partner perdaganan Indonesia, serta harga mntak mentah dan kimoditi lain dapat memengaruhi besarnya pajak penghasilan yang diperoleh dalam tahun tertentu.

Menghitung kembali

Menghitung kembali adalah mengecek ekbenaran dari perhitungan yang telah dilakukan. Prosedur ini merupakan prosedur standar dalam audit. Biasaynya pekerjaan ini diberikan kepada seseorang yang baru mulai bekerja sebagai auditor. Dalam investigasi, penghitungan yang dihadapi umumnya sangat kompleks, didasarkan atas kontrak perjanjian dyang rumit, mundkin sudah ada terjadi perubahan atau renegosiasi berkalu-jali dengan pejabat yang berbeda. Penghitungan ini dilakukan atau disupervisi oleh investigator yang berpengalaman.

Bila teknik-teknik audit itu diterapkan dalam audit umum, maka bukti audit yang berhasil dihumpun akan mendukung penapat auditor independen. Dalam audit investigatif, teknik-teknik audit tersebut bersifat eksploratif, mencari wilayah garapan, atau probing, maupun pendalaman.

Mengenai teknik audit eksploratif dari teknik audit untuk audit investigatif, Davia (2000) mengibaratkan seperti orang memancing. Memancing bukan sekadar memasang umpan pada kail dan melemparkan tali pancing, sambal mengharapkan ikan akan datang. Mungkin saja ikannya akan datag dan memakan umpan. Banyak auditor mencoba menangkap fraud dengan cara dimikan. Pemancing yang terampil mulai dengan bertanay kepada dirinya, ikan apa yang akan kupancing hari ini, unutuk ikan yang berbeda, ada pancing yang berbeda, umpan yang berbeda, dan lokasi yang erbeda. Probing  atau ksplorasi dalam menemukan fraud tidak berbeda dari memancing tadi, kunci keberhaslan dari semua teknik investigasi adalah sebagai berikut.

Mengerti dengan baik persoalan yang akan dipecahkan, apa yang akan diinvestigasi.

Kuasai dengan baik teknik-teknik investigasi.

Cermat dalam menerapkan teknik yang dipilih.

Cermat dalam menarik kesimpulan dari hasil penerapan teknik yang dipulih.

Hubungan Audit Investigatif dengan Akuntansi Forensik

Audit investigatif mendahului forensik secara kontekstual. Perlu ditingkatkan pemahaman yang maknanya merupakan audit yang bersifat khusus utamanya yang ditujukan untuk mengungkap kasus-kasus atau kecurangan maupun penyimpangan-penyimpangan yang memiliki indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisma. Audit investigatisi merupakan kegiatan pengumpulan fakta dan bukti yang dapat diterima dalam sistem hukum yang berlaku denagn tujuan untuk mengungkapkan terjadinya kecuranagan (Pramitasari, 2013). Sementara itu akuntansi forensik meliputi investigasi fraud dan menginvestigasi pembukuan maupun catatan yang terkait dengan sengketa. akuntansi forensik cenderung lebih berfokus kepada suatu dugaan atau peristiwa tertentu, bukannya seperti auditor yang meberikan opini terhadap laporan keuangan (Pramitasari, 2013).

Audit investigatif juga merupakan pengembangan lebih lanjut atas hasil audit operasional yang memuat adanya indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisma dengan konsekuensi terjadinya kerugian uang negara. Namun, audit investigatof dapat juga didasarkan indikasi kerugian yang tertayang sebagai ebrita dalam media massa maupun dalam laporan atau pengaduan masyarakat. Meskupun merupakan audit yang bersifat khusus, teknologi atau emtoda audit yang diterapkan dapat menggunakan teknik audit secara umum sesuai dengan standar audit yang berlaku (Pramotasari, 2013).

Upaya penajaman atas permasalahan dari audit investigasi dilakukan melalui teknologi forensik, terutama untuk menguji bahan bukti audit yang bersifat khusus. Hal ini ditujukan untuk mengungkap kasus-kasus atau ekcurangan maupun penyimpangan-penyimpangan yang memiliki indikasi merugikan keuangan negara. Modus operandi, pihak-pihak yang terlibat, peraturan perundang-ndangan yang dilanggar, kapan terjadinya kejadian, lokus kejadian, kerugian ayng ditimbulkan, dan alat bukti perkara harus dapat dikumpulkan dan diketahui oleh auditor. Tentunya runtutan kejadian perkara tersebut harus dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan (BAPK) dari pihak yang terkait dengan kejadian perkara dimaksud (www.itjen.deptan.go.id diakses pada tanggal 20 Januari 2013).

Pelaksanaan akuntansi forensik ini selalu diiringi dengan pelaksanaan audit investigatif. Audit investigatif ini berguna untuk menggali informasi berkaitan dengan hal-hal yang dicurigai dalam kejadian tertentu. Dengan dilakukannya akuntansi forensik dan audit envstigatif, maka dilakukan uji menyeluruh terhadap semua materi pemeriksaan dengan teknik pengendalian internal dalam tata cara internal audit (Noor, 2002).

Akuntansi forensik dan Audit investigatif termasuk ketaatan, namun dalam praktiknya, ketentuan yang harus ditaati sangat luas, terutama menyangkut kebijakan manajemen, hukum formal, maupun hukum material. Keuda ilmu ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh sebab itu sebagian orang menyebut kedua ilmu ini dengan audit forensik. Audit forensik bisa didefinisikan sebafai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria yang ada, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan. Karena sifat dasar dari audit forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit forensik adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap tindak criminal dan untuk memberikan keterangan saksi ahli di pengadilan (www.panjikeris.wordpress.com diakses tanggal 20 januari 2013).

Penelitian Terdahulu

Ringkasan penelitian terdahulu mengenai akuntansi forensic dan audit investigative dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 2. Penelitian Terdahulu

No.PenelitiJudul PenelitianHasil Penelitian
1.Wiratmaja (2000)Akuntansi Forensik Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiAkuntansi Forensik merupakan formulasi yang dapat dikembangkan sebagai strategi preventif, detektif, dan perusasif melalui penerapan prosedur audit forensic dan audit investigative yang bersifat litigation support untuk menghasilkan temuan dan bukti yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan. Belum tersedianya institusi yang menghasilkan tenaga akuntansi forensic dan audit forensic memerlukan upadaya dari institusi penyelenggaran pendidikan dalam menyediakan kurikulum yang menangani masalah nasional, khususnya pengungkapan dan penanganan kasus korupsi.
2.Miqdad (2008)Mengungkap Praktik Kecuranagn (Fraud) pada Korporasi dan Organisasi Publik Melalui Akuntansi ForensikUpaya untuk memberantas korupsi dan kecurangan, terutama terhadap perusahaan-perusahaan yang mati secara misterius atau mengungkap kecurangan, penyelewengan yang melanggar hukum yang berlaku pada organisasi public maupun swasta dan sebagai kelengkapan untuk proses hukum dapat dilakukan dengan forensic auditing. Forensic auditing merupakan bagian dari audit khsus yang digunakan untuk proses rekonstruksi transaksi kecurangan keuangan ketika diajukan sebagai kasus korupsi di pengadilan memenuhi persyaratan bukti.
3.Jumansyah, Dewi, dan Tan (2011)Akuntansi Forensik dan Prospeknya Terhadap Penyelesaian Masalah-masalah Hukum di Indonesia.Prospek profesi akuntan forensic untuk ikut serta dalam penyelesaian kasus-kasus hukum di Indonesia sangat besar dan penting. Kasus-kasus hukum di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan kecurangan perlu melibatkan akuntan forensic dalam penyelesaiannya, karena akuntan forensic dapat membantu para ahli dan para pengak hukum dalam mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk menemukan potensi kerugian yang timbul akibat adanya kecurangan. Selain itu, prospek akuntan forensic lebih besar karena prinsipnya orang yang bekerja di lembaga keaungan, perlu memahami tentang akuntansi forensic ini, untuk memahami apa yang ada di balik laporan keuangan debitur, apa yang dibalik laporan hasil analisis yang disajikan.
4.Pramitasari (2013)Rekonstruksi Akuntansi Forensuj dan Audit Investigatif pada Kasus yang Ditangani oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)Dapat dilakukannya rekonstruksi prosedur Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang meliputi persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan. Tahap perisapan dimulai dengan diterimanya surat permintaan dari Kepilisian Wilayah Madiun yang meminta bantukan kepada BPKP untuk melaksanakan prosedur penghitungan kerugian keuangan negaea untuk kasus ini. Tahap pelaksanaan terdiri dari pengumpulan dan evaluasi bukti, penghitungan kerufian negara, ekspos internal, dan ekspos eksternal. Dari hasil penghitungan kerugian keuangan negara, diketahui bahwa pada tahun 2002 terdapat kerugian negara sebesar Rp1.731.064.280,00, tahun 2003 Rp3.668.148.900,00 dan tahun 2004 Rp2.943.028.120,00 sehingga total kerugian keuangan negara adalah Rp8.342.241.300,00.

Sumber: dikembbangkan untuk penelitian ini.

Rerangka Pemikiran

Pelasksanaan akuntansi forensic  dan audit investigative dimaksdukan untuk menyelidiki adanya indikasi terjadi fraud dalam kasus tertentu. Sebagai ilmu audit khusus, akuntansi forensic ini dapat memberikan identifikasi yang lebih jelas mengenai fraud yang terjadi  untuk pada akhirnya bisa dilakukan penghitungan kerugian keuangan yang terjadi karena kasus fraud tersebut.

  • METODA PENELITIAN

Struktur penulisan dalam bab ini memiliki satu bagian pembahasan, yaitu mengenai metoda penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini dirancang dengan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Pada bab ini, akan dibahas mengenai rancangan penelitian secara rinci mengenai jenis dan pendekatan penelitian, subyek penelitian, desain penelitian, metoda pengumpulan data, teknik analisis data, teknik analisis keabsahan data, dan tahapan penelitian yang berisi tahapan yang dilakukan oleh peneliti sampai dengan penyampaian hasil dan pembuatan kesimpulan atas hasil penelitian. Penelitian ini dirancang sedemikian rupa guna melakukan penghitungan kerugian keuangan pada kasus fraud yang dilakukan oleh Lippo Group menggunakan akuntansi forensik dan audit investigatif

Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif.. Pada dasarnya metode kuantitatif digunakan apabila masalah merupakan penyimpangan antara yang seharusnya dengan yang terjadi, antara aturan dengan pelaksanaan, antara teori dengan praktik, antara rencana dengan pelaksanaan. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan / atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan – hubungan kuantitatif.

Pendekatan Penelitian

Menurut Arikunto (2002) penelitian dengan pendekatan deskriptif merupakan penelitian non-hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sedangkan analisis kuantitatif adalah metode analisis dengan melakukan perhitungan terhadap data-data yang bersifat pembuktian dari masalah. Sehingga metode deskriptif kuantitatif adalah metode penelitian yang memaparkan atau menjelaskan data melalui angka-angka. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002) penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan suatu fenomena dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian deskriptif biasanya hanya dilibatkan satu variabel sehingga cenderung tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan hubungan antar variabel. Oleh karena itu, penelitian ini tidak bermaksud untuk menguji hipotesis. Penelitian ini lebih memberikan tekanan pada deskripsi suatu variabel tanpa menghubungkan dengan variabel lain, sehingga informasi yang diperoleh adalah keadaan menurut apa yang sesungguhnya ada pada saat penelitian dilakukan.

Alasan penulis menggunakan metode ini karena tujuan metode ini adalah  untuk membuat deskripsi, gambaran serta lukisan secara sistematis, faktual dan  akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang  diselidiki kemudian disusun, dijelaskan, dianalisis dan akhirnya diperoleh  kesimpulan.

Jenis Data

Adapun data yang diperlukan dalam penyusunan hasil penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah semua data yang diperoleh dari studi pustaka untuk beberapa teori yang berkaitan dengan permasalahan dan juga sebagai pembanding terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu untuk mendukung pemecahan permasalahan. Data sekunder ini digunakan untuk memperkuat opini yang sudah ada pada data sekunder sehingga akan mampu menambah keyakinan penulis terhadap suatu kesimpulan penelitian. Adapun  wujud dari data sekunder yang terdapat di dalam penelitian ini misalnya laporan keuangan yang diterbitkan oleh Lippo Group, laporan audit yang diterbitkan auditor yang mengaudit perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Lippo Group, dan data-data lain yang sesuai dengan tema penelitian.

Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi. Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data melalui pengumpulan bahan-bahan tertulis berupa buku-buku, data yang tersedia dan laporan-laporan yang relevan dengan objek penelitian untuk mendukung data yang sudah ada. Selain itu, bahan-bahan audio dan video juga bisa dijadikan pendukung data tertulis.

Definisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah akuntansi forensik. Variabel ini akan menjelaskan mengenai langkah-langkah yang diperlukan untuk menghitung kerugian yang disebabkan oleh fraud yang dilakukan oleh Lippo Group. Variabel ini menjelaskan mulai dari perencanaan hingga pencarian bukti dan pembuktian hingga pelaporan hasil temuan dengan melaukan analytical review.

Tahap-tahap Penelitian

Langkah-langkah yang akan diambil peneliti untuk melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Mengumpulkan data yang berhubungan dengan kasus yang diteliti berupa dokumen dari publikasi-publikasi, baik digital maupun cetak dari berbagai media

Melakukan tabulasi dan pengolahan data mentah agar bisa digunakan untuk melakukan analytical review dengan alat banti Microsoft Excel 2013.

Melakukan pengolahan data dengan metodologi akuntansi forensik dan audit investigatif pada data yang telah dikumpulkan dan diolah

Melakukan perhitungan kerugian berdasarkan analytical review dan pengolahan data yang telah dilakukan.

Memberikan analisis akhir dari hasil perhitungan.

DAFTAR PUSTAKA

Amrizal. 2004. Membangun Kultur dan Etika Internal Organisasi yang Anti Kecurangan. Artikel BPKP

Arens, A. A., Elder, R. J., dan Beasley, M. S. 2006 Auditing dan Jasa Assurance Edisi Keduabelas. Jakarta: Penerbit Erlangga

Arens, A. A., Loebbecke. 2003. Auditing dan Pendekatan Terpadu Edisi Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga

Arikunto, S. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). 2000. Manual Investigation.

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). 2004. Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse.

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). 2006. Fraud Examiners Manual.

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). 2008. Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse.

Bologna, G. J. dan Lindquist, R. J. 1995. Fraud Auditing and Forensics Accounting; New Tools and Techniques, Second Edition. New York: John

Crumbley, D. L. 2005. Forensic and Investigative Accounting. CCH Group: ISBN 0808013653.

Davia, H. R. 2000. Fraud 101: Techniques and Strategies of Detection. New York: McGraw Hill

Garner, B. A. 2009. Black’s Law Dictionary, Ninth Edition. St. Paul: West Group

Howard, S. dan Sheetz, M. 2007. Forensic Accounting and Investigation for Non-Experts. New York: John Wiley

Karni, S. 2000. Auditing: Audit Khusus & Audit Forensik Dalam Praktik. Jakarta: LPFE Universitas Indonesia.

Marbun, B. N. 2006. Kamus Hukum Indonesia. Jakarta: Pustaka SInar Harapan

Mautz, R. K. dan SHaraf, H. A. 1961. The Philosophy of Auditing. American Accounting Association

Miqdad, M. 2008. Mengungkap Praktek Kecurangan (Fraud) pada Korporasi dan Organisasi Publik Melalu Audit Forensik. Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 3, Nomor 2, Mei 2008.

Moeljatno. 2006. Kitab UNdang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara

Mulyadi. 2002. Auditing. Jakarta: Salemba Empat

Noor, P. 2002. iSawyer’s Internal Auditing, the Practice of Modern Internal Auditing 5th Edition. Jakarta: Salemba Empat

Pickett, K. H. S. dan Pickett, J. M. 2002. Financial Crime Investigation and Control. New York: John Wiley and Sons

Tuanakotta, T. M. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Salemba Empat

Tuanakotta, T. M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Salemba Empat

Wiratmaja, I. D. N. 2000. Akuntansi Forensik dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

Pramitasari, M. 2013. Rekonstruksi Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif pada Kasus yang Ditangani oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP); Studi Kasus pada Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Pengelolaan Pos Anggaran DPRD Kota Madiun Tahun Anggaran 2002, 2003, dan 2004. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ma Chung

PENGARUH TINDAKAN PENCEGAHAN, PENDETEKSIAN, DAN AUDIT INVESTIGATIF DALAM UPAYA MEMINIMALISASI KECURANGAN DALAM LAPORAN KEUANGAN

CINDY CLAUDIA HANDOKO & DANIEL SUGAMA STEPHANUS

MAKALAH MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN

PROGRAM STUDI AKUNTANSI – FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUPATEN MALANG

2014

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa adanya pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif terhadap upaya dalam meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan. Penelitian ini digunakan data primer yang penyebaran kuesionernya dilakukan di Malang dengan responden dari auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik Malang. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan convience sampling. Penganalisaan data untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan uji regresi berganda.

Kata-kata kunci: Tindakan Pencegahan, Pendeteksian, Audit Investigatif dan Meminimalisasi Kecurangan

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perusahaan merupakan entitas ekonomi yang mengelola dana yang bersumber dari  penjualan dan hasil labanya, dimana perusahaan memiliki kewajiban untuk membuat laporan keuangan secara berkala atas pengelolaan sumber dana tersebut  kepada para stakeholder. Laporan keuangan bermanfaat besar bagi sebagian besar kalangan untuk membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggung-jawaban manajemen atas sumber daya yang digunakan. Menurut Mulyadi dan Puradiredja (1998:3), Laporan keuangan merupakan salah satu media informasi yang sangat penting untuk mengetahui kinerja sebuah perusahaan. Laporan keuangan yang wajar adalah laporan keuangan yang penyajiannya memenuhi Standar Akuntansi Keuangan. Yaitu laporan keuangan yang penyajian laporan keuangan yang disajikan secara wajar, relevan dan transparan.

Tuntutan transparasi dan akuntabilitas dari stakeholder mendorong pihak manajemen untuk menghasilkan laporan yang berkualitas dan bebas dari unsur fraud. Semakin berkembangnya suatu perusahaan membuat dana yang dikelola perusahaan juga semakin besar. Maka, perlu adanya pengawasan yang lebih untuk mencegah terjadinya fraud  dalam lingkungan perusahaan tersebut.

Pengawasan tersebut dapat dilakukan oleh auditor internal dan auditor eksternal untuk mengembangkan teknik pemeriksaan terhadap kecurangan. Adanya gagasan oleh Panel on Audit Effectiveness dari AICPA yaitu auditor hendaknya melaksanakan jenis tindakan preventif, audit investigatif, pemeriksaan forensik dalam setiap auditnya untuk meningkatkan prospek dalam mendeteksi adanya kecurangan. Profesi akuntan telah memulai perubahan dari pengujian hal yang tidak biasa (irregulariries) menjadi pengujian terhadap adanya kecurangan (fraud). Perubahan yang terjadi ini mengakibatkan perubahan prosedur audit yaitu bagaimana mengembangkan teknik-teknik untuk menemukan adanya pola kecurangan yang potensial terjadi melalui pengembangan profil seseorang yang diduga sebagi pelaku serta melakukan prosedur subtantif yang akurat tidak hanya dengan melihat pengendaliannya saja.

Dalam mengungkapkan tindakan kejahatan ekonomi termasuk tindakan korupsi harus adanya kerjasama antara akuntan dengan penegak hukum bukan hanya penting namun merupakan sebuah keharusan. Auditor sebagai penyidik adanya tindakan kecurangan maupun perilaku korupsi harus mempelajari bagaimana menggunakan informasi keuangan untuk memperkuat hal yang diselidiki, sedangkan pihak akuntan harus mengerti dan memahami data-data dan keuangan apa saja yang dapat diterima oleh hukum.

Meningkatnya kecurangan dalam laporan keuangan dapat memberikan keuntungan bagi pelaku bisnis karena dapat melebih-lebihkan hasil usaha dan kondisi keuangan perusahaan tersebut sehingga laporan keuangan perusahaan terlihat baik di publik. Dengan adanya kecurangan pada laporan keuangan akan merugikan publik yang mengambil keputusan berdasarkan laporan keuangan perusahaan tersebut. Menurut teori GONE  dalam Simanjuntak (2008:122), empat motivasi yang mendasari seseorang melakukan kecurangan adalah Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), Exposure (pengungkapan).

Penelitian yang dilakukan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 1997) menemukan bahwa 83% kasus fraud terjadi dilakukan oleh pemilik perusahaan atau dewan direksi (Brennan dan McGrath, 2007). Selain itu Ernst & Young (2003) dalam Brennan dan McGrath (2007) juga menemukan lebih dari setengah pelaku fraud adalah manajemen.

Adanya kasus Enron  pada tahun 2001 yang merupakan perusahaan terbesar ke tujuh di Amerika Serikat yang bergerak di bidang industri energi yang jatuh bangkrut karena memanipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan yang besar pada perusahaan tersebut padahal perusahaan mengalami kerugian dan keadaan semakin parah karena tidak independennya seorang audit yang dilakukan oleh KAP Arthur Andersen, tidak hanya melakukan manipulasi laporan keuangan Enron, namun juga melakukan tindakan yang tidak etis dengan menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron.

Phar Mor Inc, termasuk perusahaan terbesar di Amerika Serikat yang dinyatakan bangkrut pada tahun 1992. Phar Mor sengaja melakukan fraud untuk mendapatkan keuntungan financial yang masuk ke dalam saku pribadi individu pada pihak manajemen. Melakukan fraud dengan membuat dua laporan keuangan yaitu, laporan inventory dan laporan keuangan. Pada laporan inventory dibuat dua laporan dimana salah satunya berisikan informasi yang tidak benar dan diserahkan kepada auditor. Laporan keuangan yang benar yang berisi mengenai kerugian yang dialami perusahaan ditujukan hanya untuk pihak manajemen dan laporan lainnya dimanipulasi sehingga terlihat bahwa perusahaan mendapatkan keuntungan yang banyak.

Hal apa yang membuat seseorang melakukan tindakan kecurangan dan standar akuntansi yang bagaimana yang harus dilakukan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia supaya kecurangan dapat diminimalisasi. Pencegahan yang bagaimana harus dilakukan untuk meminimalisasi kerugian-kerugian yang terjadi pada perusahaan dan apabila hal tersebut telah terjadi, pendeteksian dan investigasi apa yang harus dilakukan oleh auditor internal dan eksternal untuk mengetahui letak kecurangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Menurut Association  of Certified Fraud Examinations (ACFE) yang merupakan salah satu asosiasi di USA yang kegiatannya dalam pencegahan dan penanggulangan kecurangan dengan mengkategorikan kecurangan ke dalam tiga kelompok, antara lain:

1. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud). Kecurangan laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material laporan keuangan yang merugikan investor dan kredibtor. Kecurangan ini dapar bersifat financial ataupun non-financial.

2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation). Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam kecurangan kas dan kecurangan atas persediaan dan aset lainnya serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement).

3. Korupsi (Corruption). Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE bukan korupsi yang berdasarkan pada UU Pemberantasan TPK di Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (Economic extortion).

Oleh karena itu, seorang auditor harus memahami bagaimana standar audit, akuntan publik juga harus mematuhi kode etik profesi yang mengatur perilaku akuntan publik dalam menjalankan praktik profesinya baik dengan sesama anggota maupun dengan masyarakat umum. Kode etik ini mengatur tentang tanggung jawab profesi, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional serta standar teknis bagi seorang auditor dalam menjalankan profesinya.

Untuk membuat jera pelaku kecurangan harus diberikan hukuman (punishment) agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila hukum negara belum kuat, maka pelaku kecurangan pun tidak akan jera. Apabila tidak adanya tindakan pencegahan untuk meminimalisasi tindakan kecurangan tersebut maka akan terus berkembang dari waktu ke waktu.

Peneliti akan membahas mengenai tindakan apa yang harus dilakukan untuk meminimalisasi kecurangan yang sering terjadi di perusahaan dan tindakan selanjutnya apabila ditemukan adanya kecurangan dan akhirnya sanksi apa yang akan diberikan kepada pelaku kecurangan tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menyusun penelitian dengan judul Pengaruh Tindakan Pencegahan, Pendeteksian dan Audit Investigatif Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan dalam Laporan Keuangan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah tindakan pencegahan berpengaruh dalam upaya meminimalisasi   kecurangan dalam laporan keuangan?

2. Apakah tindakan pendeteksian berpengaruh dalam upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan?

3. Apakah tindakan audit investigatif berpengaruh dalam upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan?

4. Apakah tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif    berpengaruh dalam upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan?

1.3 Tujuan Penelitian           

Berdasarkan penelitian yang ingin diteliti, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisa pengaruh tindakan pencegahan terhadap upaya  meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

2. Untuk menganalisa pengaruh pendeteksian terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

3. Untuk menganalisa pengaruh audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

4. Untuk menganalisa pengaruh pencegahan,pendeteksian dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagi Peneliti

Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai ilmu yang diteliti khususnya mengenai pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Bagi Universitas

Hasil penelitian ini digunakan sebagai acuan untuk memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu akuntansi khususnya fraud karena penelitian ini mengacu pada pengaruh tindakan pencegahan , pendeteksian dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi keecurangan dalam laporan keuangan.

Bagi Kantor Akuntan Publik

Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk perbaikan dan perubahan yang positif dengan memahami faktor-faktor apa saja yang mencegah timbulnya kecurangan dan tindakan apa yang harus dilakukan apabila ditemukan adanya bukti-bukti audit yang negatif.

Bagi Pihak Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan bahan pertimbangan untuk mengadakan penelitian yang lebih lanjut.

  • LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Kecurangan (Fraud)

Fraud telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh para praktisi dan akademisi (Intal dan Do, 2002). Berikut ini definisi fraud dari sudut pandang yang berbeda:

1. Menurut Arens  dan Loebbecke (1997) dalam Soselisa dan Mukhlasin (2008), Kecurangan terjadi ketika terjadi salah saji dibuat dalam suatu keadaan yang mengetahui bahwa hal itu adalah suatu kepalsuan dan dilakukan dengan maksud untuk melakukan kecurangan.

2. Menurut Statement of Auditing Standards No. 99, Tindak kesengajaan untuk menghasilkan salah saji material dalam laporan keuangan yang merupakan subyek audit.

3. Menurut Encyclopedia Britannica dalam Intal dan Do (2002), Dalam hukum, fraud didefinisikan sebagian penyajian fakta yang keliru dengan tujuan merampas kepemilikan yang berharga dari seseorang.

4. Menurut Oxford English Dictionary dalam Intal dan Do (2002), Sebuah tindak pidana kecurangan dengan menggunakan penyajian yang palsu untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang tidak adil atau mengambil paksa hak atau kepentingan orang lain.

5. Menurut Binbangkum, n.d, Fraud merupakan suatu tindak ketidaksengajaan untuk menggunakan sumber daya perusahaan secara tidak wajar dan salah menyajikan fakta untuk memperoleh kepentingan pribadi.

6. Menurut Association of Certified Fraud Examiners dalam Ernst & Young LLP (2009), Kecurangan (fraud) sebagai tindakan penipuan atau kekeliruan yang dibuat oleh seseorang atau badan yang mengetahui bahwa kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan beberapa manfaat yang tidak baik kepada individu atau entitas atau pihak lain.

Dari beberapa definisi fraud (kecurangan) diatas, dapat diketahui bahwa pengertian fraud  sangat luas dan dapat dilihat pada beberapa kategori kecurangan. Menurut Binbangkum (n.d) secara umum, unsur-unsur dari kecurangan adalah sebagai berikut:

1. Harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation)

2. Dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present)

3. Fakta bersifat material (material fact)

4. Dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or recklessly)

5. Dengan maksud (intent)  untuk menyebabkan suatu pihak beraksi

6. Pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut (misrepresentation)

7. Yang merugikannya (detriment)

2.1.1 Jenis-jenis Fraud

Menurut Albrecth dan Albrecth (….) dikutip oleh Nguyen (2008), fraud diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:

1. Embezzlement employee atau occupational fraud merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh bawahan kepada atasan. Jenis fraud ini dilakukan oleh bawahan dengan melakukan kecurangan pada atasannya secara langsung maupun tidak langsung.

2. Management fraud merupakan jenis fraud  yang dilakukan oleh manajemen puncak kepada pemegang saham, kreditor dan pihak lain yang mengandalkan laporan keuangan. Jenis fraud  ini dilakukan manajemen puncak dengan cara menyediakan penyajian yang keliru, biasanya pada informasi keuangan.

3. Invesment scams merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh individu/ perorangan kepada investor. Jenis fraud ini dilakukan individu dengan mengelabui atau menipu investor dengan cara menanamkan uangnya dalam investasi yang salah.

4. Vendor fraud merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh organisasi atau perorangan yang menjual barang atau jasa kepada organisasi atau perusahaan yang menjual barang atau jasa. Jenis fraud ini dilakukan organisasi dengan memasang harga terlalu tinggi untuk barang dan jasa atau tidak adanya pengiriman barang meskipun pembayaran telah dilakukan.

5. Customer fraud merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh pelanggan kepada organisasi atau perusahaan yang menjual barang atau jasa. Jenis fraud  ini dilakukan pelanggan dengan cara membohongi penjual dengan memberikan kepada pelanggan yang tidak seharusnya atau menuduh penjual memberikan lebih sedikit dari yang seharusnya.

Dari bagan Uniform Occupational Fraud Classification System (ACFE) membagi fraud (kecurangan) dalam tiga jenis berdasarkan perbuatannya yaitu:

1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation) meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud  yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung.

2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement) merupakan tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.

3. Korupsi (Corruption), jenis fraud ini paling susah dideteksi karena menyangkut kerjasama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, dimana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat terdeteksi karena pihak yang bekerjasama menikmati keuntungan (simbolis mutualisme). Termasuk di dalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery),  penerimaan yang tidak sah/ illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic exortion).

 Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk pohon kecurangan (fraud tree). Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta ranting anaknya.

fraud-tree.jpg

Gambar 2.1. Pohon Kecurangan

Pada pohon kecurangan ini terdapat tiga cabang utama, yaitu: Corruption, Asset Misappropriation, dan fraudulent statements. Penjelasan dari masing-masing cabang beserta rantingnya secara umum adalah sebagai berikut:

a. Corruption

Korupsi dalam pengertian ini terdiri dari konsep benturan kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), pemberian hadiah yang melawan hukum (illegal graduaties) dan pemerasan (economic exortion).

1. Benturan kepentingan (conflict of interest)

Ciri-ciri indikasinya adalah:

a. Dilakukan selama bertahun-tahun. Bukan hanya saja selama pejabat tersebut berkuasa namun melalui kontrak jangka panjang, bisnis tetap berjalan meskipun pejabat tersebut telah lengser.

b. Nilai kontraknya relatif mahal daripada kontrak yang dibuat at arm’s length. Dalam bahasa sehari-hari praktek ini dikenal sebagai mark up atau penggelembungan.

c. Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Penguasa biasanya menggunakan saudaranya (nepotisme) sebagai  adanya keterlibatan kerjasama (kolusi)  yang melibatkan penyuapan (bribery).

2. Penyuapan (bribery)

Hal ini meliputi sumbangan, pemberian, penerimaan dan persembahan sesuatu yang bernilai dengan maksud untuk mempengaruhi suatu tindakan (official act). Official act mencakup penyuapan yang dilakukan untuk mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh bawahan atau terhadap instansi pemerintahan. Pemberian atau hadiah tersebut merupakan bentuk dari penyuapan.

b. Pengambilan aset (Asset Misappropriation)

Penyalahgunaan aset dapat digolongkan sebagai ke dalam kecurangan kas dan kecurangan atas persediaan dan aset lainnya, serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement). Dalam bahasa sehari-hari hal ini disebut sebagai mencuri. Namun, dalam istilah hukum, mengambil aset secara illegal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi asset disebut menggelapkan.

1. Skimming

Uang sudah dijarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke dalam perusahaan

2. Larceny

Penjarahan yang dilakukan ketika uang sudah masuk ke dalam  kas perusahaan dan baru dijarah.

3.  Billing Schemes

Skema permainan (schemes) dengan menggunakan proses billing atau pembebanan penagihan sebagai sarananya.

4. Payroll Schemes

Skema permainan melalui pembayaran gaji dengan adanya pembayaran pegawai secara fiktif (ghost employee) atau pemalsuan gaji karyawan.

5. Expense Reimbursement Schemes

Skema permainan pembayaran kembali biaya-biaya, misalnya biaya perjalanan.

6. Check Tampering

Skema permainan melalui pemalsuan cek. Cek tersebut ditandatangani oleh orang yang berkuasa terhadap cek tersebut.  

c. Fraudulent Statements

Kecurangan laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material dimana laporan keuangan tersebut akan merugikan pihak investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non-financial.

1. Salah saji material (misstatements, overstatements atau understatements)

a. Menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari sebenarnya (asset/revenue overstatements)

b. Menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari sebenarnya (asset/revenue understatements)

Sedangkan Delf (2004) menambahkan satu lagi tipologi fraud yaitu cybercrime. Ini jenis fraud yang paling canggih dan dilakukan oleh pihak yang mempunyai keahlian khusus yang tidak selalu dimiliki oleh pihak lain. Cybercrime juga akan menjadi jenis fraud  yang paling ditakuti di masa depan dimana teknologi berkembang dengan pesat dan canggih.

2.1.2 Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)

Segitiga kecurangan ini adalah gagasan dari seorang mahasiswa yang bernama Donald R. Cressy yang pada waktu itu dia melakukan penelitian disertasi doktornya di bidang sosiologi tentang kriminalitas di masyarakat.

Donald R. Cressey yang dikutip oleh Tuanakotta (2010) membuat model klasik untuk menjelakan occupational offender atau pelaku kecurangan dalam hubungan kerja dan penelitian tersebut memiliki hipotesis bahwa orang yang dipercaya melanggar kepercayaan ketika ia melihat dirinya sendiri sebgai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasi dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemegang kepercayaan di bidang keuangan dan tindak tanduk sehari-hari memungkinkan menyeuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana yang dipercayakan kepadanya.

Hipotesis ini dikenal sebagai segitiga kecurangan (fraud triangle) seperti pada gambar dibawah ini:

fraud-triangle.jpg

Gambar 2.2. Segitiga Kecurangan

Fraud Triangle tersebut menunjukkan bahwa seseorang melakukan kecurangan terdiri atas tiga faktor, yaitu:

1. Pressure (tekanan).

Cressey percaya bahwa pelaku kecurangan bermula dari faktor tekanan yang menghimpit. Pelaku kecurangan tersebut mempunyai kebutuhan yang mendesak yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain. Konsep yang terpenting disini adalah tekanan yang menghimpit hidupnya (kebutuhan akan uang), padahal orang tersebut tidak dapat berbagi dengan orang lain.  

Bagi pelaku kecurangan yang tidak dapat membagi masalah (keuangan) dengan orang lain, sebenarnya apabila ia berbagi masalah dengan orang lain dapat membantu mencari pemecahan masalahnya. Namun, Cressy mencatat adanya masalah non-financial­ tertentu yang dapat diselesaikan dengan mencuri uang atau aset dengan menyampingkan kepercayaan yang diberikan terkait dengan jabatannya.

Dalam penelitiannya juga Cressey menemukan bahwa Inon-shareable yang dihadapi oleh orang-orang yang diwawancarainya timbul berbagai situasi, yaitu:

a. Violation of Ascribed Obligation

Jabatan dengan tanggung jawab keuangan dan jujur serta mematuhi pedoman profesi prilaku yang ada diperusahaan tempat kita bekerja.

b. Problems Resulting from Personal Failure

Kegagalan pribadi merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang memiliki jabatan yang dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahan menggunakan akal sehatnya dan hal tersebut merupakan tanggung jawab pribadi.

c. Physical Isolation

Situasi ini dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam kesendirian yang disebabkan banyaknya tekanan masalah dan tidak mau menceritakan kepada orang lain.

d. Status Gaining

Status ini berkaitan dengan kebiasaan buruk yang tidak mau kalah dari tetangganya (pesaing). Pelaku berusaha mempertahankan status dan bahkan meningkatkan statusnya.

e. Employer-employee Relations

Hal ini mencerminkan kesalahan atau ketidaksukaannya seorang pegawai dalam menduduki jabatannya yang sedang dipegangnya sekarang. Tetapi pada saat yang sama ia tidak memiliki pilihan lain kecuali ia harus tetap bekerja (Theodorus, 2007:110).

2. Opportunity (kesempatan). Pelaku kecurangan memiliki persepsi bahwa adanya peluang untuk melakukan kejahatan tanpa diketahui oleh orang lain. Cressey berpendapat bahwa ada dua komponen dari persepsi tentang peluang. Pertama, general information yang merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang megandung kepercayaan dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini dapat diperoleh dari apa yang di dengar maupun di lihat. Kedua, technical skill merupakan keahlian atau ketrampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kecurangan tersebut.

3. Rationalization atau mencari pembenaran sebelum melakukan kecuranganbukan sesudahnya. Pembenaran sebenarnya merupakan bagian dari kejahatan itu sendiri bahkan merupakan bagian motivasi untuk melakukan tindakan kejahatan. Rationalization diperlukan agar pelaku  dapat mencerna perilakunya yang illegal untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya.

2.1.3 Faktor-Faktor Pendorong terjadinya Fraud

Menurut Cressey (….) , faktor-faktor pendorong terjadinya kecurangan, yaitu:

1. Niat (Intent)

Merupakan karakteristik yang membedakan kecurangan dengan kesalahan atau kekeliruan. Pelaku kecurangan berniat melakukan kecurangan untuk keuntungan dirinya dengan merugikan pihak lainnya.

2. Pendorong/tekanan (Incentive/Pressure)

Manajemen atau karyawan ada kemungkinan memiliki dorongan atau tekanan yang menjadi alasan melakukan kecurangan. Untuk melakukan kecurangan lebih banyak tergantung pada kondisi individu, seperti sedang menghadapi masalah keuangan, kebiasaan buruk seseorang seperti berjudi dan peminum atau mempunyai harapan atau tujuan yang tidak realitis.

3. Kesempatan (Oppurtunity)

Keadaan lingkungan yang ada di tempat kerja memberikan kesempatan untuk melakukan kecurangan yang disebabkan oleh pengawasan yang lemah.

4. Rasionalisasi/sikap (Rationalization/Attitude)

Beberapa individu memiliki sikap, karakter atau nilai etika yang mengikutinya untuk pembenaran dalam melakukan tindakan tidak jujur.

2.1.4 Faktor Pemicu Kecurangan

Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang disebut juga dengan GONE Theory adalah sebagai berikut:

            a. Keserakahan (Greed)

            b. Kesempatan (Opportunity)

            c. Kebutuhan (Need)

            d. Pengungkapan (Exposure)

            Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan disebut juga sebagai faktor individual. Faktor Opportunity dan Exposure  merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan disebut juga sebagai faktor generik atau umum.

1. Faktor generik

a. Kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan atau jabatan pelaku terhadap objek kecurangan. Kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan. Namun, ada yang memiliki kesempatan yang besar dan ada yang kecil. Secara umum manajemen suatu organisasi atau perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan kecurangan daripada karyawan.

b. Pengungkapan (Exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap. 

2. Faktor Individu

Faktor ini melekat pada diri seseorang. Hal ini dibagi dalam dua kategori, antara lain:

1. Moral 

Faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed). Beberapa hal untuk mengurangi risiko tersebut adalah:

a. Misi atau tujuan organisasi atau perusahaan, ditetapkan dan dicapai dengan melibatkan seluruh pihak (manajemen dan karyawan).

b. Aturan perilaku pegawai dikaitkan dengan lingkungan dan budaya organisasi atau perusahaan.

c. Gaya manajemen, memberikan contoh bekerja sesuai dengan misi dan aturan perilaku yang telah ditetapkan organisasi atau perusahaan.

d. Praktik penerimaan pegawai, dicegah diterimanya karyawan yang bermoral tidak baik.

2. Motivasi

Faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need). Beberapa cara mengurangi kemungkinan keterlibatan dalam kecurangan, antara lain:

a. Menciptakan lingkungan yang menyenangkan, misalnya; memperlakukan pegawai decara wajar, berkomunikasi secara terbuka dan adanya mekanisme agar setiap keluhan dapat didiskusikan dan diselesaikan.

b. Sistem pengukuran kinerja dan penghargaan yang wajar sehingga karyawan merasa diperlakukan secara adil.

c. Bantuan konsultasi pegawai untuk mengetahui masalah secara dini.

d. Proses penerimaan karyawan untuk mengidentifikasi calon karyawan yang berisiko tinggi dan mendiskualifikasinya.

e. Kehati-hatian, mengingat motivasi seseorang tidak dapat diamati dengan mata telanjang sebaliknya produk motivasi tersebut tidak dapat disembunyikan.

2.1.5 Gejala adanya Fraud

Kecurangan akan tercermin melalui timbulnya karakteristik tertentu, baik yang merupakan kondisi atau keadaan lingkungan, maupun perilaku seseorang. Karakteristik yang bersifat kondisi atau situasi tertentu,perilaku atau kondisi seorang pribadi tersebut disebut red flag (fraud indicators). Petunjuk adanya kecurangan biasanya ditunjukkan oleh munculnya gejala-gejala (symptoms)  seperti dibawah ini:

            a. adanya perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang.

            b. Dokumentasi yang mencurigakan.

            c. Keluhan dari pelanggan atau kecurigaan dari rekan sekerja.

2.1.5.1 Kecurangan Manajemen

Kecurangan manajemen merupakan sebuah bentuk kecurangan yang berada di luar definisi hukum yang sempit atas penggelapan, kecurangan dan pencurian. Kecurangan manajemen terdiri atas seluruh bentuk kecurangan yang dipraktikan oleh para manajer untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan perusahaan. Kecurangan manajemen lebih sering ditutupi daripada diungkapkan. Kecurangan manajemen biasanya ditutupi-tutupi oleh para korbannya untuk menghindari dampak merugikan dari publisitas yang buruk. Beberapa gejala kecurangan manajemen, antara lain:

            a. Ketidakcocokan diantara manajemen puncak.

            b. Moral dan motivasi karyawan rendah.

            c. Departemen akuntansi kekurangan staf.

d.Tingkat komplain yang tinggi terhadap perusahaan dari pihak konsumen, pemasok dan badan otoritas.

e. Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi.

f. Penjualan atau laba menurun sementara itu utang dan piutang dagang terus meningkat.

g. Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang lama.

h. Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan.

i. Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.

2.1.5.2 Kecurangan Karyawan

Berikut ini beberapa kecurangan karyawan, antara lain:

a. Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa perincian atau penjelasan pendukung.            

b. Pengeluaran tanpa dokumen pendukung.

c. Pencatatan yang salah atau tidak akurat pada buku jurnal atau buku besar.

d. Penghancuran, penghilangan, pengerusakan dokumen pendukung pembayaran.

e. Kekurangan barang yang diterima.

f. Kemahalan harga barang yang dibeli.

g. Faktur ganda.

h.         Penggantian mutu barang.

2.1.6 Klasifikasi Fraud

Selain itu, pengklasifikasikan fraud (kecurangan) dapat dilakukan dilihat dari beberapa sisi, yaitu:

1. Berdasarkan pencatatan merupakan kecurangan berupa pencurian aset dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori:

a. Pencurian aset yang terlihat secara terbuka pada buku, seperti duplikasi pembayaran yang tercantum pada catatan akuntansi.

b. Pencurian aset yang tampak pada buku, namun tersembunyi diantara catatan akuntansi yang valid, seperti kickback.

c. Pencurian aset yang tidak tampak pada buku, dan tidak akan dapat dideteksi melalui pengujian transaksi akuntansi yang dibukukan, seperti: pencurian uang pembayaran piutang dagang yang telah dihapusbukukan/di write off.

2. Berdasarkan frekuensi, Pengklasifikasian kecurangan dapat dilakukan berdasarkan frekuensi terjadinya yaitu:

a. Tidak berulang. Dalam kecurangan yang tidak berulang, walaupun terjadi beberapa kali pada dasarnya bersifat tunggal. Dalam arti, hal ini terjadi disebabkan oleh adanya pelaku setiap saat (misal: pembayaran cek mingguan karyawan memerlukan kartu kerja mingguan untuk melakukan pembayaran cek yang tidak benar).

b. Berulang. Dalam kecurangan berulang, tindakan yang menyimpang terjadi beberapa kali dan hanya diinisiasi/ diawali sekali saja. Selanjutnya kecurangan terjadi terus menerus sampai diberhentikan. Misalnya, cek pembayaran gaji bulanan yang dihasilkan secara otomatis tanpa harus melakukan penginputan setiap saat. Penerbitan cek terus berlangsung sampai diberikan perintah untuk menghentikannya.

c. Berdasarkan konspirasi. Kecurangan dapat diklasifikasikan sebagai: terjadi konspirasi atau kolusi, tidak terdapat konspirasi, dan tterdapat konspirasi parsial. Pada umumnya kecurangan terjadi karena adanya konspirasi, baik bona fide maupun pseudo. Dalam bona fide  conspiracy, semua pihak sadar akan adanya kecurangan, sedangkan dalam pseudo conspiracy, adanya pihak-pihak yang tidak mengetahui adanya kecurangan.

3. Berdasarkan keunikan, kecurangan berdasarkan keunikannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kecurangan khusus (specialized fraud), yang terjadi secara unik pada orang-orang yang bekerja pada operasi bisnis tertentu. Contoh: pengambilan aset yang disimpan oleh deposan pada lembaga-lembaga keuangan, seperti: bank, dana pensiun, reksa dana (disebut juga custodial fraud) dan klaim asuransi yang tidak benar.

b. Kecurangan umum (garden varieties of fraud) yang semua orang mungkin hadapi dalam operasi bisnis secara umum. Misal: kickback, penetapan harga yang tidak benar, pesanan pembelian/kontrak yang lebih tinggi dari kebutuhan yang sebenarnya, pembuatan kontrak ulang atas pekerjaan yang telah selesai, pembayaran ganda, dan pengiriman barang yang tidak benar.

2.1.7 Faktor Situasional Kecurangan

Faktor-faktor situasional kecurangan adalah sebagai berikut:

1. Faktor tekanan merupakan suatu perangsang yang berhubungan dengan motivasi karyawan untuk melakukan kecurangan sebagai ketamakan atau tekanan keuangan pribadi diantara bermacam pertimbangan.

2. Faktor rasionalisasi merupakan pertimbangan perilaku yang curang sebagai suatu konsekuensi dari suatu ketiadaan integritas pribadi karyawan atau penalaran moral lain.

3. Faktor peluang merupakan suatu kelemahan dalam sistem, dimana karyawan memiliki kuasa (tenaga atau kemampuan) untuk memanfaatkan kemungkinan berbuat curang.

2.2 Tindakan Pencegahan dalam Meminimalisasi Kecurangan

Ada ungkapan yang secara mudah menjelaskan penyebab atau akar permasalahan dari fraud. Menurut Donald R. Cressey ungkapan tersebut adalah fraud by need, by greed, by opportunity. Namun, jika kita ingin mencegah adanya kecurangan, hilangkan atau tekan sedapat mungkin penyebabnya. Menghilangkan atau menekan  need dan greed yang mengawali terjadi kecurangan dilakukan sejak menerima seseorang (recruitment process) meskipun proses tersebut bukan merupakan jaminan akan mencegah tindak kecurangan. Hal ini ditanamkan melalui fraud awareness dan contoh-contoh yang diberikan pimpinan perusahaan atau lembaga. Upaya pencegahan kecurangan dapat dimulai dari pengendalian internal. Pengendalian internal mengalami perkembangan dalam pemikiran prakteknya. Salah satu tujuan adanya pengendalian intern adalah saah satunya utnuk mengawasi kinerja manajemen serta karyawan agar tingkat kecurangan bisa ditekan (Metteo Wahyana, 2008:14). Menurut (COSO, 1992) kecurangan yang mungkin terjadi harus dicegah, antara lain:

a. Membangun struktur pegendalian internal yang baik

Dengan semakin berkembangnya perusahaan, maka tugas manajemen untuk mengawasi dan mengendalikan jalannya perusahaan menjadi semakin sulit. Untuk itu agar tujuan yang telah ditetapkan Top Manajemen dapat dicapai, keamanan aset perusahaan terjamin dan kegiatan operasi dapat dijalankan secara efektif dan efisien, maka pihak manajemen perlu menciptakan suatu struktur pengendalian intern yang baik dan efektif untuk mencegah kecurangan. Dalam memperkuat struktur pengendalian internal perusahaan COSO pada bulan September 1992 memperkenalkan suatu kerangka pengendalian yang lebih luas daripada model pengendalian akuntansi yang tradisional dan mencakup aspek manajemen risiko, yaitu pengendalian intern yang terdiri atas lima komponen yang saling terkait yaitu:

1. Lingkungan pengendalian (control environment)

Menetapkan corak suatu organisasi atau perusahaa, mempengaruhi kesadaran pengendalian orang-orangnya. Lingkungan pengendalian merupakan dasar untuk semua komponen pengendalian intern, menyediakan disiplin dan struktur.

2. Penaksiran risiko (risk assessment) adalah identifikasi entitas dan analisis terhadap risko yang relevan untuk mencapai tujuannya, membentuk suatu dasar untuk menentukan bagaimana risiko harus dikelola.

3. Standar pengendalian (control activities) adalah kebijakan dari prosedur yang membantu menjamin bahwa arahan manajemen dilaksanakan. Kebijakan dan prosedur yang dimaksud berkaitan dengan:

                        a. Penelaahan terhadap kinerja

                        b. Pengolahan informasi

                        c. Pengendalian fisik

                        d. Pemisahan tugas

4. Informasi dan komunikasi (information and communication) adalah pengidentifikasian, penangkapan dan pertukaran informasi dalam suatu bentuk dari waktu yang memungkinkan orang melaksanakan tanggung jawab mereka. Sistem informasi mencakup sistem akuntansi, terdiri atas metode dan catatan yang dibangun untuk mencatat, mengolah, meringkas, dan melaporkan transaksi entitas dan untuk memelihara akuntabilitas bagi aktiva, utang dan ekuitas. Komunikasi mnecakup penyediaan suatu pemahaman tentang peran dan tanggung jawab individual berkaitan dengan pengendalian intern terhadap pelaporan keuangan.

5. Pemantauan (monitoring) adalah proses menentukan mutu kinerja pengendalian internal sepanjang waktu. Pemantauan mencakup penentuan desain dan operasi pengendalian yang tepat waktu dan pengambilan tindakan koreksi.

b. Mengefektifkan Aktivitas Pengendalian

1.  Review Kinerja

Aktivitas pengendalian ini mencakup review atas kinerja yang sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran, prakiraan atau kinerja periode sebelumya, menghubungkan suatu rangkaian data yang berbeda operasi atau keuangan satu sama lain, bersama dengan analisis atas hubungan dan tindakan penyelidikan dan perbaikan dan review atas kinerja fungsional atau aktivitas seorang manajer kredit atas laporan cabang perusahaan tentang persetujuan dan penagihan pinjaman.

2. Pengolahan Informasi

Berbagai pengendalian dilaksanakan untuk mengecek ketepatan, kelengkapan, dan otorisasi transaksi. Dua pengelompokkan luas aktivitas pengendalian sistem informasi adalah pengendalian umum (general control) dan pengendalian aplikasi (application control). Pengendalian umum biasanya mencakup pengendalian atas operasi pusat data, pemprosesan dan pemeliharaan perangkat lunak sistem, keamanan akses, pengembangan dan pemeliharaan sistem aplikasi. Pengendalian ini berlaku untuk mainframe, minicomputer dan lingkungan pemakai akhir (end user). Pengendalian ini membantu menetapkan bahwa transaksi adalah sah, diotorisasi semestinya dan diolah secara lengkap dan akurat.

c. Meningkatkan kultur organisasi

Meningkatkan kultur organisasi dapat dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang saling terkait satu sama lain agar dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.

d. Mengefektifkan fungsi internal audit

Internal auditor tidak dapat menjamin bahwa kecurangan tidak akan terjadi, namun ia harus menggunakan kemahiran jabatannya dengan sesakma sehingga diharapkan mampu mendeteksi terjadinya kecurangan dan dapat memberikan saran-saran yang bermanfaat kepada manajemen untuk mencegah terjadinya kecurangan.

2.3 Pendeteksian Kecurangan

Pencegahan yang dilakukan oleh auditor internal tidak memadai, internal auditor harus memahami juga bagaimana cara mendeteksi kecurangan sejak dini. Tindakan pendeteksian tersebut tidak dapat digeneralisir terhadap semua kecurangan. Masing-masing jenis kecurangan memiliki karakterisitik tersendiri sehingga untuk dapt mendeteksi kecurangan harus adanya pemahaman yang baik terhadap jenis-jenis kecurangan yang mungkin ada dalam perusahaan. Sebagian besar bukti-bukti kecurangan merupakan bukti tidak langsung. Petunjuk adanya kecurangan biasanya ditunjukkan dengan munculnya gejala-gejala seperti adanya perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang, dokumentasi yang mencurigakan, keluhan dari pelanggan atau kecurigaan teman kerja. Kecurangan ini akan tercermin melalui timbulnya karakteristik tertentu baik yang merupakan kondisi atau keadaan lingkungan maupun perilaku seseorang.

Karakterisitik yang bersifat situasi/kondisi tertentu, perilaku/kondisi seseorang personal dinamakan red flag (fraud indicators). Timbulnya red flag tidak selalu merupakan indikasi adanya kecurangan, namun red flag selalu muncul disetiap kasus kecurangan yang terjadi. Pemahaman dan analisis lebih lanjut terhadap red flag dapat membantu langkah selanjutnya untuk memperoleh bukti awal atau mendeteksi adanya kecurangan.

2.3.1 Objek Pendeteksian

Dari beberapa referensi dan sumber, peneliti melihat objek-objek yang diteliti untuk meminimalisasi adalah sebagai berikut:

a. Kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud)

Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut:

1. Analisis Vertikal, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara item-item dalam laporan laba rugi, neraca atau laporan arus kas dengan menggambarkan presentasenya. Contoh, adanya kenaikan presentase hutang niaga dengan total hutang dari rata-rata 28% menjadi 52% dilain pihak adanya penurunan presentase biaya penjualan dengan total penjualan dari 20% menjadi 17% mungkin dapat menjadi satu dasar adanya pemeriksaan kecurangan.

2. Analisis Horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis presentase perubahan item laporan keuangan selama beberapa periode laporan. Contoh, adanya kenaikan penjualan sebesar 140% dengan asumsi tidak ada perubahan lainnya dalam unsur-unsur penjualan dan pembelian, maka hal ini dapat menimbulkan sangkaan adanya pembelian fiktif, penggelapan atau transaksi illegal lainnya.

3. Analisis Rasio, yaitu alat untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam laporan keuangan. Contoh, current ratio adanya penggelapan uang atau pencurian kas dapat menyebabkan turunnya perhitungan rasio tersebut.

b. Penyalahgunaan aset (asset misappropriation)

Teknik untuk mendeteksi kecurangan dalam hal ini sangat bervariasi. Namun, adanya pemahaman yang tepat atas pengendalian internal yang baik akan membantu dalam melaksanakan pendeteksian kecurangan. Maka dari itu terdapat banyak sekali teknik yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi setiap kasus penyalahgunaan aset. Masing-masing jenis kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa teknik yang berbeda. Misalnya, untuk mendeteksi kecurangan dalam pembelian ada beberapa metode deteksi yang dapat digunakan. Metode tersebut akan sangat efektif apabila digunakan secara kombinasi gabungan, setiap metode deteksi akan menunjukkan gejala penyimpangan yang dapat diinvestigasi lebih lanjut untuk menemukan ada tidaknya kecurangan. Selain itu, metode tersebut akan menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam pengendalian intern dan memberikan peringatan pada auditor akan adanya potensi terjadinya kecurangan di masa mendatang.

c. Korupsi (Corruption)

Sebagian besar kecurangan ini dapat dideteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak puas dan menyampaikan komplain ke perusahaan. Atas sangkaan terjadinya kecurangan kemudian dilakukan analisis terhadap tersangka atau transaksi. Pendeteksian atas kecurangan ini dapat dilihat dari karakteristik (red flag) si penerima maupun si pemberi. Kecurangan dalam laporan keuangan dapat dideteksi melalui teknik audit. Kecurangan seperti inidapat terbentuk:

1. Ayat jurnal penyesuaian yang kurang otorisasi dan rincian yang mendukung.

2. Pengeluaran yang kurang dokumen pendukung.

3. Pemasukan yang salah dan tidak tepat dalam buku besar.

4. Pembayaran yang tidak diotorisasi dan tidak sah.

5. Penggunaan dan konversi aktiva korporat yang tidak diotorisasi.

6. Penerapan dana korporat yang salah.

7. Pernyataan yang salah dan palsu dalam laporan keuangan dari segi keuntungan dan nilai aktiva.

8. Pencurian aktiva korporat oleh pegawai, agen dan petugas.

9. Pemusnahan, peniruan dan pemalsuan dokumen untuk mendukung pembayaran.

10. Kolom jumlah yang tidak benar jumlahnya.

2.4 Audit Investigatif

Audit investigatif adalah salah satu aktivitas dalam rangka implementasi upaya strategi memerangi korupsi dengan pendekatan investigatif (Haryono Umar, 2009). Audit investigati secara umum dapat dikatakan sebagai proses penyelidikan yang berlandaskan hukum dan rasa keadilan untuk mencari kebenaran dengan tingkat kebenaran yang tinggi (high level of assurance) mengenai suatu permasalahan yang ditemukan.

2.4.1 Tujuan Audit Investigatif

Menurut  Picket dan Picket ( 2002) dalam Financial Crime Investigation and Control adalah sebagai berikut:

1. Memberhentikan manajemen. Tujuannya adalah sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggungjawabkan kewajiban fidusiernya. Kewajiban fidusier ini termasuk mengawasi dan mencegah terjadinya kecurangan oleh karyawannya.

2. Memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukupnya relevan bukti. Tujuannya adalah menekankan bisa diterimanya bukti-bukti sebagai alat bukti untuk meyakinkan hakim di pengadilan.

3. melindungi reputasi karyawan yang tidak bermasalah

4. Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk investigasi. Banyaknya bukti dalam keuangan berupa dokumen yang disusun untuk membuat kebohongan.

5. Menemukan aset yang digelapkan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang terjadi.  Hal ini meliputi penelusuran rekening bank, pembekuan rekening, izin-izin untuk proses penyitaan atau penjualan aset.

6. Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lolos dari perbuatannya.

7. Menyapu bersih semua karyawan yang melakukan kejahatan.

8. Memastikan perusahaan tidak lagi menjadi korban penjarahan yang mengambil sumber daya perusahaan.

9. Menentukan bagaimana investigasi secara standar sesuai dengan peraturan perusahaan sesuai dengan buku pedoman.

10. Mengumpulkan cukup bukti yang dapat diterima oleh pengadilan, dengan sumber daya dan terhentinya kegiatan perusahaan seminimal mungkin.

11. Memperoleh gambaran yang wajar tentang kecurangan yang terjadi dan membuat keputusan yang tepat mengenai tindakan yang harus diambil.

12. mendalami tuduhan (baik oleh dalam atau luar perusahaan, baik lisan maupun tertulis,  baik dengan nama terang atau dalam bentuk surat kaleng)  untuk menanggapi secara tepat.

13. Memastikan bahwa hubungan dan suasana kerja tetap baik.

14. Melindungi nama baik perusahaan atau lembaga.

15. Melaksanakan investigasi dalam koridor kode etik.

16. Menentukan siapa saja pelaku dan mengumpulkan bukti mengenai niatnya.

17. Menindaklanjuti para pelaku kecurangan yang telah terbukti.

18. Mengidentifikasi praktek manajemen yang tidak dapat dipertanggung jawabkan atau perilaku yang melalaikan tanggung jawab.

19. Mempertahankan kerahasiaan dan memastikan bahwa perusahaan tidak terperangkap dalam ancaman tuntutan pencemaran nama baik.

20. Mengidentifikasikan saksi yang melihat atau terjadinya kecurangandan memastikan bahwa mereka memberik bukti yang mendukung tuduhan atau dakwaan terhadap si pelaku.

21. Memberikan rekomendasi mengenai bagaimana mengelola risiko terjadinya kecurangan ini dengan tepat.

2.4.2 Investigatif dengan Teknik Audit

Banyak auditor yang berpengalaman pu, merasa ragu untuk terjun dalam bidang investigatif. Padahal teknik-teknik audit yang mereka kuasai memadai untuk dipergunakan dalam audit investigatif. Teknik audit adalah cara-cara yang digunakan dalam mengaudit laporan keuangan. Hasil dari penerapan teknik audit adalah bukti audit.Teknik audit yang dilakukan ada tujuh tahap, yaitu:

a. Memeriksa fisik dan mengamati

Memeriksa fisik dapat diartikan bahwa sebagai perhitungan uang tunai (baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya.

Mengamati diartikan sebagai pemanfaatan indera kita untuk mengetahu sesuatu. Maka peneliti tidak membedakan antara memeriksa dan mengamati. Kedua teknik ini investigator menggunakan inderanya untuk mengetahui dan memahami sesuatu.

b. Meminta informasi dan konfirmasi

Meminta informasi baik lisan maupun tulisan kepada auditan merupakan prosedur biasa dilakukan oleh auditor. Dalam audit juga dalam investigatif permintaan informasi harus diperkuat dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat dengan cara lain. Permintaan informasi sangat penting dan memerlukan prosedur yang normal dalam suatu investigasi.

Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diinvestigasikan) untuk menegaskan kebenaran atau ketidakbenaran suatu informasi. Dalam audit, teknik ini umumnya diterapkan untuk mendapatkan kepastian mengenai saldo utang piutang. Tapi sebenarnya ia dapat diterapkan untuk berbagai informasi, keuangan maupun non keuangan. Dalam investigatif ini harus memperhatikan apakah pihak ketiga memiliki kepentingan dalam investigatif.

c. Memeriksa dokumen

Tidak ada  investigatif apabila tanpa pemeriksaan dokumen. Dengan kemajuan teknologi, definisi dokumen menjadi lebih luas termasuk informasi yang diolah, disimpan dan dipindahkan secara elektronis/digital.

d. Review Analitikal

Dellote Haskins dan Sells mencatat menggunakan teknik ini dalam audit manual mereka di tahun 1930-an. Di akhir 1960-an dan awal 1970-an DHS mengembangkan berbagai perangkat lunak review analikal diantaranya Statical Techniques for Analytical Review (STAR) in auditing. Dalam review analitikal yang penting bukan perangkat lunaknya tetapi semangatnya, seperti yang dikatakan Houck di atas “think analytical first” ini ciri auditor dan investigator yang tangguh.

Menurut Stringer dan Stewart dalam: Analytical review is a form of deductive reasoning in which the property of the individual details is inferred from evidence of the reasonableness of  the aggregate result.  Perhatikan mereka dalam mendifinisikan review analitikal sebagai a form of deductive reasoning, sebagai bentuk penalaran deduktif. Tekanannya adalah pada penalaran, proses berfikirnya. Penalaran yang membawa seseorang auditor atau investigator pada gambaran mengenai wajar, layak atau pantasnya suatu data individual disimpulkan dalam gambaran yang diperoleh secara global, menyeluruh atau agregat.

1. Membandingkan anggaran dengan realisasi

Membandingkan anggaran dengan realisasi dapat mengindikasikan adanya kecurangan. Yang harus benar-benar diketahui adalah seluruh mekanisme pelaksanaan anggaran, evaluasi atas pelaksanaan anggaran dan intensif (keuangan maupun non keuangan) yang terkandung didalamnya sistem anggaran.

Dalam entitas yang merupakan profit center atau revenue center, pejabat tertentu menerima intensif sesuai dengan keberhasilan yang diukur dengan pelampauan anggaran. Investigator perlu mengantisipasi kecenderungan realisasi penjualannya dibuat tinggi (overstated).

2. Hubungan antara satu data dengan data keuangan lainnya

Beberapa akun baik dalam satu maupun beberapa laporan keuangan bisa mempunyai keterkaitan yang  dapat dimanfaatkan untuk review awal.

3. Menggunakan data non keuangan

Inti dari adanya review analitikal adalah mengenal pola hubungan (relationship pattern). Pola hubungan ini tidak mesti hanya antara data satu data keuangan dengan data keuangan lainnya. Pola hubungan non keuangan pun bisa berbagai macam bentuknya.

4. Regresi atau analisis trend

Dengan data historical yang memadai review analitikal dapat mengungkapkan trend. Berbagai perangkat lunak mempermudah hitungan dan grafiknya. Misalnya, STAR, perangkat lunak Delloite.          

5. Menggunakan indikator ekonomi makro

Hubungan antara besarnya pajak penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun dengan indikator-indikator ekonom seperti inflasi, tingkat pengangguran, cadangan devisa, indikator ekonomi negara-negara yang menjadi partner perdagangan Indonesia, harga minya mentah dan komoditi lainnya. Kehandalan perumusan ekonometri akan membantu auditor atau investigator melalui data agregat tanpa harus melakukan pemeriksaan SPT sebagai langkah pertama.

e. Menghitung kembali

Menghitung kembali tidak lain untuk mengecek kebenaran perhitungan. Ini merupakan prosedur yang sangat wajar dalam audit. Tugas ini biasanya diberikan kepada seorang yang baru mulai bekerja sebagai auditor yaitu seorang junior auditor. Dalam investigatif perhitungan yang dihadapi umumnya sangat kompleks didasarkan pada kontrak atau perjanjian yang rumit, yang mungkin telah tejadi perubahan dan renegoisasi berkali-kali dengan pejabat yang berbeda. Perhitungan ini dilakukan oleh investigator yang berpengalaman.

2.4.3 Prinsip-Prinsip Investigatif

a. Investigatif merupakan metode atau teknik yang dapat digunakan dalam audit investigatif.

b. investigatif memerlukan penerapan kecerdasan, pertimbangan yang sehat dan pengalaman selain itu memerlukan pemahaman terhadap ketentuan perundang-undangan dan prinsip-prisip investigatif guna pemecahan permasalahan yang dihadapi.

Ada juga prinsip berdasarkan pengalaman dan praktek yang dapat dijadikan pedoman bagi investigator dalam setiap situasi adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan investigatif mencakup pemanfaatan sumber-sumber bukti yang dapat mendukung fakta yang dipermasalahkan.

2. Investigator mengumpulkan fakta-fakta sedemikian rupa sehingga bukti-bukti yang diperoleh dapat memberikan kesimpulan tersendiri.

3. Informasi merupakan napas dan darahnya investigasi sehingga investigator harus mempertimbangkan segala kemungkinan untuk dapat memperoleh informasi.

4. Pengamatan, informasi dan wawancara merupakan bagian yang penting dalam investigatif.

5. Pelaku kejahatan adalah manusia, oleh karena itu jika ia diperlakukan sebagaimana layaknya manusia maka mereka akan juga merespon sebagaimana manusia.

2.4.4 Tahap-Tahap Audit Investigatif

Dalam melakukan audit investigatif ada beberapa tahapan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Persiapan dan perencanaan. Setiap kegiatan audit harus disertai dengan persiapan dan perencanaan. Audit investigatif lebih ditekankan pada sikap kehati-hatian           dan independen serta arif karena sering terjadi konflik kepentingan antara auditor dan auditan. Dalam menunjuk petugas investigatif harus dipertimbangkan auditor yang memiliki pengalaman, integritas yang tinggi, kemauan, keuletan, keberanian, independen dan tidak ada hubungan istimewa antara auditor dengan auditan.

1. Membuat PKA. Dalam menyusun PKA audit investigatif, auditor harus memahami betul permasalahan yang akan diaudit. Oleh karena itu perlu ditetapkan sasaran, ruang lingkup, waktu audit, menyusun strategi dan langkah audit.

2. Pelaksanaan audit terlebih dahulu diladakan pembicaraan pedahuluan dengan auditan  untuk menjelaskan tujuan audit dan mendapat informasi tambahan serta menciptakan suasana yang mendukung kelancaran.

Dalam melaksanakan investigatif perlu diperhatikan agar pelaku mudah diarahkan untuk mengakui perbuatannya maka diperlukan untuk mengumpulkan bahan dan bukti yang berkaitan dengan kasus yang diaudit dan dapat dijadikan sebagai bukti. Alat bukti menurut KUHP pasal 184:

            1. Keterangan saksi

            2. Keterangan saksi ahli

            3. Bukti petunjuk

            4. Keterangan/ pengakuan terdakwa

            Keterangan atau pengakuan terdakwa tidak saja cukup untuk pembuktian melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lainnya. Bukti dalam audit adalah (1) klarifikasi (2) hasil pengujian fisik (3) dokumentasi (4) observasi (5) tanya jawab atau hasil wawancara (6) prosedur analisa.

2.4.5 Laporan Audit Investigatif

Laporan audit merupakan alat formal auditor untuk mengkomunikasikan kesimpulan yang diperoleh tentang hasil auditnya kepada pihak yang bekepentingan. Saat ini belum ada standar khusus untuk laporan audit investigatif atau audit khusus. Standar umum bahwa laporan harus dibuat secara tertulis setelah berakhirnya pelaksanaan audit dan laporan disampaikan kepada pihak yang berwewenang dan bersifat rahasia. Laporan audit investigatif biasany diberikan kepada pihak yang memberi instruksi (kepolisian, jaksa, pengadilan).

2.5 Rerangka Pemikiran

Rerangka pemikiran yang dibuat dalam penelitian ini mengenai pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian, dan audit investigatif terhadap upaya dalam meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Rounded Rectangle: Pencegahan (X1)Variabel Independen                                                              Variabel Dependen

Rounded Rectangle: Pendeteksian (X2)
Rounded Rectangle: Meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan (Y)

            Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran

2.6 Perumusan Hipotesis

Perumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian, dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Berdasarkan pemikiran tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:           

Ha1: Tindakan pencegahan berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

H01: Tindakan pencegahan tidak berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Ha2: Tindakan pendeteksian berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

H02: Tindakan pendeteksian tidak berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Ha3:Tindakan audit investigatif berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

H03: Tindakan audit investigatif tidak berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

Ha4: Tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

H04: Tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif tidak berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

  • METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu, metode yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai suatu fenomena yang terjadi dalam suatu populasi (Indrianto dan Supomo, 2002:26).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kausal yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel independen yaitu tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif terhadap variabel dependen yaitu pengaruhnya terhdap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan.

3.2 Metode Penentuan Sampel

Penelitian ini mengambil objek auditor yang bertugas di Kantor Akuntan Publik di kota Malang. Metode sampling yang digunakan adalah convience sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahan, sehingga penulis mempunyai kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan mudah.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu sumber data penelitian yang diperoleh langsung dari sumber. Data primer ini dikumpulkan melalui metode survey dengan menggunakan kuesioner (Indriantoro dan Supomo, 2002:26). Kuesioner langsung diberikan secara langsung kepada responden.

3.4 Metode Analisis

Data yang diperlukan terkumpul, langkah selanjutnya adalah meganalisis data berdasarkan metode penilaian data. Kegiatan analisis dan pengolahan data dengan melakukan tabulasi terhadap kuisioner dengan memberikan dan menjumlahkan bobot jawaban pada masing-masing pertanyaan untuk masing-masing variabel.

Analisis data ini menggunakan metode regresi berganda yang dimaksudkan untuk menguji pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. Analisis regresi adalah studi menegenai ketergantungan variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel independen dengan tujuan untuk mengestimasi dan memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang diketahui.

Hasil analisis regresi adalah berupa koefisien untuk masing-masing variabel independen. Koefisien ini diperoleh dengan cara memprediksi nilai variabel dependen dengan satu persamaan. Koefisien regresi dihitung dengan dua tujuan yaitu meminimumkan penyimpangan antara nilai aktual dan nilai estimasi variabel dependen yang ada. Dalam penelitian ini persamaan regresi yang digunakan adalah sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e

Penjelasan model diatas adalah sebagai berikut:

Y         : Meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan

b1,b2,b3 : Koefisien regresi

X1          : Tindakan pencegahan

X2          : Pendeteksian

X3          : Audit investigatif

a          : Konstan

3.5 Uji Instrumen Penelitian           

Peneliti uji instrumen penelitian data-data akan diolah sebagai berikut:

1. Uji Validitas

Uji validitas yang digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Dalam penelitian ini, uji validitas diukur dengan melakukan korelasi antara skor butir pertanyaan dengan total skor variabel.

2. Uji Reabilitas

 Hasil uji reabilitas digunakan untuk mengetahui instrumen penelitian yang dipakai dapat digunakan berkali-kali pada waktu yang berbeda. Pengujian dilakukan dengan menggunakan teknik cronbach alpha. Dimana suatu instrumen dikatakan tidak reliabel bila memiliki koefisien atau alpha sebesar; (1) <0,6 tidak reliabel (2) 0,6-0,7 acceptable (3) 0,7-0,8 baik (4) > 0,8 sangat tidak baik.

3.6 Uji  Hipotesis

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi berganda. Pada dasarnya merupakan eksistensi dari modal regresi dalam analisis bivariate yang umumnya digunakan untuk menguji pengaruh dua variable atau lebih  variabel independen terhadap variabel dependen dengan skala interval atau rasio dalam suatu pengukuran linear.

Riset dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan media kuesioner. Kuesioner diberikan kepada responden dengan meminta izin dan membuat janji terlebih dahulu. Penelitian ini dilaksanakan oleh peneliti sendiri dengan menandatangani kantor tempat penelitian dan bertemu langsung dengan objek penelitian dalam hal ini auditor eksternal yang bekerja di Kantor Akuntan Publik yang ada diwilayah Malang.

1. Uji Asumsi Klasik

Dalam melakukan uji asumsi klasik ini, peneliti melakukan dua uji, yaitu sebagai berikut:

a. Uji Multikolonieritas

Multikolonieritas menyatakan hubungan antar sesama variabel independen (Santoso, 2000:206) menyatakan bahwa deteksi adanya multikolineritas dibagi menjadi dua yaitu: (a) besaran VIF (Variance Inflation Factor)  dan tolerance. Pedoman model regresi bebas multikolinearitas adalah mempunyai nilai VIF disekitar angka 1 dan mempunyai nilai tolerance mendekati 1, dan (b) besaran korelasi antar variabel independen. Pedoman suatu model regresi bebas multikolinearitas adalah koefisien korelasi antar variabel independen.

b. Uji Heterokedastisitas

Heterokedastisitas terjadi jika varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain yang terjadi ketidaksamaan. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heterokedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heterokedastisitas dapat melihat grafik scatterplot. Deteksinya dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik dimana sumbu X adalah Y yang telah diprediksi dan sumbu Y (Santoso, 2000:210).

Dasar pengembilan keputusan adanya heterokedastisitas antara lain: (a) jika ada pola tertentu, seperti titik yang membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar) maka telah terjadi heterokedastisitas dan (b) jika tidak ada pola yang jelas, serta titik menyebar di atas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedastisitas. Deteksi heterokedastisitas dapat menggunakan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresikan variabel independen residual. Jika hasil uji Glejser signifikan, maka model regresi tersebut bebas heterokedastisitas (Ghozali, 2005:105).

c. Uji Normalitas

Menguji dalam sebuah model regresi berganda yaitu variabel dependen, variabel independen atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi normal atau mendekati normal. Untuk mendeteksi normalitas dapat melihat grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual, deteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik (Santoso, 2000:214). Dasar pengambilan keputusan data normal adalah sebagai berikut: (a) Jika data menyebar dsekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi normalitas dan (b) jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas ( Ghozali, 2005:110).

2. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian, dan audit investigatif terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan melalui analisis regresi berganda, yaitu:

a. Uji Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen, yaitu pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigatif dalam menjelaskan variasi variabel dependen yaitu: berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan. Nilai koefisien determinasi (R2) untuk menunjukkan presentase tingkat kebenaran prediksi dari pengujian regresi yang dilakukan. Nilai R2 memiliki range antara 0 sampai 1, jika nilai R2 memiliki range antara 0  sampai dengan 1, jika R2 semakin mendekati 1 maka semakin besar variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen diukur dengan korelasi (R), jika R diatas 0,5 maka korelasi atau hubungan antar variabel independen adalah kuat. Sebaliknya jika angka R dibawah 0,5 maka korelasi atau hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen adalah lemah (Santoso, 2002:167).

b. Uji Signifikansi Parameter Individual ( Uji Statistik t)

Uji t diperlukan untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan dari variabel masing-masing independen terhadap variabel dependen. Apabila sig t lebih besar dari 0,05 maka Ha ditolak. Demikian pula sebaliknya jika sig t lebih kecil dari 0,05 maka Ha diterima, bila Ha diterima maka ada hubungan yang sigifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2005:58).

c. Uji Signifikansi Simultan ( Uji Statistik F)

Uji F dilakukan dengan tujuan untuk menguji keseluruhan variabel independen, yaitu: pengaruh tindakan pencegahan, pendeteksian dan audit investigasi yang mempengaruhi terhadap satu variabel dependen, yaitu: berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan. Secara bebas dengan signifikansi sebesar 0,05 dapat disimpulkan (Ghozali, 2005:45) :

                        1. Jika nilai signifikan < 0,05 maka Ha diterima.

                        2. Jika nilai signifikan > 0,05 maka Ha ditolak.

3.7 Definisi Operasional Variabel dan Pengukurannya

Variabel independen dalam penelitian ini adalah tindakan pencegahan, pendeteksian, dan audit investigatif sedangkan variabel dependennya adalah berpengaruhnya terhadap upaya dalam meminimalisasi kecurangan dalam laporan keuangan. Dalam penelitian ini, skala pengukuran yang digunakan oleh peneliti adalah skala Likert yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Skala Likert umumnya menggunakan lima angka penelitian, yaitu: (1) sangat setuju, (2) setuju, (3) netral, (4) tidak setuju dan (5) sangat tidak setuju. Pengukuran dari masing-masing variabel dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Tindakan Pencegahan

Pencegahan kecurangan adalah aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan sudah dilakukan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personil lain perusahaan untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam mencapai tiga tujuan pokok, yaitu: keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku ( Amin Widjaja, 2009:12).

2. Tindakan Pendeteksian

Kecurangan akan terlihat melalui timbulnya karakteristik tertentu, baik yang merupakan kondisi/keadaan lingkungan maupun perilaku seseorang. Karakteristik yang bersifat kondisi atau situasi tertentu, perilaku atau kondisi seseorang tersebut dinamakan Redflag (fraud indicators). Meskipun timbulnya red flag tersebut tidak selalu merupakan indikasi adanya kecurangan, namun red flag ini biasanya selalu muncul disetiap kasus kecurangan yang terjadi (Amrizal, 2004:11-16).

3. Audit Investigatif

Salah satu aktivitas dalam rangka implementasi upaya dalam meminimalisasi kecurangan dengan melakukan pendekatan investigatif. Audit investigatif dapat dikatakan sebagai proses penyelidikan yang berlandaskan pada hukum dan rasa keadilan untuk mencari kebenaran dengan tingkat kebenaran yang tinggi (high level of assurance) mengenai suatu permasalahan yang ditemukan (Theodorus M, 2007:201).

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Ratna. 2012. “Pengaruh Audit Internal Terhadap Pencegahan dan Pendeteksian Fraud (Kecurangan)”.

ACFE. (2004). “Occupational Fraud and Abuse”. USA: Association of Certified Fraud Examiners.

Amrizal. (2004). “Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Auditor Internal”. Jakarta. Dari http://www.pdf.com

Cressey, D. R. (1973). “Other People’s Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlesment”. New Jersey: Montclair Patterson Smith.

Fitriyani, Rika. (2012).”Pengaruh Kemampuan Auditor Investigatif Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Prosedur Audit dalam Pembuktian Kecurangan (Fraud) Studi Kasus Pada Auditor Investigatif di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Barat Bandung”. Skripsi: Universitas Pasundan.

Ghozali, Iman. (2005). “Aplikasi Analis Multivariate dengan Program SPSS”. Semarang: Universitas Diponegoro.

Koroy. (2008). “Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh Auditor Eksternal”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 10, h. 22-31.

Martantya, Daljono. (2013). “Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan Melalui Faktor Risiko Tekanan dan Peluang”.  Diponegoro Journal of Accounting. Vol. 12, h. 1-12.

Muhammad, Iqbal. (2010). “Pengaruh Tindakan Pencegahan, Pendeteksian dan Audit Investigatif Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan Dalam Laporan Keuangan”. Skripsi: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Mulyadi dan Puradiredja, K. (1998). “Auditing”. Salemba Empat: Jakarta.

Nabila, Atia Rahma. (2013). “Deteksi Kecurangan Laporan Keuangan Dalam Perspektif Fraud Triangle”.

Norbarani, Listiana. (2012). “Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan dengan Analisis Fraud Triangle yang diadopsi dalam SAS No.99”.

Riduan Simanjuntak, Ak, MBA, CISA, CIA. “Kecurangan: Pengertian dan Pencegahan”.

Rosandi, Raisya. (2009). “Persepsi Mahasiswa Akuntansi terhadap Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan”. Skripsi.

Skousen, C.J., K. R. Smith,  dan C. J .Wright. (2009). “Detecting and Predicting Financial Statement Fraud: The Effectiveness of The Fraud Triangle and SAS No.99”. Corporate Governance and Firm Performance Advances in Financial Economics, Vol. 13, h. 53-81.

Soselisa dan Mukhlasin. (2008). “Pengaruh Faktor Kultur Organisasi Manajemen Strategik Keuangan dan Auditor Terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi pada Perusahaan Publik di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi XI Unika Atmajaya.

Tuanakotta, Theodorus M. (2007). “Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi”. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Wibowo, Winny W. (2009). “Pengaruh Penetapan Fraud Early Warning System (FEWS) Terhadap Aktivitas Bisnis Perusahaan”. Jurnal Informasi, Perpajakan, Akuntansi dan Keuangan Publik. Vol. 4, h. 77-111.

Widjaya, Amin. (1992). “Pemeriksaan Kecurangan (Fraud Auditing)”. Rineka Cipta:  Jakarta.

Wilopo. (2006). “Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi”.

Pengaruh Tindakan Pencegahan, Pendeteksian dan Audit Investigatif Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan Dalam Laporan Keuangan

Lembar Pertanyaan / Kuesioner

Kepada Yth,

Bapak/Ibu Auditor

Di KAP

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama               : Cindy Claudia Handoko

Status              : Mahasiswa

Fak/Jur            : Fakultas Ekonomi dan Bisnis/ Akuntansi

Tujuan             : Kelengkapan Informasi Penyusunan Ekonometrik

Dalam menyelesaikan tugas mata kuliah ekonometrik, saya sangat mengharapkan bantuan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam pengisian kuesioner. Daftar pertanyaan/kuesioner ini ditunjukkan kepada anggota komite audit di tempat anda bekerja. Anggota yang dimaksudkan merupakan satu satuan tim komite audit. Keberhasilan ini tergantung pada kejujuran dan kesediaan Bapak/Ibu dalam mengisinya. Atas kesediaan waktunya saya ucapkan banyak terima kasih.

Malang , 25 November 2014

Cindy Claudia Handoko

Data dan Keterangan Responden

Nama                                       : ………………………………………..

Umur                                       : …………. tahun

Jenis Kelamin                          :       Laki-laki        Perempuan

Pendidikan terakhir                 :

        D3                 S1                          S2                           S3

Nama instansi tempat anda bekerja saat ini    :

Lama bekerja di instansi ini    :

       < 3 tahun              3-10 tahun            10-20 tahun                > 20 tahun

Posisi anda saat ini                  :

      Partner       Manajer       Supervisor      Auditor Senior       Auditor Junior

Berikan penilaian dengan memilih salah satu dari 5 point skala berikut ini dengan memberikan tanda check (√) pada kolom yang telah disediakan:

Keterangan JawabanNilai Penelitian
STS : Sangat Tidak Setuju1
TS : Tidak Setuju2
 N : Netral3
S : Setuju4
SS : Sangat Setuju5

Pertanyaan tentang Tindakan Pencegahan Berpengaruh Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan (X1)

No.PertanyaanSTSTSNSSS
1.Apakah kesadaran tentang adanya kecurangan (Fraud awareness) dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya kecurangan.     
2.Dapatkah pemecatan menimbulkan efek jera (deter) bagi pelaku kecurangan.     
3.Apakah pemberian sanksi (punishment) yang tegas kepada yang melakukan kecurangan dan berikan penghargaan (reward) kepada mereka.     
4.Dengan menerapkan Sistem Pengendalian Internal yang baik dapat mencegah terjadinya kecurangan.     
5.Menjalankan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dapat mencegah adanya kecurangan.     
6.Apakah dengan melaksanakan evaluasi kinerja secara berkala dapat mencegah adanya kecurangan.     
7.Menerapkan pegendalian pengembangan sistem dan dokumen (Systems Development and Documentation controls) dapat mencegah timbulnya kecurangan.     
8.Melakukan inspeksi mendadak dan melaksanakan pertemuan antara pengawas /pemeriksa dengan karyawan instansi pemerintah atau swasta dapat mencegah adanya kecurangan.     
9.Apakah mengevaluasi, merancang, dan menerapkan kontrol yang secara proaktif dapat mencegah timbulnya kecurangan.     
10.Hati nurani seorang karyawan sangat berpengaruh dalam pekerjaannya dapat menekan timbulnya kecurangan.     

Pertanyaan tentang Tindakan Pendeteksian Berpengaruh Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan (X2)

No.PertanyaanSTSTSNSSS
1.Dengan melihat ayat jurnal penyesuaian yang kurang otorisasi dan rincian yang kurang mendukung dapat mendeteksi suatu kecurangan.     
2.Sebuah pernyataan yang salah dan palsu dalam laporan keuangan dari segi keuntungan dan nilai aktiva dapat dijadikan alasan adanya indikasi kecurangan.     
3.Pelajari orang-orang dilingkungan audit kita, seperti pengendalian intern, jurnal penyesuaian, catatan hukuman dan rasio.     
4.Membandingkan laporan keuangan dalam beberapa periode dapat dijadikan alat deteksi untuk melihat kecurangan.     
5.Perubahan gaya hidup seorang karyawan yang tiba-tiba berubah dapat dijadikan alasan adanya indikasi pendeteksian kecurangan.     
6.Kecurangan dapat dideteksi dengan memeriksa dokumen, telaah data ekstren, dan wawancara.     
7.Melakukan review analitik yang dilakukan oleh auditor secara keseluruhan dapat menemukan indikasi adanya kecurangan.     
8.Apakah mencocokan faktur pembelian perusahaan dengan faktur pejualan perusahaan menyuplai barang bisa dijadikan dokumen bukti adanya indikasi adanya kecurangan.     

Pertanyaan Audit Investigasi Berpengaruh Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan (X3)

No.PertanyaanSTSTSNSSS
1.Auditor memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukupnya bukti yang relevan dan bertujuan untuk menekankan bisa diterimanya bukti-bukti transaksi sebagai alat bukti adanya indikasi kecurangan.     
2.Membandingkan antara anggaran  dengan realisasi dapat dijadikan alasan untuk menilai adanya indikasi kecurangan.     
3.Apakah seorang auditor atau investigator mempunyai gambaran mengenai wajar, layak, dan pantasnya suatu data individual yang disimpulkan dari gambaran yang diperoleh secara global, menyeluruh atau agregat untuk melihat adanya indikasi adanya kecurangan.     
4.Menggunakan data non-keuangan, mengenal pola hubungan, (relationship pattern) tiap transaksi dapat dijadikan refrensi untuk melihat adanya indiksi kecurangan.     
5.Investigasi memerlukan penerapan kecerdasan, pertimbangan yang sehat dan pengalaman, selain itu memerlukan pemahaman terhadap ketentuan perundang-undangan dan prinsip-prinsip investigasi guna pemecahan permasalahan yang dihadapi.     
6. Apakah informasi merupakan nafas dan darahnya investigasi sehingga investigator harus mempertimbangkan segala kemungkinan untuk dapat memperoleh informasi.     
7.Pengamatan, informasi dan wawancara merupakan bagian yang penting dalam melakukan audit investigasi.     
8.Seorang petugas investigatif harus mempunyai pengalaman, integritas yang tinggi, kemauan, keuletan dan keberanian, independen dapat mempengaruhi ditemukan indikasi adanya kecurangan.     
9.Tekanan negatif yang diberikan kepada seorang investigator oleh pihak-pihak yang kontra dapat mempengaruhi independensi saat dia melakukan audit investigasi.     
10.Indikasi adanya kecurangan itu bisa berasal dari pengalaman dalam pengoperasian sitem informasi akuntansi.     

Pertanyaan tentang Meminimalisasi Kecurangan

No.PertanyaanSTSTSNSSS
1.Sebagai auditor eksternal saya bekerja secara profesional, independen dan menjalankan kode etik.     
2.Saya berperan besar dalam menentukan kecurangan dalam laporan keuangan.     
3.Investor akan menilai baik perusahaan atas peran saya dalam proses audit perusahaan tersebut.     
4.Peran saya dalam mengaudit terkadang dibatasi oleh pihak manajemen.     
5.Apabila saya tidak menemukan kecurangan, saya merasa diri saya tidak pantas untuk menjadi auditor.     
6.Sebagai seorang auditor eksternal saya harus bisa mencegah dan mendeteksi lebih dini agar  tidak terjadi kecurangan.     
7.Pengaturan rotasi auditor (akuntan publik) merupakan salah satu cara untuk mencegah timbulnya kecurangan yang diakibatkan kolusi antara manajemen perusahaan dengan akuntan publik.     
8.Identifikasi atas faktor-faktor penyebab kecurangan, menjadi dasar untuk memahami kesulitan dan hambatan dalam pendeteksian kecurangan.     
9.Auditor harus dapat memperkirakan bentuk-bentuk kecurangan apa saja yang bisa terjadi.     
10.Auditor harus dapat megidentifikasi pihak-pihak yang dapat melakukan kecurangan.     
11.Ketertutupan pihak manajemen dapat berakibat sulitnya melakukan pendeteksian kecurangan.     
12.Auditor harus melakukan pengujian atas dokumen-dokumen atau informasi-informasi yang diperoleh.     
13.Kondisi mental dan pengawasan kerja yang buruk merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecurangan.     

Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi: Investigasi dan Follow The Money Kasus Simulator SIM


Stevanus Eric Sugianto & Daniel Sugama Stephanus
Artikel Akuntansi Forensik & Audit Investigatif
Program Studi Akuntansi – FakultasEkonomi dan Bisnis
Universitas Ma Chung – Kabupaten Malang
2015
ABSTRAK
Skandal akuntansi merupakan gambaran nyata maraknya terjadinya kecurangan akuntansi atau Fraud di dunia global. Bahkan sangat sulit dideteksi oleh proses pemeriksaan keuangan biasa dan sampai sekarang pun masih belum ada solusi penyelesaiannya. Kebangkrutan Enron Corporation, Lehman Brothers cs, limbungnya Citigroup terasa seperti Dejavu Black Tuesday tahun 1929. Indonesia pun tak luput dari kasus serupa. Mulai dari kasus Bank Century, PT. Ades Alfindo, serta PT. Indofarma. Akuntansi Forensik merupakan jawaban atas tantangan tersebut. Sifat “Problem-Based” dari disiplin ilmu akuntansi forensik diharapkan dapat menjadi solusi masalah-masalah kecurangan serta mencegah terjadinya fraud yang merugikan banyak pihak tersebut. Akuntansi forensik adalah penggunaan keahlian akuntansi yang dipadukan dengan kemampuan investigatif untuk memecahkan suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud. Sedangkan kecurangan adalah kekeliruan yang disengaja untuk memperoleh keuntungan dari pihak lain.
Kata-Kata Kunci: Akuntansi Forensik dan Investigasi

  1. PENDAHULUAN
    1.1 Latar Belakang
    Praktik-praktik korupsi hampir terjadi di setiap daerah di Indonesia, mulai dari kasus kecil hingga sangat kompleks, misalnya kasus korupsi kecil di tahun 2013, mantan rektor UNSYIAH menjadi tersangka kasus korupsi dana umum beasiswa Universitas Syiah Kuala yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) tahun 2009-2010 senilai Rp 3,6 miliar (Burhanudin, 2013).
    Pemberantasan korupsi telah banyak dilakukan, tetapi harapan untuk menimbulkan efek jera dengan terpenjaranya pelaku koruptor ternyata tidak terjadi. Hal ini disebabkan karena penegakkan hukum di Indonesia tidak bebas dari permainan uang dan pengaruh kekuasaan. Strategi-strategi yang telah dirumuskan oleh berbagai lembaga pemerintah seperti BPK, BPKP, Inspektorat, KPK maupun oleh kalangan LSM seperti MTI dan ICW masih belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi yang sudah menjamur (Wiratmaja, 2010).
    Usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sedikit demi sedikit telah memperbaiki citra Indonesia. Tahun 2007 berdasarkan Transparency International menunjukkan Indonesia berada di urutan 143 dengan nilai 2,3, skor ini menunjukkan penurunan sebesar 0,1 dibandingkan IPK 2006 (Malik etall. 2007). Kenaikan yang cukup signifikan dialami Indonesia pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2007. IPK Indonesia berada diurutan ke-126 dengan skor 2,6 atau naik sebesar 0,3.
    Tahun 2009, IPK Indonesia bergerak naik menjadi 2,8, tetapi skor ini tidak terlalu signifikan dan masih dalam wilayah negara yang masih terpersepsikan korupsi (Masduki, 2009). Tahun 2010 berdasarkan hasil Transparansi Internasional (TI), Indonesia masih bertahan dengan IPK 2,8 (Lubis, 2010). IPK Indonesia 2011 menjadi 3,0 yang mengalami kenaikan 1,0 dari IPK 2,0 pada tahun 2004. Kenaikan IPK tersebut merupakan peningkatan tertinggi di antara seluruh negara ASEAN dalam rentang waktu yang sama (Yulianto & Diantika, 2011).
    Tahun 2012 CPI (Corruption Performance Index) diluncurkan dengan metode yang berbeda, yaitu melakukan perubahan rentang skalanya. Rentang indeks CPI lama 0-10 (0 dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih) diubah menjadi 0-100 (0 dipersepsikan sangat korup, 100 sangat bersih). Tahun 2012, CPI Indonesia sebesar 32 yang menempati urutan 118 dari 176 negara yang diukur.
    Secara regional, Indonesia tidak banyak mengalami perubahan, masih di jajaran bawah apabila dilihat berdasarkan skor CPI-nya. Skor 32 menunjukkan bahwa Indonesia masih belum dapat keluar dari situasi korupsi yang sudah mengakar (Soebagjo, 2012).
    Skandal-skandal keuangan seperti yang terjadi pada Enron, WorldCom, Xerox, Adelphia Communication, dan jatuhnya Arthur Andersen pada awal tahun 2000 telah menurunkan kepercayaan akuntansi, sehingga terjadi peningkatan teknik forensik (Gunardi : 2012). Objek dari akuntansi forensik di sektor swasta maupun sektor publik adalah skandal keuangan yang menyangkut fraud “penghilangan” aset, seperti pencurian, penyalahgunaan, dan lain-lain. Oleh karena itu, diperlukan akuntan forensik yang mempunyai keahlian dalam menginvestigasi indikasi adanya korupsi atau fraud pada perusahaan atau instansi negara.
    Jumansyah etall. (2011) menyatakan“ di Indonesia kasus akuntansi forensik di sektor publik lebih menonjol dibandingkan di sektor privat. Lemahnya governance di pemerintahan juga menjadi penyebab munculnya kecurangan seperti korupsi”. Arifin (2001) dalam Sundaryati dan Zahro (2010) mengemukakan bahwa hasil pemeriksaan BPKP dan Kejaksaan Agung telah banyak kasus korupsi berasal dari sektor pemerintahan. Dari permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengulas peranan audit forensik yang disebut juga audit investigasi dalam upaya penanggulangan korupsi di Indonesia.
  2. LANDASAN TEORI TERKINI
    2.1 Pengertian Investigasi
    Menurut Tuanakotta (2010) Investigasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai upaya pembuktian. Umumnya pembuktian ini berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum (acara) yang berlaku.
    2.2 Contoh dari Tujuan Investigasi
    Bermacam-macam alternatif mengenai tujuan investigasi yang diambil dari Pickett & Pickett, Financial Crime Investigation and Control (2002):
  3. Memberhentikan manajemen.
    Tujuan utamanya adalah sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggung jawabkan kewajiban fidusiernya. Kewajiban fidusier ini termasuk mengawasi dan mencegah terjadinya kecurangan oleh karyawannya
  4. Memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukupnya dan relevannya bukti.
    Tujuan ini akan menekankan bisa diterimanya bukti-bukti sebagai alat bukti untuk meyakinkan hakim di pengadilan. Konsepnya adalah forensic evidence, dan bukan sekedar bukti audit.
  5. Melindungi reputasi karyawan yang tidak bersalah.
    Misalnya dalam pemberitaan di media masa bahwa karyawan di bagian produksi menerima uang suap. Tanpa investigasi, reputasi dari semua karyawan dibagian produksi akan tercemar. Investigasi mengungkapkan siapa yang bersalah. Mereka yang tidak bersalah terbebas dari tuduhan (meskipun perguncingan seringkali tetap tidak terhindari).
  6. Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk investigasi.
    Banyak bukti dalam kejahatan keuangan berupa dokumen. Kalau banyak dokumen disusun untuk menyembunyikan kejahatan, atau kalau dokumen ini dapat memberi petunjuk kepada pelaku dan penanggung jawab kecurangan, maka tujuan dari investigasi ini adalah menjaga keutuhan dokumen. Ruang kerja harus diamankan, tidak boleh ada orang masuk keluar tanpa izin, dokumen harus diindeks dan dicatat.
  7. Menemukan asset yang digelapkan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang terjadi.
    Ini meliputi penelusuran rekening bank, pembekuan rekening, izin-izin untuk proses penyitaan dan atau penjualan asset, dan penentuan kerugian yang terjadi.
  8. Memastikan bahwa semua orang, terutama mereka yang diduga menjadi pelaku kejahatan, mengerti kerangka acuan dari investigasi tersebut; harapannya adalah bahwa mereka bersedia bersikap kooperatif dalam investigasi itu.
    Tehnik pelaksanaannya adalah dengan “dengar pendapat orang terbuka” yang menghadirkan orang luar sebagai panelis. Orang luar ini biasanya orang terkemuka dan terpandang. Hal ini umumnya dilakukan apabila “operasi tertutup dan rahasia” (covert operations) gagal mengungkapkan kecurangan yang berdampak luas.
  9. Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lolos dari perbuatannya. Ada dua versi dari pendekatan ini.
    Pertama, lakukan penuntutan tanpa pandang bulu, berapapun besar biayanya, siapapun pelakunya (penjahat besar maupun kecil). Hal ini akan mengirimkan pesan kepada seluruh karyawan dan pihak luar, bahwa perusahaan atau lembaga itu serius dalam mengejar si penjahat. Kedua, kejar si penjahat untuk mengembalikan dana atau asset yang dicurinya, dan kemudian minta dia mengundurkan diri atau diberhentikan. Pendekatan kedua, lebih “tenang”, tak ada gembar-gembor.
  10. Menyapu bersih semua karyawan pelaku kejahatan.
    Seperti pada butir diatas, tujuan utamanya adalah menyingkirkan “buah busuk” agar “buah segar” tidak ikut busuk. Pendekatannya adalah pendekatan disiplin perusahaan. Pembuktian terhadap tindak kejahatan ini mungkin tidak akan lolos disidang pengadilan. Tapi pembuktian disini diarahkan kepada penerapan peraturan intern perusahaan.
  11. Memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sasaran penjarahan.
    Kecurangan menggerogoti sumber daya perusahaan, dan umumnya pemulihan kerugian ini tidak ada atau sangat sedikit. Pendekatan ini menghentikan kerugian lebih lanjut dan menutup celah-celah peluang (loopholes) terjadinya kejahatan.
  12. Menentukan bagaimana investigasi akan dilanjutkan.
    Apakah investigasi akan diperluas atau diperdalam, atau justru dibatasi lingkupnya. Kadang- kadang suatu investigasi dilaksanakan secara tentative atau eksploratif dan bertahap. Dalam investigasi ini laporan kemajuan memungkinkan evaluasi, apakah kita akan melanjutkannya dan kalau ya, bagaiman lingkupnya.
    11.Melaksanakan investigasi sesuai standar, sesuai dengan peraturan perusahaan, sesuai dengan buku pedoman.
    Tujuan semacam ini biasanya didasarkan atas pengalaman buruk. Dimasa lalu, misalnya, tujuan dari pada investigasi adalah untuk menangkap pelakunya. Ketika investigasi dilakukan secara gencar, investigasinya “kebablasan” dan pelaksanaannya melanggar ketentuan.
    12.Menyediakan laporan kemajuan secara teratur untuk membantu pengambilan keputusan mengenai keputusan mengenai investigasi ditahap berikutnya.
    Banyak investigasi bersifat iterative, artinya suatu investigasi atas dugaan kejahatn menghasilkan temuan baru yang melahirkan dugaan tambahan atau suatu dugaan baru. Investigasi pertama diikuti dengan investigasi berikutnya, dan seterusnya, secara iterative memperluas pemahaman invstigator mengenai berapa dalamnya masalah yang dihadapi. Konsultasi, diskusi, dan presentasi dari temuan-temuan secara berkala(mingguan, misalnya), merupakan ciri khas dari pendekatan ini.
  13. Memastikan pelakunya tidak melarikan diri atau menghilang sebelum tindak lanjut yang tepat dapat diambil.
    Ini biasanya merupakan tujuan investigasi dalam hal pelaku tertangkap tangan seperti dalam kasus pencurian di supermarket. Umumnya kejahatan ditempat kerja tidak memiliki cirri kasus ini karena karyawan dikenal atau mempunyai identitas yang disimpan dalam pencatatan perusahaan. Tetapi dalam kejahatan tertentu, misalnya penggelapan uang yang melibatkan pihak- pihak diluar perusahaan, pendekatan ini sangat tepat.
    14.Mengumpulkan cukup bukti yang dapat diterima pengadilan, dengan sumberdaya dan terhentinya kegiatan perusahaaan seminimal mungkin.
    Pendekatan ini berupaya mencari pemecahan yang optimal dalam kasus yang terjadi.
  14. Memperoleh gambaran yang wajar tentang kecurangan yang terjadi dan membuat keputusan yang tepat mengenai tindakan yang harus diambil.
    Hasil investigasi seringkali ditindaklanjuti secara emosional. Kalau karyawan itu disukai oleh atasan atau rekan sekerjanya, pimpinan cenderung “memaafkan” perbuatannya dan tidak memaanfaatkan peluang untuk memperbaiki sistem yang berhasil “dijebolnya”. Sebaliknya, kalau pimpinan atau rekan sekerjanya tidak menyukai si pelaku kecurangan, pimpinan cenderung menghukumnya seberat-beratnya. Kedua sikap tadi akan merugikan perusahaan. Dengan memperoleh gambaran yang layak (fair) maka pimpinan secara sadar membuat keputusan tentang siapa yang melakukan investigasi (harus seorang professional) dan bagaimana tindaklanjutnya.
  15. Mendalami tuduhan (baik oleh orang dalam atau luar perusahaan, baik lisan maupun tertulis baik dengan nama terang atau dalam bentuk surat kaleng) untuk menanggapinya secara tepat.
    Investigasi yang didasarkan pada tujuan ini, tidak akan menelan mentah-mentah “fakta” yang diajukan dalam tuduhan itu. Fokusnya adalah pada konteks tuduhan itu apakah tuduhan itu akan dianggap serius.
  16. Memastikan bahwa hubungan dan suasana kerja tetap baik. Hal ini sangat penting ketika morale kerja merupakan kunci keberhasilan dalam perusahaan atau tim kerja.
  17. Melindungi nama baik perusahaan atau lembaga.
    Tujuan dari investigasi ini tentunya bukan untuk melindungi lembaga yang sebagian besar memang sudah korup. Kalau tujuan ini ditetapkan dalam kondisi semacam ini, maka yang tejadi adalah persekongkolan jahat atau kolusi. Tujuan investigasi diatas sangat tepat apabila kejahatan dilakukan oleh segelintir orang, padahal reputasi perusahaan secara keseluruhan terancam.
  18. Mengikuti seluruh kewajiban hokum dan mematuhi semua ketentuan mengenai due diligence dan klaim kepada pihak ketiga (misalnya klaim asuransi).
    20.Melaksanakan investigasi dalam koridor kode etik. Kita umumnya menyadari akan perlunya ketentuan perundang-undangan dipatuhi, dan konsekuensi terhadap pelanggarannya.
    Namun, lebih sulit mengikuti kewajiban etika. Dalam situasi dimana pelaku kecurangan “pasrah”, ia seringkali mengikuti kehendak sang investigator. Dalam kondisi seperti ini, si investigator lupa akan kode etiknya, sekedar karena pada saat itu si “terduga” tidak mempertanyakan sikap dan tingkah si investigator. Seringkali kepasrahan si “terduga” diikuti dengan arogansi si investigator, menyuburkan praktek-praktek pelanggaran kode etik. Dengan menetapkan tujuan investigasi ini, perusahaan ingin memastikan bahwa investigator senantiasa mengikuti kode etik yang sudah ditetapkan.
  19. Menentukan siapa pelakunya dan mengumpulkan bukti mengenai niatnya.
    Prakarsa ini bermaksud untuk menyeret si pelaku ke pengadilan pidana, misalnya pengadilan tindak pidana korupsi. Karena itu, perlu pengumpulan bukti yang cukup untuk proses penyidikan yang diikuti dengan penuntutan dan selanjutnya proses pengadilan. Dengan demikian, seluruh daya dikerahkan disertai publisitas penuh, yang sangat sejalan dengan kebijakan “tanpa ampun” (zero-tolerance policy).
  20. Mengumpulkan bukti yang cukup untuk menindak pelaku dalam perbuatan yang tidak terpuji.
    Ini serupa dengan tujuan dalam butir 21 diatas, dengan perbedaan bahwa butir ini diproses melalui ketentuan administrative atau perdata.
  21. Mengidentifikasi praktek manajemen yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau perilaku yang melalaikan tanggung jawab.
    Seorang karyawan dibagian pengadaan berkolusi dengan pemasok. Hal ini memungkinkan karyawan memperkaya dirinya sendiri, yang dipakainya untuk pembelian property mewah. Investigasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama diarahkan kepada pelaku. Sedangkan tahap kedua, kepada atasannya. Tahap kedua ingin menjawab pertanyaan: Mengapa atasannya tidak melihat petunjuk awal (anak buah bertambah kekayaan dalam jangka waktu pendek), ataukah sekurang-kurangnya mewawancarai anak buahnya. Tujuan investigasi dalam butir ini adalah untuk tahap kedua tadi.
  22. Mempertahankan kerahasiaan dan memastikan bahwa perusahaan atau lembaga ini tidak terperangkap dalam ancaman tuntutan pencemaran nama baik.
    Gaya kerja” serbu dan tangkap” atau “tangkap dulu, jelaskan kemudian” seringkali rawan terhadap kemungkinan perusahaan dituntut. Karena itu, tujuan investigasi ini harus jelas dan ditegaskan sebelum investigasi dilakukan.

    25.Mengidentifikasi saksi yang melihat atau mengetahui terjadinya kecurangan dan memastikan bahwa mereka memberikan bukti yang mendukung tuduhan atau dakwaan terhadap sipelaku.
    Tujuan ini berkaitan dengan petunjuk bahwa sipelaku mengidentifikasi orang-orang yang secara potensial bisa menjadi saksi, baik dalam proses penyidikan maupun dalam sidang pengadilan. Perlindungan terhadap para saksi ini dapat mendorong mereka memberikan keterangan, petunjuk, atau bukti yang diperlukan.
  23. Memberikan rekomendasi mengenai bagaimana mengelola risiko terjadinya kecurangan ini dengan tepat. Dalam jangka panjang, manajemen risiko yang baiklah yang akan mencegah atau mengurangi terjadinya kecurangan.
    2.3 Aksioma Dalam Investigasi
    Dalam pandangan para filsuf Yunani, aksioma adalah klaim atau pernyataan yang dapat dianggap benar, tanpa perlu pembuktian lebih lanjut. Tradisi ini diteruskan dalam logika yang tradisional, bahkan sampai kepada (apa yang kita sebut) ilmu-ilmu eksakta.
    Aksioma atau postulate adalah pernyataan (proposition) yang tidak dibuktikan atau tidak diperagakan, dan dianggap sudah jels dengan sendirinya (self-evident). Kebenaran dari proposisi ini tidak dipertanyakan lagi (taken for granted). Aksioma merupakan titik tolak untuk menarik kesimpulan tentang suatu kebenaran yang harus dibuktikan (melalui pembentukan teori).
    Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menyebut tiga aksioma dalam melakukan investigasi atau pemeriksaan fraud. Ketiga aksioma ini oleh ACFE diistilahkan fraud axioms (aksioma fraud), yang terdiri atas:
  24. Fraud is Hidden
“Fraud is Hidden” atau “fraud” selalu tersembunyi
    Berbeda dengan kejahatan lain, sifat perbuatan fraud adalah tersembunyi. Metode atau modus operandinya mengandung tipuan, untuk menyembunyikan sedang berlangsungnya fraud. Hal yang terlihat di permukaan bukanlah yang sebenarnya terjadi atau berlangsung.
  25. Reverse Proof

    Reverse Proof secara harafiah berarti pembuktian secara terbalik atau bisa diartikan juga sebagai pembuktian fraud secara timbal-balik.
    Menurut penjelasan ACFE dalam Tuanakotta (2010) mengenai aksioma fraud yang kedua: “The axamination of fraud is approached from two perspectives. To prove that a fraud has occurred, the proof must include attempts to prove it has not occurred. The reverse is also true. In attempting to prove fraud has not occurred, that proof must also attempt to prove that it has.”
    (“Pemeriksaan fraud didekati dari dua arah. Untuk membuktikan fraud memang terjadi, pembuktian harus meliputi upaya untuk membuktikan bahwa fraud tidak terjadi. Dan sebaliknya. Dalam upaya membuktikan fraud tidak terjadi, pembuktian harus meliputi upaya untuk membuktikan fraud memang terjadi.”).
    Penjelasan lebih mudahnya adalah bahwa untuk investigator yang membantu penasihat hukum/ tim pembela. Ia berupaya membuktikan tidak terjadi fraud atau korupsi. Ini adalah arah pertama dari pemeriksaannya untuk membuktikan korupsi atau fraud tidak terjadi.
    Arah keduanya, terbalik. Investigator mengumpulkan bukti dan barang bukti sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, untuk membuktikan telah terjadi fraud.
  26. Existence of Fraud
    Aksioma ini secara sederhana ingin mengatakan bahwa hanya pengadilan yang dapat (berhak) menetapkan bahwa fraud memang terjadi atau tidak terjadi.
    Pemeriksa fraud berupaya membuktikan terjadi atau tidak terjadinya fraud. Namun, hanya pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan hal itu. Di Amerika Serikat wewenang itu ada pada pengadilan (majelis hakim) dan para juri.
    2.4 Predication
    Fraud Examiners Manual (2006) menjelaskan predication sebagai berikut:
    Keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang membawa seseorang yang cukup terlatih dan berpengalaman dengan kehati-hatian yang memadai, kepada kesimpulan bahwa fraud telah, sedang atau akan berlangsung. Predication adalah dasar untuk memulai investigasi. Investigasi atau pemeriksaan fraud jangan dilaksanakan tanpa adanya predication yang tepat.
    Setiap investigasi dimulai dengan keinginan atau harapan bahwa kasus ini berakhir dengan suatu litigasi. Padahal ketika memulai investigasi, pemeriksa belum memiliki bukti yang cukup. Ia baru mempunyai dugaan atas dasar predication yang dijelaskan di atas. Keadaan ini tidak berbeda dengan ilmuwan yang membuat “dugaan” atas dasar pengamatannya terhadap berbagai fakta, kemudian “dugaan” ini diujinya. Seperti hipotesis yang harus diuji oleh seorang ilmuwan, pemeriksa fraud membuat teori tentang bagaimana fraud itu terjadi selanjutnya akan disebut teori fraud. Teori ini tidak lain dari rekaan atau perkiraan yang harus dibuktikan.
    Fraud Examiners Manual (2006) Investigasi dengan pendekatan teori fraud meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
    a. Analisis data yang tersedia
    b. Ciptakan (atau kembangkan) hipotesis berdasarkan analisis di atas
    c. Uji atau test hipotesis tersebut
    d. Perhalus atau ubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian 
sebelumnya
    2.5 Pemeriksaan Dalam Hukum Acara Pidana
    Padahal pemeriksaan fraud dimaksudkan untuk pembuktian di pengadilan. Idealnya, pendekatan auditing dan hukum berjalan seiring. Namun, latar belakang kedua bidang ilmu ini berbeda.
    Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) mengatur tahapan hukum acara pidana sebagai berikut:
  27. Penyelidikan
  28. Penyidikan
  29. Penuntutan
  30. Pemeriksaan di sidang pengadilan
  31. Putusan pengadilan
  32. Upaya hukum
  33. Pelaksanaan putusan pengadilan
  34. Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan
    Tahap 1 (penyelidikan) sampai dengan Tahap 6 (Upaya Hukum) merupakan satu rangkaian pemeriksaan yang merupakan upaya pembuktian. Hal ini dijelaskan dalam setiap tahap dari Tahap 1 sampai dengan Tahap 6.
    2.6 Penyelidikan
    Menurut Tuanakotta (2010) Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana guna menentukan dapat/tidaknya penyelidikan dilakukan. Penyelidikan tidaklah berdiri sendiri atau terpisah dari penyidikan, melainkan merupakan satu rangkaian yang mendahului tindakan penyidikan lainnya, yakni penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
    Penyelidik mempunyai wewenang sebagai berikut:
·Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya dugaan tindak pidana ·Mencari keterangan dan barang bukti
    ·Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:
    ·Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; ·Pemeriksaan dan penyitaan surat;
·Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
    Wewenang penyelidik seperti mencari keterangan dan barang bukti sudah memasuki ruang lingkup pembuktian. Kalau keterangan yang diperoleh dari beberapa orang saling bersesuaian satu sama lain, apalagi kalau ada keterkaitan dengan barang bukti yang ditemukan, maka penyelidik dapat menduga telah terjadi suatu tindak pidana. Selanjutnya penyidikan dapat dilakukan.
    Apabila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan dan dari penyelidikan itu tidak ditemukan sekurang-kurangnya dua bukti, maka penyelidik melaporkan kepada KPK untuk menghentikan penyelidikan.
    Sedangkan apabila Kejaksaan dan Kepolisian yang melakukan penyelidikan, tidak dikenal penghentian penyelidikan. Dalam hal penyelidik (Kejaksaan dan Kepolisian) berpendapat perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyelidikan tidak dilanjutkan, tanpa proses.
    2.7 Penyidikan
    Menurut Tuanakotta (2010) Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi untuk menemukan tersangkanya. Untuk mencari dan mengumpulkan bukti, undang-undang memberi wewenang kepada penyidik untuk:
    ·Menggeledah dan menyita surat dan barang bukti.
    ·Memanggil dan memeriksa saksi, yang keterangannya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan saksi.
    ·Memanggil dan memeriksa tersangka, yang keterangannya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tersangka.
    ·Mendatangkan ahli untuk memperoleh keterangan ahli yang dapat juga diberikan dalam bentuk laporan ahli.
    ·Menahan tersangka, dalam hal tersangka dikuatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi melakukan tindak pidana.
    Apabila dari bukti-bukti yang terkumpul diperoleh persesuaian antara yang satu dengan yang lainnya, dan dari persesuaian itu diyakini bahwa memang telah terjadi tindak pidana dan tersangka itulah yang melakukannya, maka penyidik menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum. Hasil penyidikan ini tertuang dalam berkas perkara yang didalamnya terdapat bukti-bukti.
    Dalam hal Penyidik (Kepolisian atau Kejaksaan) berpendapat bahwa dari bukti-bukti yang dikumpulkan secara maksimal ternyata tidak cukup bukti atau terbukti tapi bukan merupakan tindak pidana (korupsi) maka mereka berwenang menghentikan penyidikan. KPK tidak dibenarkan menghentikan penyidikannya, karena kewenangannya ada pada penghentian penyelidikan.
    2.8 Prapenentuan
    Menurut Tuanakotta (2010) Prapenuntutan adalah tindakan jaksa (Penuntut Umum) untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
    Penuntut Umum tidak akan menerima berkas perkara hasil penyelidikan yang buktinya tidak lengkap. Karena bukti ini akan dijadikan alat bukti di sidang pengadilan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan. Di tahap prapenuntutan, pembuktian merupakan focus utama dalam meneliti berkas perkara hasil penyidikan.
    2.9 Penuntutan
    Menurut Tuanakotta (2010) Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum yang melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang, sesuai dengan cara yang diatur dalam hukum acara pidana, dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan. Setelah Penuntut Umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah/ belum memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan.
    2.10 Pemeriksaan di Pengadilan
    Menurut Tuanakotta (2010) Seperti pada tahap-tahap sebelumnya, acara pemeriksaan di sidang pengadilan utidak lain berkenaan dengan pembuktian. Bukti-bukti yang diperoleh di tingkat penyidikan diperiksa kembali di sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti:
    ·Saksi-saksi yang telah diperiksa oleh penyidik dipanggil kembali ke sidang pengadilan untuk memperoleh alat bukti keterangan saksi.
    ·Tersangka yang sudah diperiksa di tahap penyidikan, diperiksa kembali disidang pengadilan, untuk mendapat alat bukti keterangan terdakwa.
    ·Ahli yang telah memberikan keterangan di penyidikan atau yang telah membuat laporan ahli, dipanggil kembali untuk didengar pendapatnya atau dibacakan laporannya di sidang pengadilan, agar diperoleh alat bukti keterangan ahli.
    ·Surat dan barang bukti yang telah disita oleh penyidik diajukan ke sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti surat dan petunjuk.
    Itulah cara memperoleh alat bukti di sidang pengadilan. Hanya alat bukti yang sah yang diperoleh di sidang pengadilan, yang dapat meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Alat bukti yang sah ini terdiri atas:
    ·Keterangan saksi
    ·Keterangan ahli
    ·Surat
    ·Keterangan terdakwa
    ·Petunjuk
    Pemeriksaan di sidang pengadilan mempunyai satu tujuan saja, yaitu mencari alat bukti yang membentuk keyakinan hakim tentang bersalah atau tidaknya terdakwa.
    2.11 Putusan Pengadilan
    Menurut Tuanakotta (2010) Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah. Kesalahan terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim, namun keyakinan itu harus didasarkan atas sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang harus ada persesuaian satu dengan yang lain.
    Berdasarkan alat bukti yang diperoleh di sidang pengadilan, hakim menjatuhkan putusan:
    ·Putusan pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
    -Putusan bebas, apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
    ·Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana atau terbukti akan tetapi terdakwa tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya.
    2.12 Upaya Hukum
    Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi, atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali, atau hak Jaksa Agung untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dalam hal seta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
    Upaya hukum ada dua macam, yaitu Upaya Hukum Biasa dan Upaya Hukum Luar Biasa. Upaya Hukum Biasa terdiri atas Pemeriksaan Tingkat Banding dan Pemeriksaan Kasasi. Upaya Hukum Luar Biasa Terdiri atas Pemeriksaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
    2.13 Bukti Dan Pembuktian – Auditing dan Hukum
    Dari penjelasan di bagian terdahulu, jelas bahwa keenam tahapan dalam KUHAP (mulai tahap Penyelidikan sampai Tahap Upaya Hukum baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa) berkenaan dengan pembuktian.
    Juga penjelasan Mengenai Fraud Theory tidak lain dari proses mengumpulkan bukti yang dapat diterima di pengadilan.
    Para auditor yang berlatar belakang pendidikan akuntansi mengenal istilah bukti audit. Mereka bahkan mengira bahwa pengertian bukti dalam auditing sama dengan pengertian yang digunakan di pengadilan atau dalam bidang hukum.
    Tabel 1
    Significant Characteristics

Law

Auditing

Special purpose of area to which evidence is pertinent Maintenance of justice

Protection of statement readers
Subject matter to which evidence is pertinent

Occurrences at given times and places

Financial Statement propositions

Method of collection or development Presentation by opposing parties
Rational deduction and inference

Submission by interested and disinterested parties Collected and developed by independent party Rationalization
Role of judgement-maker in collection or development
Passive

Both positive and passive

Nature of rules governing the study of evidence

Logical presumptions Rules of admissibility and relevance

Professional standards

Importance of time in judgement formation and evidence collection A controlling factor

A controlling factor

Compulsiveness of evidence in judgement formation

Persuasive

Varies from absolute to persuasive
Dalam bidang mereka sendiri para akuntan dan auditor di Indonesia sering terkecoh dengan “bukti” dan sesuatu yang mengandung unsur-unsur pembuktian (evidential matter).
2.14 Investigatif dengan Teknik Audit
Menurut Tuanakotta (2010) Kata “investigasi” dalam akuntansi forensic umumnya berarti audit investigasi atau investgatif (investigative audit). Karena itu secara alamiah, diantara beberapa tehnik investigasi ada tehnik-tehnik yang berasal dari tehnik-tehnik audit (audit techniques).
Banyak auditor yang sudah berpengalamanpun, merasa ragu untuk terjun dalam bidang investigasi. Padahal, tehnik-tehnik audit yang mereka kuasai, memadai untuk dipergunakan dalam audit investigasi.
Tehnik audit adalah cara-cara yang dipakai dalam mengaudit kewajaran penyajian laporan keuangan. Hasil dari penerapan tehnik audit adalah bukti audit. Ada tujuh tehnik, yang dirinci dalam bentuk kata kerja bahasa Indonesia, dengan jenis bukti auditnya dalam kurung (kata benda bahasa Inggris), yakni:

  1. Memeriksa fisik (physical examination)
  2. Meminta konfirmasi (confirmation)
  3. Memeriksa dokumen (documentation)
  4. Reviu analitikal (analytic review atau analytical review)
  5. Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditan (inquiries of the auditee)
  6. Menghitung Kembali (reperformance)
  7. Mengamati (observation)
    Kalau tehnik-tehnik audit itu diterapkan dalam audit umum, maka bukti audit yang berhasil dihimpun akan mendukung pendapat auditor independent. Dalam audit investigative, tehnik-tehnik audit tersebut bersifat eksplorative, mencari “wilayah garapan”, atau probing (misalnya dalam reviu analitikal) maupun pedalaman (misalnya dalam confirmation dan documentation).
    Tehnik-tehnik audit relative sederhana untuk diterapkan dalam audit investigative. Sederhana, namun ampuh. Tema kesederhanaan dalam pemilihan tehnik audit (termasuk audit investigative).
    2.15 Teknik-Teknik Audit
    Menurut Tuanakotta (2010) Ada tehnik audit yang lebih dekat kepada praktek investigasi perpajakan dan organized crime (seperti Net Worth Method dan Expenditure Method); Ada juga tehnik audit seperti Follow the Money, yang mempunyai unsure pencucian uang dalam tindak pidananya yang berkaitan erat dengan naluri penjahat dan sangat dipengaruhi oleh teknologi informasi dalam pengungkapannya.
    Meskipun semua(tujuh) tehnik audit yang disebutkan pembahasan akan berfokus pada reviu analitikal.
    2.16 Memeriksa Fisik dan Mengamati
    Menurut Tuanakotta (2010) Memeriksa fisik atau physical examination lazimnya diartikan sebagai penghitungan uang tunai (baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap, dan barang berwujud (tangible assets) lainnya.
    Mengamati sering diartikan sebagai pemanfaatan indera kita untuk mengetahui sesuatu. Kalau kita melakukan kunjungan pabrik, kita melihat luasnya pabrik, peralatan yang ada, kegiatan yang dilakukan, banyaknya dan beragamnya tenaga kerja. Kita juga mendengar sesuatu, mungkin sesuatu yang wangi (seperti di pabrik parfum, aromatic, obat, dan lain-lain) atau bahkan bau yang menyengat (misalnya ditempat penyamakan kulit atau tempat pengolahan sampah). Kita bisa mencicipi, misalnya di pabrik yang menghasilkan makanan. Kita merasa suhu panas atau dingin ditempat kerja. Singkatnya, mengamati adalah menggunakan indera, bisa salah satu atau beberapa indera sekaligus.
    Dalam kedua tehnik ini investigator menggunakan inderanya, untuk mengetahui atau memahami sesuatu. Dari beberapa contoh di bawah, kita melihat berbagai tingkat pemahaman yang bisa diperoleh dari pengamatan dan pemeriksaan fisik:
    ·Dari kunjungan ke lokasi yang terkena dampak semburan Lumpur panas di Porong, Sidoarjo tahun 2006, investigator menyaksikan sendiri apa yang terjadi dan luasnya musibah. Ini salah satu pemahaman. Investigator mempunyai “bayangan”. Pemahaman ini penting ketika nantinya ia membaca laporan para ahli secara rinci tentang luasnya kerusakan dan besarnya kerugian.
    ·Dari kunjungan ke wilayah yang terkena gempa, para relawan dan petugas dari dinas Sosial dapat menentukan jumlah kilometer jalan, rumah, sekolah, rumah ibadah, kantor, pabrik, dan lain-lain yang rusak. Pemahaman ini lebih dalam dari “bayangan” mengenai intensitas kerugian akibat semburan Lumpur panas tadi. Disini ada data kuantitatif.
    2.17 Meminta Informasi dan Konfirmasi
    Menurut Tuanakotta (2010) Meminta informasi baik lisan maupun tertulis kepada auditan, merupakan prosedur yang biasa dilakukan auditor. Pertanyaannya, apakah dalam investigasi hal itu perlu dilakukan? Apakah sebaiknya kita tidak meminta informasi, supaya yang diperiksa tidak mengetahui apa yang kita cari? Yang bersangkutan juga mempunyai kepentingan dan peluang untuk berbohong.
    Seperti dalam audit juga dalam investigatif, permintaan informasi harus dibarengi, diperkuat, atau dikolaborasi dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat (substantiated) dengan cara lain. Permintaan informasi sangat penting, dan juga merupakan prosedur yang normal dalam suatu investigatif.
    Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diinvestigasi) untuk menegaskan kebenaran atau tidak keebenaran suatu informasi. Dalam audit, tehnik ini umumnya diterapkan untuk mendapat kepastian mengenai saldo utang- piutang. Tapi sebenarnya ia dapat diterapkan untuk berbagai informasi, keuangan maupun non keuangan.
    2.18 Memeriksa Dokumen
    Menurut Tuanakotta (2010) Tehnik ini tidak memerlukan pembahasan khusus. Tak ada investigasi tanps pemeriksaan dokumen. Hanya saja, dengan kemajuan teknologi, definisi dokumen menjadi luas, termasuk informasi yang diolah, disimpan dan dipindahkan secara elektronis/digital.
    2.19 Review Analitikal
    Menurut Tuanakotta (2010) Dalam review analitikal yang penting bukannya perangkat lunaknya, tetapi semangatnya, Pada dasarnya seorang invvestigator secara intuitif terobsesi dengan “sesuatu yang melenceng” dan bahwa “something must be wrong because it appears so”. Karena itu ia memerlukan patokan atau benchmark untuk membandingkannya dengan apa yang dihadapinya. Patokan inilah yang dirumuskan Stringer dan Stewart (….) sebagai results that may reasonably be expected.
    Misalnya kita sedang menginvestigasi suatu bank yang berkewajiban memungut pajak penghasilan atas bunga yang diperoleh nasabahnya. Apakah bank menyetorkan pajak penghasilan ini sesuai ketentuan, baik dalam jumlah maupun waktu penyetoran? Apakah investigasi ini harus dimulai di cabang-cabang atau kantor-kantor perwakilan? Menurut reviu analitikal,tidak.
    Kita mulai dengan mencocokkan angka-angka agregat. Pertama, kita tentukan jumlah pajak penghasilan yang sudah disetorkan untuk bank secara keseluruhan (Kantor Pusat dan Cabang-cabang), menurut pembukuan bank itu. Selanjutnya, ini adalah hasil perkalian antar tarif pajak (misal 10 %) dengan jumlah bunga yang dibayarkan bank itu kepada kepada para nasabahnya. Perbedaan antara data A dengan data B bisa merupakan perbedaan waktu (timming difference) saja. Yakni, perbedaan antara saat memotong dan saat menyetor pajak penghasilan. Timming difference ini juga mudah dialokasi.
    Tetapi mungkin juga ada perbedaan yang bersifat tetap (permanent difference) misalnya dalam hal deposan dalam negeri yang mendapat pembebasan pajak penghasilan dan deposan di cabang-cabang luar negeri dimana bank tidak berkewajiban memungut pajak penghasilannya. Perbedaan ini mudah diketahui karena umumnya jumlah deposan dalam negeri yang dibebaskan, tidak banyak. Sedangkan untuk deposan di cabang-cabang diluar negeri, kita mengabaikan seluruh data bunga luar negeri (bagian dari data B semula).
    Dengan contoh ini, mari kita saji definisi reviu analitikal diatas: a form of deductive reasoning in which the propriety of the individual details is inferred from evidence of the reasonableness of the aggregate results. Kiita haeus memulai dari belakang. Pertama, evidence of the reasonbleness of the aggregate of the results; ini diperoleh dari data B yang diadjust untuk deposan dalam negeri yang dikecualikan pemungutan pajak penghasilannya dan bunga di cabang-cabang luar negeri.
    Kedua, a form of deductive reasoning. Di sinin kita membuat deduksi dari data agregat, data global, data menyeluruh, yang dalam hal ini adalah data A dan data B. Deduksi ini berkenaan dengan the proprierty of the individual details. Individual details disini adalah pemungutan dan penyetoran pajak penghasilan oleh bank secara transaksi demi transaksi, cabang demi cabang, atau mungkin per pejabat bank sesuai dengan kewenangannya. Kita “think ananlytical first”, dan tidak langsung terjun dan menyibukkan diri dengan detailed substantive test.
    Ada bermacam-macam variasi dari tehnik reviu analitical, namun semuanya didasarkan atas perbandingan antara apa yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi, dan berusaha menjawab sebabnya tterjadi kesenjangan. Apakah ada kesalahan (error), fraud, atau salah merumuskan patokannya.
    2.20 Membandingkan Anggaran dengan Realisasi
    Menurut Tuanakotta (2010) Membandingkan data anggaran dan realisasi dapat mengindikasikan adanya fraud. Yang perlu dipahami di sini adalah mekanisme pelaksanaan anggaran, evaluasi atas pelaksanaan anggaran, dan insentif (keuangan maupun non keuangan) yang terkandung dalam sistem anggarannya.
    Dalam entitas yang merupakan profit center atau revenue center, pejabat tertentu menerima insentif (bonus) sesuai dengan “keberhasilan” yang diukur dengan pelampauan anggaran. Investigator perlu mengantisipasi kecenderungan realisasi penjualannya dibuat tinggi (overstated). Penjualan kredit dan pengiriman barang secara besar-besaran pada akhir tahun merupakan indikasi mengenai hal itu. Pengembalian barang sesudah akhir tahun memperkuat indikasi adanya fraud.
    2.21 Hubungan antara Satu Data Keuangan dengan Data Keuangan Lain
    Menurut Tuanakotta (2010) Beberapa akun, baik dalam suatu maupun beberapa laporan keuangan, bisa mempunyai keterkaitan yang dapat dimanfaatkan untuk reviu analitikal. Contoh: angka penjualan dengan piutang dan persediaan rata-rata, angka penjualan dengan bonus bagian penjualan, penghasilan bunga dengan saldo rata-rata tabungan dan seterusnya.
    2.22 Menggunakan Data Non Keuangan
    Menurut Tuanakotta (2010) Inti dari reviu analitikal adalah mengenal pola hubungan, relationship pattern. Pola hubungan ini tidak mesti hanya antara satu data keuangan dengan data keuangan lain. Pola hubungan non keuanganpun bisa bermacam-macam bentuknya.
    Dalam bisnis perkebunan ada hubungan antara jumlah pupuk yang dipergunakan dengan hasil produksi atau panen; angka masukan maupun keluaran dinyatakan dalam satuan non keuangan, seperti jumlah ton untuk pupuk dan sawit.
    Di pabrik gula ada ukuran antara jumlah ton tebu yang masuk ke pabrik dan jumlah ton gula yang dihasilkan. Pola hubungan antara masukan dan keluaran ini dinyatakan dalam suatu ratio yang dalam industri gula dikenal sebagai rendemen. Perhitungan serupa kita lihat di industri kayu lapis atau blackboard, dengan nama recovery.
    Bermacam ratio kita gunakan untuk berbagai industri. Bahkan industri- industri atau perusahaan pemeringkat mengembangkan dan menyebarkan industry ratios.
    Perusahaan penerbangan Garuda mendapatkan hasil yang sangat signifikan dari perjalanan haji. Data yang penting, jumlah calon haji yang diterbangkan, dapat diperoleh dari sumber intern maupun ekstern Garuda.
    Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di konsulat-konsulat kita diluar negeri, mempunyai hubungan linier dengan banyaknya visa yang diterbitkan.
    Review analitikal sering dilakukan dengan hitungan cepat untuk menunjukkan keganjilan. Seorang bankir mencatat informasi yang diterimanya dari calon nasabah kreditnya. Dengan cepat ia menetukan bahwa pabrik pulp berkapasitas besar dilokasi yang terisolasi, tidak akan bisa beroperasi karena bahan bakunya tidak akan cukup. Semua data untuk membuat kesimpulan itu ia peroleh selama makan siang dengan calon debiturnya.
    2.23 Regresi atau Analisis Trend
    Menurut Tuanakotta (2010) Dengan data historikal yang memadai(makin banyak makin baik, ceteris paribus), reviu analitikal dapat mengungkapkan trend. Berbagai perangkat lunak mempermudah hitungan dan grafiknya, misalnya STAR.
    2.24 Menggunakan Indikator Ekonomi Makro
    Menurut Tuanakotta (2010) Ada hubungan antara besarnya pajak penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi, tingkat pengangguran, cadangan devisa, indikator ekonomi negara-negara yang menjadi partner perdagangan Indonesia, hargaminyak mentah dan komoditi lain, dan lain-lain. Ini merupakan bidang studi yang ditekuni para ahli ekonomi makro dan ekonometri.
    2.25 Menghitung Kembali
    Menurut Tuanakotta (2010) Menghitung kembali atau repeform tidak lain dari mencek kebenaran perhitungan (kali, bagi, tambah, kurang, dan lain-lain). Ini prosedur yang sangat lazim dalam audit. Biasanya tugas ini diberikan kepada seseorang yang baru mulai bekerja sebagai auditor; seorang junior auditor di kantor akuntan.
    Dalam investigatif, perhitungan yang dihadapi umumnya sangat kompleks, didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang rumit, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegoisasi berkali-kali dengan pejabat(atau kabinet) yang berbeda. Perhitungan ini dilakukan atau disupervisi oleh investigator yang berpengalaman.
    Beberapa contoh penghitungan kembali semacam itu yang berpotensi triliunan rupiah:
    ·Kasus penyelesaian kewajiban pemegang saham menurut Keputusan Menteri Keuangan nomor 151/KMK.01/2006 tanggal 16 Maret 2006 mensyaratkan penetapan jumlah kewajiban berdasarkan data terakhir.
    ·Perhitungan cost recovery oleh kontraktor bagi hasil (Production Sharing Contractor). Cost recovery ini sangat besar jumlahnya. Kalau tidak dihitung kembali oleh counterpart PSC atau lembaga pemeriksa independen, cost recovery rawan penyalahgunaan.
    ·Biaya yang dikeluarkan BUMN yang mempunyai kewajiban memberikan pelayanan umum (public Service Obligation). Keterlambatan pembayaran PSO memunyai dampak yang besar terhadap likuiditas BUMN yang bersangkutan.
    2.26 Investigatif dengan Teknik Perpajakan
    Menurut Tuanakotta (2010) Investigatif dengan tehnik perpajakan menggunakan dua tehnik yang secara luas dipraktekkan oleh IRS (Internal Revenue Services) di Amerika Serikat. Kedua tehnik investigasi ini digunakan untuk menentukan panghasilan kena pajak (PKP) yang belum dilaporkan oleh wajib pajak dalam SPT-nya. Penerapan tehnik-tehnik ini terus berkembang, sehingga menjadi umum digunakan dalam memerangi organized crime.
    Kedua tehnik investigatif ini adalah Net Worth Method dan Expenditure Method. Keduanya menggunakan logika pembukuan atau akuntansi yang sederhana. IRS menggunakannya sebagai bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Tehnik ini menggeser beban pembuktian dari negara/fiskus kepada wajib pajak. Perlindungan hak wajib pajak diperlukan karena pergeseran beban pembuktian tersebut diatas.
    2.27 New Worth Method
    Menurut Tuanakotta (2010) Net worth method diterapkan oleh kantor pajak Amerika Serikat (IRS). Pemakaiannya bisa ditelusuri kembali ke tahun 1931 ketika IRS berhasil menjaring Al(fonso) Capone. Sejak Congress mengundangkan RICO Act pada tahun 1970, penggunaannya diperluas untuk menemukan indikasi illegal income dari organized crime (kejahatan yang diorganisasi seperti Mafia,Triad, dan lain-lain).
    Net worth method untuk investigasi pajak ingin membuktikan adanya PKP yang belum dilaporkan oleh wajib pajak. Untuk organized crime yang ingin dibuktikan adalah terdapatnya penghasilan yang tidak sah, melawan hukum, atau illegal income.
    2.28 Net Worth Method untuk Perpajakan
    Menurut Tuanakotta (2010) Di Amerika Serikat di mana Net Worth Method diterima sebagai cara pembuktian tidak langsung, dasar penggunaannya adalah kewajiban wajib pajak untuk melaporkan semua penghasilannya (sebagaimana didefinisikan oleh undang-undangnya) dalam tax returns mereka. Ketentuan serupa juga berlaku di Indonesia di mana wajib pajak diwajibkan penghasilannya secara lengkap dan benar dalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan, dalam hal ini SPT PPh).
    Pemeriksa pajak menetapkan net worth atau kekayaan bersih pada awal tahun. Ini diperoleh dari pengurangan seluruh assets seseorang dengan seluruh liabilities- nya. Jadi di awal tahun tertentu,sebutlah Tahun-1, net worth = assets-lialibilities. Hal yang sama dilakukan untuk menentukan net worth Tahun-2.
    Selanjutnya, net worth Tahun-1 dibandingkan dengan net worth tahun-2. perbandingan ini akan menghasilkan kenaikan net worth (net worth increase) yang seharusnya sama dengan PKP untuk tahun-2. Karena itu kenaikan net worth ini dibandingkan dengan penghasilan yang dilaporkan dalam SPT PPh tahun-2.
    2.29 Net Worth Method untuk Organized Crime
    Menurut Tuanakotta (2010) Dengan rumus yang hampir sama, kita dapat menentukan illegal income. Seperti disebutkan tadi, di Amerika Serikat metode ini digunakan dalam memerangi organized crime. Di Indonesia pendekatan ini dapat digunakan untuk memerangi korupsi. Ketentuan perundang-undangannya sudah ada, yakni laporan mengenai kekayaan pejabat.
    Legal income adalah semua penghasilan yang dilaporkan yang bersangkutan. Inilah yang dibandingkan dengan net worth increase (sesudah di- adjust dengan personal expenses) untuk menentukan illegal income.
    2.30 Expenditure Method
    Menurut Tuanakotta (2010) Sebagaimana halnya dengan Net Worth yang dijelaskan, penerapan Expenditure Method juga dipelopori IRS. Expenditure Method yang merupakan derivasi atau turunan dari net worth method digunakan IRS sejak tahun 1940an. Ketika RICO Act diundangkan dalam tahun 1970, Expenditure Method dimanfaatkan sebagai petunjuk organized crime. Expenditure Method juga merupakan cara pembuktian tidak langsung.
    Seperti Net Worth Method, Expenditure Method juga dimaksudkan untuk menentukan unreported taxable income. Expenditure Method lebih cocok untuk para wajib pajak yang tidak mengumpulkan harta benda, tetapi mempunyai pengeluaran-pengeluaran besar (mewah).
    Expenditure Method lebih populer dari Net Worth Method, karena Expenditure Method lebih mudah dibuat atau dihitung, dan juga lebih mudah dimengerti oleh orang awam. Mahkamah Agung di Amerika Serikat tidak menetapkan Expenditure Method secara khusus sebagai alat pembuktian, karena Expenditure Method dianggap derivasi atau turunan dari Net Worth Method. Seorang akuntan harusnya mampu menghitung unreported taxable income berdasarkan Net Worth Method akan mengonversikannya ke Expenditure Method.
    Expenditure Method harusnya digunakan untuk kasus-kasus perpajakan apabila kondisi-kondisi berikut sangat kuat atau dominan:
  8. Wajib pajak tidak menyelenggarakan pembukuan atau catatan.
  9. Pembukuan dan catatan wajib pajak tidak tersedia, misalnya karena 
terbakar.
  10. Wajib pajak menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak memadai.
  11. Wajib pajak menyembunyikan pembukuan.
  12. Wajib pajak tidak memunyai assets yang terlihat atau dapat diidentifikasi.
    Expenditure Method harusnya digunakan untuk kasus-kasus organized crime apabila kondisi-kondisi berikut sangat kuat atau dominan:
  13. Tersangka kelihatannya tidak membeli asset seperti rumah, tanah, saham, perhiasan, mobil atau kapal mewah, dan seterusnya.
  14. Tersangka mempunyai gaya hidup mewah dan agaknya diluar kemampuannya.
  15. Tersangka diduga mengepalai jaringan kejahatan, atau semua saksi yang memberatkan dia adalah para penjahat yang sudah dijatuhi hukuman.
  16. Illegal income harus ditentukan untuk menghitung denda (misalnya dalam kejahatan penebangan hutan ilegal), menghitung kerugian negara (dalam kasus korupsi), dan pungutan negara lainnya.
    Expenditure Method adalah derivasi dari Net Worth Method. Namun, perlakuan terhadap asset dan liabilities-nya berbeda. Misalnya, dalam Net Worth Method penyidik akan mencantumkan saldo akhir kas dan bank. Dalam Expenditure Method, hanya perubahannya yang diambil (kenaikan atau penurunan kas dan bank). Hal yang sama juga berlaku untuk persediaan barang, piutang, utang, dan pinjaman bank. Depresiasi, amortisasi, deplesi, deffered gains, dan semacamnya juga diabaikan dalam Expenditure Method ini sebenarnya merupakan hal yang elementer untuk seorang akuntan.
    2.31 Follow The Money
    Menurut Tuanakotta (2010) Pertama kita akan melihat naluri penjahat. Tanpa disadarinya, nalurinya ini akan meninggalkan jejak-jejak berupa gambaran mengenai arus uang. Jejak-jejak uang atau money trails inilah yang dipetakan oleh penyidik.
    Ketentuan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang menginagtkan kita bahwa bukan kejahatan utamanya saja (seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan barang dan manusia, pencurian, prostitusi, terorisme, dan lain-lain) yang merupakan tindak pidana, tetapi juga pencucian uangnya adalah tindak pidana.
    Uang sangat cair/likuid, mudah mengalir. Itulah sebabnya Follow The Money mempunyai banyak peluang untuk digunakan dalam investigatif. Namun, mata uang kejahatan atau currency of crime bukanlah uang semata-mata. Mengetahui currency of crimeakan membuka peluang baru untuk menerapkan tehnik Follow The Money.
    2.32 Naluri Penjahat
    Menurut Tuanakotta (2010) Dalam setiap kejahatan pada umumnya, dan fraud khususnya, ada suatu gejala yang sangat lumrah, yakni pelaku berupaya memberi kesan bahwa ia tidak terlibat fraud. Untuk itu, pelaku “harus jauh” dari fraud itu sendiri dan “harus jauh” dari uang yang merupakan hasil kejahatan. Itulah sebabnya, salah satu aksioma dalam fraud ialah fraud is hidden atau fraud itu tersembunyi.
    Di lain pihak, motive dari perbuatan fraud itu sendiri pada umumnya, adalah mendapatkan uang. Kalaupun bukanitu motive-nya ada aliran uang ke diri pelaku(atau keluarganya).pada akhirnya ada arus uang atau dana dari “tempat persembunyian” atau “tempat penitipan” yang mengalir ke alamat sipelaku utama.
    Jejak-jejak kejahatan, dalam hal ini, berupa arus uang. Karena itu, dalam mencari pelaku, investigator menelusuri jejak-jejak uang ini. Tehnik investigatif yang menelusuri arus dana dan mencari muaranya, disebut Follow The Money.
    2.33 Kriminalisasi dari Pencucian Uang
    Menurut Tuanakotta (2010) Pola perilaku pelaku kejahatan dengan “menjauhkan” uang dari pelaku dan perbuatannya dilakukan melalui cara placement, layering, dan integration. Tindak perbuatan ini denga tegas diperlakukan serbagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 2003.
    Dengan diperlakukannya pencucian uang sebagai tindak pidana (kriminalisasi dari pencucian uang), maka banyak kasus kejahatan (termasuk tindak pidana korupsi) dapat diproses (pengadilan) melalui kejahatan utamanya dan melalui pencucian uangnya.
    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan lembaga yang penting untuk mengungkapkan pelaku-pelaku dengan menelusuri laporan-laporan dari berbagai sumber, tanpa harus membuktikan kejahatan utamanya.
    2.34 Follow The Money dan Data Mining
    Menurut Tuanakotta (2010) Teknik investigasi ini sebenarnya sangat sederhana. Kesulitannya adalah datanya sangat banyak dalam hitungan terabytes. Kita tidak bisa mulai dengan pelakunya, yang kita ingin kita lihat justru adanya pola-pola arus dana yang menuju ke suatu tempat (yang memberi indikasi tentang pelaku atau otak kejahatan).
    Di samping kerumitan karena data yang begitu besar, juga diperlukan kecermatan dan persistensi dalam mengumpulkan bahan-bahannya. Kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi, memfasilitasi proses ini.
    2.35 Mata Uang Kejahatan
    Menurut Tuanakotta (2010) Ciri dari penggunaan currency of crime yang bukan berupa uang adalah izin-izin atau lisensi untuk akses ke sumber-sumber daya alam yang umumnya dialokasikan kepada keluarga dan kerabat sang diktator.
    Dalam hal itu currency of crime-nya bisa berupa intan berlian, minyak bumi, pasir laut, kayu bundar (logs), ganja, dan lain sebagainya. Di sini ada dua arus yang bisa diikuti investigator, yakni arus dana dan arus fisik barang. Arus fisik barang sering memberikan indikasi kuat, karena adanya anomali. Contoh: data statistik resmi mengenai impor-ekspor yang menunjukkan kesenjangan yang besar, antara data negara pengimpor dan negara pengekspor.
    2.36 Investigasi Tindak Pidana Korupsi
    Menurut Tuanakotta (2010) Tindak Pidana Korupsi (TPK) dilihat dari ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia. Yang akan dipakai sebagai acuan dalam pembahasan ini adalah Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan TPK. Untuk TPK yang dilakukan sebelum berlakunya undang-undang ini, yakni tanggal 21 november 2001, berlaku Undang-Undang nomor 3 tahun 1971.
    Analisis pasal-pasal TPK akan menganalisis semua pasal yang mengandung TPK ke dalam unsur-unsurnya, bagian inti atau bestanddeel. Pendekatan ini dipakai oleh penyelidik, penyidik, dan jaksa penuntut umum.
    Keberhasilan atau kegagalan suatu investigatif TPK, di luar masalah penyuapan kepada penegak hukum, ditentukan oleh kemampuan membuktikan bagian-bagian inti dan meyakinkan majelis hakim dalam persidangan pengadilan.
    2.37 Investigasi Pengadaan
    Menurut Tuanakotta (2010) Pengadaan merupakan salah satu sumber korupsi terbesar dalam sektor keuangan publik. Tiap-tiap tahun BPK maupun BPKP, melaporkan kasus pengadaan yang mengansung unsur tindak pidana korupsi. Tidak banyak yang masuk ke persidangan pengadilan. Beberapa kasus pengadaan yang berhasil diselesaikan di pengadilan, membuyarkan legenda bahwa mark-up “hanya” 30%.
    Cara-cara investigasi yang dijelaskan di bawah, diterapkan dalam pengadaan yang menggunakan sistem tender atau penawaran secara terbuka. Dalam sistem ini, lazimnya ada tiga tahapan besar sebagai berikut:
  17. Tahap pra tender
  18. Tahap penawaran dan negoisasi
  19. Tahap pelaksanaan dan penyelesaian administrati
    Auditor harus menguasai seluk-beluk dan potensi fraud dalam setiap tahap. Yang dapat membantunya adalah gejala-gejala yang sering muncul ke permukaan pada setiap tahap tersebut diatas.
    2.38 Standar
    Menurut Tuanakotta (2010) Secara sederhana, standar adalah ukuran mutu. Karena itu dalam pekerjaan audit, para auditor ingin menegaskan standar mereka. Dengan standar ini pihak yang diaudit (auditee), pihak yang memakai laporan audit, dan pihak-pihak lain dapat mengukur mutu kerja si auditor. Hal yang sama juga ingin dicapai para investigator dan forensic accountant.
    Standar tersebut adalah:
  20. Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui
  21. kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian sehingga bukti-bukti 
tadi dapat diterima dipengadilan.
  22. Pastikan bahwa seluruh dokumentasi, dalam keadaan aman, terlindungi 
dan diindeks; dan jejak audit tersedia.
  23. Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak azasi pegawai dan 
senatiasa menghormatinya.
  24. Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan 
kecurangan, dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut, 
baik dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.
  25. Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang 
sangat kritis ditinjau dari segi waktu.
  26. Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
    Standar –1
    Seluruh investigasi harus dilandasi praktek-praktek terbaik yang diakui (accepted best practices). Istilah best practices sering dipakai dalam penetapan standar. Dalam istilah ini tersirat dua hal. Pertama,adanya upaya membandingkan antara praktek-praktek yang ada dengan merujuk kepada yang terbaikpada saat itu. Upaya ini disebut benchmarking. Kedua,upaya benchmarking dilakukan terus menerus untuk mencari solusi terbaik.
    Standar-2
    Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima dipengadilan. Bandingkan standar ini dengan nasehat kedua dari daviadi atas.
    Standar-3
    Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi, dan diindeks; dan jejak audit tersedia. Dokumentasi ini diperlukan sebagai referensi apabila ada penyelidikan di kemudian hari untuk memastikan bahwa investigasi sudah dilakukan dengan benar. Referensi ini juga membantu perusahaan dalam upaya perbaikan cara-cara investigasi sehingga accepted best practices yang dijelaskan dapat dilaksanakan.
    Standar-4
    Pastikan bahwa investigator mengerti hak-hak azasi pegawai dan senantiasa menghormatinya. Kalau investigatif dilakukan dengan cara yang melanggar hak azasi pegawai, yang bersangkutan dapat menuntut perusahaan dan investigatornya. Bukti-bukti yang sudah dikumpulkan dengan waktu dan biaya yang banyak, menjadi sia-sia.
    Standar-5
    Ingatlah bahwa beban pembuktian ada pada perusahaan yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan, danpada penuntut umumyang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukumadminstratif dan pidana. Dalam kasus pidana di Amerika Serikat, beban pembuktian ini harus beyond reasonable doubt atau “melampaui keraguan yang layak”.
    Standar-6
    Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.
    Dalam melaksanakan investigatif, kita menghadapi keterbatasan waktu. Dalam menghormati azas praduga tidak bersalah, hak dan kebebasan seseorang harus dihormati.
    Standar-7
    Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigatif, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti, dan barang bukti, wawancara, kontak denganpihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlobatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
  27. STUDI KASUS
    3.1 Kasus Simulator SIM
    Menurut Vivi (2013) Berikut kronologi kasus Simulator SIM yang dipaparkan oleh Bareskrim Polri, Komisaris Jendral (Pol) Sutarman dalam siaran persnya Jumat (3/8).
  28. Kasus simulator SIM berawal dari pemberitaan di Majalah Tempo tanggal 29 April 2012 yang berjudul “SIMSALABIM SIMULATOR SIM”.
  29. Kabareskrim kemudian memerintahkan penyelidikan terhadap informasi yang dimuat dalam berita Majalah Tempo tanggal 29 April 2012 hal 35 sampai dengan hal 38 tentang “SIMSALABIM SIMULATOR SIM,..”.
  30. Dalam penyelidikan Polri sesuai Sprinlid/55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012 telah melakukan interogasi dan pengambilan keterangan terhadap 33 orang yang dinilai mengetahui tentang pengadaan simulator peraga SIM kendaraan roda 2 maupun roda 4 tersebut.
  31. Dalam interogasi dengan Sukoco S. Bambang Penyelidik memperoleh informasi, ada sejumlah data dan informasi yang telah diberikan ke KPK.
  32. Bareskrim menyurat kepada KPK dengan Nomor Surat : B/3115/VII/2012/Tipidkor tanggal 17 Juli 2012 perihal Dukungan Penyelidikan, yang isinya untuk meminta data dan informasi yang dimiliki KPK tentang hasil pengumpulan bahan keterangan dalam perkara Simulator R2 dan R4 dimaksud.
  33. Senin, (30/8/2012) pukul 14.00, Ketua KPK Abraham Samad dan Bapak Zulkarnaen menghadap Kapolri, dan diterima diruang kerja Kapolri, Kapolri didampingi Kabareskrim dan penyidik. Pada kesempatan tersebut ketua KPK menyampaikan bahwa KPK akan melakukan Penyidikan kasus simulator SIM di Korlantas. Kapolri meminta waktu satu atau dua hari untuk mendiskusikan tindak lanjutnya karena Bareskrim juga sudah melakukan penyelidikan.
  34. Menindak lanjuti hasil pertemuan Ketua KPK dan Kapolri, Bareskrim menghubungi ajudan pimpinan KPK untuk meminta waktu menghadap Ketua KPK tanggal 31 Juli 2012, dan mendapat jawaban bahwa akan diterima pada pukul 10.00 WIB terkait perkembangan penyelidikan Bareskrim.
    “Namun kenyataannya, pada hari yang sama Pukul 16.00 penyidik KPK melakukan penggeledahan di Korlantas, padahal sesuai dengan hasil kesepakatan pertemuan Kapolri dan Ketua KPK kita menunggu satu atau dua hari untuk presentasi hasil penyelidikan oleh Bareskrim,” dalam siaran Polri.
  35. Dalam proses pengeledahan salah satu penyidik KPK mengatakan kepada petugas Korlantas bahwa Kapolri sudah mengijinkan penggeledahan tersebut karena Ketua KPK sudah menghadapi Kapolri.
    “Padahal pertemuan saat itu jam 14.00 tidak membicarakan sama sekali tentang penggeledahan, sehingga terjadi mis komunikasi dalam penggeledahan,” jelas siaran pers Polri.
    Setelah Kabareskrim berdiskusi dengan 3 pimpinan KPK Abraham Samad, Busro Mukodas dan Bambang Widjojanto didampingi Direktur Penyelidikan dan Direktur Penuntutan KPK, disepakati untuk sementara penggeledahan tetap dilanjutkan dan barang-barang hasil penggeledahan ditempatkan dalam suatu ruangan tertentu dalam keadaan tersegel dan terkunci.
  36. Selasa (31/7/2012) pukul 15.00 WIB, Ketua KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto di dampingi Deputi PIPM menghadap Kapolri membicarakan tindak lanjut penggeledahan dan penyidikan. KPK menyatakan telah menetapkan DS sebagai tersangka. Pertemuan saat itu disepakati KPK akan menyidik DS sebagai penyelenggara negara, sedangkan Bareskrim akan menyidik penyelenggara negara lainnya dan pihak lainnya yang terlibat.
  37. Selasa (31/7/2012) Bareskrim Polri meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan dan menetapkan Budi Santoso selaku penyedia barang sebagai tersangka dalam perkara Simulator SIM dengan Sprindik/184a/VII/2012/Tipidkor.
  38. Rabu, (1/8/2012) Bareskrim Polri juga menetapkan Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo, Kompol Legimo, Bendahara Korlantas Teddy Rusmawan, dan Sukoco S Bambang sebagai tersangka. Bareskrim mengeluarkan Sprindik serta mengirimnya ke KPK dan Kejagung.
  39. Kamis (2/8/2012) dari pemberitaan media, Kabareskrim mengetahui bahwa KPK telah menetapkan Didik Purnomo, Sukoco Bambang, dan Budi Susanto.
  40. Jumat (3/8/2012) atas pemberitaan di media menyatakan bahwa Penyidik Polri tidak berwenang jika kasus korupsi sudah ditangani KPK. Menurut Sutarman, joint investigastion dalam penanganan perkara seperti ini sudah pernah dilakukan antara KPK dengan penegak hukum lainnya 2010 lalu.
    “Kasus penyalahgunaan APBD Kab Langkat dengan tersangka Syamsul Arifin, dimana dalam penyidikan kasus tersebut KPK menyidik untuk penyelenggara negara, sedangkan untuk pihak-pihak lainnya diluar PN ditangani oleh Kejati Sumut. Sehingga pihak Kejati Sumut dapat melakukan penyidikan perkara yang sama walaupun KPK Juga sudah melakukan penyidikan,” jelas Sutarman.
    Berdasarkan rincian tersebut, Kabareskrim mengatakan polisi tetap akan melakukan penyidikan pengadaan Simulator SIM di Korlantas Polri sebelum adanya ketentuan dan keputusan pengadilan yang menyatakan penyidik Polri tidak berwenang menyidik kasus yang sedang atau bersamaan ditangani oleh KPK.
    Dibawah ini adalah artikel dari Majalah Tempo tanggal 29 April 2012 yang berjudul
    “SIMSALABIM SIMULATOR SIM” :
    Menurut Vivi (2013) Walau telah terjadi setahun lebih, Sukotjo S. Bambang masih mengingat pengalaman itu. Kamis, 13 Januari 2011, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia ini memasukkan lembar demi lembar seratus ribuan rupiah ke dua dus bekas suku cadang Honda. Setiap dus berisi Rp2 miliar. Hari itu juga, ia mengangkutnya ke Jakarta.
    Sukotjo menerima pesan dari kongsi dagangnya, Budi Susanto, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi. Perusahaan ini memenangi tender pengadaan simulator kemudi sepeda motor dan mobil senilai Rp196,87 miliar di Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Citra Mandiri lalu menggandeng Inovasi Teknologi buat mengerjakannya. “Saya dipesan agar sampai Jakarta pada siang hari,” katanya kepada Tempo, akhir bulan lalu.
    Menggunakan Toyota Fortuner D-84-MS yang dikemudikan sopirnya, Ijai Harno, Sukotjo menuju Jakarta. Mereka dikawal Kusno, anggota Kepolisian Sektor Bandung Kulon. Berangkat dari rumah di Cigondewah Kaler, Bandung, pukul 10.00, di tengah perjalanan Sukotjo menerima telepon dari Budi. Sang penelepon meminta bertemu di dekat pintu tol Pondok Gede Timur, Bekasi, pada tengah hari.
    Sukotjo tiba lebih dulu. Tak lama, Budi sampai dengan Toyota Camry hitam B-8-DVA. Sukotjo turun dari mobil menemui sang kolega. Ijai dan Kusno juga turun, memindahkan satu kardus duit ke bagasi mobil Budi. Menurut Sukotjo, Budi lalu meminta dia mengantarkan satu kardus lain ke kantor Korps Lalu Lintas Polri di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. “Antarkan uang itu ke Pak Djoko Susilo,” ia menirukan permintaan Budi. Inspektur Djoko Susilo, ketika itu Kepala Korps Lalu Lintas, kini Gubernur Akademi Kepolisian.
    Menurut Sukotjo, Budi kemudian menambahkan bahwa Djoko Susilo tidak di kantor. Jadi, Sukotjo diminta menyerahkan dus itu ke Tiwi, sekretaris pribadi Djoko. Sukotjo meluncur ke markas Korps Lalu Lintas Polri dan tiba pukul 13.00. Dia lalu masuk ke ruangan Djoko di lantai dua gedung utama. “Ibu Tiwi sudah menunggu di ruang tamu. Dia menerima kiriman itu,” katanya.
    Belakangan, Sukotjo bertemu dengan seorang perwira menengah di Bagian Perencanaan dan Administrasi Korps Lalu Lintas. Sang perwira, menurut dia, menanyakan kiriman duit darinya. Ia mengingat, perwira yang mengurus proyek pengadaan itu bertanya, “Apakah paket 2 M (miliar) sudah sampai?” Sukotjo pun segera berpikir: duit dalam dus merupakan setoran untuk pejabat tertinggi di korps itu.
    Ditemui secara terpisah, Budi Susanto membenarkan pernah meminta uang tunai Rp4 miliar kepada Sukotjo. Dia juga tidak membantah pertemuan di pintu tol Pondok Gede. Begitu juga permintaan agar Sukotjo mengantarkan satu kardus uang ke kantor Korps Lalu Lintas. Tapi, menurut dia, uang itu bukan dikirim untuk Djoko. “Saya hanya minta dia menitipkan ke Tiwi, orang yang saya kenal di sana,” ujarnya. “Itu uang saya.”
    Djoko, yang ditemui untuk wawancara di kantornya, Akademi Kepolisian, Semarang, menolak menjawab pertanyaan soal ini. “Tanyakan saja soal itu kepada Kepala Korps Lalu Lintas,” katanya Kamis pekan lalu. “Saya tidak mau berkomentar.”
    Inspektur Jenderal Pudji Hartanto, pengganti Djoko sebagai Kepala Korps Lalu Lintas, mengatakan tuduhan Sukotjo itu sedang diselidiki Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri. “Penyelidikan masih berjalan,” ujarnya. Tiwi tidak bisa ditemui di kantornya, markas Korps Lalu Lintas. “Sedang ada pendidikan di luar kota,” kata seorang pegawai bagian tata usaha.
    Menurut Sukotjo, setoran uang ke markas Korps Lalu Lintas hanya satu aliran dari duit proyek simulator. Ia menyatakan puluhan miliar lain menggelontor ke perwira lain. Sukotjo siap mempertanggungjawabkan semua keterangan. Menurut dia, kejanggalan proyek dan data setoran kepada perwira tinggi juga sudah dilaporkan ke Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo dan Komisi Kepolisian Nasional. “Saya siap dikonfrontasi dengan mereka,” katanya.
    SUKOTJO mengenal Budi Susanto secara kebetulan pada 2009. Ketika itu, dia tengah membantu Andrie Tedjapranata, pemilik PT Megacipta Nusantara, mitra bisnis Budi, yang sedang mengerjakan proyek simulasi kemudi di Korps
    Lalu Lintas Polri. Sukotjo diminta membuat satu prototipe simulator plus mesin pengendalinya untuk Megacipta. “Budi tertarik dan mengajak saya bekerja sama,” katanya.
    Proyek pertama yang mereka garap adalah 50 unit simulator versi Isuzu Elf, tujuh unit versi Hino Ranger, dan 100 unit versi sepeda motor. Menggunakan anggaran Kepolisian 2010, perusahaan Sukotjo merupakan subkontraktor dari perusahaan Budi. Artinya, semua simulator dikerjakan perusahaan Sukotjo.
    Hubungan bisnis mereka berlanjut hingga 2011. Menurut Sukotjo, lewat kedekatannya dengan Djoko Susilo, Budi berhasil memperoleh tender pengadaan 700 simulator sepeda motor senilai Rp54,453 miliar dan 556 simulator mobil senilai Rp142,415 miliar. Padahal Citra Mandiri Metalindo Abadi miliknya tidak pernah punya pengalaman menggarap simulator (lihat “Rezeki Nomplok Tetangga Pedangdut”).
    Tender memang diatur agar dimenangi Citra Mandiri. Sukotjo menuturkan dilibatkan sejak awal dalam proses ini. Ia ikut menyiapkan dokumen empat perusahaan pesaing Citra Mandiri untuk tender: PT Bentina Agung, PT Digo Mitra Slogan, PT Dasma Pertiwi, dan PT Kolam Intan. Menurut dia, empat perusahaan itu hanya dipakai untuk pendamping, agar tender seolah-olah dilakukan sesuai dengan prosedur. Dalam tender, Ketua Primer Koperasi Polisi (Primkoppol) Korps Lalu Lintas Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan ditunjuk sebagai ketua tim pengadaan.
    Citra Mandiri akhirnya benar-benar ditunjuk sebagai pemenang. Dalam dokumen surat perintah kerja yang diteken pejabat pembuat komitmen, Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, disepakati harga simulator sepeda motor adalah Rp77,79 juta per unit dan simulator mobil Rp256,142 juta per unit.
    Harga yang dibayar Korps Lalu Lintas Polri ini kelewat mahal. Sebab, dalam dokumen perjanjian pembelian barang dari Citra Mandiri Metalindo dengan Inovasi Teknologi, harga per unit simulator sepeda motor hanya Rp42,8 juta dan simulator mobil Rp80 juta per unit. Perusahaan milik Budi Susanto itu memperoleh untung lebih dari 100 persen, yakni Rp116 miliar.
    Menurut Sukotjo, margin besar Citra Mandiri Metalindo tidak dinikmati sendiri. Dia mengaku pernah diminta Budi mengirimkan uang Rp15 miliar ke Primkoppol Korps Lalu Lintas. Ia juga pernah memberikan dana ke pejabat Inspektorat Pengawasan Umum Polri senilai Rp1,7 miliar. Selain itu, Rp2 miliar disetorkan kepada staf pribadi Djoko Susilo.
    Dalam dokumen pengiriman uang perusahaan Sukotjo, transfer dana ke rekening Primkoppol Korps Lalu Lintas dilakukan dua kali lewat Bank Mandiri. Pada 13 Januari 2011 dikirim Rp7 miliar, dan esoknya Rp8 miliar. Ia juga mencatat pemberian uang untuk tim Inspektorat Pengawasan Umum sebesar Rp700 juta. Catatan lainnya adalah Rp1 miliar ke Inspektur Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Fajar Prihantono.
    Dana lain mengalir ke tim pengawasan Korps Lalu Lintas Polri. Permintaan setoran tercatat dalam percakapan Sukotjo dengan Budi Susanto via BlackBerry Messenger. Sukotjo melaporkan kedatangan lima anggota tim pengawasan pada pukul 10.04, 24 April 2011. Budi menjawab, “Oke Murtono kasih Rp2 juta, yang lain saya kira cukup Rp1 juta, karena Senin lalu baru saya kasih.”
    Kesaksian Budi yang lain terekam dalam ingatan Sukotjo. Koleganya itu berhasil mendesak Korps Lalu Lintas mencairkan dana simulator sepeda motor sebesar Rp54,45 miliar pada pertengahan Maret 2011. “Padahal saat itu, dari kontrak 700 unit, baru terkirim 100 unit,” katanya.
    Pejabat Pembuat Komitmen Korps Lalu Lintas Polri Brigadir Jenderal Didik Purnomo mengatakan tidak tahu soal adanya pemberian uang. Dia membantah lembaganya membayar lebih mahal. “Malah terhitung murah dibanding produk luar negeri yang selama ini kami pakai,” ujarnya.
    Budi Susanto membenarkan adanya permintaan pengiriman uang senilai Rp 15 miliar ke Primkoppol Korps Lalu Lintas. “Itu untuk pembayaran utang saya ke Primkoppol,” katanya. Adapun Komisaris Jenderal Fajar Prihantono menolak diwawancarai. “Bapak telah melimpahkan soal ini ke Kepala Divisi Humas Polri (Saut Usman Nasution),” ujar ajudannya. Saut, ketika dihubungi, mengatakan belum siap memberi jawaban.
    Hubungan dagang Budi dan Sukotjo berakhir pada Juni 2011. Budi mengatakan Sukotjo gagal memenuhi tenggat pengerjaan proyek. Padahal biaya pengerjaan driving simulator sepeda motor dan mobil senilai Rp98 miliar sudah diterima bekas koleganya itu. “Dia membuat banyak alasan agar proyek ini macet dan saya dicap gagal oleh Korps Lalu Lintas,” kata Budi.
    Dari komitmen pesanan 700 simulator sepeda motor, menurut Budi, Sukotjo baru menyerahkan 107 unit. Pesanan simulator mobil belum selesai satu pun. “Dia menipu saya,” ujarnya. “Padahal masih ada uang saya Rp42 miliar yang belum dikembalikan.”
    Budi mengatakan telah menyelesaikan proyek dengan mengambil produk dari perusahaan lain. Ia mengatakan terpaksa membayar denda Rp2,7 miliar karena terlambat. “Saya sama sekali tidak memakai barang buatan Sukotjo,” katanya.
    Ditemani Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan, Budi Susanto kemudian menguasai rumah dan pabrik milik Sukotjo pada pertengahan Juli 2011. Dia berdalih, penyitaan itu merupakan kesepakatan yang diteken Sukotjo di depan notaris. Sukotjo juga dilaporkan ke Polres Bandung dengan tuduhan penipuan dan penggelapan. Perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung. Sukotjo dijebloskan ke Rumah Tahanan Kebon Waru, Bandung, tempat dia menerima Tempo untuk diwawancarai.
    Erick Samuel Paat, kuasa hukum Sukotjo, membantah adanya kesepakatan untuk menyita harta kliennya. Menurut dia, yang terjadi adalah pengambilan paksa oleh Budi Susanto dengan bantuan polisi. Sukotjo dan istrinya dipaksa membubuhkan tanda tangan di blangko kosong. Ia menambahkan, “Kami menyimpan rekaman CCTV proses penyitaan bergaya preman ini.”

Pelaku yang Terlibat
Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan mobil pada korps lalu lintas (Korlantas) Mabes Polri T.A 2011 ini, KPK telah menetapkan empat orang tersangka.
Mereka adalah Didik Purnomo, Pejabat Pembuat Komitmen dalam pengadaan ini sekaligus Wakil Ketua Korlantas Mabes Polri, Sukotjo Bambang Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia, Budi Susanto, Dirketur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, dan Djoko Susilo Kepala Korlantas Mabes Polri.
Kasus Putri Solo tahun 2008 sebagai istri Djoko Susilo
Mantan Putri Solo 2008, Dipta Anindita terseret dalam pusaran kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat Irjen Djoko Susilo, yang disebut adalah suaminya.
Sejumlah rumah mewah milik Dipta yang diduga berasal dari Djoko Susilo disita Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satunya di Jalan Perintis Kemerdekaan, Lawean, Solo, Jawa Tengah.
Rumah megah yang luasnya lebih dari 5.000 meter persegi diduga bernilai lebih dari Rp 40 miliar.
Lainnya adalah rumah di Jalan Sam Ratulangi nomor 16, Kelurahan Manahan, Kecamatan Banjarsari, Solo, Jawa Tengah. Diketahui kepemilikan rumah tersebut terdaftar atas nama Joko Waskito, ayah Dipta Anindita. Mertua Irjen Djoko.
Tak hanya di Solo, Dipta diduga juga memiliki sejumlah rumah mewah di Yogyakarta, Semarang, dua rumah mewah di Jakarta, serta satu apatemen mewah di kawasan Setiabudi, Kuningan, Jakarta.
Tidak hanya di Jakarta, perempuan berparas cantik kelahiran 10 Mei 1989 itu juga memiliki rumah mewah di daerah Depok, Jawa Barat.
Sementara, ayah Dipta, Joko Waskito yang tinggal di kawasan Cemani, Sukoharjo, Jawa Tengah memilih menghindari wartawan.
Di mata tetangga, keluarga Joko Waskito dinilai tertutup. Bahkan Ketua RT pun tak tahu menahu tentang pernikahan Dipta Aindita dengan Djoko Susilo.
KPK juga mengendus keterlibatan sejumlah keluarga Irjen Djoko dalam pencucian uang, karena salah satu rumah Irjen Djoko atas nama anak perempuanya di Yogyakarta yang juga disita KPK.(Dji/Ein)
Follow The Money

  1. PEMBAHASAN KASUS DAN OPINI
    4.1 Pembahasan Kasus dan Opini
    Kasus simulator sim ini yang pertama dalam penetapan tersangka yang dilakukan oleh Bareskrim Polri adalah DS, Budi Santoso, Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo, Kompol legimo, Bendahara Korlantas Teddy Rusmawan dan Sukotjo S Bambang. Lain hal dengan KPK yang menetapkan tersangka adalah Didik Purnomo, Sukotjo S Bambang dan Budi Santoso saja.
    Kejanggalan yang terjadi dalam kasus ini adalah sebagai berikut :
  2. Sukotjo S Bambang (Dirut PT Inovasi Teknologi Indonesia) yang memasukkan uang ke dua dus bekas suku cadang Honda, yang setiap dusnya itu berisikan masing-masing 2 Miliar Rupiah.
  3. Oleh Sukotjo diberikan pertama kepada Budi Santoso (Dirut PT Citra Mandiri Metalindo Abadi) yang memenangkan tender pengadaan simulator kemudi sepeda motor dan mobil senilai 196,87 Miliar Rupiah yang menggandeng PT Inovasi Teknologi untuk mengerjakan tender tersebut.
  4. Dan yang dus kedua itu diberikan kepada Inspektur Djoko Susilo tetapi diberikan lewat Tiwi sekertaris pribadi karena menurut Sukotjo bahwa Djoko Susilo tidak ada di tempat sehingga diberikan kepada Tiwi.
  5. Tetapi kejanggalan terjadi pada saat Sukotjo bertemu dengan perwira menengah di bagian perencanaan dan administrasi korps lalu lintas yang menanyakan, apakah uang 2 Miliar Rupiah itu sudah sampai atau belum.
  6. Kejanggalan yang lainnya adalah bahwa tender ini memang diatur agar dimenangi PT Citra Mandiri, ini terbukti dari penuturan Sukotjo yang dilibatkan sejak awal dalam proses tender ini yang menyiapkan dokumen empat perusahaan pesaing PT Citra Mandiri yaitu PT Bentina Agung, PT Digo Mitra Slogan, PT Dasma Pertiwi, dan PT Kolam Intan. Empat perusahaan itu hanya dipakai untuk pendamping, agar tender seolah-olah dilakukan sesuai dengan prosedur.
  7. Berikutnya yang terlihat jelas adalah mark up besar-besaran dari harga simulator sepeda motor yang semulanya per unit hanya 42,8 juta rupiah menjadi 77,79 juta rupiah dan berikutnya harga simulator mobil yang awalnya hanya 80 juta rupiah per unit menjadi 256,142 juta rupiah per unit. Harga awal tersebut ada dalam dokumen perjanjian pembelian barang dari Citra Mandiri Metalindo dengan Inovasi Teknologi.
  8. Margin besar dari PT Citra Mandiri Metalindo ini tidak dinikmati sendiri dan ada pembuktian dokumen dari pengiriman uang yaitu :
    a. 15 Miliar Rupiah kepada Primkoppol Korps Lalu Lintas yang dikirim dua kali yaitu yang pertama adalah 7 Miliar Rupiah dan yang kedua 8 Miliar Rupiah dan Budi Santoso beralasan bahwa itu untuk membayar hutangnya kepada Primkoppol Korps Lalu Lintas.
    b. 1,7 Miliar Rupiah kepada Pejabat Inspektorat Pengawasan Umum Polri yang dikirim dua kali juga yaitu yang pertama 700 Juta Rupiah dan yang kedua 1 Miliar Rupiah.
    c. 2 Miliar Rupiah kepada staf pribadi Djoko Susilo
    d. Untuk 5 orang pengawasan korps lalu lintas, 2 Juta Rupiah diberikan 
kepada Murtono dan empat orang lainnya sebesar 1 Juta Rupiah tiap orangnya. Dengan cara ini Budi Santoso bisa mencairkan dana 54,5 Miliar Rupiah pada pertengahan Maret 2011 meskipun dari 700 unit simulator sepeda motor, yang terkirim hanya 100 unit saja.
  9. Kejanggalan berikutnya bahwa Pejabat Pembuat Komitmen Korps Lalu Lintas Polri Brigadir Jenderal Didik Purnomo mengatakan tidak tahu soal adanya pemberian uang. Dia membantah lembaganya membayar lebih mahal. “Malah terhitung murah dibanding produk luar negeri yang selama ini kami pakai,” ujarnya.
    Kejahatan Korupsinya
    Kejahatan korupsi yang terjadi dalam kasus tersebut berkaitan dengan pembuatan atau pengadaan alat driving simulator sim. Dalam proses penganggaran untuk alat driving tersebut digelembungkan dari anggaran yang sebelumnya telah ditetapkan. Dana tersebut kemudian di bagi-bagikan dan masuk ke kantong masing –masing pejabat instansi yang terkait.
    Peraturan yang menjerat kasus
    Melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 Undang-Undang jo Pasal 55 ayat 1 kesatu jo pasal 56 KUHP. KPK juga sudah mencegah mereka bepergian ke luar negeri
  10. PENUTUP
    5.1 Simpulan
    Masalah simulator sim ini sendiri bisa terjadi karena adanya pihak-pihak yang bermain untuk kepentingan dirinya sendiri. Dan hal itu sebetulnya tidak boleh terjadi dalam suatu pemerintah kenegaraan karena apabila pengurus dari kenegaraan itu sendiri tidak dapat bekerja dengan bersih dan baik maka dapat dipastikan itu akan di contoh oleh masyarakat. Karena pada dasarnya pemimpin adalah sebagai contoh bagi yang lainnya. Dan masalah simulator ini memang sudah direncanakan matang-matang sebelumnya sehingga dapat terjadi hal tersebut sampai terjadi mark up besar-besaran dan juga adanya penyuapan yang kelihatan jelas dalam kasus ini.
    5.2 Saran
    Untuk mengatasi masalah yang terjadi seperti kasus di atas, seharusnya di dalam instansi pemerintah itu adalah ditempatkan atau dipilih orang-orang yang tepat dalam arti mereka adalah orang yang bersedia mengabdi kepada negara dan rakyat. Dan pemerintah harus bertindak tegas dalam memberikan hukuman yang pantas kepada para koruptor dan bertindak cepat dalam memberantas korupsi maupun tindak kejahatan lainnya yang dapat merugikan rakyat dan negara.
    DAFTAR PUSTAKA
    Burhanudin,(2013). “Mantan Rektor Unsyiah Tersangka Korupsi Beasiswa”. 19 April 2013.http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/19/18555641/Mantan.Rektor.Unsy iah.Tersangka.Korupsi.Beasiswa (diakses 22 April 2013)
    Wiratmaja, I Dewa Nyoman. (2010). “Akuntansi Forensik Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. (online). Karya Ilmiah yang Tidak Dipublikasikan, Universitas Udayana.Vol. 5, No. 2
    Malik etAll.”Indeks Persepsi Korupsi (2007) Transparency Internasional”. http://www.ti.or.id/media/documents/2010/10/12/p/r/press_kit_cpi_2007_ina.pdf (diakses 22 April 2013)
    Lubis, T (2010). “Corruption Perception Index 2010 (Global)”. 26 Oktober 2010. http://www.ti.or.id/index.php/publication/2010/10/26/corruption- perception- index-2010-global (diakses 22 April 2013)
    Masduki, T (2009). “Indeks Persepsi Korupsi 2009 : Pemberantasan Korupsi di Indonesia Masih Lemah”. 17 November 2009. http://www.ti.or.id/index.php/publication/2009/11/17/indeks-persepsi-korupsi- 2009-pemberantasan-korupsi-di-indonesia-masih-lemah (diakses 22 April 2013)
    Yulianto & Diantika (2011). “Kenaikan IPK Indonesia Tertinggi Se-ASEAN”. 14 Desember 2011. http://ti.or.id/index.php/news/2011/12/14/kenaikan-ipk- indonesia-tertinggi-se-asean (diakses 22 April 2013)
    Gusnardi. 2012. Peran Forensic Accounting dalam Pencegahan Fraud. (online) Pekbis Jurnal . Vol.4, No.1. http://eprints.uny.ac.id/8748/4/bab%205%20- 08412141007.pdf (diakses 22 April 2013)
    Jumansyah, etAll. (2011). Akuntansi Forensik dan Prospeknya terhadap Penyelesaian Masalah-Masalah Hukum di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional “Problematika Hukum dalam Implementasi Bisnis dan Investasi (Prespektif Multidipliner)”. (online) http://repository.maranatha.edu/22/1/Akuntansi%20Forensik%20dan%20Prospek nya%20terhadap%20Penyelesaian%20Masa.pdf (diakses 21 April 2013)
    Soebagjo, N (2012). “Peluncuran Corruption Perception Index 2012”. 6 Desember 2012. http://www.ti.or.id/index.php/press-release/2012/12/06/ peluncuran- corruption-perception-index-2012 (diakses 22 April 2013)
    Gusnardi, (2012). Peran Forensic Accounting dalam Pencegahan Fraud . (online) Pekbis Jurnal. Vol.4, No.1. http://eprints.uny.ac.id/8748/4/bab%205%20- 08412141007.pdf (diakses 22 April 2013)
    Sudaryati, Dwi, & Nafi’ Inayati Zahro. (2010).’Auditing Forensik dan Value For Money Audit’. ISSN 1979-6889. (online)
    http://eprints.umk.ac.id/152/1/AUDITING_FORENSIK_DAN_VALUE_FOR_M ONEY_AUDIT.pdf (diakses 5 Mei 2013)
    Vivi, (2013). Analisis dan pembahasan Kasus Simulator SIM. (online)
    http://evianthyblog.blogspot.co.id/2013/01/analisis-dan-pembahasan-kasus- simulator.html
    Tuanakotta, (2010). Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi
    Jumansyah, et.all, (2011). Akuntansi Forensik dan Prospeknya terhadap Penyelesaian Masalah-Masalah Hukum di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional “Problematika Hukum dalam Implementasi Bisnis dan Investasi (Prespektif Multidipliner)”.online.(http://repository.maranatha.edu/22/1/Akuntansi%20Forens ik%20dan%20Prospeknya%20terhadap%20Penyelesaian%20Masa.pdf)
    K.H. Spencer Pickett & Jennifer Pickett, Financial Crime Investigation and Control (2002)
    Association of Certified Fraud Examiners. Fraud Examiners Manual, 2006 edition UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
    Keputusan Menteri Keuangan nomor 151/KMK.01/2006 tanggal 16 Maret 2006 kasus penyelesaian kewajiban pemegang saham

RESPON TERHADAP FRAUD & KASUS PT. TELKOM

RESPON TERHADAP FRAUD & KASUS PT. TELKOM

Yonathan Adhinata Yoewono & Daniel Sugama Stephanus

Program Studi Akuntansi – Fakultas Ekonomi Dan Bisnis – Universitas Ma Chung – Kabupaten Malang – 2015

 

  1. PENDAHULUAN

Dalam upaya untuk mengatasi fraud, diperlukan sebuah program yang digunakan sebagai pedoman dalam menghadapi fraud yang disebut program antifraud. Tiga tahap dasar dari program anti fraud adalah pencegahan, deteksi, dan respon, serta kontrol desain untuk akuntansi dan audit. Dapat dikatakan bahwa tahap pencegahan jelas memberikan pengaruh yang paling tinggi dalam mencegah fraud yang akan terjadi. Dalam pencegahan fraud, auditor harus memahami lingkungan pencegahan terhadinya fraud dan harus memiliki persepsi atas pendeteksian fraud, serta memahami berbagai macam pendekatan untuk mengembangkan program antifraud tersebut. Auditor juga harus memahami siklus dan proses bisnis suatu perusahaan untuk mengetahui cara pencegahan fraud yang sesuai dan efektif. Pada proses pencegahan fraud, manajemen perlu membuat kebijakan fraud yang berfungsi sebagai pedoman dalam menanggapi fraud. Rencana mengenai tanggapan terhadap fraud juga dibutuhkan agar dapat mengembangkan program antifraud.

Pada dasarnya, fraud ditemukan karena tindakan pencegahan yang tidak berhasil, yang disebabkan dari lemahnya program antifraud dan kemudian dideteksi oleh beberapa metode, setelah entitas harus menanggapi fraud dan dampaknya. Sebuah studi kasus dan survei fraud membuktikan bahwa entitas yang tidak siap untuk fraud (yaitu, memiliki rencana respon yang tidak efektif) cenderung menderita kerugian keuangan (pulih sedikit untuk apa-apa kerugian fraud), menderita kerugian citra publik, tidak memiliki penyelidikan yang berhasil, dan tersandung dengan emosi dan penderitaan mental akibat dari fraud, di mana pelaku fraud biasanya merupakan karyawan yang terpercaya. Oleh karena itu rencana tanggapan yang efektif dapat memberikan banyak manfaat untuk badan yang bersedia dan mampu untuk mengembangkan rencana tanggapan yang efektif.

Apabila telah ditemukan adanya fraud, fase tanggap akan diperlukan dalam menanggapi fraud terjadi. Fase tanggap bisa disebut dengan respon terhadap fraud. Respon terhadap fraud tersebut dapat berupa penerapan rencana tanggapan yang efektif yang mencakup kebijakan fraud yang ampuh, penciptaan tim respon fraud yang ampuh dan sah, dan pengembangan strategis dari rencana pemulihan keuangan.. Karena entitas jelas ingin mendeteksi semua fraud yang telah terjadi, manajemen harus berpikir tentang tanggapan apa yang akan dilakukan sebelum fraud benar-benar terjadi. Secara kronologis, fase ini kemungkinan menjadi tindakan yang pertama atau kedua (penilaian risiko fraud mungkin mendahului langkah ini) yang akan dilakukan dalam hal perencanaan dan kebijakan pengembangan dan prosedur untuk program anti fraud.

Berdasarkan latar belakang di atas, pembahasan yang akan dilakukan oleh penulis adalah mengenai metoda dalam menanggapi fraud dan penulis memilih studi kasus pada PT Telkom tahun 2002 sebagai bahan pembahasan yang dikaitkan dengan materi respon terhadap fraud.

 

  1. LANDASAN TEORI

2.1       Definisi Fraud

Menurt Singleton & Singleton (2010), fraud adalah sebagai tindakan criminal. Fraud adalah istilah yang umum mencakup semua makna yang dibuat oleh akal manusia yang dapat digunakan oleh tiap individu untuk mendapat keuntungan. Sedangkan menurut Tuanakotta (2013), fraud adalah tindakan illegal yang ditandai dengan tipu daya, penyembunyian atau pelanggaran kepercayaan.

Dapat disimpulkan, bahwa definisi fraud itu adalah tindakan ilegal dan kriminal yang dibuat oleh akal manusia untuk mendapat keuntungan berupa tipu daya, penyembunyian, dan pelanggaran kepercayaan serta pelanggaran undang-undang.

 

2.2                            Pencegahan Fraud

Pencegahan fraud merupakan tanggung jawab manajemen. Auditor internal bertanggung jawab untuk menguji dan menilai efektivitas tindakan manajemen untuk memenuhi kewajiban tersebut. Pencegahan fraud bukanlah merupakan hal yang mudah, dikarenakan fraud dapat terjadi dalam berbagi bentuk dan cara seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan ekonomi serta semakin kompleksnya aktivitas bisnis. Menurut Razae dan Riley (2005), ada tiga unsur yang harus diperhatikan oleh manajemen bila ingin mencegah terjadinya tindakan fraud, yaitu :

  1. Menciptakan dan mengembalikan budaya yang menhargai kejujuran dan nilai etika yang tinggi
  2. Penerapan dan evaluasi proses pengendalian anti fraud.
  3. Pengembangan proses pengawasan (Oversight Process)

 

2.3         Policies and Procedures (Polis dan Prosedur)

Polis mendefinisikan prinsip dan tujuan dari suatu entitas, sedangkan prosedur mendefinisikan peran yang dilakukan oleh entitas untuk memastikan bahwa tujuan telah tercapai (Singleton & Singleton, 2010). Pondasi untuk budaya dan lingkungan antifraud untuk semua entitas yang serius untuk mencgah fraud adalah Polis fraud dan prosedur yang dibuat secara “hati – hati” dengan berdasarkan Polis yang dibuat oleh entitas. SOX pada dasarnya mewajibkan perusahaan yang go public untuk memiliki Polis tentang etika. Perusahaan yang tidak memiliki polis yang tertulis harus menjelaskan mengapa perusahaan tidak memiliki polis tersebut.

Polis tentang fraud menjadi dokumen sumber untuk mengembangkan cara pencegahan fraud, tindakan untuk mendeteksi fraud, dan tindakan dalam merespon suatu fraud, serta meyakinkan keefektifan budaya atau iklim antifraud. Menurut Singleton & Singleton (2010), untuk mendapatkan budaya antifraud yang efektif, suatu entitas harus memiliki polis dan prosedur yang meliputi sebagai berikut.

  1. Menjelaskan fraud
  2. Mendeskripsikan publikasi dan komunikasi atas polis
  3. Mendeskripsikan implementasi dari pengawasan untuk antifraud

 

  1. Mendeskripsikan pelatihan
  2. Mendeskripsikan ukuran audit fraud yang proaktif
  3. Mendeskripsikan percobaan atas pengawasan antifraud
  4. Menjelaskan polis dan prosedur investigasi
  5. Mendeskripsikan tindakan yang diambil dalam audit fraud
  6. Mendeskripsikan analisis atas bukti
  7. Mendeskripsikan solusi untuk fraud
  8. Mendeskripsikan prosedur dari pelaporan kesalahan.

Namun, hal diatas tidak akan cukup apabila tidak dikomunikasikan secara langsung. Komunikasi untuk menjelaskan kebijakan dan etika bisa dilakukan dalam program orientasi karyawan (Singleton & Singleton, 2010). Cara yang krusial dalam keberhasilan atas kebijakan antifraud adalah monitoring dan sistem kepatuhan. Selain itu, kebijakan etika dapat berdasarkan nilai atau prinsip, dengan pendekatan ini, karyawan harus memahami nilai tersebut dan bergabung dalam budaya tersebut. Sangat penting sekali bila suatu entitas harus mempertimbangkan elemen manusia atas budaya dari suatu organisasi. Membangun suatu budaya antifraud yang sesuai dengan manusia, sesuai dengan operasi bisnis dan organisasi akan memungkinkan mencegah terjadinya fraud.

 

2.4         Respon Terhadap Fraud

2.4.1     Fraud Policy

Kemungkinan besar, tempat terbaik untuk mulai mengembangkan respon fraud yang efektif adalah untuk mengembangkan kebijakan fraud yang tepat. Ada banyak alasan mengapa langkah ini harus terjadi sebelum muncul fraud, dan sebelum pengembangan spesifik dalam program antifraud, yang mana akan keluar nantinya.

Ada beberapa isu yang perlu dipertimbangkan ketika menyusun kebijakan fraud. Pertama, pentingnya sebuah definisi fraud yang tepat.. Jika tidak ada definisi yang telah ditentukan, karyawan mungkin bingung, salah paham, atau mungkin tidak setuju tentang apa yang merupakan fraud terhadap majikan. Selain itu, suatu entitas dapat menemukannya sendiri di pengadilan, dimana definisi dapat dijadikan subjek untuk menilai atau tafsiran juri, yang mungkin juga tidak setuju dengan entitas korban. jika entitas telah menggunakan Asosiasi Fraud Penguji Tersertifikasi (ACFE) definisi, dibangun ke dalam kebijakan fraud, serta memiliki karyawan menandatangani salinan menunjukkan persetujuan mereka untuk mematuhi kebijakan itu, akan ada lebih sedikit keraguan dalam ruang sidang tentang definisi dari fraud dalam kasus itu. Jadi entitas harus menentukan tindakan apa yang akan memperhitungkan fraud dan berhati-hati dalam menyusun ketentuan sebagai kunci bagian dari kebijakan fraud.

Isu-isu yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pemahaman fraud secara luas yaitu.

  • Tindakan tidak jujur atau fraud
  • Pelanggaran tanggung jawab fidusia
  • Penyalahgunaan dana, sekuritas, persediaan, atau aset entitas lain
  • Penggunaan aset entitas dengan tidak sah; seperti peralatan untuk penggunaan pribadi, atau komputer yang digunakan untuk keuntungan pribadi

 

  • Ketidaklayakan dalam penanganan atau pelaporan uang atau transaksi keuangan
  • Pengambilan keuntungan yang berlebihan sebagai hasil dari pengetahuan internal akan kegiatan entitas
  • Mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia dan informasi kepemilikan kepada pihak luar
  • Penyajian kegiatan sekuritas kepada orang lain yang kegiatannya masih dipertimbangkan oleh entitas
  • Menerima atau mencari suatu barang yang berharga dari kontraktor, vendor,atau orang yang menyediakan jasa atau bahan untuk entitas. Pengecualian: Hadiah yang nilainya kurang dari $ 50.
  • Pengrusakan, penghapusan, atau penggunaan yang tidak sah dari catatan (kertas atau digital), perabotan, perlengkapan, atau peralatan.
  • Adanya aktivitas yang mencurigakan yang mengarah pada penggunaan komputer, sistem atau teknologi entitas.
  • Setiap tindakan illegal yang bersangkutan.
  • Setiap penyimpangan yang sama atau yang terkait.

Manajemen harus mencakup kebijakan entitas bagaimana penyimpangan yang terdeteksi atau dicurigai akan ditangani. Kebijakan tersebut harus menetapkan siapa, apa, di mana, kapan terkait dengan tips, keluhan, atau whistleblowing, terutama di mana laporan yang dicurigai tersebut harus dilaporkan. Kebijakan juga harus mendiskusikan bagaimana mengurus keadaan yang tanpa nama dari orang memberikan suatu rahasia. Harus ada beberapa struktur formal yang didirikan untuk menangani laporan tersebut dan membuat keputusan tentang apa yang harus menyelidiki, dan bagaimana penyelidikan akan ditangani. Kebijakan harus dapat menjelaskan bagaimana entitas akan berhati-hati untuk menghindari tuduhan yang tidak seharusnya didapat, tuduhan palsu, atau memperingatkan tersangka bahwa penyelidikan telah dilakukan. Tidak ada informasi tentang sifat penyelidikan atau status penyelidikan harus diizinkan kecuali sebagaimana diizinkan oleh manajemen atau diperlukan untuk alasan hukum.

Kebijakan tersebut harus dapat mengidentifikasi unit apa yang akan memiliki tanggung jawab utama untuk melakukan penyelidikan fraud dari setiap dugaan tindak fraud yang telah ditetapkan oleh kebijakan. Unit yang bisa dimulai dengan audit internal, unit etika, unit khusus, konsultan eksternal, sebuah forensik akuntansi, atau suatu perusahaan hukum. Semua investigasi harus disahkan dengan benar dan kebijakan harus dapat menjelaskan siapa itu dan bagaimana hal tersebut akan selesai.

Kebijakan tersebut harus menyampaikan kebutuhan untuk mempertahankan tingkat yang tepat dari kerahasiaan, terutama perlindungan hak-hak karyawan yang tidak bersalah yang mungkin akan sengaja menyapu ke penyelidikan, termasuk whistle-blower dan orang yang memberi keterangan rahasia. Manajemen harus mempunyai pertimbangan dalam menangani reaksi orang yang akan dihadapi jika terbukti bersalah telah melanggar kebijakan fraud. Misalnya, entitas harus memiliki beberapa petunjuk kapan hal tersebut akan mengikuti ke arah penuntutan pidana, berdasarkan jumlah kerugian, posisi karyawan, atau faktor apapun yang entitas percayai untuk menjadi kunci dalam mengejar penuntutan. Hal yang sama berlaku untuk pengadilan sipil atau penghentian karyawan.

Kebijakan ini juga mungkin perlu untuk ditujukan ketika seorang pengacara akan terlibat, yang mungkin terbaik dalam sebagian besar kasus, jika tidak semua kasus. Bisa jadi entitas memiliki seorang pengacara pada pengikut atau penasihat hukum internal dalam hal orang yang akan berkonsultasi pada setiap penyelidikan, baik di awal atau selama penyelidikan. Karena kemungkinan bahwa penyelidikan mungkin berakhir dalam pengadilan, pidana atau perdata, kerja dari seorang pengacara awal dalam penyelidikan adalah bijaksana seperti biasanya. Isu investigasi serupa lainnya yang ditujukan oleh kebijakan fraud akan termasuk dalam keadaan apa di mana manajemen akan melibatkan forensik subjek akuntansi (UKM) sebagai konsultan, atau digital / maya UKM forensik.

Kebijakan tersebut harus dikomunikasikan kepada seluruh karyawan dan, banyak seperti Kebijakan etika, harus ditandatangani oleh setiap karyawan untuk menunjukkan nya kesepakatan sukarela untuk mematuhi. Tak perlu dikatakan, kebijakan fraud harus dikomunikasikan dan dipromosikan. Misalnya, diskusi tentang kebijakan fraud harus menjadi bagian dari orientasi karyawan pada awal kerja. Itu harus dipromosikan dan dikomunikasikan dalam literatur entitas seperti surat kabar. Jika entitas menunggu sampai fraud terjadi untuk berpikir tentang masalah ini, dan untuk membuat jenis-jenis keputusan penting, setidaknya beberapa orang yang menjadi kunci yang terlibat akan menjadi subyek dari emosi saat itu. Artinya, entitas mungkin bisa menyusuun respon yang lebih efektif terhadap fraud sebelum hal itu terjadi, ketika orang memiliki lebih banyak waktu untuk berpikir, tekanan fraud tidak ada, dan emosi yang tidak tinggi. Gangguan mental dan emosional mungkin ini menanggapi fraud adalah satu alasan untuk mendahului itu dengan mengembangkan kebijakan respon fraud dan rencana sebelum fraud yang pernah terjadi. Seperti kebijakan lain, manajemen harus menyediakan struktur formal untuk memantau pedoman kebijakan untuk kepatuhan, dan tiap tahun meninjau kebijakan untuk kebutuhan revisi.

2.4.2     Fraud Response Team

Setelah manajemen telah mengembangkan struktur formal untuk menangani fraud, perlu untuk mengidentifikasi orang, posisi, atau unit untuk bertanggung jawab pada tiap prosedur yang berbeda yang diatur dalam kebijakan fraud. ACFE telah menyediakan alat untuk membantu bagian respon fraud dalam apa yang mengacu sebagai ” matriks keputusan kebijakan fraud ”. Matrix keputusan kebijakan fraud menggambarkan bagaimana menentukan kunci elemen, langkah, dan proses penanganan fraud jika dan ketika salah satu terjadi. Kolom dari matriks yang dapat digunakan untuk menentukan fungsi dan / atau anggota tim respon fraud.

 

Beberapa anggota dari tim respon terhadap fraud sebagai berikut.

  • Hukum / Litigasi: penuntutan, pengetahuan tentang potensi jaksa yang sukses, proses pengadilan sipil
  • Hukum / HR: pemutusan hukum untuk pelaku fraud, masalah hukum dalam melakukan investigasi seorang karyawan
  • Akuntansi forensik / CFE: penyelidikan fraud, fraud / bukti hukum, wawancara yang tepat

 

  • Forensik digital: penggalian data untuk bukti Forensik Cyber: bukti melekat di IT, tersembunyi di IT, sumber dunia maya yang berpotensi
  • sebagai bukti.
  • Audit internal: mendukung penyelidikan, pengumpulan bukti, kontrol remediasi PR:
  • Humas : menghindari publikasi, mengelola publisitas, menyusun tanggapan masyarakat terhadap fraud
  • Manajemen eksekutif: mengelola semua keputusan penting dari proses dan tindak lanjut.

Salah satu fungsi utama dari tim respon terhadap fraud adalah pengawasan hukum. Sebagai disebutkan, kuasa hukum diperlukan dalam hampir semua, jika tidak semua, fraud terdeteksi. Para anggota atau anggota tim akan perlu UKM dalam masalah pidana. Ini selalu mungkin bahwa fraud terdeteksi dapat menyebabkan penyelidikan kriminal. Namun, penyelidikan kriminal bisa serba salah bagi korban. Contohnya, ada banyak contoh ketika kasus fraud diserahkan kepada hukum lembaga penegak yang tidak menuntut. Bisa jadi jumlah kasus fraud kurang dari kasus lain dan jaksa atau agen lainnya, karena beban kasus dan sumber daya yang langka kejaksaan, memutuskan untuk tidak mengejar penuntutan kasus fraud entitas. Bisa jadi bahwa lembaga yang dipilih tidak akrab atau nyaman dengan penanganan kejahatan kerah putih atau penuntutan fraud, dan karena tujuan yang agen adalah penuntutan yang sukses, ia mungkin memutuskan untuk tidak menuntut karena risiko kehilangan kasus ini. Setelah kasus diserahkan ke penuntutan agen penegak hukum, Kasus ini tidak lagi di bawah kendali dari korban, dan apa pun bisa terjadi. Oleh karena itu, jika entitas korban menginginkan penuntutan yang sukses, mereka harus hati-hati memilih dari antara lembaga kejaksaan potensi, dan bahwa membutuhkan nasihat ahli. Orang itu akan menjadi UKM yang sesuai seperti pengacara, pensiunan penyidik pemerintah, dan sebagainya.

Fungsi lain dari tim respon fraud yang harus diwakili adalah hukum HR dan peraturan, dan percabangan hukum tindakan yang diambil terhadap tersangka. Isu isu akan muncul dengan sendirinya atas pendeteksian terhadap fraud karena beberapa karyawan akan terlibat dan ada hukum dan peraturan yang membimbing penghentian karyawan dan isu-HR terkait lainnya. Secara khusus, entitas perlu untuk melindungi diri dari ” penggalian berganda ” di mana pelaku fraud mencuri dari perusahaan dan kemudian karena tindakan keliru, mampu berhasil mengejar penuntutan sipil untuk penghentian ilegal, gagal melakukan penuntutan, atau beberapa penyebab hukum terkait lainnya. Fungsi ini dapat diwakili oleh pengacara atau HR UKM. Tim pasti membutuhkan UKM dalam akuntansi dan fraud forensik investigasi. Beberapa orang membuat kesalahan dengan berpikir audit fraud sama dengan audit keuangan, dan bahwa auditor ahli keuangan maupun internalauditor akan dapat berhasil mengaudit bukti dan / atau melakukan fraud investigasi.

 

Pendidikan akuntansi, dan akuntansi tradisional dan pengalaman audit umumnya tidak memberikan latar belakang yang mencukupi, pengetahuan, atau pengalaman untuk mengidentifikasi semua masalah kritis yang dapat timbul selama penyelidikan fraud. Orang ini perlu mengetahui ” ranjau darat ” penyelidikan fraud, seperti mendekati tersangka terlalu dini, penanganan bukti litigasi / penuntutan, dan teknik wawancara yang tepat; metode yang tidak tepat dapat menyebabkan masalah hukum! Jadi entitas harus berhati-hati untuk menyertakan UKM yang sesuai pada respon Tim dalam hal penyelidikan fraud, yang mungkin akan menjadi Pemeriksa Fraud Bersertifikat (CFE) atau sebanding UKM, dan bukan hanya CPA tradisional.

 

Fungsi lain yang harus disertakan pada tim tanggap fraud adalah forensik digital. Alat dan teknik forensik digital memungkinkan ahli untuk menggali data yang kacau-balau untuk bukti fraud. Misalnya, salah satu pakar fraud adalah dipanggil untuk kasus di mana keterangan rahasia yang disediakan direktur manajemen risiko informasi yang skema penjual shell sedang dilakukan terhadapperusahaan. Masalahnya adalah bahwa perusahaan memiliki lebih dari 11.000 yang berbeda vendor, dan sutradara merasa seperti dia sedang mencari jarum di tumpukan jerami. Ketika volume data yang besar dan bukti kemungkinan yang terkandung di dalamnya, UKM di dalam penggalian data akan menjadi penting dengan sukses untuk investigasi yang tion. Orang itu akan menjadi ahli dalam menggunakan alat penggalian data seperti ACL, IDEA, Data Aktif, dan produk sejenis lainnya yang mampu mengekstraksi data yang relevan dari berkas data yang besa. UKM ini juga tahu teknik yang digunakan untuk secara efisien dan efektif ekstrak bukti fraud dari berkas data yang besar. Jadi UKM yang tepat tidak hanya tahu bagaimana menggunakan alat, tetapi juga memahami audit fraud-red flags, skema fraud, dan karateristik data yang seperti apa yang digunakan dalam pencarian.

 

Aspek penyelidikan fraud yang dapat diabaikan merugikan entitas yang mendeteksi fraud adalah forensik cyber. Setiap kasus akan memiliki bukti di daerah tertentu: Paling sering, yang berasal dari informasi wawancara atau dokumen audit trail dan / atau data. Tapi bisa jadi bukti terbaik adalah bukti digital yang tertanam dalam teknologi. Mungkin sulit untuk mengetahui apakah itu benar kecuali kegiatan respon mencakup evaluasi sebuah UKM itu bukti potensial. Aspek forensik berbeda dari penggalian data. UKM ini mampu mencari (‘ tersembunyi’) data pada berbagai sumber termasuk hard drive, sel ponsel, thumb drive, dan perangkat penyimpanan lain seperti kartu kamera. Manfaat dari memiliki UKM dalam tim adalah bahwa ia akan tahu mana sumber harus dipertimbangkan ketika mencari bukti digital, dan akan memiliki kemampuan untuk ekstrak data, termasuk data yang biasanya ” tersembunyi. ” Alat dari maya spesialis forensik yang unik untuk profesi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum atau bahkan fraud dan pemeriksaan profesi pada umumnya. Sehingga, UKM cyber forensik akan manfaat resmi dalam membuat tekad itu, dan lebih penting, karena dapat secara efektif dan secara efisien mengekstrak bukti bahwa. Satu cara untuk menentukan spesifikasi-menyebutkan statusnya seseorang sebagai UKM di daerah ni adalah menemukan orang yang merupakan Sistem Informasi Keamanan Profesional Bersertifikat (CISSP). Hampir semua tanggapan untuk fraud terdeteksi akan melibatkan audit internal (IA). Sehingga tim harus mencakup seseorang untuk mewakili IA. IA kemungkinan akan terlibat dalam bukti audit pengumpulan dalam hal dokumen dan data, dan remediating kontrol sekitar fraud terdeteksi untuk mencegah fraud seperti terjadi lagi. Mungkin tidak ada yang lebih sulit untuk mengelola dalam respon terhadap fraud dari publisitas dan hubungan masyarakat aspek. Dalam banyak kasus, manajemen akan percaya itu adalah dalam kepentingan terbaik mereka untuk menghindari publisitas. Misalnya, amal yang mendeteksi fraud mungkin percaya bahwa jika fakta yang menjadi publik, donor akan tinggal pergi berbondong-bondong. Tapi fraud dapat menjadi publik untuk beberapa alasan dan kemudian entitas memiliki untuk mengelola gambar entitas. Entitas risiko kehilangan pelanggan, kehilangan calon pelanggan, kehilangan pangsa pasar, atau menodai publik image. Sehingga UKM di humas (PR) dan publisitas perlu di tim tanggap dalam hal kebutuhan ini timbul, baik untuk menghindari publisitas atau untuk mengelola fraud publik. Jelas, manajemen eksekutif harus menjadi bagian dari tim respon. Senior manajemen perlu terlibat dengan keputusan kunci penyelidikan, dan pasti akan ingin menindaklanjuti dengan beberapa kegiatan remediasi untuk mencegah fraud terjadi dengan entitas lagi. Salah satu tugas utama dari pengelolaan ment akan menyediakan sarana strategis untuk memulihkan kerugian moneter dan menetapkan tanggung jawab dari proses itu. Namun, dalam membuat keputusan yang mewakili manajemen eksekutif, entitas harus memperhitungkan kenyataan bahwa fraud, seperti memasak buku dalam fraud pernyataan keuangan, dapat dilakukan oleh anggota dari manajemen eksekutif. Jelas, beberapa fungsi tim bisa runtuh ke satu orang yang dapat melakukan beberapa fungsi. Misalnya, bisa jadi bahwa hukum internal nasihat dapat menangani litigasi dan HR masalah hukum. Juga, entitas mungkin akan menemukan sebuah orang yang merupakan UKM dalam forensik cyber dan forensik digital, atau IA dan digital forensik. Tim ini bisa dibangun runtuh manajemen risiko dengan manajemen eksekutif. Beberapa badan yang tidak akan memiliki semua unit yang ditunjukkan tapi matriks masih berharga dalam memberikan daftar masalah untuk meninjau.

2.4.3     Recovery

Bagian dari fase respon adalah untuk memulihkan kerugian moneter karena fraud. Jumlah dapat tidak hanya menjadi signifikan tetapi sulit untuk pulih.. Menurut (2006), ACFE Laporan untuk Bangsa (RTTN), 42 persen dari semua korban pulih apa-apa dari fraud. 23,4 persen lainnya pulih kurang dari 25 persen dari kerugian. Pemulihan median dari mereka yang pulih semua kerugian, sekitar 16 persen dari kasus, adalah $ 50.000. Angka-angka ini menunjukkan bahwa korban cenderung tidak dapat memulihkan keuangan atau persentase kecil dari kerugian yang signifikan. Oleh karena itu, sangat penting bagi suatu entitas untuk mengembangkan pendekatan strategis untuk membuat pemulihan penuh.

 

Fakta-fakta ini juga membenarkan kebutuhan untuk mengembangkan rencana tanggap baik di muka fraud, karena tidak memiliki rencana tanggap mengganggu kemampuan entitas untuk pulih secara finansial dari fraud. Pemulihan dapat dicapai oleh asuransi bisnis / ikatan, perjanjian ganti rugi, atau penilaian sipil. Jelas, dua terakhir adalah tunduk pada banyak faktor di luar kendali entitas yang bisa mengganggu kemampuan entitas untuk sepenuhnya pulih. Dengan demikian strategis, pendekatan pemulihan yang paling diandalkan adalah beberapa bentuk asuransi atau ikatan karyawan kunci. Pertanyaannya menjadi berapa banyak asuransi yang dibutuhkan untuk ” sepenuhnya ” sembuh?

 

Menurut ACFE RTTN (2008), kerugian rata-rata untuk fraud adalah $ 175.000. Beberapa industri lebih rentan terhadap fraud dan kerugian yang lebih tinggi. Semua entitas dengan kontrol antifraud yang hilang atau sangat lemah juga lebih rentan. Itu berarti ketika mencoba untuk menilai jumlah potensi kerugian, tempat yang baik untuk memulai adalah dengan menggunakan $ 175.000 sebagai dasar dan menyesuaikan untuk kondisi yang melekat pada entitas, atas atau bawah untuk kontrol antifraud dan risiko industri (lihat Bab 5 untuk lebih lanjut tentang perkiraan risiko). Intinya adalah entitas perlu untuk melindungi diri dari potensi kerugian keuangan fraud dan itu tidak bisa melakukan itu secara efektif kecuali beberapa upaya yang wajar dilakukan untuk memperkirakan jumlah itu.

  1. STUDI KASUS
  2. Telkom adalah perusahaan informasi dan telekomunikasi serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap di Indonesia. PT. Telkom mengklaim dirinya sebagai perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, dengan jumlah pelanggan telepon tetap sebanyak 15 juta dan pelanggan telepon seluler sebanyak 104 juta. PT. Telkom merupakan salah satu BUMN yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia (52,47 %, dan 47,53 % dimiliki oleh publik, bank of New York, dan investor dalam negeri). PT. Telkom merupakan pemegang saham mayoritas di 13 anak perusahaan termasuk PT. Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). Cikal bakal berdirinya PT. Telkom bermula dari didirikannya sebuah badan usaha swasta penyedia layanan pos dan telegraf pada tahun 1882. Layanan komunikasi tersebut dikonsolidasikan oleh pemerintah Hindia Belanda ke dalam jawatan Post Telegraf (PTT).

Namun, sebelum tahun 1882, pada tanggal 23 Oktober 1856 telah dimulai pengoperasian layanan jasa telegraf elektromagnetik pertama yang menghubungkan Jakarta (Batavia) dengan Bogor (Buitenzorg). Momen itulah yang kemudian dijadikan sebagai hari lahir PT. Telkom, tepatnya tahun 2009.

  1. Telkom awalnya memiliki reputasi yang baik di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan New York Stock Exchange. Namun, dengan berjalannya waktu, pada tahun 2002, PT. Telkom mengalami masalah yaitu masalah mekanisme tender untuk mengaudit keuangannya. (Untuk mengaudit pembukuan PT. Telkom tahun 2002, perusahaan menunjuk KAP Eddy Pianto, sementara untuk PT. Telkomsel ditunjuk KAP Hadi Sutanto). KAP HS dan rekan adalah KAP yang mendapat kepercayaan untuk mengaudit PT. Telkomsel, yaitu sebuah anak perusahaan dari PT. Telkom.. KAP HS dan Rekan dalam perjalanannya mengundurkan diri untuk mengaudit PT. Telkomsel. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kerugian yang akan dialami di kemudian hari, bila berafiliasi dengan KAP EP dan Rekan.

 

Alasan pengunduran diri KAP HS adalah KAP HS tidak mau berafiliasi dengan KAP EP. KAP HS meragukan kelayakan hak praktek KAP EP di hadapan BAPEPAM AS. KAP HS mengetahui SEC (Security Exchange Commission) tidak mengakui keberadaan KAP EP berkaitan dengan keraguannya atas kompetensi dan independensi yang dimiliki oleh para auditornya. KAP Haryanto Sahari, ketika mengaudit PT. Telkomsel meminta izin untuk melihat 20-F seluruhnya terlebih dahulu. Permintaan tersebut ditolak oleh PT Telkom karena waktunya yang sangat krusial serta tidak ada hubungannya antara PT Telkom dengan KAP HS, juga untuk segera dilaporkan ke SEC. KAP EP dan Rekan. KAP EP dan Rekan adalah KAP yang ditunjuk PT. Telkom untuk melakukan audit konsolidasi atas perusahaan PT. Telkom. KAP EP adalah KAP yang melanjutkan audit PT. Telkomsel setelah ditinggal pergi oleh KAP HS.

 

Masalah muncul saat laporan audit (konsolidasi) tentang total kinerja PT. Telkom, yang diaudit oleh KAP Eddy Pianto ditolak PwC (Pricewaterhouse Coopers). Alasannya, lembaga itu tidak mau berasosiasi dengan perkerjaan KAP Eddy Pianto. Sikap itu dimaksudkan untuk menghindari kerugian di kemudian hari.

 

Kasus audit PT. Telkom berawal dari kesalahan interpretasi yang dilakukan oleh KAP Haryanto Sahari dan Rekan terhadap PT. Telkom, PT. Telkomsel, dan United States Securities and Exchange Commissions mengenai ketentuan standar audit Amerika. Audit Telkomsel harus mengikuti standar audit Amerika dengan merujuk pada aturan SEC, karena PT. Telkomsel membuka bursa di NYSE. Aturan SEC yang harus dijalani adalah:

 

  • Filling 20-F yaitu Form laporan keuangan dan laporan manajemen dengan KAP yang terpercaya.

 

  • Kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah di audit oleh auditor independen secara berkala tiap tahun.

 

Karena  waktunya  sangat  terbatas  KAP  EP  meminta  hasil  audit  yang dahulu pernah dilakukan oleh KAP Haryanto Sahari, tetapi KAP HS menolak untuk memberitahu hasil audit yang pernah dilakukannya. KAP Eddy Pianto juga mendapatkan penolakan oleh Thornton International sebagai Member Firm Agreement. KAP Eddy Pianto pada awalnya berhak melakukan pekerjaan audit atas nama Grant Thornton berdasarkan engagement letter yang telah ditandatangani sebelum tanggal withdrawal agreement tersebut. Namun untuk memahami US GAAS dan GAAP dalam rangka filling Form 20-F, KAP Eddy Pianto meminta bantuan dari Mark Iwan, Certified Public Accountant independen yang bukan merupakan partner dari Grant Thornton, LL.P, untuk memberi pelatihan dan konsultasi. Hal itulah yang menyebabkan KAP Eddy Pianto mendapatkan penolakan dari Thornton International.

Akibat dari penolakan tersebut telah menyebabkan perdagangan saham PT. Telkom yang tercatat di New York Stock Exchange dalam bentuk IDR dihentikan sementara. Harga saham PT. Telkom di Bursa Efek Jakarta turun secara signifikan dari harga penutupan sehari sebelumnya, serta memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap penurunan Indeks Harga Saham Gabungan.

 

Sanksi yang diterima oleh KAP Eddy Pianto adalah Bapepam mewajibkan Eddy Pianto Simon, partner KAP Eddy Pianto, untuk tidak melakukan kegiatan usaha di pasar modal terhitung sejak tanggal 16 Juni 2003 sampai diputuskan lebih lanjut oleh Bapepam. Alasannya, karena Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom tahun Buku 2002 ditolak oleh SEC. Sedangkan sanksi terhadap HS dan Rekan berupa pembayaran denda sebesar Rp20 Milyar ke Kas Negara dengan uang paksa sebesar Rp10 juta per hari. Denda itu harus dibayar maksimal 30 hari setelah pemberitahuan keputusan dari KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Sanksi ini dikenakan karena KAP HS dan Rekan terbukti bersalah dan mengakibatkan rusaknya kualitas audit KAP EP atas laporan keuangan konsolidasi PT. Telkom tahun buku 2002. KAP Haryanto Sahari dan rekan mencoba untuk menyesatkan dan merugikan. KAP Haryanto merugikan para pemegang saham dari perseroan induk maupun anak perusahaannya yakni TELKOM dan TELKOMSEL.

 

KAP Haryanto Sahari dan Rekan dan KAP Eddy melanggar peraturan Bapepam tentang persaingan yang tidak sehat antara sesama auditor. Tindakan yang dilakukan oleh KAP Haryanto Sahari, yaitu tidak mengizinkan acuannya dipakai oleh KAP ED sehingga KAP Eddy Pianto harus memulainya lagi dari awal tanpa mengetahui dokumen-dokumen apa saja yang pernah diaudit. Dan menyembunyikan hasil audit beserta opininya sehingga PT Telkom melakukan inpermission atas hasil kerja KAP HS yang saat itu waktunya sangat terbatas.

Jasa Audit di PT.Telekomunikasi Indonesia Pembacaan Putusan terhadap Dugaan Pelanggaran UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh KAP Drs. Hadi Sutanto & Rekan (KAP Pricewaterhouse Coopers)

Tidak lebih dari 8 bulan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan pemeriksaan dan menyusun putusan terhadap perkara No: 08/KPPU-L/2003 yaitu dugaan pelanggaran UU No: 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Hadi Sutanto & Rekan -sekarang bernama KAP Haryanto Sahari & Rekan- yang merupakan member firm dari Kantor Akuntan Publik Asing Pricewaterhouse Coopers (PwC) yang selanjutnya disebut Terlapor.

 

Perkara ini muncul setelah adanya laporan yang pada pokoknya tindakan Terlapor dengan sengaja memberikan interpretasi yang menyesatkan kepada PT. Telkom, PT. Telkomsel, dan US SEC mengenai Standar Audit Amerika khususnya AU 543. Tindakan Terlapor tersebut mengakibatkan rusaknya kualitas audit yang dilakukan oleh KAP Eddy Pianto atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom tahun Buku 2002 sehingga menghalangi KAP Eddy Pianto untuk bersaing dengan Terlapor sehubungan dengan penyediaan layanan audit ke perusahaan-perusahaan besar yang tercatat di lantai bursa (BEJ).

Pada pemeriksaan pendahuluan, Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan dari Pelapor -identitas dirahasiakan sesuai dengan Pasal 38 UU No: 5 Tahun 1999- dan Terlapor; hasilnya Tim Pemeriksa menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf a dan huruf b UU No: 5 Tahun 1999 sehingga perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan lanjutan. Pada pemeriksaan lanjutan, Majelis Komisi telah mendengar keterangan para Saksi di bawah sumpah, Ahli, dan Terlapor, serta memberikan kesempatan kepada Pelapor dan Terlapor untuk menyampaikan data dan/atau informasi dan/atau tanggapan yang relevan dengan pemeriksaan, dan Majelis Komisi telah menerima tanggapan tertulis dari Pelapor dan Terlapor.

 

Inti permasalahan dari perkara ini adalah Terlapor – yang mengaudit Laporan Keuangan PT. Telkomsel Tahun Buku 2002- tidak bersedia terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto karena Terlapor menghindari risiko yang dapat merugikan jika terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto. Ketidaksediaan Terlapor karena keraguan kelayakan hak berpraktek KAP Eddy Pianto dihadapan US SEC serta meminta kesempatan untuk membaca dan atau me-review seluruh copy Form 20-F PT. Telkom sebelum diajukan ke US SEC. Untuk itu Terlapor menolak hasil auditnya untuk diacu dalam pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dalam Form 20-F PT. Telkom. KAP Eddy Pianto tetap mengacu kapada hasil audit Terlapor dan menyelesaikan audit Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom. Sementara itu, untuk tetap tidak terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto, Terlapor tidak memberi ijin laporan auditnya dilampirkan dalam Form 20-F PT. Telkom.

 

Menurut Majelis Komisi, Terlapor tidak memiliki kewenangan untuk menilai kualifikasi KAP Eddy Pianto untuk berpraktek di hadapan US SEC. Kewenangan tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan US SEC, untuk itu seharusnya Terlapor meminta klarifikasi kepada US SEC. Dan hal ini tidak pernah dilakukan oleh Terlapor, akan tetapi telah melakukan penilaian mengenai kualifikasi KAP Eddy Pianto. Dengan demikian, tindakan Terlapor tidak berdasar hukum dan tidak wajar.

Terlapor mendasarkan Standar Audit SAS 8-merupakan standar audit yang berlaku di Amerika Serikat (AS) mengenai informasi lain dalam dokumen yang berisi laporan keuangan auditan- dalam kewajibannya untuk membaca terlebih dahulu Form 20-F PT. Telkom secara keseluruhan adalah tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan berlebihan. Karena, SAS 8 hanya mengatur hubungan antara auditor dengan auditan/kliennya, dan tidak mengatur hubungan antara auditor dengan pihak lain selain auditan/kliennya. PT. Telkom bukanlah auditan/klien dari Terlapor dan Form 20-F adalah dokumen lain yang diterbitkan oleh PT. Telkom dalam rangka filing ke US SEC. Form 20-F PT. Telkom, tidak hanya memuat keterangan-keterangan yang berkaitan dengan auditan/klien dari Terlapor namun juga memuat keterangan-keterangan yang tidak berkaitan dengan auditan/klien dari Terlapor.

 

Alasan Terlapor mengenai risiko bila terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dalam rangka filing Form 20-F PT. Telkom yang cacat dapat mengakibatkan Terlapor dihukum atau ditolak baik secara sementara maupun permanen oleh US SEC didasarkan pada ketentuan 17 C.F.F § 102 (e) The Commission Rules of Practice adalah tidak tepat. Terlapor salah menerapkan ketentuan tersebut karena ketentuan tersebut hanya berlaku bagi profesional yang berpraktek di hadapan US SEC dalam rangka mewakili pihak lain untuk menyampaikan pemberitahuan, permohonan, laporan, pernyataan pendaftaran, dan dokumen lain. Sedangkan dalam rangka filing Form 20-F PT. Telkom, Terlapor tidak dalam kapasitas mewakili pihak manapun untuk berpraktek di hadapan US SEC. Terlapor adalah subyek hukum badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sehingga tidak terikat oleh ketentuan yang berlaku di AS tersebut. Sedangkan PwC, LL.P. -PwC berkedudukan di AS- tidak terasosiasi dengan audit yang dikerjakan oleh Terlapor dan oleh karenanya juga tidak terasosiasi dengan filing Form 20-F PT. Telkom. Tindakan Terlapor lebih banyak dipengaruhi oleh afiliasinya (PwC, LL.P.) yang kemudian mencampuradukkan ketentuan yang berlaku di AS tersebut.

 

Menurut Terlapor, berdasarkan AU 543, KAP Eddy Pianto harus meminta ijin kepada Terlapor sebelum mengacu kepada hasil audit atas Laporan Keuangan PT. Telkomsel Tahun Buku 2002. AU 543 paragraf 7 tidak mengharuskan auditor utama mendapatkan persetujuan auditor lain apabila auditor utama mengacu pada hasil audit dari auditor lain tersebut. Persetujuan tersebut diperlukan bila auditor utama menyebutkan nama auditor lain dan laporannya disajikan bersama laporan auditor utama. KAP Eddy Pianto mengacu hasil audit Terlapor tanpa menyebutkan nama Terlapor, sehingga penolakan Terlapor agar hasil auditnya diacu oleh KAP Eddy Pianto adalah tidak berdasar hukum dan tidak wajar.

 

Berdasarkan AU 543 paragraf 7 terdapat catatan kaki nomor 3 yang pada pokoknya menyatakan keperluan filing ke US SEC harus merujuk kepada Regulation S-X 205 yaitu bila auditor utama mengacu kepada pekerjaan auditor lain, maka laporan audit dari auditor lain tersebut harus disampaikan oleh perusahaan (registrant) ke US SEC dalam rangka filing Form 20-F. Untuk itu PT. Telkom berkewajiban melampirkan laporan audit Terlapor dalam Form 20-F yang disampaikan ke US SEC, dan KAP Eddy Pianto telah mengingatkan PT. Telkom perihal tersebut, namun PT. Telkom berpendapat tidak memerlukan ijin dari

Terlapor untuk melampirkan laporan audit Terlapor dalam Form 20-F, dan Terlapor juga tidak memberi ijin laporan auditnya dilampirkan dalam Form 20-F PT. Telkom karena tidak mau terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto. Oleh karena itu tindakan Terlapor berupa tidak memberikan ijin pelampiran sebagai upaya tidak terasosiasi adalah tidak berdasar hukum dan tidak wajar.

 

Tindakan Terlapor menyebabkan competitive harm dan consumer harm. Bagi KAP Eddy Pianto, yaitu menimbulkan pernilaian bahwa KAP Eddy Pianto tidak dapat menyelesaikan dan tidak mampu melakukan pekerjaan audit terhadap Laporan Keuangan PT. Telkom tersebut. Penilaian tersebut berakibat menurunkan reputasi KAP second layer pada umumnya di mata perusahaan pengguna jasa audit first layer, sehingga pilihan perusahaan pengguna jasa audit first layer tetap terkonsentrasi pada KAP first layer. Bagi PT. Telkom, sebagai pengguna jasa audit terpaksa harus mengeluarkan tambahan waktu, tenaga, dan biaya yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan bila proses pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom Tahun Buku 2002 berjalan normal/tidak terganggu oleh tindakan Terlapor. Seluruh tambahan biaya yang dikeluarkan oleh PT. Telkom untuk melaksanakan audit Laporan Keuangan tersebut menjadi beban PT. Telkom dan merugikan pemegang saham PT. Telkom. Tidak dapat masuknya KAP Eddy Pianto ke dalam pasar bersangkutan menyebabkan pilihan bagi perusahaan pengguna jasa audit first layer tidak bertambah, sehingga menghilangkan potensi harga jasa audit yang lebih bersaing di pasar bersangkutan.

Berdasarkan fakta dan kesimpulan, Majelis Komisi memutuskan menyatakan Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a dan huruf b UU No: 5/1999, dan menghukum Terlapor membayar denda sebesar Rp20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Pemeriksaan dan penyusunan putusan terhadap perkara tersebut di atas dilakukan oleh KPPU dengan prinsip independensi-tidak memihak siapapun- semata-mata sebagai pengemban amanat pengawasan terhadap pelaksanaan UU No: 5/1999 agar terwujudnya kepastian berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha dan menjamin persaingan usaha yang sehat dan efektif. Jakarta, 24 Juni 2004Komisi Pengawas Persaingan Usaha

 

  1. PEMBAHASAN DAN OPINI

4.1 Pembahasan

Fraud yang ditemukan pada kasus PT Telkom berupa fraud yang dilakukan KAP Haryanto Sahari dengan memberikan interpretasi yang menyesatkan kepada PT Telkom mengenai Standar Audit Amerika khususnya AU Respon PT Telkom terhadap fraud yang dilakukan KAP HS adalah bahwa KAP HS tidak memahami mengenai kebijakan fraud dengan baik yang terbukti dari memberikan interpretasi yang menyesatkan pada PT Telkom, PT Telkomsel dan US SEC mengenai Standar Audit Amerika dan tidak mau berasosiasi dengan KAP Eddy Pianto dengan alasan menghindari risiko kerugian karena keraguan akan kelayakan hak praktek KAP Eddy Pianto di hadapan US SEC.

 

Dikaitkan dengan tim respon terhadap fraud, tim respon terhadap fraud dalam kasus PT Telkom yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang melakukan penyelidikan atas dasar dugaan pelanggaran UU No: 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Hadi Sutanto & Rekan – sekarang bernama KAP Haryanto Sahari & Rekan- yang merupakan member firm dari Kantor Akuntan Publik Asing Pricewaterhouse Coopers (PwC) berdasarkan kesaksian dari seorang pelapor yang identitasnya dirahasiakan. Dengan pengalaman yang cukup dalam menangani beberapa kasus fraud, KPPU berhasil mengungkap tindak fraud yang dilakukan KAP Haryanto Sahari dan telah mengeluarkan putusan pemberian hukuman pada KAP Haryanto sahari berupa pembayaran denda sebesar Rp.20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah).

Terkait dengan pemulihan keuangan, PT. Telkom sebagai pengguna jasa audit harus memulihkan keuangannya karena terpaksa mengeluarkan tambahan waktu, tenaga, dan biaya yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan bila proses pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom Tahun Buku 2002 berjalan normal/tidak terganggu oleh tindakan KAP Haryanto Sahari. Seluruh tambahan biaya yang dikeluarkan oleh PT. Telkom untuk melaksanakan audit Laporan Keuangan tersebut menjadi beban PT. Telkom dan merugikan pemegang saham PT. Telkom. Tidak dapat masuknya KAP Eddy Pianto ke dalam pasar bersangkutan menyebabkan pilihan bagi perusahaan pengguna jasa audit first layer tidak bertambah, sehingga menghilangkan potensi harga jasa audit yang lebih bersaing di pasar bersangkutan.

 

4.2 Opini

Dari pembahasan di atas, mengenai kasus fraud yang dilakukan KAP Haryanto Sahari terhadap PT Telkom, seharusnya KAP Haryanto Sahari selaku badan independen yang mengaudit entitas dapat memahami tentang fraud dan bukan malah melakukan fraud. Hal ini tentu membuat reputasi dari KAP HS menjadi turun dan entitas memiliki keraguan dalam memilih KAP Haryanto Sahari Selain itu, KAP Haryanto telah merugikan PT Telkom dari segi biaya dan waktu karena ketidaklancaran dalam proses audit Laporan Keuangan Konsolidasi PT Telkom. KAP Haryanto seharusnya tidak mempermainkan KAP Eddy Pianto dengan merujuk pada US SEC mengenai kelayakan hak berpraktek karena keputusan mengenai hak berpraktek ada di tangan US SEC dan KAP HS tidak memiliki wewenang untuk menilai kelayakan KAP Eddy Pianto.

 

  1. PENUTUP

5.1.        Simpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat diperoleh kesimpulan atas respon terhadap fraud. Untuk menanggapi fraud yang telah terdeteksi, dibutuhkan metoda dalam menanggapi fraud tersebut yakni dengan kebijakan fraud, adanya campur tangan dari tim respon terhadap fraud dan melakukan pemulihan keuangan.

 

KAP HS menolak izin audit sebagai first layer. Penolakan ini menyebabkan kerugian bagi pihak KAP EP dan PT. Telkom. KAP HS dan KAP EP yang melanggar undang-undang tentang Pasar Modal mendapatkan sanksi dari BAPEPAM. KAP HS dan Rekan bersama PwC terbukti bersalah sehingga harus membayar denda Rp20.000.000.000. Perusahaan yang tedaftar di pasar modal harus memakai auditor yang profesional, terpercaya, independen dan memiliki afiliasi dengan KAP yang diakui kehandalannya secara internasional dalam menangani pemeriksaan laporan keuangan perusahaan. Sesama KAP perlu bekerja sama dan saling mendukung dalam menjalankan pekerjaannya agar dapat berjalan lancar dan dapat selesai tepat waktu. Selain itu perusahaan dan KAP harus menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.

 

5.2 Saran

Profesionalitas seorang auditor dalam menjalankan tugasnya merupakan aset penting yang harus dimiliki. Para auditor hendaknya menjaga profesionalitas atau kinerja kerjanya supaya reputasi saham di pasar tetap baik. Dengan adanya reputasi baik tersebut, perekonomian Indonesia di mata dunia akan mendapatkan tempat yang baik pula. Simbiosis mutualisme antara perseroan dan auditor adalah hal yang tidak dapat dipisahkan karena kedua badan tersebut saling membutuhkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

http://ridwanpp.blogspot.co.id/2010/11/sebagai-profesi-penyedia-jasa-pelaporan.html (diakses pada tanggal 25 Oktober 2015)

prezi.com/ml_1cxfiaph3/kasus-audit-pt-telkom/ (diakses pada tanggal 24 Oktober 2015)

Singleton, T. W., & Singleton, A. J. (2010). Fraud Auditing and Forensic Accounting Fourth Edition. Hoboken: Wiley.

Tuanakotta, Theodorus M. (2013). Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: LPFE

 

RED FLAG & KASUS PROYEK HAMBALANG

RED FLAG & KASUS PROYEK HAMBALANG

Stevanus Eric Sugianto & Daniel Sugama Stephanus

Program Studi Akuntansi – FakultasEkonomi dan Bisnis – Universitas Ma Chung – Kabupaten Malang – 2015

 

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini pihak internal dan eksternal perusahaan sudah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi akan pentingnya laporan keuangan dari sebuah perusahaan, hal ini terjadi karena mereka menyadari bahwa laporan keuangan adalah salah satu informasi yang paling dapat menggambarkan keseluruhan dari keadaan perusahaan selama ini. Laporan keuangan adalah suatu pertanggungjawaban dari manajemen dalam hal pengelolaan sumber daya uang telah dipercayakan dari para pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan tersebut, seperti yang tertulis dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 (IAI, 2009) yang menyatakan, bahwa tujuan umum laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.

Dalam menjamin apakah laporan keuangan yang akan diberikan kepada para pemakai terbebas dari salah saji dan kecurangan penyajian, maka pengelola perusahaan berkewajiban untuk menunjuk auditor independen untuk melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan tersebut dan memberikan pernyataannya kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Seksi 110 (IAI, 2011) dikatakan bahwa, tujuan dari pelaksanaan audit pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran dan kematerialitasan atas posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia (PABU). Auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan yang memadai apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan. Seorang auditor yang telah ditunjuk oleh perusahaan harus memiliki tanggungjawab dan menjalankan fungsi audit seperti tertulis dalam SA Seksi 110 yang menuliskan bahwa seorang auditor independen bertanggungjawab atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam memperoleh keyakinan yang memadai apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh      kekeliruan          dan        kecurangan penyajian (IAI,      2011).

Kekeliruan dan kecurangan dalam penyajian laporan keuangan disebabkan dua faktor, yaitu kesalahan saji berdasarkan tindakan yang disengaja atau tidak disengaja. Terdapat 2 tipe salah saji yang relevan dengan pertimbangan auditor tentang kecurangan dalam audit atas laporan keuangan, yaitu salah saji yang timbul sebagai akibat dari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan kecurangan yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (SPAP, 2011). Dalam hal kecurangan (fraudulent) terdapat indikator kecurangan (Red Flags) yang harus ditemukan auditor independen sebelum memutuskan apakah perusahaan melakukan kecurangan penyajian atau tidak, seperti yang terdapat dalam SPAP (2011) SA Seksi 110 mengenai gambar dan karakteristik dari kecurangan. Terdapat tiga tindakan yang menyangkut dalam laporan keuangan, yaitu manipulasi, kesalahan dalam mempresentasikan hilangnya suatu laporan transaksi, peristiwa, atau informasi yang signifikan, dan kesalahan penerapan prinsip akuntansi yang disengaja.

Tanda-tanda kecurangan yang mungkin ditemukan oleh auditor indepeden ketika melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan perusahaan klien tidak saja untuk memenuhi tanggung jawab auditor dalam menjalankan fungsi audit tetapi juga memungkinkan auditor independen untuk lebih teliti dalam melakukan pemeriksaan, sehingga kemungkinan terjadinya kecurangan (irregulation) ataupun kesalahan penyajian (error) dapat ditemukan, dan ini untuk memenuhi fungsi dari penggunaan laporan keuangan dalam mengambil keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Suaratna (2009). Red flags berkaitan dengan sinyal kecurangan yang dilakukan perusahaan klien dan oleh sebab itu auditor mempunyai tanggung jawab untuk mendeteksi adanya kecurangan dalam perusahaan klien dengan cara auditor harus menilai secara spesifik risiko dari salah saji material untuk memperoleh suatu reasonable assurance.

Terkait dengan kasus hambalang yang diangkat dalam makalah ini yang awalnya proyek hambalang dimulai sekitar tahun 2003, tetapi secara kronologinya proyek ini bermula pada Oktober tahun 2009. Saat itu Kemenpora menilai perlu ada Pusat Pendidikan Latihan dan Sekolah Olah Raga pada tingkat nasional. Oleh karena itu, Kemenpora memandang perlu melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan proyek pusat pendidikan pelatihan dan sekolah olahraga nasional di Hambalang Bogor. Selain itu, juga untuk mengimplementasikan UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Dan pada 30 Desember 2010, terbit Keputusan Bupati Bogor nomor 641/003.21.00910/BPT 2010 yang berisi Izin Mendirikan Bangunan untuk Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional atas nama Kemenpora di desa Hambalang, Kecamatan Citeureup-Bogor. Yang direncanakan akan mulai dilaksanakan tahun 2010 dan direncanakan selesai  tahun    2012.

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka pembahasan yang akan dilakukan adalah mengenai pentingnya redflag bagi auditor independen dalam medeteksi kecurangan pada laporan keuangan. Memungkinkan auditor independen untuk lebih teliti dalam melakukan pemeriksaan, sehingga kemungkinan terjadinya kecurangan ataupun kesalahan penyajian (error) dapat ditemukan, dan tentu saja hal ini juga untuk memenuhi fungsi dari penggunaan laporan keuangan perusahaan dalam mengambil keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

 

  1. LANDASAN TEORI TERKINI

2.1 Penjelasan Red Flag

Menurut Singleton & Singleton (2010), Red Flag sinonim untuk sidik jari penipuan. Kapan penipuan terjadi, ada jejak kriminal dan kejahatan kiri di tempat kejadian kejahatan, atau dalam kehidupan penipu ini, seperti sidik jari yang mungkin tertinggal di suatu tempat kejadian. Bendera merah memiliki berbagai sifat dan mencakup hal-hal seperti akuntansi anomali, transaksi dan peristiwa yang tidak bisa dijelaskan, elemen yang tidak biasa dalam transaksi, perubahan perilaku atau karakteristik seseorang, atau hanya karakteristik umumnya terkait dengan penipuan yang diketahui, terutama individu tertentu skema atau kelompok skema.

 

2.2 Standar Profesi

Menurut Singleton & Singleton (2010), Sebagian besar organisasi profesi akuntansi telah mengikuti berlalunya Sarbanes – Oxley Act ( SOX ) dengan penerapan standar teknis untuk mengakomodasi prinsip-prinsip SOX , atau semangat SOX , dan mereka umumnya termasuk bendera merah sebagai kunci untuk bimbingan.

Tiga contoh kelompok profesional dan standarnya adalah American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), the Information Systems Audit and Control Association (ISACA), and the Institute of Internal Auditors (IIA). Ini dipilih karena peran kunci mereka dalam audit kecurangan.

 

2.3 Kecurangan pada Laporan Keuangan

Menurut Singleton & Singleton (2010), Kelas utama dari kecurangan pada pohon kecurangan adalah kecurangan keuangan. Kecurangan ini umumnya dilakukan oleh manajemen senior, bagi organisasi (setidaknya di sebagian atau tidak langsung), dan untuk kepentingan organisasi dan pelaku kecurangan. Pada akhirnya, hal itu tidak menguntungkan organisasi tetapi menguntungkan pelaku kecurangan saja. Pada kecurangan ini, beberapa bendara merah pada umumnya berbeda dari yang berkaitan dengan pelaku kecurangan yang melakukan penyalahgunaan aset atau korupsi. Umumnya, bendera merah berkaitan dengan kecurangan laporan keuangan yang meliputi berikut ini.

  1. Anomali Akuntansi
  2. Pertumbuhan yang cepat
  3. Keuntungan yang tidak biasa
  4. Kelemahan pengendalian internal
  5. Agresivitas manajemen eksekutif
  6. Obsesi dengan harga saham oleh manajemen eksekutif
  7. Micromanagement oleh manajemen eksekutif

Dari bendera merah tersebut, bendera merah yang paling umum dari kategori adalah gaya manajemen atau karakter dari kunci eksekutif. Biasanya, seorang manajer senior memiliki kelemahan sulit mengamati dalam etika pribadi, tetapi juga menunjukkan sebuah sifat terlalu agresif bila diamati. Sebagai contoh, eksekutif bisa terus memproduksi dan menyetujui tujuan keuangan terlalu optimis. Dia bisa mendominasi dengan karyawan, berusaha untuk menjaga orang-orang di bawah ibu jarinya. Dia juga mungkin akan mencoba untuk mengarahkan auditor internal dan eksternal sekitar atau pergi dari daerah-daerah di mana kecurangan yang kemungkinan besar akan ditemukan. Menjadi rahasia atau menjaga informasi keuangan tertentu dekat dengan rompi juga merupakan tanda dari jenis eksekutif.

 

2.4 Tanggung Jawab Profesional

Menurut Singleton & Singleton (2010), Dari standar teknis dari tiga organisasi ini, jelas bahwa auditor diharapkan dapat mengidentifikasi indikator kunci dari kecurangan dalam proses melakukan jasa profesional. Karena fakta ini, perlu untuk auditor untuk dilatih dalam aspek identifikasi penipuan dan deteksi menggunakan bendera merah. 1 Hal ini juga penting bagi auditor untuk menggunakan pelatihan, artikel, seminar, pendidikan, dan cara lain untuk mengembangkan efektif pola pikir yang berhubungan dengan kecurangan dan terutama untuk bendera merah.

Satu komentar lebih diperlukan tentang standar teknis dan tanggung jawab profesional. Sebuah studi dari bendera merah akan memungkinkan auditor dari semua jenis untuk bisa mengenali bendera merah ketika datang di meja mereka, dan berakhir di bawah hidung mereka, dalam kegiatan sehari-hari. Misalnya, akan auditor dapat mengenali bendera merah jika ia sedang melakukan verifikasi audit trail dan mengambil up faktur untuk layanan yang dicetak menggunakan format Excel yang dihasilkan?

Berikut adalah setidaknya dua bendera merah: skema perusahaan Shell biasanya tagihan untuk layanan, dan jarang melakukan vendor yang sah menggunakan Excel sebagai sistem penagihan. Ini ilustrasi bisa diberitahu untuk tak terhitung jumlahnya situasi lain. Tetapi intinya adalah auditor harus memiliki probabilitas tinggi mengakui bendera merah jelas harus mereka hadapi satu.

 

2.5 Penyalahgunaan Aset

Menurut Singleton & Singleton (2010), Kecurangan itu dikategorikan sebagai penyalahgunaan aset biasanya dilakukan oleh karyawan, terhadap organisasi, untuk kepentingan karyawan. Menurut Lux dan Fitiani, perilaku umum bendera merah meliputi berikut ini.

  1. Perubahan Perilaku
  2. Ketidak mampuan untuk melihat orang di mata
  3. Peningkatan iriabilitas
  4. Riwayat kerja yang tidak teratur
  5. Masalah karakter
  6. Kemarahan konsisten
  7. Kecenderungan menyalahkan orang lain
  8. Perubahan gaya hidup

Menurut Singleton & Singleton (2010), Untuk orang dengan kode pribadi yang lebih tinggi dari etika, perubahan perilaku yang lebih mungkin terjadi (misalnya, lekas marah, ketidakmampuan untuk melihat orang lain dalam mata); bahwa adalah, hati nurani mereka akan mulai mengganggu mereka. Bendera merah terakhir, perubahan gaya hidup, mungkin yang paling umum pada ini daftar. Dari penipu yang tertangkap, yang paling cenderung meningkat kejahatan mereka dengan mengambil lebih banyak dengan skema yang sama setiap tahun yang tidak terdeteksi atau dengan menambahkan skema lain. Artinya, jika penipu lolos dengan $15.000 penipuan tahun ini, ia cenderung untuk mencuri lebih, mungkin dua kali yang banyak, berikutnya tahun. Jika ia berhasil lolos dengan $30.000 tahun depan, ia mungkin ganda itu lagi tahun depan. Ini masuknya uang bebas pajak biasanya dihabiskan, dan menghabiskan dalam seperti cara orang di sekitar penipu dapat melihat peningkatan gaya hidupnya. Salah satu penipuan itu terungkap setelah seorang karyawan membeli mobil, kapal, mahal rumah kedua, dan putaran bir setiap minggu untuk tim-semua bowling pada gaji $30,000 per tahun! Sebuah tetangga sebelah, yang juga bekerja untuk perusahaan yang sama, curiga, karena dia tidak mengerti bagaimana dia mampu seperti perubahan gaya hidup drastis. Penipu mengaku bahwa relatif meninggalkan dia banyak uang.

Bendera merah lainnya bisa termasuk karyawan seperti berikut ini.

  1. Apakah puas dengan majikan atau atasan
  2. Jangan pernah berlibur atau mengambil dalam bingkai waktu yang singkat ( kemungkinan di lapping dan skema hantu karyawan )
  3. Memiliki strain keuangan atau masalah utang
  4. Bukti sifat dari masalah psikotik
  5. Terus mengeluh tentang bagaimana bos atau perusahaan memperlakukan mereka

 

  1. Menunjukkan karakteristik perilaku yang terkait dengan egocentrics atau mereka yang perlu untuk mengontrol segala sesuatu

 

  1. Tolak transfer, promosi, atau penawaran pekerjaan lain

 

2.6 Spesifik Bendera Merah

2.6.1 Skema Laporan Keuangan

Kategori ini dipecah menjadi enam penipuan tertentu. Keenam skema yang dibahas dalam SAS 99 juga. Untuk daftar rinci dan panjang bendera merah terkait dengan penipuan laporan keuangan, lihat lampiran untuk SAS 99. Bendera merah yang berlaku untuk semua jenis skema laporan keuangan termasuk (kebanyakan diambil dari SAS No. 99)

  1. Ancaman terhadap stabilitas keuangan atau profitabilitas dengan ekonomi, industri, atau kondisi operasional internal
  2. tekanan berlebihan pada manajemen untuk memenuhi persyaratan keuangan yang agresif
  3. Bukti bahwa eksekutif atau anggota dewan memiliki keuangan pribadi ketergantungan pada kinerja entitas
  4. transaksi sangat kompleks atau hubungan kepada pihak ketiga
  5. pemantauan yang tidak efektif dari eksekutif
  6. Kompleks atau tidak stabil struktur organisasi pengendalian internal n Kekurangan, terutama kekurangan yang signifikan atau bahan kelemahan
  7. Peningkatan masuk akal marjin kotor, terutama bila dibandingkan dengan rata-rata industri
  8. arus kas negatif Berulang dari operasi, terutama ketika digabungkan dengan meningkatnya laba dan arus kas positif secara keseluruhan
  9. keuntungan yang tidak biasa, terutama jika jauh di atas rata-rata industri
  10. Pertumbuhan yang cepat, keuntungan yang di atas Standard & Poor (S & P) rata
  11. transaksi yang signifikan dengan pihak-pihak terkait, terutama ketika yang lain Partai tidak diaudit atau diaudit oleh perusahaan audit yang berbeda
  12. yang signifikan, tidak biasa, atau sangat kompleks transaksi di akhir tahun fiskal
  13. Volume signifikan dari penjualan ke entitas yang substansi dan pemilik tidak diketahui
  14. pertumbuhan yang tidak biasa pendapatan oleh minoritas unit bisnis

2.6.1.1 Perbedaan waktu ( Pengobatan yang tidak benar dari Penjualan )

Ini pusat penipuan sekitar pesanan penjualan yang baik prematur atau akan terbalik dalam beberapa minggu atau bulan . Bendera merah untuk ini pusat skema sekitar cara transaksi yang tidak benar tersebut akan dilakukan . Misalnya mengenai penjualan berpotensi tidak sah seperti channel stuffing, bendera merah akan menjadi penjualan tercatat sebelum ditransaksikan (yaitu, pelanggaran GAAP). Channel stuffing bendera merah termasuk pengembalian berlebihan barang dagangan, disertai dengan kredit penjualan, terutama di hari-hari awal perioda pelaporan keuangan yang baru (yaitu, pertama beberapa hari seperempat baru atau tahun fiskal baru).

2.6.1.2 Pendapatan Fiktif

Pendapatan fiktif diciptakan dengan hanya mencatat penjualan yang tidak pernah terjadi. Bendera merah terkait dengan jenis transaksi atau hasil dari itu termasuk:

  1. Peningkatan luar biasa dalam aset (sisi lain dari entri untuk membuat fiktif pendapatan)
  2. Pelanggan dengan data yang hilang (alamat terutama fisik dan telepon angka)
  3. perubahan Unexplained dalam hubungan tertentu atau tren rasio (misalnya, pendapatan tumbuh tapi piutang tidak)

2.6.1.3 Kewajiban tersembunyi (Recording yang tidak benar dari Kewajiban)

Keuntungan dapat meningkat tidak etis dengan memindahkan kewajiban dari buku satu entitas lain. Kewajiban juga dapat disembunyikan dengan tidak merekam sah kewajiban. Bendera merah terkait dengan jenis-jenis transaksi meliputi berikut ini.

  1. Transfer yang berlebihan dari satu entitas ke entitas terkait (misalnya, kepada anak perusahaan)
  2. Transfer yang tidak biasa atau tidak dapat dijelaskan dari satu entitas ke entitas terkait
  3. Memperkerjakan audit yang berbeda untuk anak perusahaan atau entitas bisnis terkait
  4. Faktur vendor dan transaksi kewajiban lainnya tidak tercatat dalam buku

2.6.1.4 Pengungkapan yang tidak memadai

Pengungkapan yang tidak benar dapat menjadi taktik dari pelaku kecurangan untuk menyembunyikan kecurangan. bendera merah meliputi berikut ini.

  1. Catatan pengungkapan yang begitu dikaburkan sehingga sulit untuk menentukan sifat sebenarnya dari peristiwa atau transaksi
  2. Penemuan kontinjensi hukum yang dirahasiakan, atau acara penting lainnya

 

  1. Penemuan kecurangan yang dirahasiakan

2.6.1.5 Penilaian aset tidak tepat

Keuntungan dapat meningkat dengan meningkatkan nilai aset. Peningkatan yang dapat hasilnya menambahkan nilai dengan biaya asli atau dengan mengurangi akun kontra yang pergi dengan aset disusutkan. Bendera merah meliputi berikut ini.

  1. Meningkat tidak biasa atau tidak dapat dijelaskan nilai buku aset (persediaan, piutang, aset jangka panjang)
  2. Tren yang tidak biasa dalam rasio atau hubungan aset ke bagian lain dari Laporan keuangan (misalnya, kenaikan konsisten dalam jumlah hari dalam piutang rasio, perubahan rasio piutang terhadap pendapatan)
  3. Pelanggaran GAAP beban rekaman sebagai aset
  4. Kecenderungan manajemen untuk menjadi tidak responsif ketika auditor internal aset laporan yang perlu dihapus dari neraca (karena mereka telah diduga telah pensiun, atau dipindahkan ke badan usaha yang berbeda)

2.6.2 Skema Penyalahgunaan Aset

2.6.2.1 Pencurian Kas

Menurut Singleton & Singleton (2010), Pencurian uang tunai hanya pencurian uang dari majikan, terjadi setelah itu dicatat dalam buku catatan. Ini termasuk uang tunai dan cek. Bendera merah meliputi berikut ini.

  1. Aliran yang tidak biasa atau tidak dapat dijelaskan dalam tingkat deposito di bank
  2. Perbedaan yang tidak biasa atau tidak dapat dijelaskan antara rekening atau laporan kegiatan dan laporan informasi bank
  3. Perubahan gaya hidup karyawan

2.6.2.2 Skema Penagihan

Skema penagihan adalah jenis yang paling umum dari penyalahgunaan aset, berdasarkan statistik dari ACFE ini berbagai Laporan kepada laporan Nationnal. Oleh karena itu, penting untuk dapat mencegah dan mendeteksi (mengenali) jenis skema kecurangan. Kategori ini juga berisi sejumlah skema yang berbeda.

  1. Shell Company Dalam In a shell company scheme, pelaku kecurangan menetapkan perusahaan fiktif sebagai sarana untuk mengalihkan cek dari majikan ke pelaku kecurangan. Biasanya vendor fiktif adalah nama palsu, dan sering alamatnya adalah kotak pos. Kadang-kadang pelakunya akan menggunakan derivasi dari nama vendor yang sah untuk membingungkan mereka yang mungkin melihat cek atau nama fiktif vendor.

 

  1. Pass Through Vendor A pass through vendor scheme is similiar to the shell company scheme. Dalam pass through vendor scheme, vendor sebenarnya tidak memberikan produk untuk majikan, namun harga yang harus dibayar untuk vendor adalah selangit. Pelaku kecurangan mengatur vendor semu untuk tujuan bilking majikan untuk membayar lebih untuk layanan atau produk dari akan dibayar jujur untuk mengambil kelebih untuk dirinya sendiri.
  2. Nonaccomplice Vendor in this scheme, vendor adalah peserta yang tidak Dalam beberapa cara, pelaku kecurangan membujuk vendor yang sah untuk mengirim check, biasanya untuk pengembalian dana, untuk majikan. Pelaku penipuan menyadap check dan mengarang suatu dukungan untuk uang tunai untuk keuntungan sendiri.
  3. Personal Purchases In personal purchases frauds, pelaku kecurangan hanya memiliki perusahaan membayar untuk barang-barang pribadi.

2.6.2.3 Skema Gaji

Skema gaji melibatkan menipu perusahaan untuk membayar upah yang tidak diperoleh. Cara penipuan seperti bervariasi, tetapi mereka semua mengarah pada tidak sah peningkatan gaji atau periode gaji yang tidak sah. Skema tertentu termasuk karyawan hantu, upah dipalsukan, komisi, dan pekerja yang memalsukan’ kompensasi .

  1. Ghost Employee A ghost employee scheme dilakukan oleh pelaku kecurangan yang menambahkan orang, fiktif atau nyata, ke file gaji. Kemudian pelaku kecurangan mengelola hal tersebut untuk mendapatkan persetujuan pembayaran dari hantu dan memotong cek atau memiliki itu dikirimkan kepada kaki tangan atau POB sendiri.
  2. Check-Tampering Five check-tampering schemes make up the most costly of frauds. Dengan demikian, mereka layak mendapat perhatian ekstra dalam memahami mereka dan mengembangkan metode deteksi dan pencegahan dan kontrol. Periksa sabotase dasarnya melibatkan menggunakan cek entitas dalam satu macam atau yang lain untuk mengambil uang tunai dari organisasi korban.
  3. Skimming Skimming fruads terjadi sebelum catatan pesanan dibuat. Karena itu adalah dari kecurangan buku, itu adalah salah satu yang paling sulit dideteksi. Satu metodologi untuk mendeteksi skimming adalah dengan melakukan invigilation. Invigilation adalah peciptaan murni, lingkungan kecurangan bebas untuk tujuan pembandingan total penerimaan yang harus normal. Efek ini murni dapat dibuat oleh investigasi tingkat tinggi, dimana semua orang tahu bahwa fraud auditor datang untuk mencari kecurangan. Tambahkan kamera untuk pengawasan dan hal lain yang akan meningkatkan tingkat perhatian audit kecurangan.

Tujuannya adalah untuk menciptakan seperti tingkat tinggi persepsi deteksi bahwa pelaku kecurangan menghentikan skimming sementara sehingga fraud auditor dapat menetukan tingkat yang normal dalam penjualan. Benchmark yang kemudian dapat dibandingkan dengan penjualan aktual untuk menentukan apakah, dan kira-kira berapa banyak, skimming berlangsung. Skema skimming itu sendiri terkait dengan penjualan (unrecorded sales, understated sales), penerimaan (write-off schemes, lapping schemes, unconcealed schemes), and refunds. Seperti beberapa skema lainnya, skimming dapat biasanya tidak akan dilakukan di jangka panjang tanpa penemuan jika pengendalian internal beroperasi secara efektif.

2.6.3 Skema Korupsi

2.6.3.1 Conflict of interest

Menurut Singleton & Singleton (2010), A conflict of interest fraud melibatkan karyawan dengan hubungan dengan pihak ketiga dimana karyawan dan atau pihak ketiga mendapatkan keuntungan keuangan. Pelaku kecurangan memiliki pengaruh untuk kepentingan pihak ketiga karena kepentingan pribadi ini di pihak ketiga. Entitas harus memiliki kebijakan (etika atau kecurangan) yang secara khusus melarang kegiatan semacam ini.

  1. Penyuapan

Kecurangan penyuapan melibatkan pembayaran untuk mempengaruhi karyawan untuk mengirim bisnis untuk vendor membuat pembayaran. Kecurangan dalam kelompok ini termasuk suap, menawar rigging dan lain-lain.

  1. Pemerasan ekonomi

Pada dasarnya, pemerasan ekonomi adalah kebalikan dari penipuan suap. Alih-alih vendor menawarkan suap, karyawan menuntut pembayaran dari vendor untuk mendukung vendor.

 

  1. STUDI KASUS

3.1 Kasus Hambalang

Menurut Iwan Piliang (2013), Proyek Hambalang dimulai sekitar tahun 2003. Secara kronologis, proyek ini bermula pada Oktober Tahun 2009. Saat itu Kemenpora (Kementrian Pemuda dan Olah Raga) menilai perlu ada Pusat Pendidikan Latihan dan Sekolah Olah Raga pada tingkat nasional. Oleh karena itu, Kemenpora memandang perlu melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan proyek pusat pendidikan pelatihan dan sekolah olahraga nasional di Hambalang, Bogor. Selain itu juga untuk mengimplementasikan UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Pada 30 Desember 2010, terbit Keputusan Bupati Bogor nomor 641/003.21.00910/BPT 2010 yang berisi Izin Mendirikan Bangunan untuk Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional atas nama Kemenpora di desa Hambalang, Kecamatan Citeureup-Bogor. Atas keberlanjutan tersebut, maka Pembangunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional mula dilaksanakan tahun 2010 dan direncanakan selesai tahun 2012. Berdasarkan hasil perhitungan konsultan perencana, untuk membangun semua fasilitas dan prasaranan sesuai dengan master plan yang telah disempurnakan, anggaran mencapai Rp 1,75 triliun yang sudah termasuk bangunan sport science, asrama atlet senior, lapangan menembak, extreme sport, panggung terbuka, dan voli pasir.

Sejak tahun 2009-2010 Kementrian Keuangan dan DPR menyetujui alokasi anggaran sebagai berikut.

  1. APBN murni 2010 sebesar Rp 125 miliar yang telah diajukan pada tahun 2009
  2. APBNP 2010 sebesar Rp 150 miliar
  3. Pagu definitif APBN murni 2011 sebesar Rp 400 miliar

Pada 6 Desember 2010 keluar surat persetujuan kontrak tahun jamak dari Kementrian RI nomor S-553/MK.2/2010. Pekerjaan pembangunan direncanakan selesai 31 Desember 2012. Penerimaan siswa baru diharapkan akan dilaksanakan tahun 2013-2014.

Pelaku yang Terlibat Dalam Kasus Hambalang

  1. Pelaku Utama  Kasus   Hambalang

 

  1. Andi Alfian Mallarangeng

Seorang pengamat politik Indonseia yang menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Ia juga pernah menjabat sebagai Juru Bicara Kepresidenan bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

  1. Wafid Muharam

Sebagai Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sekmenpora) dan sebagai tangan kanan Menpora Andi Alfian Mallarangeng

  1. Deddy Kusdinar

Sebagai Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

  1. Lisa Lukitawati

Sebagai Direktur dari CV Rifa Medika

  1. Andi Zulkarnain Anwar alias Andi Zulkarnain Mallarengeng alias Choel

Sebagai Presiden Direktur PR FOX Indonesia.

  1. Anas Urbaningrum

Sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat tahun 2009. Ia sempat mempimpin Divisi Otonomi Politik dan Daerah sebelum menjadi Ketua Umum DPP partai Demokrat. Pada tahun 2001-2005 ia juga pernah bergabung menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasca mundurnya beliau dari Ketua Umum Partai Demokrat, pada tahun 2013 ia mendirikan organisasi masyarakat yang bernama Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).

  1. Muhammad Nazaruddin

Muhammad Nazaruddin dipilih sebagai anggota Banggar DPR perioda 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrat dan pada tahun 2010 diangkat Bendahara Umum Partai Demokrat.

Pelaku Lainnya Kasus Hambalang

  1. PT Metaphora Solusi Global (PT MSG)

Perusahaan yang bergerak dibidang arsitektur dan memenangkan konsep masterplan dari proyek Hambalang.

  1. Mahyuddin NS

Menjabat sebagai ketua komisi X DPR RI. Ia juga pernah menjabat sebagai wakil gubernur Sumatera Selatan periode 2003-2008 dan di lantik menjadi gubernur Sumatera Selatan pada 11 Juli 2008.

  1. Angelina Sondakh

Anggota DPR RI periode 2004-2009 dan 2009-2014 sebagai Badan Anggaran (Banggar) dari partai Demokrat. Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai Visa Officer, Australia First (1999-2000), dan mantan Puteri Indonesia tahun 2001 asal Sulawesi Utara.

  1. Mirwan Amir

Sukses menduduki Anggota DPR untuk periode 2009-2014 sebagai anggota Banggar. Pertengahan 2012 ia tercatat dalam kasus dugaan suap Dana Penyesuaian Insfrastruktur Daerah (DPD) sebagai Dewan yang memiliki transaksi mencurigakan berdasarkan laporan PPATK.

  1. Wayan Koster

Sebagai anggota komisi X dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

  1. Kahar Muzakir

Anggota DPRD komisi X wilayah Sumatera Selatan II yang menangani masalah Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan.

  1. Juhaeeni Alie

Sebagai anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Demokrat. Di Fraksi Partai Demokrat sendiri, Alie menjabat sebagai Sekretaris Departemen Pendidikan Nasional di bawah kepemimpinan Atas Urbaningrum.

  1. Mardiyana Indra Wati

Sebagai anggota komisi X DPR RI dan anggota Kelompok Kerja (Pokja) Proyek Hambalang.

  1. Saul Paulus David Nelwan

Seorang pengusaha dalam kasus hambalang hanya menjadi saksi karena meminta uang Rp 600 juta dari PT Adhi Karya atas perintah dari Wafid Muharam.

  1. Ida Bagus Wirahadi

Anggota dari Fraksi Partai Amanat Nasional

  1. Poniran
  2. PT Adhi Karya

Pihak konstruksi BUMN untuk proyek Hambalang dengan pihak yang terkait :

  1. Teuku Bagus Mukhamad Noor (sebagai Kepala Divisi Konstruksi Jakarta I)
  2. M Arief Taufiqurahman (sebagai Manajer Pemasaran sekaligus Fasilitator dari Teuku Bagus Mokhamad Noor)
  3. Muhammad Tamzil (Fasilitator dari Teuku Bagus Mokhamad Noor dan M Arief Taufiqurahman)
  4. Indrajaja Manopol (Sebagai Direktor Operasi)
  1. PT Wiaya Karya (Wika)

Perusahaan BUMN yang bergerak dibidang konstruksi yang bekerja sama (KSO) dengan PT Adhi Karya.

 

  1. Mohammad Fakhruddin Sebagai staf khusus Menpora
  2. Mahfud Suroso

Direktur PT Dutasari Citralaras

  1. PT Grup Permai

Perusahaan milik M Nazaruddin

  1. PT Global Daya Manunggal (GDM)

Perusahaan subkontraktor untuk pekerjaan struktur, arsitektur asrama junior putra-putri dan Gedung Olah Raga (GOR) Serbaguna.

  1. PT Duta Graha Indah (DGI)

Perusahaan milik Nazaruddin yang bergerak dibidang konstruksi

  1. Mindo Rosalina Manulang

Direktur Marketing PT Anak Negeri yang kemudian menjadi rekanan PT Duta Graha Indah (DGI)

  1. Munadi Herlambang

Direktur Operasi PT Pembangunan Perumahan

  1. Ketut Darmawan

Direktur Operasi PT Pembangunan Perumahan

 

  1. Muchayat

Adalah Wakil Presiden Komisaris Utama Bank Mandiri yang pernah menjabat sebagai Deputi Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

  1. Ignatius Mulyono

Merupakan salah satu anggota Fraksi Partai Demokrat yang menduduki kursi di Komisi II DPR RI. Dalam tugasnya, ia membidangi proses pengaturan kebijakan negara khususnya, Pemerintah Dalam Negeri, Aparatur Negara, Otonomi Daerah, dan Agraria.

Pihak-Pihak Yang Diduga Terkait

  1. Dalam proses pemberian izin-izin
    1. Rahmat Yasia alias RY

Selaku Bupati Bogor yang menerbitkan Site Plan atas rencana pembangunan P3SON berlokasi di Desa Hambalang Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor.

  1. Syarifiah Sofiah alias SS

Selaku Kepala Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor atas nama Bupati yang menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

  1. Burhanudin alias Bu

 

Selaku Kepala Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor yang membantu Bupati Bogor dalam menerbitkan Site Plan atas rencana pembangunan P3SON Hambalang.

  1. Yani Hasan alias YH

Selaku Kepala Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor yang membantu Bupati Bogor dalam menerbitkan Site Plan atas rencana pembangunan P3SON berlokasi di Desa Hambalang

  1. Achmad A Ardiwinata alias AAA

Selaku PPK kegiatan studi Amdan tahun 2007.

  1. Insial DN

Selaku Direktur PT CKS

Dalam proses penyertifikatan tanah

  1. Joyo Winoto alias JW

Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait sertifikasi tanah Hambalang. Menandatangani SK Hak Pakai untuk Kemenpora atas tanah Hambalang.

  1. Managam Manurum alias MM

Selaku Sestama sekaligus Plt Deputi II BPN

Memerintahkan LAW untuk menyerahkan SK Hak Pakai kepada orang yang tidak berhak menerima dan tidak menandatangani RPD mutakhir meskipun merubah RPD dengan memasukkan pernyataan pelepasan hak.

  1. Binsar Simbolon alias BS

Selaku Direktur Pengaturan dan Pengadaan Tanah Pemerintah BPN memerintahkan staf untuk menyisipkan surat pernyataan Probosutedjo yang diduga palsu dalam RPD.

  1. Erna Widayati alias EW

Selaku staf pengolah data Deputi II BPN atas perintah Kasie Kasubdit, dan Direktur menyisipkan surat pernyataan Probosutedjo yang diduga palsu, dalam RPD sehingga SK Hak Pakai dapat ditandatangani.

  1. Luki Ambar Winarti alias LAW

Selaku Kebagian Persuratan BPN menyerahkan SK Hak Pakai kepada orang yang tidak berhak menerima.

Dalam proses persetujuan kontrak tahun jamak dan penyusunan anggaran

  1. Agus DW Martowardojo alias ADWM Selaku Menteri Keuangan
  2. Anny Ratnawati alias AR

 

Selaku Dirjen Anggaran Kementrian Keuangan

  1. Mulia P Nasution alias MPN

 

Selaku Sekjen Kementrian Keuangan

  1. Dewi Pudjiastuti Handayani alias DPH

Selaku Direktur Anggaran II Kementerian Keuangan

  1. Sudarto alias S

Selaku Kasubdit II E Dirjen Anggaran Kementrian Keuangan

  1. Rudi Hermawan alias RH

Selaku Kasie II E-4 Dirjen Anggaran Kementrian Keuangan

  1. Ahmad Maliq alias AM

Selaku staf Seksi II E-4 Dirjen Anggaran Kementrian Keuangan

  1. Guratno Hartono alias GH

Selaku Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementrian PU.

  1. Dedi Permadi alias DP

Selaku Pengelola teknis Kementrian PU.

Dalam proses pemilihan rekanan

  1. Wisker Manulu alias WiM

Selaku Ketua Panitia Pengabdian Kemenpora

  1. Memerintahkan BaS selaku Sekretaris untuk melakukan verifikasi secara formalitas hasil evaluasi prakualifikasi dan penawaran lelang pekerjaan P3SON Hambalang, dan membuat berita acara setiap tahap hasil pekerjaan lelang pekerjaan P3SON Hambalang
  2. Memerintahkan J untuk mengadministrasikan seluruh dokumentasi lelang, mendistribusikan pemberitahuan perubahan anggaran dari Rp262M menjadi Rp1,2T kepada peserta lelang
  3. Membuat pemberitahuan perubahan nilai pekerjaan yang sebelumnya Rp262M menjadi Rp1,2T
  4. Memerintahkan J untuk memberikan nomor surat pemberitahuan PPK mengenai perubahan nilai pekerjaan dari Rp262M menjadi Rp1,2T
  5. Memerintahkan J mendistribusikan surat perubahan nilai pekerjaan dari RP262M menjadi Rp1,2T kepada peserta lelang
  1. Jaelani alias J

Selalu Anggota Panitia Pengadaan Kemenpora

  1. Memberikan nomor surat pemberitahuan PPK yang dibuat oleh WiM mengenai perubahan nilai pekerjaan dari Rp262M menjadi Rp1,2T
  2. Mendistribusikan surat pemberitahuan PPK mengenai perubahan nila pekerjaan sebelumnya senilai Rp262M menjadi Rp1,2T kepada peserta lelang

 

  1. Menerima hasil pekerjaan Konsultan Perencanaan yang belum layak menjadi dasar aanwijzing dan dokumen lelang untuk pekerjaan tahun jarak(multiyears) senilai Rp1,2T
  1. Bambang Siswanto alias BaS

Selaku Sekretaris Panitia Pengadaan Kemenpora

  1. Melakukan verifikasi seluruh hasil evaluasi baik prakualifikasi maupun penawaran sesuai dengan arahan dan perintah Ketua Panitia Lelang
  2. Membuat seluruh berita acara tahap pelelangan dari hasil prakualifikasi dan penwaran
  1. Rio Wilarso alias RW

Selaku Staf Biro Perencanaan Kemenpora

  1. Membantu menyusun data pendukung RKA-KL tanpa memperhatikan hasil perhitungan Kementrian Pekerjaan Umum
  2. Membantu menyusun Konsep Surat Keluar untuk permohonan revisi RKA-KL tanpa didukung data yang cermat
  3. Membantu melengkapi dokumen pendukung dari Instansi Teknis Fungsional yang tidak disusun berdasarkan pertimbangan yang profesional
  4. Membantu menyusun desain pelaksanaan tanpa dasar penetapan dan kebutuhan yang ditentukan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga
  1. Arifin alias MA

Selaku Komisaris PT MSG memerintahkan AW untuk mengkoordinasikan pertemuan para pihak yang terkait dengan proyek P3SON Hambalang

  1. Asep Wibowo alias AW

Selaku Marketing Manager PT MSG aktif mengoordinasikan pertamuan pihak-pihak terkait yaitu konsultan perencanaan, manajemen konstruksi, pemborong konstruksi, Panitia Pengadaan, dan PPK proyek P3SON sebelum proses pelelangan dimulai

  1. Husni Al Huda alias HaH

Selaku staf PT Yodya Karya mengoordinasikan tim staf PT Yodya Karya untuk melakukan evaluasi prakualifikasi dan teknis terhadap dokumen penawaran PT Yodya Karya

  1. Aman Santoso alias AS

Selaku direktur PT Ciriajasa Cipta Mandiri (CCM) meminta stafnya (Mul dan RS) untuk melanjutkan proses teknis penawaran setelah bertemu dengan MA dalam rapat kantor di kantor Kemenpora dan memastikan bahwa yang akan bertindak sebagai rekanan manajemen kontruksi adalah

 

PT CCM

  1. Mulyatno alias Mul

Selaku Manajer Pemasaran PT CCM

 

  1. Memerintah AG bersama timnya untuk menyiapkan kebutuhan dokumen dalam rangka pelelangan di Kemenpora
  2. Menghubungi beberapa          perusahaan      lain      untuk   dapat   membantu mendukung penawaran sebagai perusahaan pendamping pelelangan
  3. Aditya Gautama alias AG

Selalu staf PT CCM mengkoordinasikan tim staf PT CCM untuk mengurus seluruh proses penawaran termasuk melakukan evaluasi prakualifikasi dan teknis terhadap dokumen penawaran PT CCM dan perusahaan-perusahaan pendamping

 

  1. Rudi Hamarul alias Rha

Selaku stafPT CCM

  1. Melakukan evaluasi prakualifikasi dan evaluasi teknis terhadap penawaran yang disusun PT CCM senditi
  2. Membuat dokumen penawaran atas nama perusahaan-perusahaan lain sebagai pendamping bagi PT CCM untuk mengikuti pelelangan
  3. Menyerahkan hasil evaluasi penawaran beserta kertas kerjanya kepada Panitia Pengadaan
  1. RM Suhartono alias RMS

Selalu staf PT CCM memasukkan dokumen penawaran perusahaan-perusahaan pendamping untuk mengikuti pelelangan

 

  1. Yusuf Sholikin alias YS

Selaku staf PT CCM memasukkan dokumen prakualifikasi dan mengisi daftar hadir pemsukkan dokumen prakualifikasi atas nama perusahaan-perusahaan pendamping

 

  1. Malemteta Ginting alias MG

Selaku staf PT CCM sekaligus Team Leader Manajemen Konstruksi menerima hasil evaluasi rekanan konstruksi dari KS dan menyerahkan hasilnya kepada Panitia Pengadaan untuk dibuatkan Berita Acara

 

  1. Teguh Suhanta alias TS

Selaku PT Adhi Karya mengoordinasi pelaksanaan evaluasi prakualifikasi dokumen penawaran pekerjaan konstruksi yang memenangkan PT AK

 

  1. Kushadi alias KS

 

Selaku staf PT Adhi Karya bersama Da membawa dokumen penawaran peserta lelang konstruksi untuk dievaluasi di Hotel Aston, dan kemudian memberikan hasil evaluasinya kepada MG.

 

Dalam proses pencairan uang muka

  1. Isnanta alias RI

Selaku Kabag Keuangan Kemenpora menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sebesar Rp 217.137.547.103 untuk pembayaran uang makan oleh KPPN melalui SP2D kepada rekanan pelaksana meskipun pekerjaan beleum dilaksanakan oleh rekanan dan bukti pertanggungjawaban pelaksanaan pekerjaan belum diverifikasi oleh pejabat yang berwenang.

Dalam proses pelaksanaan pembangunan konstruksi

  1. Isnanta alias RI

Selaku panitia Pemeriksa/Penerima Pengadaan Barang/Jasa pada Pembangunan Lanjutan P3SON Hambalang melalaikan kewajibannya memeriksa pekerjaan fisik dan infrastruktur proyek untuk pembayaran tahun 2010

Modus Kejahatan Dalam Kasus Hambalang

Kasus proyek hambalang merupakan kejahatan korupsi “berjamaah” yang terorganisasi. Tahapan korupsi dilakukan sejak dalam penganggaran, lelang, hingga pelaksanaan kegiatan pengadaan. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat kejahatan ini bagi perekonomian indonesia setidaknya berkisar pada dua hal yaitu aspek keuangan negara dan buruknya infrastruktur publik yang dihasilkan. Kedua dampak tersebut harus diterjemahkan sebagai kerugian bagi publik, karena yang dikorupsi merupakan hasil penerimaan negara dari publik (hasil pajak).

Jamak diketahui bahwa setiap proyek infrastruktur yang dibiayai negara tidak pernah luput dari prakti suap menyuap. Munculnya istilah fee atau uang lelah dikalangan DPR memperkuat dugaan praktek ini terjadi.

Korupsi proyek Hambalang adalah korupsi terstruktur. Semua pihak uang disebutkan didalam audit menjalankan peranannya masing-masig. Dimulai dari penyiapan lahan untuk pembangunan, termasuk perizinan, persetujuan teknis pengadaan (lelang dan kontrak tahun jamak), pencairan anggaran, hingga penetapan pemenang lelang yang dilakukan diluar prosedur baku.

Korupsi secara bersama-sama dalam Proyek Hambalang menunjukkan tipe korupsi yang terorganisasi. Kelompok penguasa berkolaborasi dengan kepentingan bisnis melakukan kejahatan. Modus kejahatan korupsi semacam ini hanyalah modifikasi dan replikasi kejahatan korupsi Orde Baru. Dari data diketahui tercatat total loss atau jumlah kerugian negara dalam kasus mega proyek di Bukit Hambalang, Sentul, Bogot mencapai Rp463,66 Miliar.

 

Red Flag dari Kasus Hambalang

  1. Surat Keputusan Hak Pakai
  2. Kepala BPN menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai tertanggal 6 Januari 2012 bagi Kemenpora atas tanah seluas 312.448 meter persegi di Desa Hambalang, padahal persyaratan berupa surat pelepasan hak dari pemegang hak sebelumnya patut diduga palsu.
  3. Kabag Persuratan dan Kearsipan BPN atas perintah Sestama BPN menyerahkan SK Hak Pakai bagi Kemenpora kepada IM tanpa ada kuasa dari Kemenpora selaku pemohon hak sehingga diduga melanggar Kep. Ka BPN 1 Tahun 2005 jo. Kep. Ka. BPN 1 Tahun 2010.
  4. Izin Lokasi dan Site Plan

Bupati Bogor menandatangani site plan meskipun Kemenpora belum/tidak melakukan studi Amdal terhadap proyek pembangunan P3SON Hambalang sehingga diduga melanggar UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Bupati Bogor Nomor 30 Tahun 2009.

  1. Izin Mendirikan Bangunan

Kepala Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor menerbitkan IMB, meskipun Kemenpora belum melakukan studi Amdal terhadap proyek pembangunan P3SON sehingga diduga melanggar Perda Kabupaten Bogor Nomor 12 Tahun 2009 tentang Bangunan Gedung.

  1. Pendapat Teknis

Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian PU memberikan pendapat teknis yang dimaksudkan dalam PMK 56/PMK.02/2010 tanpa memperoleh pendelegasian dari Menteri Pekerjaan Umum sehingga diduga melanggar Per Menteri PU Nomor 45 Tahun 2007.

  1. Revisi RKA-KL Tahun Anggaran 2010

Menteri Keuangan dan Dirjen Anggaran setelah melalui proses berjenjang menyetujui untuk memberikan dispensasi perpanjangan batas waktu revisi RKA-KL 2010 dan didasarkan pada informasi yang tidak benar.

  1. Permohonan Kontrak Tahun Jamak
  2. SesKemenpora menandatangani surat permohonan persetujuan kontrak tahun jamak tanpa memperoleh pendelegasian dari Menpora sehingga diduga melanggar PMK 56/PMK.02/2010.

 

  1. Menpora diduga membiarkan SesKemenpora melaksanakan wewenang Menpora dan tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam PP 60 Tahun 2008.
  2. Izin Kontrak Tahun Jamak

Menteri Keuangan menyetujui izin kontrak tahun jamak dan Dirjen Anggaran menyelesaikan proses persetujuan kontrak tahun jamak, meskipun diduga melanggar PMK 56./PMK.02/2010.

  1. Persetujuan RKA-KL Tahun Anggaran 2011

Dirjen Anggaran menetapkan RKA-KL Kemenpora 2011 dengan skema tahun jamak sebelum penetapan proyek tahun jamak disetujui. Dirjen Anggaran diduga melanggar PMK 104/PMK.02/2010.

  1. Pelelangan
  2. SesKemenpora menetapkan pemenang lelang konstruksi dengan nilai di atas Rp 50 miliar tanpa memperoleh pendelegasian dari Menpora sehingga diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003.
  3. Menpora diduga membiarkan SesKemenpora melaksanakan kewenangan Menpora dan tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam PP 60 Tahun 2008.
  4. Adanya rekayasa proses pelelangan pekerjaan konstruksi untuk memenangkan Adhi Karya dan Wijaya Karya dengan cara:
  • Mengumumkan lelang dengan informasi yang tidak benar dan tidak lengkap, kecuali kepada AW yang diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2203, dan
  • Untuk mengevaluasi kemampuan dasar KSO AW digunakan dengan cara menggabungkan dua nilai pekerjaan, sedangkan peserta lain digunakan nilai proyek tertinggi sehingga menguntungkan AW. Hal ini melanggar PP 29 Tahun 2000, Keppres 80 Tahun 2003, dan Permen PU 43 Tahun 2007.
  1. Pencairan Anggaran 2010

Kabag Keuangan Kemenpora menandatangani dan menerbitkan Surat Perintah Membayar, meskipun permintaan pembayaran belum ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen. Ini diduga melanggar PMK 134/PMK.06/2005 dan Perdirjen Perbendaharaan Per-66/PB/2005.

 

  1. Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi

KSO AW mensubkontrakkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain yang diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003.

  1. Penetapan Subkontraktor yang memang sudah diatur dari awal Proyek ini dimenangkan oleh Perusahaan yang memang sudah juga diatur untuk menang dalam tender ini.

 

  1. PEMBAHASAN DAN OPINI

4.1 Pembahasan Kasus

Kasus hambalang ini adalah satu proyek untuk pihak-pihak tertentu yang menginginkan proyek yang bisa memakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dengan cara menang tenderkan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), agar kredibel. Tapi sub kontraktor sudah ditentukan untuk menaangguk keuntungan lebih. Perusahaan BUMN itu memiliki kepentingan komisi hasil kolsui juga urusan agar direksi naik posisi dari level manajer ke direksi, bahkan hingga Direktur Utama, karena semua itu butuh koneksi dan uang. Khususnya koneksi di DPR.

Kasus Proyek Hambalang, proses tender 4 BUMN dipimpin PT Adi Karya (Nindya Karya, Hutama Karya, Waskita Karya). Mereka inilah yang mengatur harga bersama konsultan perencana, juga BUMN, PT Yodia Karya. Di belakang itu semua, ada oknum terindikasi memainkan peran bernama Mahfud Suroso yang berada pada PT Dutasari Citra Laras (DCL), sebagai sub kontraktor. Kehebatan dari Mahfud adalah bahwa ia dibayar oleh PT Adhi Karya paling awal di nilai kontrak Rp 295 miliar, untuk pekerjaan Mechanical Electrical (ME).

Dalam Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nomor: 139/HP/XVI/10/2012, 30 Oktober 2012. Pada item lampiran 9 audit BPK, Pengadaan ME transformator Oil 1600 kva negara bayar ke PT Adhi Karya dan Dutasari Citralaras Rp358 juta, padahal harga satuan di subkontraktor hanya Rp148 juta, mark up 140%. Diesel genset 2000 kva harga beli negara Rp5 miliar, dari subkon hanya Rp2 miliar, mark up 150%, Panel 3 masjid harga dibayar negara Rp55 juta, dari sub kon hanya Rp1,4 juta, mark up 3.600%, Back up Battery negara bayar Rp17 juta, dari sub kon Rp372 ribu, markup 4.700%

 

4.2 Opini

Teori yang cocok dengan kasus ini adalah yang pertama penyalahgunaan aset karena tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum negara yang berkepentingan untuk melakukan pencurian dari APBN, termasuk juga dalam skema laporan keuangan tentang pengungkapan yang tidak memadai karena penemuan kecurangan yang dirahasiakan yang artinya BPK meskipun sudah melakukan audit tetapi masih menutup-nutupi meskipun hasilnya sudah keluar sehingga kasus dapat terselesaikan dengan cepat meskipun pada akhirnya dikeluarkan juga, dan juga masuk dalam kasus skema korupsi yang memang pada dasarnya di sini adalah pencurian besar-besaran dari berbagai pihak.

Dari sini dapat dilihat betapa buruknya kontrol dalam Negara ini karena BPK sendiri tidak transparan tentang hasil audit forensik yang dilakukan meskipun hasilnya sudah keluar sehingga kasus yang dihadapi tidak serta merta dapat selesai dengan cepat sehingga tertunda lama. Dan hal yang lainnya adalah bahwa negara ini juga membutuhkan pemimpin yang dapat memberantas hal tersebut, karena mental dari oknum-oknum negara ini sudah mental-mental korupsi yang harus secepatnya diperbaiki dan dirombak total demi kelangsungan negara, serta perbaikan dalam sistem kontrol internal agar diperketat dan peraturan lebih dijalankan.

Red Flag dari Kasus Hambalang

  1. Surat Keputusan Hak Pakai
  2. Kepala BPN menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai tertanggal 6 Januari 2012 bagi Kemenpora atas tanah seluas 312.448 meter persegi di Desa Hambalang, padahal persyaratan berupa surat pelepasan hak dari pemegang hak sebelumnya patut diduga palsu.
  3. Kabag Persuratan dan Kearsipan BPN atas perintah Sestama BPN menyerahkan SK Hak Pakai bagi Kemenpora kepada IM tanpa ada kuasa dari Kemenpora selaku pemohon hak sehingga diduga melanggar Kep. Ka BPN 1 Tahun 2005 jo. Kep. Ka. BPN 1 Tahun 2010.
  4. Izin Lokasi dan Site Plan

Bupati Bogor menandatangani site plan meskipun Kemenpora belum/tidak melakukan studi Amdal terhadap proyek pembangunan P3SON Hambalang sehingga diduga melanggar UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Bupati Bogor Nomor 30 Tahun 2009.

  1. Izin Mendirikan Bangunan

Kepala Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor menerbitkan IMB, meskipun Kemenpora belum melakukan studi Amdal terhadap proyek pembangunan P3SON sehingga diduga melanggar Perda Kabupaten Bogor Nomor 12 Tahun 2009 tentang Bangunan Gedung.

  1. Pendapat Teknis

Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian PU memberikan pendapat teknis yang dimaksudkan dalam PMK 56/PMK.02/2010 tanpa memperoleh pendelegasian dari Menteri Pekerjaan Umum sehingga diduga melanggar Per Menteri PU Nomor 45 Tahun 2007.

  1. Revisi RKA-KL Tahun Anggaran 2010

Menteri Keuangan dan Dirjen Anggaran setelah melalui proses berjenjang menyetujui untuk memberikan dispensasi perpanjangan batas waktu revisi RKA-KL 2010 dan didasarkan pada informasi yang tidak benar.

  1. Permohonan Kontrak Tahun Jamak
  2. SesKemenpora menandatangani surat permohonan persetujuan kontrak tahun jamak tanpa memperoleh pendelegasian dari Menpora sehingga diduga melanggar PMK 56/PMK.02/2010.
  3. Menpora diduga membiarkan SesKemenpora melaksanakan wewenang Menpora dan tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam PP 60 Tahun 2008.
  4. Izin Kontrak Tahun Jamak

Menteri Keuangan menyetujui izin kontrak tahun jamak dan Dirjen Anggaran menyelesaikan proses persetujuan kontrak tahun jamak, meskipun diduga melanggar PMK 56./PMK.02/2010.

  1. Persetujuan RKA-KL Tahun Anggaran 2011

Dirjen Anggaran menetapkan RKA-KL Kemenpora 2011 dengan skema tahun jamak sebelum penetapan proyek tahun jamak disetujui. Dirjen Anggaran diduga melanggar PMK 104/PMK.02/2010.

  1. Pelelangan
  2. SesKemenpora menetapkan pemenang lelang konstruksi dengan nilai di atas Rp 50 miliar tanpa memperoleh pendelegasian dari Menpora sehingga diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003.
  3. Menpora diduga membiarkan SesKemenpora melaksanakan kewenangan Menpora dan tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam PP 60 Tahun 2008.
  4. Adanya rekayasa proses pelelangan pekerjaan konstruksi untuk memenangkan Adhi Karya dan Wijaya Karya dengan cara:
  • Mengumumkan lelang dengan informasi yang tidak benar dan tidak lengkap, kecuali kepada AW yang diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2203, dan
  • untuk mengevaluasi kemampuan dasar KSO AW digunakan dengan cara menggabungkan dua nilai pekerjaan, sedangkan peserta lain digunakan nilai proyek tertinggi sehingga menguntungkan AW. Hal ini melanggar PP 29 Tahun 2000, Keppres 80 Tahun 2003, dan Permen PU 43 Tahun 2007.
  1. Pencairan Anggaran 2010

Kabag Keuangan Kemenpora menandatangani dan menerbitkan Surat Perintah Membayar, meskipun permintaan pembayaran belum ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen. Ini diduga melanggar PMK 134/PMK.06/2005 dan Perdirjen Perbendaharaan Per-66/PB/2005.

  1. Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi

KSO AW mensubkontrakkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain yang diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003.

  1. Penetapan Subkontraktor yang memang sudah diatur dari awal Proyek ini dimenangkan oleh Perusahaan yang memang sudah juga diatur untuk menang dalam tender ini.

 

  1. PENUTUP

5.1 Simpulan

Dapat ditarik kesimpulan Audit forensik dapat didefinisikan sebagai aplikasi keahlian mengaudit atas suatu keadaan yang memiliki konsekuensi hukum. Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis kecurangan. Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam upaya pemberantasan korupsi adalah dengan menerapkan Audit Forensik. Audit forensik mampu menekan kasus kriminal yang berkaitan dengan keuangan di Indonesia seperti korupsi, pencucian uang, transaksi ilegal dan sebagainya. Terlebih kasus tersebut sering terjadi di lingkungan pemerintahan sehingga menghambat pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.

Dalam kasus Hambalang Audit Forensik dibutuhkan untuk mengungkap kecurangan yang terjadi dalam kasus tersebut. Dan Auditor yang melakukan Audit harus memahami bendera merah dari setiap kecurangan yang dilakukan oleh pelaku kecurangan sehingga dapat cepat menyelesaikan masalah.

 

5.2 Saran

Hal yang utama adalah bahwa peraturan di dalam pemerintahan kenegaraan harus dapat berjalan dengan semestinya dan memberikan ganjaran yang seberat-beratnya kepada tindak korupsi, dan meningkatkan fungsi dari auditor internal dan membentuk auditor internal yang independen sehingga dapat mengontrol sesuai dengan fungsinya. Saran berikutnya dengan cara memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku yang terlibat dalam kasus hambalang sehingga ada rasa jerah kepada pelaku, dan untuk pelajaran bagi yang lain agar tidak melakukan hal tersebut. Dan yang terakhir dengan cara sosialisasi besar-besaran tentang anti korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Hahanusa G, dkk. (2014). Kasus Hambalang.

Harimurti Y, SE, Msi, Ak (2012). Pentingnya Red Flag Bagi Auditor Independen Untuk Mendeteksi Kecurangan Dalam Laporan Keuangan.

Piliang I, (2013). Opini: Hambalang Rekayasa Maha Sempurna Online (http://www.kompasiana.com/iwanpiliang/opini-hambalang-rekayasa-maha-sempurna_552e4cf96ea8349e408b4569)

Singleton & Singleton (2010). Fraud Auditing and Forensic Accounting.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

29

KRITERIA UNTUK AHLI FRAUD (CERTIFIED FRAUD EXAMINER – CFE)

KRITERIA UNTUK AHLI FRAUD (CERTIFIED FRAUD EXAMINER – CFE)

Monika Velica Mustika Y.A. & Daniel Sugama Stephanus

Program Studi Akuntansi – Fakultas Ekonomi Dan Bisnis – Universitas Ma Chung – Kabupaten Malang – 2015

 

ABSTRAK

Audit investigatif merupakan upaya yang dilakukan untuk menyelidiki kasus fraud. Untuk dapat melakukan audit investigatif diperlukan gabungan dua keterampilan, yaitu auditor yang terlatih dan kriminal investigator. Profesi yang dapat melakukan audit investigatif adalah fraud examiners. Fraud examiner merupakan auditor yang terlatih dan telah memiliki kualifikasi khusus, yaitu bersertifikasi Certified Fraud Examiner (CFE). Untuk mendapatkan gelar ini, auditor haruslah melewati beberapa tahapan, meliputi pemenuhan persyaratan dasar, persyaratan akademis, persyaratan profesional, dan persyaratan karakter, serta lolos dalam empat subyek ujian sertifikasi. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan organisasi nirlaba anti-fraud terbesar di dunia yang mempelopori lahirnya auditor bersertifikasi CFE. ACFE, yang memiliki tujuan untuk mengurangi fraud di bidang bisnis di seluruh dunia, menyediakan pendidikan dan pelatihan anti fraud bagi para profesional yang ingin mendalami bidang anti-fraud.

Kata-Kata kunci: audit investigatif, fraud, fraud examiners, Certified Fraud Examiner (CFE), dan Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)

 

ABSTRACT

Investigative audit is an activity that investigate cases of fraud. Investigative audit combined the two skills, which are trained auditors and criminal investigators. Professionals who can do an investigative audit is fraud examiners. Fraud examiner is a trained auditor and has had special qualifications, which is certified Certified Fraud Examiner (CFE). To get this title, the auditor must pass through several stages, including the fulfillment of basic requirements, academic requirements, professional requirements, and character requirements, also must pass the certification exams in four subjects. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) is the biggest non-profit organization of anti-fraud in the world which pioneered the birth of a certified auditor CFE. ACFE, which has a goal to reduce fraud in business around the world, providing anti-fraud education and training for professionals who want to explore the field of anti-fraud.

Keywords: investigative audits, fraud, fraud examiners, Certified Fraud Examiner (CFE), and the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)

 

  1. PENDAHULUAN

Fraud, atau yang biasa kita kenal dengan istilah kecurangan dalam akuntansi, hingga saat ini masih marak terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Fraud, menurut Tunggal (2012) adalah ketidakjujuran dalam bentuk suatu penipuan yang disengaja atau suatu kesalahan penyajian yang dikehendaki atas suatu fakta yang material. Seperti halnya yang terjadi di berbagai negara, di Indonesia pun berbagai kejadian kasus fraud tidak mengenal waktu dan tempat. Instansi pemerintah, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), instansi swasta, dan organisasi nirlaba sekalipun tak pernah luput dari fraud. Skala perusahaan, baik skala kecil, menengah, ataupun tinggi, tak menjamin perusahaan akan terbebas dari tindakan fraud. Bahkan, dalam bukunya, Singleton & Singleton (2010) menyatakan bahwa perusahaan skala kecil dan organisasi nirlaba cenderung memiliki risiko terjadinya fraud paling tinggi. Hal ini dikarenakan dalam kedua jenis instansi ini, masih kurang adanya kontrol yang kuat dari Sistem Pengendalian Internal perusahaan, misalnya belum adanya pembagian tugas yang rinci, transparansi keuangan perusahaan yang kurang, dan lain sebagainya.

 

Fraud tentunya sangat merugikan banyak pihak mulai dari negara, perusahaan, dan masyarakat adalah pihak-pihak yang dirugikan atas terjadinya fraud. Sudah menjadi suatu keharusan bagi profesi akuntan publik atau auditor untuk mendeteksi adanya fraud yang terjadi dalam suatu instansi. Proses pengumpulan dan pengujian bukti-bukti terkait kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara disebut dengan audit investigasi (www.bpkp.go.id). Namun, tidak sembarang auditor dapat melakukan penyelidikan atau melakukan audit investigasi terhadap suatu kasus fraud. Auditor yang dapat melakukan proses audit investigasi harus memiliki gelar atau sertifikasi khusus yang disebut dengan Certified Fraud Examiners (CFE). Seseorang yang telah memiliki gelar atau sertifikasi CFE baru akan diakui sebagai fraud examiners atau fraud auditor atau investigator. Certified Fraud Examiner (CFE) merupakan pembuktian pengetahuan dan pengalaman pemegang sertifikasi tersebut sebagai seorang profesional di bidang anti fraud. Sertifikasi CFE dikenal dan diterima di seluruh dunia sebagai standar mutu profesi untuk profesional anti fraud (www.acfe-indonesia.com).

 

Seperti yang dilansir pada news.metrotvnews.com, hingga saat ini tercatat hanya terdapat sekitar 20 ribu orang pemegang gelar CFE di dunia. Di Indonesia sendiri jumlah auditor bersertifikasi CFE hanya kurang lebih sejumlah 500 orang yang sebagian besar berada di lembaga pemeriksaan. Contohnya BPK yang memiliki sekitar 127 auditor pemegang CFE, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kurang lebih memiliki sekitar 90 auditor pemegang CFE, dan kementerian lembaga lainnya. Dengan begitu, di setiap kementerian lembaga serta BUMN hanya ada satu orang yang bersertifikat CFE. Fenomena ini mengindikasikan bahwa profesi fraud examiners masih sangat banyak dibutuhkan untuk memerangi fraud yang makin marak terjadi sekarang. Pernyataan ini dipertegas dengan pernyataan yang dikemukakan dalam penelitian Robert Half International (www.roberthalf.com), spesialis staf keuangan terkemuka, yang mengatakan bahwa CFE disebut sebagai salah satu gelar yang paling berharga saat ini. Jika perusahaan memiliki pekerja dengan gelar CFE akan memungkinkan perusahaan untuk mengembangkan tenaga kerja yang lebih terampil. Profesional yang mendapatkan dan mempertahankan akreditasi ini mampu membangun diri sebagai pemimpin dalam bidang mereka dan mendapatkan informasi tentang tren industri dan praktik terbaik dalam prosesnya (www.acfe.com).

 

Jumlah CFE yang masih sedikit menandakan bahwa masih banyaknya peluang untuk terjun ke dalamprofesi ini. Bahkan, jika ditinjau lebih jauh lagi, menurut survey pada 2015/2016 Compensation Guide for Anti Fraud Professionals (www.acfe.com), para CFE memeroleh penghasilan hampir 23% lebih tinggi dari pada rekan kerja yang bukan CFE. Tentunya hal ini dapat dijadikan motivasi bagi auditor untuk berlomba-lomba menjadi fraud examiners. Memang menjadi seorang fraud examiners tidaklah mudah. Calon fraud examiners harus melalui beberapa tahap kualifikasi. Paling utama adalah memenuhi semua persyaratan dasar dan persyaratan-persyaratan lainnya seperti persyaratan akademik, karakter, dan profesionalisme. Setelah semua persyaratan terpenuhi barulah calon fraud examiners dapat mengikuti ujian sertifikasi CFE. Ujian sertifikasi CFE terbagi menjadi empat subyek yaitu Fraud Prevention and Deterrence, Financial Transactions and Fraud Schemes, Investigation, dan Law. Pada bab dua akan dibahas lebih lanjut mengenai CFE berikut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) selaku organisasi global yang sangat concern terhadap anti fraud.

  1. LANDASAN TEORI

2.1 Auditing dan Auditor

2.1.1 Pengertian Auditing

Arens & Loebbecke (2003) menyatakan auditing sebagai suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi. Proses auditing dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen agar penentuan dan pelaporan laporan keuangan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Mulyadi (2002) auditing merupakan proses sistematik untuk memeroleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

Berdasarkan definisi dan penjelasan yang dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa auditing adalah suatu proses pekerjaan audit yang dilakukan auditor secara sistematis dengan menggunakan tahapan dan prosedur tertentu, yakni mengumpulkan bukti-bukti pendukung dan menilai sejauh mana tingkat kesesuaian pernyataan manajemen yang disajikan dalam laporan keuangan dengan pemenuhan kriteria tertentu dimana selanjutnya auditor akan mengomunikasikan hasil penilaian tersebut secara tertulis dalam bentuk laporan audit untuk disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

2.1.2 Pengertian Auditor

Mulyadi (2002) mengatakan bahwa auditor adalah orang yang melakukan pemeriksaan secara obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, laporan posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di

 

Indonesia. Jurnal Akuntansi Keuangan dalam websitenya (www.jurnalakuntansikeuangan.com) menyebutkan bahwa auditor atau akuntan publik merupakan sebutan untuk orang yang secara profesional dan memiliki ijin resmi untuk menyediakan jasa asurans dan jasa-jasa lain terkait akuntansi keuangan kepada masyarakat umum, baik perorangan maupun badan usaha, di suatu wilayah tertentu. Auditor atau akuntan publik menurut Undang-Undang no. 5 tahun 2011, akuntan publik adalah seseorang yang telah memeroleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa auditor merupakan seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam melakukan audit atas laporan keuangan dan kegiatan suatu perusahaan atau organisasi.

 

2.1.3 Klasifikasi Audit

Audit (Mulyadi, 2002) dibagi menjadi tiga jenis, seperti berikut ini.

 

  1. Audit laporan keuangan

Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.

 

  1. Audit kepatuhan

Audit kepatuhan adalah audit yang bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang tertentu. Kriteria- kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan.

 

  1. Audit operasional

Audit operasional adalah penelahaan secara sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu.

 

2.1.4 Klasifikasi Auditor

Auditor (Arens & Loebbecke, 2003) dapat dibedakan menjadi tiga jenis, seperti berikut ini.

 

  1. Auditor Pemerintah

 

  1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah auditor eksternal yang bertugas melakukan audit atas keuangan pada instansi-instansi pemerintah. Auditor Eksternal Pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai perwujudan dari Pasal 23 ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “untuk memeriksa tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan suatu BPK yang pengaturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil Pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Badan Pemeriksa Keuangan merupakan badan yang tidak tunduk kepada pemerintah, sehingga diharapkan dapat bersikap independen.”

 

Fungsi dan tugasnya adalah sebagai berikut.

  1. sebagai general audit atas pemerintah daerh atau pusat termasuk BUMN dan BUMD
  2. complience audit atas audit investigasi atas sebuah kasus eksternal audit pemerintah.
  1. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertugas sebagai internal pemerintah untuk manajemen audit (memberikan rekomendasi agar perusahaan lebih efisien, dan tidak memberikan opini auditor).

 

  1. Inspektorat Jendral Departemen Keuangan sebagai auditor internal departemen keuangan.

 

  1. Badan Pengawasan Daerah Tingkat I dan II sebagai audit internal daerah tingkat I dan II.

 

  1. Auditor Internal

Merupakan auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas utamanya ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat dimana ia bekerja.

  1. Auditor Independen atau Akuntan Publik

Auditor ini melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuangan  yang diterbitkan  oleh  perusahaan  (general  audit).  Pengauditan  ini  dilakukan  pada perusahaan terbuka, yaitu perusahaan yang go public, perusahaan-perusahaan besar dan juga perusahaan kecil serta organisasi-organisasi yang tidak bertujuan mencari laba. Praktik akuntan publik harus dilakukan melalui suatu Kantor Akuntan Publik (KAP).

  1. Auditor Pajak

Auditor pajak sebagai complience audit terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia, bertanggungjawab atas penerimaan negara dari sektor perpajakan dan penegakkan hukum dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan. Aparat pelaksanaan DJP di lapangan adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa). Karikpa memunyai auditor-auditor khusus. Tanggungjawab Karikpa adalah melakukan audit terhadap wajib pajak tertentu untuk menilai apakah telah memenuhi ketentuan perundangan perpajakan.

 

2.2 Fraud

2.2.1 Pengertian Fraud

 

The Association of Certified Fraud Examiners atau yang dikenal dengan sebutan ACFE (2012) menyatakan bahwa fraud adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu. Misalnya yakni memanipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain. Biasanya fraud dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.

Sedangkan menurut Ikatan Akuntan Indonesia atau IAI (2012), fraud merupakan setiap tindakan ilegal ditandai dengan penipuan, penyembunyian atau pelanggaran kepercayaan. Tindakan ini tidak tergantung pada aplikasi kekerasan atau ancaman kekerasan fisik. Penipuan yang dilakukan oleh partai dan organisasi untuk memeroleh kekayaan uang, atau jasa, untuk menghindari pembayaran atau hilangnya layanan, atau untuk mengamankan keuntungan pribadi atau bisnis.

Silverstone & Sheetz (2007) mendefinisikan kecurangan (fraud) sebagai sebuah aktivitas yang mengambil lokasi di bidang sosial dan memiliki konsekuensi yang besar untuk perekonomian, perusahaan, dan individu-individu. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa fraud merupakan tindakan illegal yang dilakukan secara sengaja yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.

 

2.2.2 Audit Investigasi dan Fraud Auditor

Dalam website www.antikorupsi.org disebutkan bahwa audit investigasi merupakan bagian dari manajemen kontrol yang dilaksanakan dalam kegiatan internal audit, di samping audit lainnya, seperti audit keuangan dan audit kepatuhan atau complience audit. Dilihat dari tata cara pemeriksaan dan sifat pemeriksaannya yang mengikuti kaidah atau metodologi audit internal, audit investigasi lebih dikenal dengan fraud audit atau pemeriksaan kecurangan. Fraud audit pada dasarnya merupakan kombinasi aspek audit forensik atau investigasi forensik atau uji menyeluruh semua materi pemeriksaan dengan teknik internal kontrol dalam tata cara internal audit.

Di sisi lain, dalam website www.bpkp.go.id disebutkan bahwa audit investigasi merupakan proses pengumpulan dan pengujian bukti-bukti terkait kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, untuk memeroleh kesimpulan yang mendukung tindakan litigasi dan atau tidakan korektif manajemen. Audit investigasi dapat dilaksanakan atas permintaan kepala daerah dan aparat penegak hukum. Berikut ini merupakan bagian dari audit investigasi.

 

  1. Audit Investigasi Hambatan Kelancaran Pembagunan (AIHKP)

AIHKP adalah proses pengumpulan dan pengujian bukti-bukti terkait dengan permasalahan hambatan kelancaran pembangunan untuk memeroleh kesimpulan yang mendukung tindakan mediasi dalam penyelesaian masalah.

  1. Audit klaim

Audit klaim adalah proses pengumpulan dan pengujian bukti-bukti terkait klaim atau tuntutan pihak ketiga untuk memeroleh simpulan sebagai bahan pertimbangan bagi objek penugasan untuk mengambil keputusan penyelesaian klaim atau tuntutan.

 

  1. Audit eskalasi

Audit eskalasi adalah proses pengumpulan dan pengujian bukti-bukti terkait adanya penyesuaian harga satuan dalam kontrak pengadaan barang/jasa yang disebabkan oleh adanya inflasi atau kenaikan harga yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah.

Audit investigasi adalah sebuah pekerjaan profesional atau expert works yang dilakukan oleh seorang fraud examiners, fraud auditor atau lebih dikenal dengan investigator. Analisis fraud adalah merupakan tanggung jawab auditor internal untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya kecurangan melalui pemeriksaan data laporan keuangan serta terjadinya penyimpangan dalam proses tender, inventaris barang, sistem perpajakan, atau pada sistem penggajian. Kesimpulan akhir dari audit investigasi akan disampaikan kepada lembaga yang berwenang, seperti kejaksaan, kepolisian, komite anti korupsi, dengan mengikuti aturan main atau undang-undang yang dibuat untuk itu oleh kepala atau manajer audit setelah sebelumnya dilakukan penjelasan kembali (debriefing) dengan pihak atau atasan dari auditee.

2.3 Certified Fraud Examiner (CFE)

2.3.1 Gambaran Umum CFE

Seperti yang dituliskan dalam www.acfe-indonesia.com, untuk menjadi seorang fraud examiners, maka seseorang haruslah mendapatkan gelar Certified Fraud Examiner (CFE). Certified Fraud Examiner (CFE) adalah sertifikasi dalam profesi anti fraud. Gelar Certified Fraud Examiner (CFE) dapat dimiliki apabila seseorang telah lulus sertifikasi Certified Fraud Examiner (CFE). Kredensial atau sebutan dan pengakuan sebagai Certified Fraud Examiner (CFE) merupakan pembuktian pengetahuan dan pengalaman pemegang kredensial tersebut sebagai seorang profesional di bidang anti fraud. Seorang Certified Fraud Examiner (CFE) adalah seorang pemimpin dalam komunitas anti fraud yang dikenali sebagai spesialis dalam mencegah dan memberantas fraud. Dengan memiliki sertifikasi CFE, seseorang diakui sebagai ahli dalam prevention, detection and deterrence fraud. Sertifikasi CFE merepresentasikan standar yang paling tinggi yang dimiliki ACFE dan memiliki keahlian dalam semua aspek dari profesi anti fraud. Standar CFE ditentukan oleh ACFE Board of Regents. ACFE Board of Regents merupakan suatu dewan yang dipilih oleh para anggota CFE dari anggota ACFE yang paling berpengalaman.

 

2.3.2 Tujuan dan Manfaat Sertifikasi CFE

Tujuan yang hendak dicapai bagi peserta yang telah lulus ujian dan memenuhi persyaratan teknis dan professional dalam menyandang pengakuan keahlian (gelar) CFE adalah sebagai berikut (www.acfe-indonesia.com).

 

  1. Mampu mengidentifikasi kerentanan entitas terhadap terjadinya fraud.

 

  1. Mampu menelaah data dan catatan untuk mengidentifikasi, melacak dan menemukan transaksi yang tidak wajar.

 

  1. Mampu melaksanakan interviu untuk menggali, mendapatkan informasi, dukungan dan keyakinan atas suatu dugaan fraud.

 

  1. Mampu menulis laporan hasil penelaahan, kajian dan memberi saran kepada pihak manajemen atas temuan-temuan untuk tindak lanjut, penjatuhan sanksi dan dukungan proses litigasi.

 

  1. Mampu merumuskan alternatif saran perbaikan tindakan pencegahan fraud dan penilian terhadap sanksi yang dijatuhkan.

 

2.3.3 Syarat Untuk Mendapatkan Sertifikasi CFE

Untuk mendapatkan sertifikasi CFE, para peserta harus memenuhi berbagai ketentuan sebagai berikut (www.acfe-indonesia.com).

 

  1. Persyaratan Dasar, meliputi.
    1. Menjadi anggota ACFE dengan mendaftarkan diri ke ACFE.
    2. Berpendidikan serendah-rendahnya S1 semua jurusan.
    3. Peserta memiliki pengalaman minimal dua tahun sebagai auditor, atau berpengalaman pada bidang-bidang yang ada kaitannya dengan tugas pencegahan, pendeteksian dan investigasi.
    4. Memiliki sikap perilaku yang dianggap sejalan dengan tujuan ACFE dan memiliki karakter moral yang sangat baik, yang dibuktikan dengan dukungan referensi dari tiga orang pejabat profesional.
    5. Memenuhi persyaratan (minimum) akademis dan profesional yang ditetapkan ACFE.
    6. Setuju untuk mengikuti peraturan dan kode etik profesional dari Association of Certified Fraud Examiners.

 

  1. Persyaratan Akademis

Pada dasarnya, untuk mengikuti sertifikasi CFE, peserta harus memiliki pendidikan setingkat sarjana (atau setara). Jika peserta bukan sarjana, dengan persetujuan ACFE Internasional, peserta dapat mensubstitusikan kekurangan tiap tahun studi akademisnya dengan pengalaman profesional yang berhubungan fraud selama dua tahun. Sebagai bukti pendukung bahwa peserta memenuhi persyaratan akademis, peserta diharuskan untuk menyertakan ijazah terakhir atau transkrip nilai yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris.

 

  1. Persyaratan Karakter

Untuk mempertahankan standar tinggi yang dipegang oleh ACFE dan memastikan integritas seorang CFE, sangatlah penting untuk memastikan bahwa seluruh peserta memiliki karakter moral yang baik yang akan menjadi pendukung terhadap profesi CFE. Untuk itu setiap kandidat peserta ujian harus menyertakan CFE Candidate Recommendation Forms yang diisi oleh seseorang yang telah bekerja dengan kandidat dalam kapasitas profesional. Formulir tersebut harus ditulis dalam bahasa Inggris atau diterjemahkan ke bahasa Inggris dan dibuat oleh tiga pemberi rekomendasi.

 

  1. Persyaratan Profesional

Pada saat peserta menerima sertifikasi, peserta harus memiliki paling tidak dua tahun pengalaman secara langsung atau tidak langsung di bidang deteksi atau pencegahan fraud. Pengalaman yang berhubungan dengan fraud menunjukkan bahwa peserta telah bekerja secara penuh (full-time) dalam posisi yang berkontribusi terhadap pencegahan, deteksi atau antisipiasi fraud. Bidang yang berhubungan dengan fraud ditetapkan oleh The Board of Regents adalah sebagai berikut.

 

  1. Akuntansi dan Auditing

Peserta dapat diterima jika memiliki pengalaman sebagai akuntan atau auditor (auditor internal atau auditor eksternal) dan memiliki tanggung jawab untuk mendeteksi dan mencegah fraud dengan mengevaluasi kelemahan sistem akuntansi, mendesain sistem pengendalian internal (internal control), menentukan tingkat risiko fraud di organisasi, menginterpretasikan data finansial untuk mendeteksi unusual trend dan menindaklanjuti indikator fraud.

 

  1. Kriminologi dan Sosiologi

Peserta dapat diterima jika merupakan profesional dengan latar belakang pendidikan dan penelitian fraud dan white-collar crime dengan dimensi sosiologi atau kriminologi.

  1. Investigasi Fraud

Peserta dapat diterima jika memiliki pengalaman investigasi baik fraud yang bersifat civil (perdata) atau kriminal, atau white-collar crime di lembaga penegak hukum (law enforcement agency) atau di organisasi swasta.

 

  1. Pencegahan Kerugian (Loss Prevention)

Peserta dapat diterima jika berhubungan dengan masalah pencegahan kerugian atau kehilangan (loss prevention) termasuk konsultan pengamanan (security) yang berhubungan dengan fraud.

 

  1. Hukum

Kandidat yang memiliki pekerjaan di bidang hukum dapat diterima sepanjang dapat dibuktikan bahwa peserta memiliki pengalaman terkait fraud. Misalnya adalah jaksa, penasehat hukum, litigator fraud.

 

  1. Lain-lain yang berhubungan dengan deteksi, investigasi, atau pencegahan fraud.

 

  1. Ujian Sertifikasi CFE (CFE Exam)

 

Ujian Sertifikasi CFE akan dilaksanakan selama satu hingga dua hari kerja disesuaikan dengan kemampuan peserta. Bagi peserta yang tidak lulus diberikan kesempatan untuk mengulang sebanyak dua kali. Apabila setelah tiga kali ujian peserta belum lulus untuk satu bahkan seluruh subyek, maka peserta diharuskan mengulang ujian untuk keseluruhan subyek dan akan dikenakan biaya administrasi tambahan untuk setiap kali pelaksanaan ujian ulangan. Pelaksanaan ujian sertifikasi CFE akan diawasi langsung oleh witness yang merupakan anggota ACFE Indonesia Chapter yang sudah memiliki sertifikasi CFE. Ujian Sertifikasi CFE terdiri dari 500 soal yang dibagi dalam empat subyek sebagai berikut.

 

  1. Fraud Prevention and Deterrence

Menguji pengetahuan peserta akan penyebab seseorang memutuskan untuk melakukan fraud dan bagaimana cara untuk mencegahnya. Pokok bahasan dalam subyek ini meliputi: penyebab crime, white-collar crime, occupational fraud, pencegahan fraud, penilaian risiko fraud, the ACFE Code of Personal Ethics.

  1. Financial Transactions and Fraud Schemes

Menguji pengetahuan peserta tentang jenis-jenis kecurangan dalam transaksi keuangan yang sering terjadi dalam pembukuan akuntansi. Untuk lulus subyek ini, peserta harus mampu menguasai konsep-konsep dasar akuntansi dan audit, fraud schemes, kontrol internal, dan materi-materi audit dan akuntansi lainnya.

 

  1. Investigation

Soal-soal dalam subyek ini meliputi bahasan proses wawancara, pembuatan pernyataan, mendapatkan informasi dari publik, penelusuran transaksi mencurigakan, evaluasi kecurangan, dan penulisan laporan.

 

  1. Law

Menguji pengetahuan peserta tentang akibat hukum, pelaksanaan pengujian terhadap fraud, termasuk hukum sipil, jenis-jenis bukti, hak-hak tersangka dan saksi.

2.3.4 Kode Etik

Dalam website www.acfe-indonesia.com, seorang Certified Fraud Examiner memiliki beberapa kode etik yang harus dipatuhi, yaitu sebagai berikut.

  1. Seorang Certified Fraud Examiner harus, sepanjang waktu, menunjukan komitmennya terhadap profesionalitas dan kehati-hatian dalam melaksanakan tugasnya.
  2. Seorang Certified Fraud Examiner tidak akan menerima penugasan yang sifatnya ilegal atau berperilaku tidak etis atau melakukan aktivitas yang akan menimbulkan konflik kepentingan.
  3. Seorang Certified Fraud Examiner harus, sepanjang waktu, menunjukan tingkat integritas yang tinggi dalam melaksanakan penugasan profesionalnya dan hanya akan menerima penugasan dimana secara wajar dan beralasan. Penugasan tersebut juga diharapkan dapat diselesaikan dengan kompetensi profesionalnya.
  4. Seorang Certified Fraud Examiner akan taat pada perintah pengadilan dan akan memberikan kesaksian secara benar tanpa bias dan prasangka.
  5. Seorang Certified Fraud Examiner, dalam melakukan pemeriksaan, akan memeroleh bukti atau dokumen lain untuk membangun basis yang wajar untuk setiap pendapat yang diberikan. Tidak ada pendapat yang diberikan mengenai kesalahan atau ketidaksalahan seseorang atau pihak tertentu.
  6. Seorang Certified Fraud Examiner tidak akan menyempaikan informasi rahasia yang diperolehnya selama penugasan profesionalnya tanpa wewenang yang memadai.
  7. Seorang Certified Fraud Examiner akan membuka seluruh hal yang meterial yang ditemukan selama pemeriksaan yang bila dilalaikan akan menyebabkan distorsi terhadap fakta.
  8. Seorang Certified Fraud Examiner harus secara berkesinambungan meningkatkan kompetensi dan keefektifan jasa profesional yang dilaksanakan yang berada dalam lingkup arahannya.

2.4 Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)

2.4.1 Gambaran Umum ACFE

Dilansir dari website www.acfe.com, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan Organisasi Anti Fraud terbesar di dunia yang menyediakan pendidikan dan pelatihan anti fraud dan berkedudukan di Austin, Texas, Amerika Serikat. Saat ini anggota ACFE mencapai hampir 70.000 orang dan terbesar di lebih dari 150 negara. ACFE berusaha mengurangi fraud di bidang bisnis di seluruh dunia dan memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa profesi ini memiliki integritas dan obyektivitas yang tinggi. Sebagai perwakilan dari ACFE, dibentuk local chapter di berbagai negara.

 

Local chapter didirikan oleh para anggota ACFE yang memiliki pandangan yang sama dalam pendeteksian dan pencegahan fraud. Local chapter memberikan dukungan sepenuhnya dan berkelanjutan kepada anggota ACFE, membuka jaringan dan hubungan antar profesional anti fraud, memberikan pelatihan yang berkualitas, menyediakan informasi yang tepat waktu, mengembangkan kemampuan kepemimpinan, serta mempromosikan fraud awareness di lingkungnnya. Peraturan di ACFE mengenai pembentukan sebuah chapter mewajibkan adanya petisi yang didukung oleh setidaknya 10 (sepuluh) CFE di masing-masing wilayah local chapter.

Jumlah local chapter selalu bertambah dari tahun ke tahun. Sampai saat ini, local chapter diseluruh dunia berjumlah 194 local chapter dan berada di 47 negara. Di Asia, local chapter antara lain terdapat di negara-negara Cina, Filipina, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Lebanon, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Singapura, Turki. ACFE Indonesia Chapter merupakan Chapter No.111.

 

2.4.2 ACFE Indonesia Chapter

 

Dilansir dari www.acfe-indonesia.com, ACFE Indonesia Chapter adalah organisasi yang merupakan local chapter dari ACFE global. ACFE Indonesia Chapter didirikan pada tahun 2002 oleh para founders yang merupakan CFE-CFE pertama di Indonesia yang berasal dari lembaga pemerintahan dan institusi swasta. ACFE Indonesia Chapter memiliki dua buah Kantor Wilayah yang didirikan pada Desember 2012 yaitu ACFE Indonesia Chapter Wilayah Jawa Timur dan ACFE Indonesia Chapter Wilayah Riau. Berikut ini merupakan nama-nama para founders dari ACFE Indonesia Chapter.

 

1. Agus Setiasena. 8. Soedarjono.
2. Phil Leifermann. 9. Irwan Sofjan.
3. Atjeng Sastrawidjaja. 10. Soekardi Hoesodo.
4. Palmer Sagala. 11. M. Chatim Baidaie.
5. Hari Setianto. 12. Soetopo Heroetomo.
6. Simon Hutagalung. 13. Zayarwan Zain.

 

  1. Indra Widjaja.

 

ACFE Indonesia Chapter merupakan organisasi nirlaba (non profit) yang tujuan utamanya adalah melayani masyarakat dengan cara memperbaiki tata cara pencegahan dan pemberantasan fraud, serta menjadi sarana berbagi pengetahuan dan pengalaman diantara para anggota. Organisasi ini memfokuskan diri dalam sistem pengendalian fraud seperti dibidang pencegahan atau preventif, yaitu edukasi, penelitian dan pengembangan anti fraud, serta advokasi (apabila diperlukan). Kegiatan ACFE Indonesia Chapter antara lain meliputi.

 

  1. Diskusi bulanan yang dikenal dengan Round Table Discussion (RTD) yang membahas secara komprehensif berbagai kegiatan teknis upaya untuk mencegah, mendeteksi dan menangani fraud, serta bagaimana memperbaiki sistem.

 

  1. Diskusi di jenjang pengambil keputusan strategis yang disebut sebagai Executive Forum

 

  1. Mengadakan berbagai workshop teknis dan konferensi anti fraud tahunan yang disebut dengan National Anti fraud Conference (NAFC).

 

  1. Menyelenggarakan Persiapan Ujian CFE (CFE Exam Review Course) dan Pelaksanaan Ujian Sertifikasi CFE (CFE Exam).

 

  1. Mendorong agar perusahaan mulai menerapkan strategi anti fraud, baik yang diwajibkan oleh otoritas maupun yang belum, mengingat hal ini sangat bermanfaat guna mencegah kasus fraud yang merugikan para pemangku kepentingan.

 

  1. Menyelenggarakan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi dalam melaksanakan penelitian (riset) dan memberikan edukasi pengenalan fraud

 

(fraud awareness) kepada para mahasiswa. Kegiatan ini diharapkan akan memberikan pemahaman akan strategi anti fraud secara komprehensif dan lebih dini dikenalkan kepada calon-calon pemimpin bangsa.

Dalam Kongres III ACFE Indonesia Chapter yang diselenggarakan pada tanggal 2 Desember 2014 di Yogyakarta, telah dipilih kembali Board of Directors dan Directors untuk perioda 2015–2017. Berikut ini merupakan pengurus ACFE Indonesia Chapter perioda 2015–2017.

 

  1. Board of Directors

 

Tabel 1. Nama Board of Directors

  Nama Jabatan
Gatot Trihargo, CFE President
     
Indra Widjaja, CFE Vice President
Nasrul Wathon, CFE Secretary
S. Alexander Sianturi, CFE Treasurer
     

Sumber: www.acfe-indonesia.com, 2015

b. Directors  
Tabel 2.  Nama Directors  
Nama Jabatan
Dwi Amalia Sari, CFE (Coord) Director of Training
     
Vandy Angkasa, CFE
 
     
Riri Mairizal Chaidir Director of Membership
     
Heri Subowo, CFE (Coord) Director of Research and Academic
     
Prof. R Wilopo, CFE
Program
     
Diaz Priantara, CFE
 
     
Randy Rizki, CFE (Coord) Director of Publication
     
Hardy Djamaluddin, CFE
 
     
Meidyah Indraswari (Coord)  
     
Khairiansyah Salman Director of Institutional Relationship
     
Rudy Hartono, CFE  
     
Igor Manindjo (Coord)  
     
Abdul Aziz Mukhlis Director of Organizational Development
     
Sempurna Sitepu, CFE  
     
Diah Anggreni Executive Director
       

Sumber: www.acfe-indonesia.com, 2015

 

Terdapat tiga jenis keanggotaan ACFE Indonesia Chapter, yaitu sebagai berikut.

  1. Certified Fraud Examiners (CFE) Member

Keanggotaan ini merupakan keanggotaan di ACFE Global dan diberikan kepada anggota yang sudah lulus ujian sertifikasi CFE.

  1. Associate Member

Bagi yang tertarik untuk mendalami berbagai program anti fraud tetapi tidak ingin mengikuti ujian sertifikasi, maka dapat memilih jenis keanggotaan ini. Keanggotaan ini merupakan keanggotaan di ACFE Global.

 

  1. Affiliate Member

Keanggotaan  ini  hanya  merupakan  keanggotaan  di  ACFE  Indonesia Chapter.

Anggota ACFE Indonesia saat ini berjumlah 849 orang yang terdiri dari 543 CFE, 283 anggota associate dan 23 anggota afiliasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Anggota ACFE Indonesia bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan maupun swasta, BUMN, perusahaan swasta dan usaha mandiri.

 

2.4.3     Moto, Visi, Misi, dan Tujuan ACFE

Dilansir dari www.acfe.com dan www.acfe-indonesia.com, berikut ini merupakan moto, visi, misi, dan tujuan dari organisasi Association of Certified Fraud Examiners (ACFE).

 

  1. Moto ACFE: Together Reducing Fraud Worldwide
  2. Visi

Menjadi organisasi para profesional anti fraud yang terbesar di Indonesia, yang terdepan dalam memberikan edukasi, penelitian, advokasi dan pengembangan anti fraud.

  1. Misi
    1. Bekerjasama dengan mitra dalam mengurangi insiden fraud dan kejahatan kerah putih lainnya.
    2. Membantu anggota dalam pencegahan dan penanggulangan fraud, melalui penyediaan resources dan best practices anti fraud.
    3. Memberikan advokasi dan thought leadership dalam prakarsa anti fraud.
  2. Tujuan
    1. Mengembangkan kompetensi dan kualitas para profesional anti fraud melalui berbagai kegiatan edukasi, penelitian dan pengembangan anti fraud.
    2. Membantu menjaga standar kompetensi profesional anti fraud melalui pendampingan persiapan sertifikasi CFE dan pendidikan profesional berkelanjutan.
    3. Mendorong para CFE dan anggota ACFE untuk menaati kode etik profesi dan menjaga integritas, objektivitas, serta profesionalisme.

 

  1. Bekerjasama dengan lembaga terkait melakukan kempanye dan advokasi anti fraud di Indonesia.
  2. Menerbitkan publikasi, jurnal, hasil penelitian, dan thought leadership dalam anti fraud.

 

  1. STUDI KASUS

Biografi Dr. Joseph T. Wells, CFE, CPA, diterjemahkan dari http://www.acfe.com

 

Joseph T. Wells adalah pendiri dan Ketua Dewan Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), organisasi anti-fraud terbesar di dunia. Setelah lulus dengan pujian dari University of Oklahoma, Dr. Wells menghabiskan dua tahun menjadi staf audit di Coopers and Lybrand (sekarang dikenal sebagai

PriceWaterhouseCoopers atau disebut PWC). Beliau kemudian ditunjuk sebagai Agen Khusus FBI. Selama sepuluh tahun ke depan, Dr. Wells menyelidiki ribuan kasus penipuan, mulai dari penipuan nikel dan uang picisan (coin rolling scam) hingga pembongkaran peran mantan Jaksa Agung AS John Mitchell dalam permainannya dalam kasus Watergate. Pada tahun 1982, Dr. Wells meninggalkan FBI untuk membentuk Wells & Associates, sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam kriminologi deteksi dan pencegahan fraud.

 

Sejak mendirikan ACFE pada tahun 1988, Dr. Wells telah mengajar puluhan ribu profesional bisnis, menulis 22 buku, dan menulis puluhan artikel dan proyek-proyek penelitian. Tulisannya telah memenangkan berbagai penghargaan, termasuk the top articles of the year di Auditor Internal Magazine dan Journal of Akuntansi. Selain menjabat sebagai ketua ACFE, Dr. Wells menjabat sebagai profesor pemeriksaan fraud di Graduate Business School, University of Texas di Austin dimana karya rintisannya diakui oleh the American Accounting Association, yang menobatkan Dr. Wells sebagai Accounting Education Innovator of the Year pada tahun 2002. Beliau juga menjabat sebagai ketua dewan direksi dari institusi non-profit untuk pencegahan fraud, sebuah organisasi yang melakukan riset di bidang anti fraud. Dr Wells telah bertugas di berbagai komite senior dari American Institute of CPAs dan merupakan anggota dari Bisnis AICPA dan Industri Hall of Fame. Dia dinobatkan oleh majalah Accounting Today sebagai “100 Orang Teratas Paling Berpengaruh” dalam bidang akuntansi sebanyak sembilan kali. Dia memegang jabatan sebagai Doctor of Commercial Science dari York College of the City, salah satu universitas di New York.

 

  1. PEMBAHASAN & OPINI

Fraud auditing atau audit kecurangan adalah upaya untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan dalam transaksi-transaksi komersial. Untuk dapat melakukan audit kecurangan terhadap pembukuan dan transaksi komersial memerlukan gabungan dua keterampilan, yaitu sebagai auditor yang terlatih dan kriminal investigator. Untuk membuktikan kecakapan profesional seorang auditor di bidang fraud, maka diperlukan adanya suatu sertifikasi atau gelar. Sertifikasi yang dimaksud adalah sertifikasi Certified Fraud Examiners (CFE). Diperlukan suatu sertifikasi dikarenakan menjadi seorang investigator tidak boleh sembarangan. Auditor harus memiliki skill tertentu dan pengetahuan yang luas dalam bidang audit agar dapat mengambil hasil keputusan dalam proses audit investigasi secara tepat. Ujian CFE disusun oleh ACFE Board of Regents yang beranggotakan para senior CFE yang juga merupakan anggota ACFE. Dengan kata lain, soal pada ujian CFE akan dibuat berdasarkan pengalaman senior. Otomatis CFE merepresentasikan standar yang paling tinggi yang dimiliki ACFE dan memiliki keahlian dalam semua aspek dari profesi anti fraud. Sehingga auditor yang telah memenuhi spesifikasi CFE memiliki kompetensi dan komitmen profesional di bidang anti fraud.

Dr. Joseph T. Wells, CFE, CPA merupakan panutan yang baik bagi kita. Beliau memegang banyak jabatan dengan banyak pengalaman sebagai hasil dari kemampuan dan komitmennya di bidang anti fraud. Pengabdian Dr. Wells tak lekang oleh waktu. Buktinya, beliau sedari muda sudah menekuni bidang anti-fraud hingga usianya saat ini. Komitmen beliau untuk memerangi fraud tidak berakhir hanya sebatas menjadi anggota FBI saja. Beliau bahkan mendirikan organisasi-organisasi nirlaba yang bertujuan untuk memberantas tindakan fraud. Sebut saja organisasi ACFE sebagai organisasi pelopor yang melahirkan banyak fraud auditor. Bahkan hingga saat ini ACFE sendiri telah memiliki local chapter di berbagai negara.

Menjamurnya pendirian cabang dari ACFE menandakan bahwa masyarakat mulai tergerak untuk memberantas tindakan fraud walaupun memang hanya ada sedikit jumlah auditor di dunia yang telah memiliki sertifikasi CFE. ACFE tentu akan meningkatkan performanya sehingga mampu mencetak lulusan fraud auditor bersertifikasi CFE. Terkait dengan jumlah CFE di Indonesia yang juga masih sedikit yang tidak diimbangi dengan penurunan angka kasus fraud, ACFE Indonesia Chapter seringkali mengadakan seminar atau workshop untuk mengedukasi masyarakat mengenai fraud. Pada tanggal 2 Desember 2015 nanti, misalnya, aka diselenggarakan workshop yang bertemakan “Investigative Interview Skills”.

 

Pekerjaan fraud auditor mirip dengan pekerjaan penyelidikan detektif di kepolisian. Dilansir dari www.antikorupsi.org, dalam melakukan audit investigasi, terlebih dulu seorang fraud auditor harus memahami posisi dan keberadaan seorang auditee dalam organisasi beserta susunan lengkap organisasi tempat dia sehari-hari bertugas, apa saja tugas dan tanggung jawabnya, latar belakang pendidikannya, sejarah keluarganya, hubungan dagang dan pribadinya, dan kebiasaan sehari-harinya secara cermat dan akurat. Untuk mendapatkan hasil investigasi yang maksimal, seorang fraud auditor harus juga menguasai beberapa teknik investigasi, sebagai berikut.

  1. teknik penyamaran atau teknik penyadapan
  2. teknik wawancara
  3. teknik merayu untuk mendapatkan informasi, baik dengan usaha sendiri atau dengan bantuan orang lain
  4. pemahaman bahasa tubuh dengan membaca posisi auditee, apakah bohong atau jujur, bisa juga dengan bantuan software, seperti Computer Assisted

 

Audit Tools (CAAT).

Fraud auditor juga dapat melakukan pembacaan data atau penyitaan berkas yang diduga memunyai kaitan dengan fraud yang sedang diselidiki atau dengan memotret ruangan atau benda yang diduga memiliki kaitan dengan peristiwa. Hasil audit investigasi tidak boleh dibocorkan kepada pihak yang tidak berhak mengetahuinya. Sebelum dipublikasikan secara luas, hasil investigasi ini terlebih dahulu diklarifikasi dan dibacakan ulang kepada auditee, agar auditee mengerti sejauh mana investigasi dan eksaminasi dilakukan dan hasil yang didapatkan. Seorang fraud auditor tidak diijinkan untuk melakukan deal dengan sang auditee menyangkut hasil audit investigasi ataupun dengan orang lain yang berkepentingan dengan hasil audit secara terselubung. Apabila hal tersebut dilakukannya, dia dapat dikenai sangsi sesuai aturan yang ada untuk itu.

 

  1. PENUTUP

5.1 Simpulan

Dari pembahasan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan.

  1. Audit investigasi hanya dapat dilakukan oleh fraud examiners atau fraud auditor atau investigator.
  2. Fraud examiners atau fraud auditor atau investigator merupakan seseorang yang mendapatkan gelar CFE.
  3. Untuk mendapatkan sertifikasi CFE maka kita harus memenuhi berbagai persyaratan dasar, persyaratan akademik, persyaratan karakter, persyaratan profesionalisme, dan harus lulus ujian sertifikasi yang terbagi ke dalam empat subyek yakni Fraud Prevention and Deterrence, Financial Transactions and Fraud Schemes, Investigation, dan Law.
  4. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan organisasi nirlaba anti fraud terbesar di dunia yang menyediakan pendidikan dan pelatihan anti fraud.
  5. Peluang untuk terjun ke dalam profesi sebagai fraud examiners masih terbuka luas, hal ini mengingat jumlah auditor bersertifikasi CFE yang masih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan profesi ini untuk memerangi kasus fraud yang masih banyak terjadi di sekitar kita.

 

5.2 Saran

Jika kita berminat menjadi fraud auditor tentunya kita harus berusaha maksimal agar dapat lolos ujian sertifikasi di empat subyek yang diujikan. Ujian sertifikasi juga dapat menggambarkan seberapa jauh pemahaman kita di bidang audit. Dengan menjadi fraud auditor tentunya kita menggalakkan semangat anti fraud di masyarakat. Kita pun dapat turut membantu pemerintah Indonesia yang masih kekurangan sumber daya dalam melakukan audit investigasi atas kasus fraud yang merugikan negara. Tidak hanya materi yang didapat dari Persiapan Ujian CFE saja, tentunya kita dapat belajar dari pengalaman auditor senior yang telah mendapatkan gelar CFE.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arens,                     A.   A.,    &            Loebbecke,    J.           K.                (2003). Auditing,Pendekatan    Terpadu. Terjemahan Amir Abadi Jusuf. Jakarta: Salemba Empat.

Ikatan Akuntansi Indonesia. (2012). Standar Akuntansi Keuangan PSAK. Cetakan keempat. Buku Satu. Jakarta: Salemba Empat.

Mulyadi. (2002). Auditing. Buku Dua. Edisi Ke Enam. Salemba Empat: Jakarta.

news.metrotvnews.com, diakses pada tanggal 30 November 2015.

Silverstone, H. & Sheetz, M.. (2007). Forensic Accounting and Fraud Investigation for Non-Expertism. 2nd Edition. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.

Singleton, T. W. & Singleton, A. J.. (2010). Fraud Auditing and Forensic Accounting. Fourth Edition. New York: Wiley Corporate F&A.

Tunggal,                 A.   W..   (2012).     The    Fraud   Audit:    Mencegah    dan     Mendeteksi Kecurangan Akuntansi. Jakarta: Harvarindo.

http://www.acfe.com, diakses pada tanggal 30 November 2015.

www.acfe-indonesia.com, diakses pada tanggal 30 November 2015.

http://www.antikorupsi.org, diakses pada tanggal 30 November 2015.

www.bpkp.go.id, diakses pada tanggal 30 November 2015.

http://www.roberthalf.com, diakses pada tanggal 30 November 2015.

AUDIT TERHADAP FRAUD (FRAUD AUDIT)

AUDIT TERHADAP FRAUD (FRAUD AUDIT)

Lithani Tamariska & Daniel Sugama Stephanus

Program Studi Akuntans – Fakultas Ekonomi & Bisnis – Universitas Ma Chung – Kabupaten Malang – 2015

 

ABSTRAK

Skandal Enron merupakan skandal terbesar dalam kejahatan Fraud. Enron melakukan window dressing dalam memanipulasi laporan keuangan perusahaan agar laba perusahaan meningkat dan harga saham juga ikut meningkat. Untuk mengungkap kejahatan Fraud yang dilakukan oleh Enron maka audit kecurangan dilakukan, tidak hanya itu peran whistleblower juga sangat diperlukan untuk mengungkap fraud yang dilakukan oleh Enron.

Kata-Kata kunci: Audit Kecurangan, Enron, Fraud, Window Dressing, Whistleblower

 

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akuntansi, pada dasarnya merupakan sebuah jasa penyedia informasi berupa laporan keuangan yang akan digunakan sebagai alat pengambilan keputusan yang melaui berbagai tahap atau proses yang panjang. Dalam menyusun laporan keuangan sudah banyak kasus dan praktik yang terkait dengan kecurangan (fraud). Kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud) dilakukan oleh pihak-pihak yang dilatarbelakangi oleh kepentingan terhadap keuangan perusahaan. Sihombing (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kecurangan laporan keuangan merupakan kesengajaan ataupun kelalaian dalam pelaporan laporan keuangan dimana laporan keuangan yang disajikan tidak sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Kelalaian atau kesengajaan ini sifatnya material sehingga dapat memengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pihak yang berkepentingan.

 

Sebuah proses audit diperlukan untuk mencegah, mengetahui serta mengevaluasi kecurangan laporan keuangan. Di dalam melakukan proses audit diperlukan auditor sebagai pihak yang berperan dalam menangani kecurangan laporan keuangan. Tidak hanya auditor eksternal sebagai pihak independen namun peran auditor internal juga sangat diperlukan untuk mencegah adanya kecurangan laporan keuangan yang dilakukan oleh perusahaan. Sementara proses audit merupakan proses asersi, pencocokan antara laporan keuangan dengan standar (kriteria) yang dilakukan secara sistematis dan objektif, yang melalui tahapan atau proses yang lebih panjang dan lebih kompleks. Menurut Mulyadi (2002), auditing merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

 

Proses audit yang dilakukan dalam pengauditan haruslah reliable, relevant, dan objective. Kasus yang terdapat di Perusahaan Enron pada tahun 2011 merupakan salah satu kontroversi di dalam kecurangan laporan keuangan serta dalam proses pengauditan. Enron melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan laporan keuangan selama bertahun-tahun dan menyebabkan banyak pihak mengalami kerugian. Di dalam kasus Enron proses pengauditan yang seharusnya independen, justru menunjukkan banyak keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh auditor eksternalnya, yaitu Arthur Andersen.

 

Kasus fraud yang dilakukan oleh Enron merupakan salah satu kasus kebangkrutan terbesar dan paling rumit dalam sejarah Amerika Serikat. Akibat kasus tersebut enron menjadi lambang populer dari penipuan dan korupsi korporasi yang dilakukan secara sengaja. Tidak hanya itu setelah kasus fraud oleh Enron terjadi, regulasi-regulasi untuk mencegah adanya fraud semakin diperketat untuk mengurangi kerugian besar yang dapat ditimbulkan. Berdasarkan pada pertimbangan dan permasalahan yang ada, maka dalam makalah ini, penulis mengangkat judul : “ Audit Fraud dan Kasus Enron”. Dimana tujuan dari makalah ini adalah untuk mempelajari lebih dalam mengenai kasus fraud yang dilakukan oleh Enron serta proses audit yang dilakukan untuk mengungkap kasus tersebut.

 

 

  1. LANDASAN TEORI

2.1 Audit

Proses audit memberikan nilai tambah bagi laporan keuangan perusahaan, karena akuntansi publik sebagai yang ahli dan independen pada akhir pemeriksaannya akan memberikan pendapat mengenai kewajaran posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan laporan arus kas. Menurut Arens, et al.,(2012) definisi auditing adalah sebagai suatu proses pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi dan criteria yang telah ditetapkan. Audit harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Sedangkan definisi auditing menurut Agoes (2012) adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajawan laporan keuangan tersebut.

 

Dari definisi di atas memberikan pernyataan bahwa auditor memeriksa laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya. Dalam pemeriksaannya, seorang auditor melakukan audit berbasiskan pada International Standards on Auditing (ISA). Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan oleh pihak yang independen, yaitu akuntan publik berasal dari luar perusahaan dan tidak memiliki kepentingan tertentu di dalam perusahaan

 

2.2 Fraud

Fraud merupakan suatu kondisi yang mungkin akan ditemukan oleh auditor dalam suatu audit. Auditor mungkin akan menemui berbagai temuan dan bentuk yang terjadi dilapangan. Bukan hanya itu mungkin auditor juga akan melihat berbagai cara yang dilakukan oleh pelaku dalam melakukan fraud serta siapa saja pelaku yang memungkinkan untuk melakukan fraud. Mengungkap terjadi atau tidaknya fraud merupakan salah satu tanggung jawab auditor dalam suatu asersi meski bukan tanggung jawab secara mutlak. Fraud menurut Tuanakotta (2013) adalah setiap tindakan ilegal yang ditandai dengan tipu daya, penyembunyian atau pelanggaran kepercayaan. tindakan ini tidak tergantung pada penerapan ancaman kekerasan atau kekuatan fisik. Sedangkan definisi fraud menurut Johnstone, et al., (2013) adalah tindakan disengaja yang melibatkan pelaku penipuan yang menghasilkan bahan salah saji laporan keuangan.

Berdasarkan definisi fraud menurut para ahli maka dapat simpulkan bahwa fraud ialah tindakan yang dilakukan oleh seorang individu atau organisasi secara sengaja untuk menipu, menyembunyikan, atau mendapatkan keuntungan dalam suatu kondisi, dimana tindakan tersebut dapat merugikan pihak-pihak terkait. Fraud dalam laporan keuangan dapat membuat informasi yang tersaji dalam laporan keuangan tidak memperlihatkan kondisi aslinya, sehingga informasi tersebut dapat membuat para pengguna laporan keuangan salah dalam mengambil keputusan dan mengalami kerugian yang besar.

2.2.1 Fraud Tree

Secara skematis, Tuanakotta (2007) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Occupational tree ini mempunyai tiga cabang utama, yakni Fraudulent Statements, Asset Misappropriation dan Corruption. Berikut ini penjelasan singkat ketiga cabang utama fraud tree tersebut dalam Tuanakotta (2007) sebagai berikut.

 

  1. Kecurangan Pelaporan (Fraudulent Statements)

Fraud ini berupa salah saji baik itu overstatement maupun understatement. Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing (Tuanakotta, 2007). Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label “Fraudulent Statements” dapat dilihat dari sisi kanan fraud tree. Jenis fraud ini sangat dikenal para auditor yang melakukan general audit. Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini berupa salah saji. Cabang dari ranting ini ada dua. Pertama, menyajikan asset atau pendapatan lebih tinggi dari sebenarnya. Kedua, menyajikan asset atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya. Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan nonkeuangan. Fraud ini berupa penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan seringkali merupakan pemalsuan atau pemutar balikan keadaan.

 

  1. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)

Asset Missappropriations atau “pengambilan aset” secara illegal dalam bahasa sehari-hari disebut mencuri (Tuanakotta, 2007). Namun, dalam istilah hukum, “mengambil” asset secara illegal (tidak sah atau melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi asset tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree disebut larceny. “Larceny atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal peradaban manusia” (Tuanakotta, 2007). Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan lemahnya sistem pengendalian intern, khususnya yang berkenaan dengan perlindungan keselamatan asset (safeguarding of assets). Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent disbursements) sebenarnya satu langkah lebih jauh dari pencurian. Billing Schemes” adalah skema permainan dengan menggunakan proses pembebanan tagihan sesuai sarananya (Tuanakotta, 2007). Pelaku fraud dapat mendirikan perusahaan “bayangan” yang seolah-oleh merupakan pemasok atau rekanan atau kontraktor sungguhan. Perusahaan bayangan ini merupakan sarana untuk mengalirkan dana secara tidak sah ke luar perusahaan. Payroll schemes adalah skema permainan melalui pembayaran gaji. Bentuk permainannya antara lain dengan pegawai atau karyawan fiktif atau dalam pemalsuan jumlah gaji (Tuanakotta, 2007). Expense Reimbursement schemes adalah skema permainan melalui pembayaran kembali biaya-biaya, misalnya biaya perjalanan (Tuanakotta, 2007). Check Tampering adalah skema permainan melalui pemalsuan cek (Tuanakotta, 2007). Yang dipalsukan bisa tandatangan orang yang memunyai kuasa mengeluarkan cek, atau endorsemen nya atau nama kepada siapa cek dibayarkan, atau ceknya disembunyikan. Register Disbursements adalah pengeluaran yang sudah masuk dalam Cash register. Skema permainan melalui Register Disbursements pada dasarnya ada dua, yakni pengembalian uang yang dibuat-buat dan pembatalan palsu.

 

  1. Korupsi

Jenis fraud ini paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi. Bentuk korupsi menurut ACFE (2012) digambarkan dalam empat ranting, yakni conflicts of interests, bribery, illegal gratitutes, dan economic extortion. Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label “corruption” dapat dilihat di sisi kiri dari fraud tree. Conflict of interest atau benturan kepentingan sering kita jumpai dalam berbagai bentuk, diantaranya bisnis pelat merah atau bisnis pejabat (penguasa) dan keluarga serta kroni mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga lembaga pemerintah dan di dunia bisnis sekalipun.

Kickback (secara harfiah berarti “tendangan balik), merupakan kondisi dimana si penjual meng-“ikhlaskan” sebagian dari hasil penjualannya (Tuanakotta, 2007). Kickback berbeda dengan bribery. Dalam hal bribery pemberinya tidak “mengorbankan” suatu penerimaan. Misalnya apabila seseorang menyuap atau menyogok seorang penegak hukum, ia mengharapkan keringanan hukuman.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Fraud Tree

Sumber: Tuanakotta, 2007

 

2.2.2 Fraud Triangle

Menurut Arens et al., (2008) terdapat tiga faktor seseorang melakukan kecurangan yang dikenal sebagai fraud triangle, yang dapat digambarkan sebagai berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Fraud Triangle

Sumber: Tuanakotta, 2007

 

  1. Pressure (tekanan)

 

Tekanan ekonomi merupakan salah satu faktor yang mendorong seorang berani melakukan tindak kecurangan. Faktor ini berasal dari individu si pelaku di mana dia merasa bahwa tekanan kehidupan yang begitu berat memaksa si pelaku melakukan kecurangan untuk keuntungan pribadinya. Hal ini terjadi biasanya dikarenakan jaminan kesejahteraan yang ditawarkan Perusahaan atau organisasi tempat dia bekerja kurang atau pola hidup yang serba mewah sehingga si pelaku terus-menerus merasa kekurangan.

  1. Opportunity (kesempatan)

 

Merupakan faktor yang sepenuhnya berasal dari luar individu, yakni berasal dari organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan. Kesempatan melakukan kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan. Dengan kedudukan yang dimiliki, si pelaku merasa memiliki kesempatan untuk mengambil keuntungan. Ditambah lagi dengan sistem pengendalian dari organisasi yang kurang memadai.

 

  1. Rationalization (rasionalisasi)

Si pelaku merasa memiliki alasan yang kuat yang menjadi dasar untuk mebenarkan apa yang dia lakukan. Serta mempengaruhi pihak lain untuk menyetujui apa yang dia lakukan. Fraud   umumnya   terjadi   karena   adanya   tekanan   untuk   melakukan penyelewengan atau dorongan untuk memanfaatkan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut. Banyaknya fraud yang terjadi mengakibatkan Perusahaan mengalami kerugian yang sangat besar sehingga Perusahaan dapat jatuh pada saat yang tidak tepat, misalnya kehilangan uang atau saham.

 

2.2.3 Tanda- Tanda Kecurangan

 

Tanda-tanda fraud yang disebutkan oleh Tunggal (2001) antara lain sebagai berikut.

  1. Terdapat perbedaan angka laporan keuangan yang mencolok dengan tahun-tahun sebelumnya

 

  1. Tidak ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas
  2. Tidak ada rotasi pekerjaan karyawan

 

  1. Pengendalian operasi yang tidak baik
  2. Situasi karyawan yang sedang dalam tekanan.

Pernyataan di atas memberikan penjelasan bahwa fraud dapat dideteksi dari perbedaan angka laporan keuangan yang mencolok dari tahun-tahun sebelumnya. Ini disebabkan karena laporan keuangan yang dimanipulasi untuk menutupi fraud sehingga timbul perbedaan angka. Pengendalian operasi harus berjalan dengan baik agar sumber daya efisien dan efektif.

 

Fraud biasanya muncul bersamaan dengan red flag. Red flag dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi yang janggal atau berbeda dengan keadaan normal. Penjelasan lain, dapat dikatakan red flag adalah suatu indikasi akan adanya sesuatu yang tidak biasa dan perlu penyidikan lebih lanjut. Menurut Karni (2000) faktor pendorong atau indikasi terjadinya kecurangan sebagai berikut:

 

  1. Lemahnya pengendalian internal:

 

  1. Manajemen tidak menindak pelaku kecurangan
  2. Manajemen tidak menekankan perlunya peran intern control
  3. Manajemen tidak mengambil sikap dalam hal conflict interest
  4. Internal auditor tidak diberi wewenang untuk menyelidiki para eksekutif terutama menyangkut pengeluaran yang besar.
  1. Tekanan keuangan terhadap seseorang:
    1. Banyak hutang
    2. Pendapatan rendah
    3. Gaya hidup mewah.
  2. Tekanan non-financial
    1. Tuntutan pimpinan diluar kemampuan bawahan

 

  1. Direktur utama menetapkan suatu tujuan yang harus dicapai tanpa dikonsultasikan dulu kepada bawahannya

 

2.3 Whistleblower

Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang dianggap ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada, kepada otoritas internal organisasi atau kepada publik seperti media massa atau lembaga pemantau publik (Semendawai, 2011). Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor, tetapi tujuannya untuk mengungkap kejahatan atau penyelewengan yang diketahuinya. Whistleblower adalah pelapor pelanggaran, bisa karyawan dari organisasi itu sendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pelanggan, pemasok, masyarakat (pihak eksternal).

 

Menurut Tuanakotta (2007), whistleblower dalam bahasa Inggris merupakan slang. Namun, secara sederhana whistleblower adalah orang yang memberitahu kepada pihak berwenang tentang pelanggaran yang dilakukan atasannya dan dapat merugikan negara. Tuanakotta (2007), menyatakan bahwa pada dasarnya whistleblower adalah karyawan dari organisasi itu sendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat). Pelapor setidaknya diharuskan untuk memberikan bukti, informasi, atau indikasi yang jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti.

 

Banyak orang tidak berani menjadi whistleblower karena risiko yang sangat tinggi, seperti penurunan jabatan atau bahkan sampai ke pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Arifin (2005), berdasarkan survey terhadap 233 whistleblowers, 90 persen dari mereka harus kehilangan pekerjaan setelah mengungkap fakta kepada publik dan hanya 16 persen yang menyatakan berhenti untuk menjadi whistleblower, sementara sisanya mengungkapkan akan tetap menjadi whistleblower, tetapi mereka adalah para pegawai yang berprestasi, dan memiliki komitmen tinggi dalam bekerja.

 

2.4 Follow The Money

Pendekatan follow the money sudah lama dipakai di Amerika Serikat dan dikenal juga dengan pendekatan anti-pencucian uang. Pendekatan anti-pencucian uang ini diperkenalkan secara formal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1998 dalam Konvensi Wina, yaitu Convention Against Illicit Traffic in Narcotics and Psychotropic Substance (Husein, 2008). Menurut Sarwoko (2009), bahwa pendekatan follow the money berupaya menemukan uang/harta benda/kekayaan lain yang dapat dijadikan sebagai alat bukti (obyek kejahatan) dan sudah barang tentu setelah melalui analisis transaksi keuangan dan dapat diduga bahwa uang tersebut sebagai Penerapan pendekatan hasil kejahatan, berbeda halnya dengan pendekatan konvensional yang menitik beratkan pada pencarian pelakunya secara langsung setelah ditemukan bukti-bukti permulaan.

 

Dalam setiap tindak pidana setidaknya ada tiga komponen, yaitu pelaku, tindak pidana yang dilakukan, dan hasil tindak pidana. Hasil tindak pidana dapat berupa uang atau harta kekayaan lain. Pendekatan follow the money mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil diperoleh, kemudian dicarilah pelakunya dan tindak pidana yang dilakukan. Dalam mencari hasil tindak pidana, dipergunakan analisis keuangan (financial analysis) (Husein, 2008). Dengan pendekatan “mengikuti aliran dana” (follow the money) ini akan dapat diungkap siapa-siapa pelakunya, jenis tindak pidana, serta dimana tempat dan jumlah harta kekayaan disembunyikan.

Menurut Husein (2008), menyebutkan beberapa keunggulan pendekatan follow the money, yaitu sebagai berikut.

 

  1. Pendekatan ini memiliki priorotas untuk mengejar hasil kejahatan, bukan pelaku kejahatan, sehingga dapat dilakukan dengan “diam-diam”, lebih mudah, dan risiko lebih kecil karena tidak berhadapan langsung dengan pelaku yang kerap memiliki potensi melakukan perlawanan.
  2. Pendekatan ini mengejar hasil kejahatan yang nantinya dibawa ke depan proses hukum dan disita untuk negara karena pelaku tidak berhak menikmati harta yang diperoleh dengan cara tidak sah. Dengan disitanya hasil tindak pidana ini, motivasi seseorang melakukan tindak pidana untuk mencari harta menjadi berkurang atau hilang.
  3. Harta atau uang merupakan tulang punggung organisasi kejahatan. Mengejar dan menyita harta kekayaan hasil kejahatan akan memperlemah mereka sehingga tidak membahayakan kepentingan umum.
  4. Terdapat pengecualian ketentuan kerahasiaan bank atau rahasia lainnya sejak pelaporan transaksi oleh penyedia jasa keuangan (PJK) sampai pemeriksaan selanjutnya oleh penegak hukum. Hal ini akan dapat mengungkap oknum-oknum atau pelaku yang menjadi dalang maupun menerima hasil uang hasil kejahatan money laundering dengan cara melihat keadaan keuangan dan transaksi keuangannya.

 

  1. STUDI KASUS

3.1 Latar Belakang Enron

Enron berdiri pada tahun 1985 melalui merger antara dua perusahaan yang bergerak di bidang pipa gas yaitu Houston Natural Gas dan Omaha-based InterNorth, pada tahun 1985. Posisi CEO pun langsung diduduki oleh founder dari perusahaan tersebut yaitu Kenneth Lay sampai akhirnya Enron kedatangan seorang Jeffrey Skilling yang memiliki otak jenius berisi ide-ide inovatif yang berperan penting dalam kesuksesan Enron. Tahun 1987 Enron memiliki utang sampai dengan 75% dari nilai pasar saham Velasques (2006). Tahun 1989, Kenneth Lay mempekerjakan Jeffrey Skilling, seorang lulusan muda MBA Harvard untuk menjadi kepala departemen keuangan Enron. Bisnis inti Enron bergerak dalam industri energi, kemudian melakukan diversifikasi usaha yang sangat luas bahkan sampai pada bidang yang tidak ada kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi usaha tersebut, antara lain meliputi future transaction, trading commodity non energy dan kegiatan bisnis keuangan.

 

Pemerintah US menghapuskan beberapa peraturan yang mengarahkan pada harga tetap energi. Dampaknya, harga minyak menjadi berfluktuasi dan membuat pasar gas berisiko tinggi baik dari sisi pembeli maupun penjual. Produsen minyak kecil mengalami kesulitan dalam meningkatkan dana eksploitasi dan pengeboran karena adanya risiko pasar. Enron memiliki ide inovatif dengan memediasi antara pembeli dan penjual yang diharapkan dapat mengurangi risikonya. Enron menawarkan kontrak pada penjual untuk membeli minyak mereka dengan harga tetap dalam beberapa tahun dan kontrak pada pembeli dengan harga minyak yang sama ditambah nilai keuntungan untuk Enron. Skilling kemudian memutuskan untuk mengaplikasikan ide perdagangan Enron ke komoditi lainnya. Ia membuat kontrak jangka panjang di bidang perlistrikan, batu bara, pulp kertas, alumunium, baja, obat-obatan, kayu, air, broadband, dan plastik (Velasques, 2006). Diperhitungkan terdapat 1.800 produk yang ditangani. Tahun 1990 Skilling mempekerjakan Andrew Fastow, ahli keuangan, untuk membantu dalam menjalankan bisnis. Mereka meminta ijin pada komisi sekuritas dan perdagangan U.S. untuk menggunakan metode “nilai pasar” atas kontrak. Sehingga, yang dilaporkan adalah aset berdasarkan nilai pasar (Velasques, 2006).

 

Pada April 2001, majalah Fortune menyebut Enron sebagai tujuh perusahaan terbesar di U.S. dan perusahaan paling inovatif di Amerika. Pada 2 Desember 2001, Enron bangkrut, disebut sebagai kecurangan akuntansi terbesar di abat ke-20. Dua belas ribu pekerja kehilangan pekerjaan, pensiun, serta tabungan mereka yang telah diinvestasikan dalam bentuk saham Enron. Pemegang saham lainnya kehilangan $70.000.000.000 ketika nilai saham menjadi nol. Harga saham Enron menurun sangat tajam dari hampir $ 34 per saham pada 16 Oktober menjadi hanya beberapa sen dolar per share pada 28 November, ketika pemilik dana menurunkan status utang obligasi Enron (Smith dan Emshwiller, 2001). Enron akhirnya mengalami kebangkrutan terbesar pada saat itu, yang hanya di ungguli oleh Worldcom’s di tahun 2002 (Gara dan Langstraat, 2003).

 

 

3.2 Kasus Enron

Pada awalnya, Enron mengalami permasalahan untuk memasuki banyak pasar perdagangan. Di dalam memasuki banyak pasar perdagangan Enron memerlukan sejumlah uang untuk membiayai infrastruktur, transportasi, gudang, dan pengiriman komiditas. Namun, apabila Enron mengambil sejumlah utang yang besar, maka akan membuat pembeli atau penjual menjadi ragu untuk bekerjasama. Tingginya utang juga dapat mengakibatkan penurunan investasi dan memicu bank menarik dananya. Untuk mengatasi permasalahan, Enron mencoba mencari dana pinjaman tanpa melaporkannya dalam laporan keuangan.

 

Andrew Fastow selaku kepala keuangan Enron membuat ide untuk menggunakan nilai kelebihan kontrak sebagai “pendapatan” (Velasques, 2006). Fastow dan kantor akuntan Arthur Anderson bekerjasama dan menyiapkan serial “limited partnership” yang disebut “Special Purpose Entities” (Velasques,2006). Menurut Velasques (2006) aturan akuntansi memungkinkan bahwa perusahaan dapat tidak mencantumkan special purpose entities pada laporan keuangan asalkan terdapat suatu pihak yang dapat mengontrol penyelenggaraannya serta memiliki setidaknya 3 persen nilai special purpose entity. Entitas untuk tujuan khusus ini kemudian mengajukan sejumlah besar utang dengan saham Enron sebagai penjaminnya. Uang yang dipinjam ini diakui sebagai pembelian nilai lebih kontrak dan dicatat sebagai uang “pendapatan penjualan” meskipun sebenarnya adalah utang. Entitas ini juga mengambil alih sejumah besar utang Enron. Fastow juga nama fiktif seperti “Chewco, Jedi, Talon, Condor, dan Raptor” dan yang lainnya dengan membayarkan milyaran dolar sebagai gaji dan pendapatan atas 3 persen kepemilikan entitas.

Karena tidak dilaporkan, maka pemegang saham percaya bahwa Enron tidak mengalami lonjakan utang. Mereka juga percaya bahwa Enron menghasilkan lagi yang baik serta mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan kantor akuntan publik Arthur Anderson bahwa laporan Enron adalah akurat. Enron telah terlibat dalam rangkaian transaksi keuangan yang kompleks dan telah tersebar luas yang telah memberi kesan investor dan stakeholders lain bahwa gambaran keuangan Enron sangat bagus (Mclean, 2001).

 

Di sisi internal, Sherron Watkins, wakil presiden Enron, telah melihat kekacauan di perusahaan dan telah berjuang menyelamatkannya dengan memberi peringatan akan apa yang sedang terjadi (Velasques, 2006). Sheron Wattkins, bekerja di Enron mulai 1993. Dia menyadari bahwa meskipun harga saham cukup tinggi sehingga nilai lebih dapat digunakan untuk menutupi utang entitas khusus, namun ia tahu bahwa ketika harga saham turun akan memicu taksolvabelnya entitas dan mengembalikan utang pada laporan keuangan Enron (Velasques, 2006). Setelah pertengahan tahun kedua 2001, harga saham Enron menurun dari nilai tertingginya $80 per saham. Akuntan Enron berusaha menarik kembali utang dan aset pada entitas khusus.

 

Pada Juli 2001, harga saham jatuh ke nilai $47 per saham. Skilling secara tiba-tiba mengundurkan diri sebagai president dan CEO dengan alasan pribadi. Sherron Watikins pada 22 Agustus secara pribadi menemui Kenneth Lay dan bagian hukum dan mengirimkan enam halaman surat yang menjelaskan ketidakberesan terkait entitas khusus dan memperingatkan mereka yang kemudian ia sebut kecurangan akuntansi “the worst accounting fraud I had ever seen” (Velasques,2006).

Namun demikian, Kenneth Lay mengumumkan pada pekerja dan investor bahwa pertumbuhan Enron di masa mendatang baik, dan menganjurkan pada investor untuk terus menanamkan saham di Enron (Velasques, 2006). Ironisnya, Kenneth Lay dan eksekutif lainnya menjual secara diam-diam saham mereka. Pada tanggal 16 Oktober 2001, Enron menerbitkan laporan keuangan triwulan ketiga. Dalam laporan itu disebutkan bahwa laba bersih Enron telah meningkat menjadi $393.000.000 naik $100.000.000 dibandingkan perioda sebelumnya. CEO Enron, Kenneth Lay, menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek yang sangat baik. Ia juga tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan biaya akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $1.000.000.000 yang sesungguhnya menyebabkan hasil aktual pada periode tersebut menjadi rugi $644.000.000. Para analis dan reporter kemudian mencari tahu lebih jauh mengenai beban $1 miliar tersebut, dan ternyata berasal dari transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh CFO Enron.

 

Ketika Watkins berusaha agar perusahaan mengambil tindakan, saham Enron terus merosot. Pada 12 Oktober 2001, Enron mengumumkan mengambil alih utang dan aset entitas khusus, hal ini menurunkan $544.000.000 atas laba dan mengurangi nilai ekuitas pemegang saham dengan $1.200.000.000 (Velasques, 2006). Seminggu berikutnya, 22 Oktober, komisi sekuritas mengumumkan akan menginvestigasi entitas tujuan khusus Enron. Hari berikutnya, Fastow diberhentikan. 8 November 2001, Enron mengumumkan akan melaporkan ulang semua laporan keuangan sejak tahun 1997. Laporan ulang tersebut diperkirakan menurunkan ekuitas pemegang saham sebesar $2.100.000.000 dan meningkatkan utang $2.600.000 (Velasques, 2006). November 2001, harga saham turun hingga $1 per lembar, dan perusahaan mengalami kebangkrutan. Februari 2002, Sherron Watkins hadir sebelum kongress komite dan membuka pada publik apa yang ia ketahui seputar praktik akuntansi perusahaan. Ia dilabeli “whistlebower pemberani” oleh pers. Di sisi lain, personel Arthur Anderson kemudian menghancurkan dokumen yang terkait dengan entitas khusus Enron. Pada bulan Juni, kantor akuntan ini mendapat masalah dengan pengadilan terkait dengan penghancuran bukti. Arthur Andersen dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya kebangkrutan di Enron dan divonis pihak pengadilan karena melakukan mark up pendapatan dan menyembunyikan hutang lewat business partnership (Kompas, 16 Juni 2002).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3. Enron,s Accounting Fraud Diagram Sumber: Data Diolah, 2015

 

  1. PEMBAHASAN

4.1 Kecurangan Pelaporan (Fraudulent Statements)

Enron telah melakukan praktek window dressing yaitu dengan cara penundaan pencatatan piutang karena kasnya digunakan untuk kepentingan pribadi. Begitu seterusnya sampai terbongkar penipuan tersebut. Kecurangan investigasi yang dilakukan pada kasus Enron yaitu dengan cara melakukan pengamatan pada pencatatan laporan keuangan dimana Enron mencatat pendapatannya senilai $600.000.000 dan menyembunyikan utangnya sebesar $1. 200.000.000 dengan teknik off-balance sheet dengan bantuan dari KAP Arthur Andersen. Enron menciptakan lebih 3000 off-balance sheet subsidiaries dan off-balance sheet partnership yang bergerak di bidang energi dan telekomunikasi. Strategi off balance yang diterapkan Enron ini adalah legal dan sesuai dengan standar akuntansi. Tetapi dalam kenyataannya, tanpa sepengetahuan para stakeholder bahwa banyak investasi hedge yang tidak memadai pada perioda Agustus dan Sepetember. Pada kuarter ketiga 16 Oktober 2001 Enron mengumumkan adanya biaya sebesar $544.000.000. Enron juga melaporkan adanya pengurangan sebesar $1.200.000.000 stakeholder equity karena adanya accounting error dalam partnership yang dilakukan oleh kepala keuangan Andrew Fastow.

 

Off-balance sheet partnership merupakan suatu jenis partnership yang dengan sedemikian rupa sehingga tidak mewajibkan perusahaan untuk memasukannya dalam laporan keuangan konsolidasian. Dengan pembentukan off-balance sheet partnership, Enron memiliki kesempatan untuk memilah-milah transaksi mana yang ingin dan tidak ingin dimasukkan ke dalam laporan keuangan. Transaksi-transaksi Enron yang tidak diinginkan keberadaannya dalam laporan keuangan (karena dapat menurunkan laba bersih perusahaan atau menunjukkan posisi keuangan perusahaan yang sedang buruk) dialihkan ke off-balance sheet partnership. Walaupun tidak melanggar peraturan, namun praktik akuntansi seperti ini dapat menyembunyikan informasi perusahaan yang sebenarnya.

 

Pada tahun 2001, Securities and Exchange Comission (SEC) menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan Enron terkait dengan partnershipnya. Dengan demikian Enron diwajibkan untuk me-restate laporan keuangannya selama lima tahun kebelakang. Dalam laporan keuangan restatement tersebut, Enron mengungkapkan overstatement yang terjadi pada laba bersih yang dilaporkan sebesar US$ 586.000.000 dan shareholders equity sebesar US$ 1.000.000.000 serta understatement utang sebesar US$ 711.000.000 untuk posisi keuangan per tanggal 31 Desember 2000. Hal ini dilakukan karena Enron sadar bahwa kepercayaan investor dan kreditor harus dipertahankan untuk tetap mempertahankan arus kredit yang dibutuhkannya untuk melanjutkan operasi serta melanjutan ekspansinya.

 

Namun, laporan keuangan restatement tersebut justru semakin menghancurkan kepercayaan pasar dan investor kepada Enron. Akhirnya, pada akhir Oktober, credit rating Enron terjun bebas dan banyak utang tak terjamin (nonrecourse debt) menuntut untuk dikonversi menjadi utang terjamin (recourse debt). Pada tanggal 9 November 2001, Enron setuju untuk diakuisisi oleh pesaingnya sendiri, Dynegy Inc. Namun, hanya dalam waktu 3 minggu persetujuan tersebut dibatalkan oleh Dynegy karena Enron tidak memberikan cukup pengungkapan pada laporan keuangannya yang sebenarnya.

 

4.2 Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)

Dalam penyalahgunaan aset, Enron melakukan fraudulent disbursement dimana Enron mendirikan perusahaan “bayangan” (shell company) yang seolah-oleh merupakan pemasok atau rekanan atau kontraktor sungguhan. Perusahaan bayangan ini merupakan sarana untuk mengalirkan dana secara tidak sah ke luar perusahaan. Nama perusahaan tersebut antara lain Chewco, Jedi, Talon, Condor, dan Raptor” dan yang lainnya dengan membayarkan milyar-an dolar sebagai gaji dan pendapatan atas 3 persen kepemilikan entitas. Beberapa transaksi yang dapat dijabarkan adalah sebagai berikut.

 

  1. Transaksi Chewco.

Transaksi ini melibatkan antara Chewco Investments L.P., yang dimanajeri oleh Kopper (karyawan Enron Global Finance) yang merupakan SPE dari Enron. Chewco digunakan oleh Enron untuk menutupi kerugian yang diderita oleh JEDI (Joint Energy Develop Investment). Chewco tidak memenuhi kriteria SPE yang tidak dikonsolidasi, yaitu jika Chewco memunyai kepemilikan independen dengan 3% equity capital at risk. Kenyataannya tidak ada investor independen yang berinvestasi di Chewco, hanya Enron dan Kopper, sehingga transaksi Chewco harus dikonsolidasi ke dalam laporan keuangan Enron.

 

  1. Transaksi LJM (Lea, Jeffrey, Mastow)

Transaksi LJM antara Enron dan LJM Partnership yang dimanajeri oleh kepala keuangan enron Andrew Fastow, menghasilkan kelebihan profit satu milyar dollar pada laporan keuangan Enron. Selama Juni 1999-2001 Enron mengadakan 20 transaksi dengan LJM Partnership, yang berupa asset sales dan purported hedging transaction. Transaksi asset sales digunakan untuk menjual aset dan menghapuskan aset tersebut dari buku Enron. Transaksi purported hedging digunakan untuk mengalihkan saham Enron kepada LJM. LJM akan melindungi Enron dengan menanggung kerugian jika harga saham Rhythm Net Connection (salah satu perusahaan yang dimiliki Enron) menurun. LJM terdiri dari LJM 1 (LJM Cayman L.P) yang digunakan untuk transaksi spesifik dengan Enron dan LJM 2 (LJM2 Co-Investment, L.P.) yang merupakan institusi dana privat yang mendapat dana investasi dari kepala keuangan Enron Andrew Fastow sebesar $200.000.000. LJM 2 melakukan transaksi penjualan asset dengan Enron. Enron menjual aset-aset yang tidak menghasilkan kinerja baik kepada perusahaan yang membuat Enron berhasil menghilangkat aset tidak menguntungkan tersebut dan mencatat arus kas dari penjualan aset.

 

  1. Transaksi Raptor

Transaksi hedging raptor melibatkan empat SPE Enron. Transaksi ini bertujuan untuk mengimbangi kerugian yang terjadi dari loss dari fair value accounting yang timbul dari investasi yang dicatat pada laporan keuangan. Secara total, Enron menggunakan Raptor untuk menutupi kerugian investasi Enron sebesar 1 milyar dollar US.

 

4.3 Tanda- Tanda Kecurangan

Melalui analisis laporan keuangan Enron terdapat banyak manipulasi, sehingga angka-angka pada laporan keuangannya tidak menunjukkan kondisi sebenarnya dari perusahaan Enron yaitu sebagai berikut. (Nuriani,dkk., 2011)

 

  1. Dalam bagian selisih antara cash flow September 2000 sebelum dan sesudah restatement di cash flow from investing, bagian acquisition of subsidiary stock secara nominal saling meng-offset dengan business acquisition dimana acquisition of subsidiary stock sebesar $-258.000.000 sedangkan business acquisition sebesar $258.000.000.

 

  1. Pada bagian perubahan Net Working Capital, piutang mengalami penurunan dan utang mengalami peningkatan. Hal ini menghasilkan kecurigaan akan adanya kesalahan dalam pengakuan pendapatan.

 

  1. Pada tahun 2000, angka net income cukup jauh berbeda dengan angka operating cash flow. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan operasi perusahaan kurang mendukung pencapaian net income sehingga dicurigai adanya keuntungan yang belum terealisasi yang diperoleh dari sistem mark to market yang diterapkan Enron yang berdampak kepada pencapaian net income

 

  1. Free cash flow (cash flow from operating dikurangi dengan cash flow from investing) Enron tidak begitu baik. Hal tersebut dapat dilihat dari angka cash flow from operating yang memiliki perbedaan yang signifikan terhadap cash flow from investing. Enron mampu membiayai kegiatan investasinya yang besar dengan operating cash flow yang tidak begitu besar.

 

4.4 Fraud Triangle

 

Di dalam kasus enron awal mula terjadinya window dressing adalah karena tekanan yang dihadapi oleh pimpinan perusahaan. Pada awalnya, Enron mengalami permasalahan. Untuk memasuki banyak pasar perdagangan memerlukan sejumlah uang untuk membiayai infrastruktur, transportasi, gudang, dan pengiriman komiditas. Namun, jika Enron mengambil sejumlah utang yang besar, kemungkinan akan membuat pembeli atau penjual menjadi ragu untuk bekerjasama. Tingginya utang juga dapat mengakibatkan penurunan investasi dan memicu bank menarik dananya. Untuk mengatasi permasalahan, Enron mencoba mencari dana pinjaman tanpa melaporkannya dalam laporan keuangan. Andrew Fastow membuat ide untuk menggunakan nilai kelebihan kontrak sebagai “pendapatan” (Velasques, 2006).

Aturan akuntansi memungkinkan bahwa perusahaan dapat tidak mencantumkan special purpose entities pada laporan keuangan asalkan terdapat suatu pihak yang dapat mengontrol penyelenggaraannya serta memiliki setidaknya 3 persen nilai special purpose entity. Entitas untuk tujuan khusus ini kemudian mengajukan sejumlah besar utang dengan saham Enron sebagai penjaminnya. Uang yang dipinjam ini diakui sebagai pembelian nilai lebih kontrak dan dicatat sebagai uang “pendapatan penjualan” meskipun sebenarnya adalah utang. Entitas ini juga mengambil alih sejumah besar utang Enron. Fastow juga nama fiktif seperti “Chewco,

 

Jedi, Talon, Condor, dan Raptor” dan yang lainnya dengan membayarkan milyaran dolar sebagai gaji dan pendapatan atas 3 persen kepemilikan entitas. Karena tidak dilaporkan, maka pemegang saham percaya bahwa Enron tidak mengalami lonjakan utang. Mereka juga percaya bahwa Enron menghasilkan lagi yang baik serta mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan kantor akuntan publik Arthur Anderson bahwa laporan Enron adalah akurat.

 

Dalam rasionalisasi Enron dapat membuat Kantor Akuntan Publik (KAP0 Arthur Anderson bekerjasama dalam melakukan window dressing. Enron menggunakan nilai kelebihan kontrak sebagai “pendapatan”. Enron dan kantor akuntan Arthur Anderson bekerjasama dan menyiapkan serial “limited partnership” yang disebut “Special Purpose Entities”. Pada saat Enron menerbitkan laporan keuangan KAP Arthur Anderson memberikan pernyataan bahwa laporan Enron adalah akurat.

 

4.5 Whistleblower

Sheron Wattkins, bekerja di Enron mulai 1993. Pada kasus Enron ini ia sebagai wakil presiden. Sherron Watkin, telah melihat kekacauan di perusahaan dan telah berjuang menyelamatkannya dengan memberi peringatan akan apa yang sedang terjadi. Februari 2002, Sherron Watkins hadir sebelum kongress komite dan membuka pada publik apa yang ia ketahui seputar praktik akuntansi perusahaan. Ia dilabeli “whistlebower pemberani” oleh pers. Di sisi lain, personel Arthur Anderson kemudian menghancurkan dokumen yang terkait dengan entitas khusus Enron. Pada bulan Juni, kantor akuntan ini mendapat masalah dengan pengadilan terkait dengan penghancuran bukti.

4.6 Follow The Money

 

Melalui http://www.talking_points.tripod.com dijabarkan arus uang yang telah diberikan Enron dalam ranah politik, yaitu sebagai berikut.

 

  1. Enron memberikan kepada Clinton dan Gore menurut catatan Komisi Pemilihan Federal, Clinton dan Wakil Presiden Al Gore menerima kontribusi $11.000 dan $13.750, masing-masing, untuk kampanye presiden.
  2. Enron menyumbangkan $100.000 untuk pelantikan Clinton / Gore pada tahun 1992.
  3. Enron menyumbangkan $25.000 untuk perayaan Clinton / Gore pada tahun 1993.
  4. 29 Senat Demokrat, tidak termasuk mereka yang pensiun, atau meninggal, menerima total $110.513 dalam 12 tahun terakhir dari Enron.
  5. Para pejabat Clinton secara terbuka membantu Enron memenangkan kontrak di India maupun di Indonesia. Enron telah menerima dana pemerintah US untuk membangun pembangkit listrik di Cina, Filipina dan Turki. Enron juga memenangkan kontrak di Pakistan dan Rusia saat menemani pejabat senior pemerintah AS pada trip negara. Pada bulan Juni 1996, empat hari sebelum India memberikan persetujuan akhir untuk proyek Enron, perusahaan Lay memberi $100.000 kepada DNC.
  6. Pada tahun 1990 hingga 1994 Enron memberikan 42% dari sumbangan mereka untuk Demokrat.

 

  1. Hillary Rodham Clinton, menerima $950 dari Enron.
  2. Jack Quinn, anggota lama asosiasi politik dari Al Gore dan mantan konselor (penasihat) Clinton di tahun 1997, dibayar oleh Enron sebesar $525,000 untuk melobby.
  3. Charles Bone, seorang dari penggalangan dana Gore dan teman dari Enron, dibayar sebesar $500,000 untuk melakukan lobby untuk Enron di tahun 2001.
  4. Johnny Hayes ditunjuk oleh Clinton untuk menjadi Direksi papan TVA, yang dibayar oleh Enron sebesar $200,000 untuk melobby pada tahun 2001.
  5. Howard Glicken, ketua dari Commonwealth Group, juga seorang penyumbang dana terbesar dari DNC fundraiser besrta Ron Brown pada perjalanan perdagangan, di lobby oleh Enron dengan membayar sebesar $40,000 di tahun 2001.
  6. Bennett Johnston, merujuk pada Johnston & Associates, mantan senator demokrasi dari Louisiana, dilobby oleh Enron dengan dibayar $40,000 di tahun 2001.
  7. Tahun 1991-1992 selama siklus pemilu, Enron memberikan $28,525 pada Partai Demokrat dimana Ron Brown menjabat sebagai ketua dari Komite Demokrasi Nasional. Enron memberikan $42,000 kepada Partai demokrat pada siklus tahun 1993-1994.
  8. Badan Hukum nasional dan kebijakan pusat menyatakan, Enron dan perusahaan terkait Enron telah menyumbang lebih dari $250.000 untuk kampanye dari Senator Lieberman.
  9. Enron berkontribusi sebanyak $25,000 pada tahun 2000 pada group yang didirikan , the New Democrat Network, mengacu pada catatan IRS.

 

  1. Bruce Willison, ditunjuk oleh Guberbur Davis kepada papan energy amerika, dilaporkan memiliki lebih dari $1 million dari saham Enron .
  2. Jane Harman (D-Calif.) memiliki investasi di Enron sebanyak $350,000, mengacu pada 2000 pengungkapan laporan keuangan.
  3. Enron memberikan $100,000 kepada ketua komite untuk 2000 Konvensi Nasional Partai Demokrat di Los Angeles.
  4. Enron memberikan  $25,000  kepada  Gray  Davis  untuk  mensukseskan

 

kampanye gubernurnya.

Melalui follow the money diatas dapat disimpulkan bahwa Enron melakukan banyak lobby terhadap pejabat pemerintah untuk menyukseskan bisnis perusahaan. Melalui follow the money tersebut juga terdapat beberapa spekulasi yang berkembang salah satunya yang diungkapkkan oleh situs www.corbettreport.com di dalam artikelnya yang berjudul Episode 308 9/11 Trillions: Follow The Money yang menyatakan bahwa tragedi 9/11 yang terjadi berkaitan dengan kasus Enron yang pada saat itu sedang ditangani oleh SEC. Kantor SEC berada pada lantai 11-13 gedung World Trade Center. Tragedi 9/11 telah menghancurkan kantor SEC beserta dengan 3000 hingga 4000 dokumen yang masih aktif di dalam proses investigasi.

 

  1. PENUTUP

5.1 Simpulan

Dalam menyusun laporan keuangan sudah banyak kasus dan praktik yang terkait dengan kecurangan (fraud). Kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud) dilakukan oleh pihak-pihak yang dilatarbelakangi oleh kepentingan terhadap keuangan perusahaan. Kasus yang terdapat di Perusahaan Enron pada tahun 2011 merupakan salah satu kontroversi di dalam kecurangan laporan keuangan serta dalam proses pengauditan. Enron berdiri pada tahun 1985 melalui merger antara dua perusahaan yang bergerak di bidang pipa gas yaitu Houston Natural Gas dan Omaha-based InterNorth, pada tahun 1985.

 

Fraud yang dilakukan enron antara lain adalah Enron telah melakukan praktek window dressing yaitu dengan cara melakukan pengamatan pada pencatatan laporan keuangan dimana Enron mencatat pendapatannya senilai $600.000.000 dan menyembunyikan utangnya sebesar $1.200.000.000 dengan teknik off-balance sheet dengan bantuan dari KAP Arthur Andersen. Di dalam penyalahgunaan aset, Enron melakukan fraudulent disbursement dimana Enron mendirikan perusahaan “bayangan” (shell company). Nama perusahaan tersebut antara lain Chewco, Jedi, Talon, Condor, dan Raptor” dan yang lainnya dengan membayarkan milyar-an dollar sebagai gaji dan pendapatan atas 3 persen kepemilikan entitas.

 

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno. (2012). Auditing Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan Oleh Akuntan Publik.. Jilid 1, Edisi Keempat. Jakarta. PT Salemba Empat.

Arens, A. A., Elder, R.J., Beasley, M.S. (2012). Auditing and Assurance Service An Integrated Approach. 14th Global Edition

Arifin, Achmad Zainal, (2005). Fenomena Whistle Blower dan Pemberantasan Korupsi. Kompas. Diakses 7 Desember 2015

Association of Certified Fraud Examiner (ACFE). (2012). Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse

Gara, S & Langstraat, C. 2003.The Sarbanes Oxley Act of 2003: A New Ballgame For Accountants. University of Memphis Law Review. Vol 34, pp 73-114.

Husein, Umar. (2008) Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada

Johnstone, Gramling, & Rittenberg. (2013). Auditing: A Risk Based Approach to Conducting Audit Quality. Ninth Edition. America. United State Copyright Act.

McLean, B. (2001). Why Enron Went Bust. Fortune. 9 Desember 2001.

Mulyadi. (2002). Auditing. Edisi Ke Enam. Jakarta. PT. Salemba Empat Patria.

Nuriani, Christian, dkk. (2011). Tinjauan kasus Enron dengan melakukan audit atas Cash Cycle. Tugas Pengauditan 2. Universitas Indonesia.

Sarwoko. (2009). Pengungkapan dan Pembuktian Perkara Pidana Melalui Penelusuran Hasil Kejahatan. Makalah disampaikan dalam kegiatan workshop dengan tema “Pengungkapan dan Pembuktian Perkara Pidana Melalui Penelusuran Hasil Kejahatan”

Semendawai, dkk. (2011). Memahami Whistleblower. Jakarta. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Smith, R & Emshwiller, J. (2001). Running on Empty: Enron Faces Collapse as Credit, Stock Dive and Dyneg Bolts-Energy Trading Giant’s Fate Could Reshape Industry, Bring Tighter Regulation-Price Quotes Suddenly Gone. Wall Street Journal , 29 November, pp A1.

Sihombing. (2014). Analisis Fraud Diamond Dalam Mendeteksi Financial Statement Fraud: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Skripsi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro.

Tuanakotta. (2007). Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Tuanakotta. (2010). Akuntansi Forensik& Audit Investigatif, Edisi 2 Jakarta. PT Salemba Empat.

Tuanakotta. (2013). Audit Berbasis ISA (International Standards on Auditing). Jakarta. Salemba Empat.

Tunggal. (2001). Audit Kecurangan (Suatu Pengantar). Jakarta. Harvarindo.

Velasquez. (2006) , Business Ethics : Concepts and Cases, th6 ed. New Jersey.Pearson , Prectice Hall.

www.talking_points.tripod.com Diakses pada 7 Desember 2015

www.corbettreport.com Diakses pada 7 Desember 2015

PRINSIP-PRINSIP FRAUD (FRAUD PRNCIPLES)

PRINSIP-PRINSIP FRAUD (FRAUD PRINCIPLES)

Kevin & Daniel Sugama Stephanus

Program Studi Akuntansi – Fakultas Ekonomi Dan Bisnis – Universitas Ma Chung – Kabupaten Malang – 2015

 

ABSTRAK

Makalah ini disusun untuk membantu penulis memahami mengenai prinsip-prinsip fraud. Dalam makalah ini akan dibahas pengertian prinsip, fraud, hingga perumusan arti fraud seta pentingnya pembahasan prinsip fraud dalam dunia bisnis. Dalam makalah ini juga akan dibahas mengenai kasus yang dilakukan oleh Lippo Group melalui Bank Lippo dengan didasari oleh prinsip-prinsip fraud yang telah dibahas agar memperdalam pemahaman penulis mengenai fraud secara keseluruhan. Makalah ini ditutup dengan kesimpulan dan saran atas kasus yang terjadi dan kaitannya dengan prinsip-prinsip fraud dengan pemahaman penulis.

Kata-kata kunci: fraud, prinsip-prinsip fraud, kasus Lippo Group, Bank Lippo.

 

  1. PENDAHULUAN

Dalam melaksanakan audit, khususnya audit atas fraud, auditor tentunya harus terlebih dahulu memahami apa itu fraud. Untuk bisa memahami fraud, maka auditor perlu untuk memahami prinsip-prinsip dari fraud. Pemahaman atas prinsip-prinsip fraud merupakan dasar fondasi yang baik untuk merancang pencegahan maupun pendeteksian fraud yang efektif (Singleton & Singleton, 2010), dimana hal ini merupakan tindak lanjut dari audit atas fraud.

Dalam memahami prinsip-prinsip fraud, pertama harus dipahami arti fraud secara luas yang telah ada dan berkembang saat ini dan kemudian menyimpulkan definisi sederhana yang bisa digunakan oleh umum maupun pihak-pihak tertentu yang dekat dengan fraud, seperti perusahaan, auditor, atau lembaga lainnya yang berurusan dengan fraud. Salah satu langkah yang diperlukan adalah dengan membuat taksonomi atau pengklasifikasian dan memilih taksonomi yang sederhana namun efektif dan mencakup semua skema fraud yang ada.

Tahapan lainnya untuk memahami prinsip-prinsip fraud adalah dengan memahami mengapa fraud terjadi atau dilakukan. Salah satu model penjelasan yang bisa membantu menjelaskan hal ini adalah segitiga fraud. Selain mengapa, juga perlu untuk dipahami mengenai profil dari kerah putih, pelaku dari semua fraud yang ada.

Oleh karena pentingnya memahami prinsip-prinsip fraud, maka penulis menyusun makalah ini untuk memahami prinsip-prinsip fraud dengan gambaran umum yang telah dijelaskan.

 

  1. LANDASAN TEORI

2.1. Definisi Fraud

Menurut Singleton & Singleton (2010), fraud memiliki arti/definisi yang berbeda-beda bagi tiap orang dalam keadaan tertentu. Satu pihak mungkin akan mengatakan bahwa fraud yang dengan sengaja menipu adalah kebalikan dari kebenaran, keadilan, fairness, dan ekuitas. Namun, penipuan terkadang dilakukan demi keselamatan suatu pihak. Meskipun terdapat rasionalisasi untuk melakukan penipuan, standar umum yang berlaku sekarang masih menganggap penipuan sebagai suatu perbuatan yang jahat dan tercela, namun penipuan dapat juga dilakukan demi kebaikan bersama. Para pelaku penipuan yang berdasarkan kebaikan tersebut tidak diperlakukan separah pelaku penipuan yang melakukannya atas dasar keserakahan, atau dasar lainnya yang tidak baik.

Menurut Singleton & Singleton (2010), terdapat beberapa definisi fraud yang cukup penting, diantaranya sebagai berikut.

  1. Fraud sebagai tindakan kriminal. Fraud adalah istilah yang umum dan mencakup semua makna yang dibuat oleh akal manusia yang dapat digunakan oleh tiap individu untuk mendapat keuntungan dengan pemaknaan yang salah atau misrepresentasi. Tidak ada makna yang baku atau permanen yang bisa digunakan sebagai landasan utama untuk mendefinisikan fraud karena fraud mengandung kejutan, trik, kelicikan, dan cara-cara yang tidak fair, dan suatu

pihak lain dicurangi. Hanya ada satu batasan yang bisa mendefinisikan, yaitu definisi yang membatasi kelicikan manusia.

 

  1. Fraud Fraud korporasi adalah fraud apapun yang dilakukan oleh, untuk, atau pada sebuah korporasi.

 

  1. Fraud Fraud manajemen adalah ketika manajemen secara sengaja melakukan misrepresentasi akan kinerja korporasi atau unit yang dilakukan oleh karyawan yang berada pada level manajemen puncak dengan intensi mencari keuntungan dari fraud tersebut dalam bentuk promosi, bonus, atau keuntungan ekonomis maupun simbol status lainnya.

 

  1. Layperson’s definition of fraud. Fraud seperti yang dipahami secara umum, berarti ketidakjujuran dalam bentuk kesengajaan untuk menipu, atau dengan sengaja melakukan misrepresentasi atas suatu fakta yang material. Berbohong, dengan sengaja menyatakan kebohongan, curang, menikmati suatu keuntungan yang tidak adil atau tidak jujur dari pihak lain juga bisa digunakan untuk menjelaskan makna fraud lebih lanjut karena mengandung intensi atau kesengajaan untuk menipu.

 

  1. Fraud menurut ACFE. ACFE (Association of Certified Fraud Examiners) mendefinisikan “occupational fraud abuse” atau fraud oleh pegawai sebagai penggunaan jabatan suatu individu demi kepentingan pribadi dengan secara sengaja menggunakan atau mencuri aset dari entitas yang mempekerjakannya. ACFE mendefinisikan fraud laporan keuangan sebagai suatu kesengajaan dalam melakukan misrepresentasi atas keadaan finansial dari suatu badan usaha yang dicapai dengan kesalahan penyajian yang disengaja, atau pengurangan nominal atau pengungkapan dalam laporan keuangan demi menipu pengguna.

Dari definisi-definisi yang ada, definisi secara hukum adalah yang paling unggul dalam antifraud. Alasannya adalah fraud apapun berpotensi untuk berakhir pada jalur hukum.

 

2.2. Sinonim: Fraud, Pencurian, dan Penggelapan

Fraud, Pencurian, penyalahgunaan kepercayaan, penyimpangan, kejahatan kerah-putih, dan penggelapan adalah istilah yang sering digunakan secara bergantian. Meskipun mereka memiliki beberapa kesamaan elemen, mereka tidak sama secara identik dalam cakupan hukum kriminal. Sebagai contoh, dalam hukum umum Inggris, pencurian diartikan sebagai larceny—suatu tindakan mengambil dan membawa benda miliki orang lain dengan intensi mengambil alih kepemilikan dari pemilik yang seharusnya. Dalam penggelapan, pelaku pada awalnya membeli atau mendapatkan kepemilikan dengan legal, namun kemudian mengonversinya untuk kepentingan pribadinya. Penggelap memiliki tugas fidusiari untuk menjaga dan menjaga benda tersebut, namun dengan mengonversi kepemilikan tersebut untuk kepentingan pribadi, mereka melanggar tugas fidusiari tersebut (Singleton & Singleton, 2010).

2.3. Riset Fraud Klasik

Menurut Singleton & Singleton (2010), karena pada zaman ini masih banyak orang yang tidak memiliki pengetahuan yang mencukupi mengenai fraud, maka perlu melakukan riviu atas literatur. Dengan dilakukannya riviu literatur, maka akan muncul apresiasi atas cakupan dan sifat dari fraud dan membangun fondasi untuk memahami topik mengenai fraud.

Istilah fraud pada awalnya disebut sebagai kejahatan kerah putih. Riset-riset klasik pada topik fraud menurut Singleton & Singleton (2010) antara lain adalah “White Collar Crime” (Sutherland, 1949); “Other People’s Money” (Cressey, 1949); “The Thief in the White Collar” (Jaspan & Black, 1960); dan “Crime, Law, and Society” (Hartung, 1965). Peneliti-peneliti tersebut pada esensinya memberitahukan kepada kita bahwa kejahatan kerah putih berawal pada proses umum yang sama dengan tindakan kriminal lainnya, yakni asosiasi diferensial. Hipotesis dari asosiasi diferensial adalah tindakan kriminal dipelajari bersama dengan mereka yang mendefinisikan hal tersebut dengan favorabel dan mengisolasi mereka yang mendefinisikan dengan tidak favorabel dan bahwa seseorang dalam suatu keadaan yang mendukung untuk melakukan tindakan kriminal tersebut jika, dan hanya jika definisi yang favorabel lebih berat dibandingkan dengan yang tidak favorabel.

Dengan kata lain, orang yang sejenis akan berkumpul bersama, atau setidaknya saling menguatkan pandangan dan nilai yang dirasionalkan bersama. Namun, orang-orang membuat keputusan mereka sendiri dan bahkan dengan tidak sadar dalam cara yang memperhitungkan laba-ruginya. Untuk melakukan fraud, sebuah rasionalisasi harus ada bagi seseorang untuk memutuskan fraud setimpal atau tidak untuk dilakukan.

Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika mereka membayangkan mereka pada keadaan finansial yang buruk dan tidak bisa ditanggungkan bersama dan menyadari bahwa ia bisa lolos dari keadaan tersebut dengan diam-diam melalui pelanggaran terhadap kepercayaan pada jabatannya dan bisa mengaplikasikan pelanggaran tersebut dalam situasi dan verbalisasi yang memungkinkan mereka untuk menyesuaikan konsepsi dari mereka sendiri sebagai pengguna yang dipercaya atas dana atau barang yang dipercayakan.

Menurut Singleton & Singleton (2010), Jaspan & Black (….) mencoba untuk merumuskan langkah-langkah untuk mencegah fraud. Dari penelitian mereka, secara singkat mereka menyarankan pemberi kerja untuk:

  1. Menggaji pegawainya dengan wajar.
  2. Memperlakukan pegawainya dengan baik.
  3. Mendengarkan pegawainya.

Meskipun saran mereka sangat humanis, mereka juga menyarankan untuk tetap tidak memberikan kepercayaan secara penuh kepada pegawainya maupun kepada petugas keamanan yang dipekerjakan untuk mengecek pegawainya. Peneliti lain, Hartung (1960, dalam Singleton & Singleton, 2010) tidak setuju dengan generalisasi dari Jaspan & Black (1965, dalam Singleton & Singleton, 2010) dan lebih fokus pada tiap individu. Hartung berargumen bahwa pelaku tindakan kriminal atas kepercayaan finansial dan penunggak karir memiliki satu kesamaan, yaitu kriminalitas mereka dipelajari melalui proses komunikasi simbolik yang tergantung pada sumber-sumber kultural dari pola pikir dan tindakan serta sistem nilai dan kekayaan motif.

Pada kenyataannya, kedua pihak peneliti memang benar. Hartung (1960, 1965) menekankan pada kenyataan bahwa individu tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan. Sedangkan Jaspar & Black bisa dianggap terlalu empatik terhadap individual, saran mereka untuk mencegah penyebaran fraud sama dengan usaha pada masa modern, yakni menciptakan lingkungan yang memiliki sedikit penyebab dan kesempatan untuk melakukan fraud.

 

2.4. Segitiga Fraud

Menurut Sutherland & Cressey (….) dalam Singleton & Singleton (2010), Setiap fraud memiliki tiga hal yang sama, yakni tekanan, rasionalisasi, dan pengetahuan & kesempatan untuk melakukan kejahatan tersebut. Ketiga poin tersebut adalah tiga sisi dari segitiga fraud.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1 Segitiga Fraud

 

Sumber: Fraud Auditing and Forensic Accounting, 2010

2.4.1. Tekanan

 

Tekanan yang dimaksudkan adalah tekanan yang berasal dari kehidupan pribadi pelaku fraud yang mengakibatkan stres berat sehingga memotivasi pelaku untuk mencuri. Umumnya, tekanan tersebut adalah masalah finansial, namun bisa juga efek dari tekanan lain. Contoh lainnya adalah kebiasaan berjudi atau kecanduan obat-obatan terlarang yang bisa menciptakan kebutuhan finansial yang besar hanya untuk mempertahankan kebiasaan atau candu. Terkadang, pelaku fraud menemukan motivasi atau tekanan dari bentuk insentif lain, seperti bonus atau melalui fluktuasi harga saham. Selain itu, pada orang yang sangat kaya juga bisa muncul motivasi atau tekanan karena keserakahan yang tidak bisa dibendung.

Di balik motivasi ekonomi, juga terdapat dorongan dari bidang sosial dan politik juga. Terkadang, orang melakukan fraud karena dorongan ego mereka. Umumnya, fraud yang berasal dari tekanan sosial atau politik berupa fraud pada laporan keuangan.

2.4.2. Rasionalisasi

 

Motivasi untuk melakukan fraud umumnya dirasionalisasi oleh pepatah kuno yang menyatakan bahwa segalanya wajar demi cinta dan perang—juga dalam bisnis, dimana sebenarnya tidak bermoral. Selain itu, terdapat juga rasionalisasi lain, yaitu penyakit kejiwaan yang memotivasi pelaku untuk melakukan tindakan fraud, seperti kleptomania, pembohong akut, dan penyakit kejiwaan lainnya.

Kebanyakan pelaku fraud tidak memiliki catatan kriminal. Dalam Report to the Nation (RTTN) yang diterbitkan oleh ACFE (2008), 93% dari pelaku fraud tidak memiliki catatan kriminal. Bahkan, para pelaku kejahatan kerah putih selalu memiliki kode etik personal. Selain itu, tidak jarang pula pelaku fraud juga religius. Kenyataan tersebut dapat diartikan bahwa para pelaku fraud membenarkan perbuatan mereka dengan keadaan yang ada. Contohnya, direksi mencuri dari bawahannya dengan meyakinkan dirinya bahwa dia hanya meminjamnya sementara. Contoh rasionalisasi lainnya adalah mereka merasa bahwa tindakan mereka tidak merugikan siapapun atau mereka menganggap bahwa keuntungan yang diperoleh dari tindakan fraud tersebut memang seharusnya mereka nikmati sehingga mereka melakukan fraud demi mendapatkan keadilan mereka.

2.4.3. Kesempatan

Menurut Cressey (1949) dalam Singleton & Singleton (2010), para pelaku fraud selalu memiliki pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan fraud. Temuan ini juga didukung oleh kasus-kasus fraud yang diketahui dan dalam RTTN ACFE yang menunjukkan bahwa manajer dan karyawan yang melakukan fraud cenderung telah lama berada dalam perusahaan. Penjelasan singkat untuk menjelaskan fenomena ini adalah karyawan atau manajer yang telah lama dalam perusahaan telah mengenal dengan baik dimana kelemahan-kelemahan yang ada dari kontrol internal yang ada dalam perusahaan dan akhirnya mengetahui bagaimana melakukan fraud dengan benar dan tidak terdeteksi.

Salah satu syarat utama untuk mendapat kesempatan adalah pelaku harus terlebih dahulu mendapatkan kepercayaan dalam bentuk apapun. Meskipun begitu, faktor paling penting dalam kesempatan adalah kontrol internal. Sebuah kelemahan dalam atau tidak adanya kontrol internal membuka pintu kesempatan bagi pelaku fraud untuk melakukan kejahatannya. Bahkan, dapat juga diperdebatkan bahwa sisi ini adalah sisi yang paling bisa dikendalikan atau dipantau oleh auditor.

 

2.5. Cakupan Fraud

Menurut Singleton & Singleton (2010), fraud mencakup hampir seluruh bisnis menengah hingga besar, baik dalam bentuk potensi ataupun sedang terjadi. Secara virtual, tidak ada bisnis kecil yang tidak memiliki fraud. Selain itu, organisasi nirlaba atau bentuk organisasi lainnya juga tidak bebas dari fraud. Riset dari ACFE juga menunjukkan bahwa estimasi fraud yang terdeteksi di Amerika pada perioda 1996 hingga 2008 menunjukkan bahwa fraud konsisten dan angkanya sekitar 6% dari omzet tahunan.

Dalam hal fraud atas laporan keuangan, riset dari COSO menunjukkan bahwa kebanyakan fraud pada perusahaan terbuka dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil (nilai aset perusahaan kurang dari 100 juta dolar Amerika). Selain itu, terdapat beberapa karakteristik lain, seperti direksi didominasi oleh orang dalam dan orang-orang yang kurang berpengalaman. Ciri lainnya adalah manajemen puncak terkait dengan kasus fraud atas laporan keuangan (83% kasus fraud atas laporan keuangan melibatkan manajemen puncak). Durasi rata-rata dari fraud adalah sekitar 23,7 bulan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan temuan ACFE dalam RTTN yang mereka terbitkan

Temuan lainnya yang dirilis oleh KPMG (2009) yang menarik adalah bahaya fraud semakin meningkat karena perekonomian dan uang stimulus. Dalam survei yang dilakukan pada 204 responden, sekitar 32% melaporkan bahwa setidaknya satu dari kategori yang ada dalam fraud tree akan meningkat dalam 1 tahun ke depan. Tetapi, sekitar 74% dari pegawai melaporkan bahwa mereka secara langsung mendapati kejadian fraud dalam perusahaan mereka dalam setahun terakhir. Selain itu, sekitar 65% dari manajemen puncak fraud dan tindakan terlarang lainnya adalah risiko yang signifikan dalam industri mereka, dengan risiko yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya kepercayaan publik.

Dalam beberapa RTTN oleh ACFE juga dijabarkan mengenai metoda-metoda umum yang digunakan untuk mendeteksi fraud. Berdasarkan laporan-laporan tersebut, tips dan keluhan secara konsisten lebih efektif dalam mendeteksi fraud dibandingkan metoda lainnya. Metoda lainnya yang menduduki posisi kedua dalam keefektivan dalam mendeteksi fraud adalah kontrol internal, disusul ketiga oleh audit internal, keempat ketidaksengajaan, dan kelima adalah audit eksternal. Perlu diperhatikan juga bahwa urutan ini cukup konsisten dari tahun ke tahun.

 

2.6. Profil Pelaku Fraud

Menurut Singleton & Singleton, untuk bisa memahami mengenai profil dari pelaku fraud, harus dimulai dari membuat 4 generalisasi mengenai individu:

  1. Sebagian orang selalu tidak jujur.
  2. Sebagian orang selalu jujur.
  3. Kebanyakan orang selalu jujur.
  4. Sebagian orang selalu jujur.

Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa 40% karyawan mengatakan mereka tidak akan mencuri, 30% mengatakan mereka akan mencuri dan 30% mengatakan bahwa mereka ingin mencuri. Selain generalisasi mengenai orang-orang yang telah dibahas, Gwynn Nettler (1982) dalam Singleton & Singleton (2010) mengajukan wawasan mengenai kecurangan dan penipu.

  1. Orang yang telah mengalami kegagalan lebih mungkin untuk menipu
  2. Orang yang tidak disukai dan yang tidak menyukai diri mereka cenderung lebih menipu.
  3. Orang yang impulsif, mudah teralihkan dan tidak dapat menunda gratifikasi lebih mungkin untuk terlibat dalam kejahatan licik.
  4. Orang yang memiliki hati nurani (takut tertangkap dan hukuman; atau persepsi deteksi) lebih tahan terhadap godaan untuk menipu.
  5. Orang cerdas cenderung lebih jujur dari orang-orang bodoh. Orang kelas menengah ke atas cenderung lebih jujur daripada orang kelas bawah.
  6. Semakin mudah untuk menipu dan mencuri, semakin mungkin orang akan melakukannya.
  7. Individu memiliki kebutuhan berbeda, sehingga tingkat mereka akan cukup termotivasi untuk berbohong, menipu atau mencuri akan berbeda juga.
  8. Berbohong, kecurangan dan mencuri akan meningkat jika orang memiliki tekanan besar untuk mencapai tujuan penting.
  9. Perjuangan untuk bertahan hidup menimbulkan penipuan.

Orang berbohong, menipu dan mencuri dalam pekerjaan dengan berbagai situasi pribadi dan organisasional. Cara yang mengikuti hanyalah beberapa:

  1. Variabel personal
    1. Bakat atau kemampuan
    2. Sikap atau preferensi
    3. Kebutuhan pribadi atau keinginan
    4. Nilai atau keyakinan
  2. Variabel organisasional
    1. Keadaan atau lingkup pekerjaan (pekerjaan yang bermakna)
    2. Peralatan atau pelatihan yang diberikan
    3. Imbalan atau sistem penghargaan
    4. Kualitas manajemen dan pengawasan
    5. Kejelasan tanggung jawab peran
    6. Kejelasan tujuan yang berhubungan dengan pekerjaan
    7. Kepercayaan interpersonal
    8. Iklim motivasi dan etika (etika nilai-nilai dari atasan dan rekan kerja)
  3. Variabel eksternal
    1. Tingkat persaingan di industri
    2. Kondisi umum ekonomi
    3. Nilai-nilai masyarakat (etika pesaing dan peran sosial dan politik)

2.6.1. Alasan karyawan berbohong, menipu, dan mencuri dalam pekerjaan?

Berikut adalah 25 Alasan untuk kejahatan karyawan yang paling sering dikemukakan oleh pihak yang berwenang di kejahatan kerah putih (kriminolog, psikolog, sosiolog, manajer risiko, auditor, polisi dan para profesional keamanan) menurut Singleton & Singleton (2010).

  1. Karyawan percaya bahwa dia bisa lolos dengan tindakannya.
  2. Karyawan berpikir bahwa dia sangat membutuhkan atau menginginkan uang atau keuntungan lainnya.
  3. Karyawan merasa frustrasi atau tidak puas dengan beberapa aspek pekerjaan.
  4. Karyawan merasa frustrasi atau tidak puas dengan beberapa aspek kehidupan pribadinya yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
  5. Karyawan merasa dilecehkan oleh pemberi kerja dan ingin membalas.
  6. Karyawan gagal untuk mempertimbangkan konsekuensinya jika tertangkap.
  7. Karyawan berpikir, “Semua orang mencuri, jadi mengapa aku tidak?”
  8. Karyawan berpikir, “Perusahaan begitu besar, mencuri sedikit tidak akan menyakiti perusahaan.”
  9. Karyawan tidak tahu bagaimana mengelola uang sendiri, sehingga selalu bangkrut dan siap untuk mencuri.
  10. Karyawan merasa bahwa melukai organisasi adalah sebuah tantangan dan bukan soal keuntungan ekonomi saja.
  11. Karyawan terluka secara ekonomi, sosial atau budaya selama kanak-kanak.
  12. Karyawan mengompensasi atas kekosongan dalam kehidupan pribadinya dan membutuhkan cinta, kasih sayang dan persahabatan.
  13. Karyawan tidak memiliki kontrol diri dan mencuri atas dorongan sesaat.
  14. Karyawan percaya bahwa teman di tempat kerja telah mengalami penghinaan atau pelecehan atau telah diperlakukan tidak adil.
  15. Karyawan sekedar malas dan tidak akan bekerja keras untuk mendapatkan atau membeli apa yang diinginkan atau dibutuhkan.
  16. Pengendalian internal organisasi begitu lemah bahwa setiap orang tergoda untuk mencuri.
  17. Tidak ada yang pernah dituntut karena mencuri dari organisasi.
  18. Kebanyakan karyawan pencuri tertangkap secara kebetulan daripada dengan audit atau desain. Oleh karena itu, takut tertangkap tidak menjadi penghalang untuk melakukan pencurian.
  19. Karyawan tidak didorong untuk mendiskusikan masalah pribadi atau keuangan di tempat kerja atau untuk mencari nasihat manajemen dan saran tentang hal-hal tersebut.
  20. Pencurian oleh karyawan adalah fenomena situasional. Setiap pencurian memiliki kondisi dan sebab sendiri dan masing-masing pencuri memiliki motif sendiri.
  21. Karyawan mencuri untuk alasan apapun sampai sejauh mana karyawan tersebut dapat membayangkannya.
  22. Karyawan pernah masuk penjara atau mendapatkan hukuman penjara yang keras untuk mencuri, menipu atau menggelapkan dari pemberi kerja.
  23. Manusia lemah dan rentan terhadap dosa.
  24. Karyawan saat ini secara moral, etis dan rohani bangkrut.
  25. Karyawan cenderung meniru bos mereka. Jika bos mereka mencuri atau menipu, maka mereka cenderung untuk melakukannya juga.

Harus dihormati dan karenanya dipatuhi, hukum harus rasional, adil dalam aplikasi dan ditegakkan dengan cepat dan efisien. Kebijakan perusahaan yang berhubungan dengan kejujuran karyawan, seperti hukum pidana pada umumnya harus rasional, adil dan dimaksudkan untuk melayani kepentingan ekonomi terbaik untuk perusahaan. Tes rasionalitas untuk setiap kebijakan fraud perusahaan adalah apakah hal tersebut dapat dimengerti, apakah hukuman atau larangan dapat diterapkan secara nyata dan serius dan apakah pelaksanaannya memungkinkan secara efisien dan efektif.

Namun, tindakan karyawan tertentu apakah yang cukup dilarang atau diberi hukuman? Setiap tindakan yang dapat atau tidak menghasilkan kerugian substansial, kerusakan atau perusakan aset perusahaan harus dilarang. Apa yang dapat diterima atau dianggap substansial akan berbeda dari tiap organisasi , tetapi di manapun batas-batas ditentukan, hal tersebut harus dikomunikasikan, dicontohkan oleh manajemen atas dan dilaksanakan seperlunya saja.

Bentuk pencegahan terbesar untuk pelaku kriminal dan tangan keadilan, yang berarti deteksi cepat dan keprihatinan, percobaan cepat dan berimbang dan hukuman yang layak dengan kejahatan: hilangnya hak-hak sipil, hak istimewa, properti, kebebasan pribadi atau persetujuan sosial. Setelah dikatakan di atas, meskipun konsekuensi mengerikan, para pelaku kriminal masih sering melakukannya? Ternyata hal itu dikarenakan adanya imbalan yang diperoleh sering melebihi risiko dan hukuman yaitu penderitaan yang ditimbulkan sebagai hukuman yang tidak separah kenikmatan dari pelaku kriminal. Yang terakhir adalah kasus kejahatan ekonomi atau kerah putih. Banyak sekali ketika fraud terdeteksi tingkat hukuman mengenai pelaku yang akan dipecat, bahkan tanpa membayar kembali kerugian penipuan. Jadi sementara potensi penjahat kerah putih mungkin percaya bahwa mereka bisa terjebak, konsekuensi berada di bawah beberapa ambang batas yang dapat diterima.

2.6.2. Pencuri tingkat tinggi dan tingkat rendah

Pada tingkat tinggi kehidupan organisasi, sangatlah mudah untuk mencuri karena kontrol dapat dilewati atau diganti. Jumlah manajer tingkat tinggi yang melakukan pencurian lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah personel tingkat bawah yang mencuri. Contohnya, pada RTTN dari ACFE tahun 2008, eksekutif menipu rata-rata sekitar $834.000 per penipuan, manajer sekitar $150.000, dan karyawan sekitar $70.000. Jumlah insiden pencurian, bagaimanapun, adalah lebih banyak pada tingkat rendah dari organisasi karena semata-mata dengan jumlah karyawan yang ditemukan di sana.

RTTN ACFE telah mengumpulkan profil penipu berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari CFE dalam survei tersebut. Penipuan lebih mahal, dari segi biaya atau kerugian, yang dilakukan oleh penipu yang (a) telah bertahan cukup lama, (b) memperoleh penghasilan yang tinggi, (c) adalah laki-laki, (d) lebih dari 60 tahun usia, (e) berpendidikan (semakin tinggi tingkat pendidikan selesai, lebih tinggi kerugian), (f) beroperasi di kolusi daripada sendiri, dan (g) tidak pernah didakwa dengan kriminal apa pun. Penipuan yang paling sering, bagaimanapun dilakukan oleh penipu dengan profil yang berbeda. Penipu ini (a.) menjadi seorang karyawan untuk jumlah waktu yang sama dengan pencuri tingkat tinggi. (b.) mendapatkan gaji lebih sedikit. (c.) bisa pria maupun wanita (jenis kelamin tidak masalah). (d.) usia di antar 41 hingga 50 tahun. (e.) telah menyelesaikan sekolah tinggi. (f.) mengoperasikan sendiri. (g.) biasanya tidak didakwa dengan perilaku kriminal.

Hall & Singleton (2004) memberikan profil yang sama untuk penipu khas di umum. Penjahat ini (a) dalam posisi penting di perusahaan, (b) adalah biasanya laki-laki, (c) berusia lebih dari 50 tahun, (d) sudah menikah, dan (e) sangat berpendidikan. Profil ini mirip dengan salah satu dari RTTN ACFE dan membawa kita ke kesimpulan ini secara keseluruhan: Seorang penjahat kerah putih tidak terlihat seperti seorang kriminal!

 

2.7. Korban Fraud

Menurut Singleton & Singleton (2010), korban dari fraud yang paling umum adalah organisasi-organisasi yang tidak memiliki kontrol, kepercayaan, standar etika, menghasilkan (Profitabel), dan memiliki masa depan. Artinya, semakin banyak aspek yang dimiliki, semakin mungkin perusahaan itu menjadi korban. Dari profil perusahaan yang menjadi korban di atas, di antaranya yang paling banyak memenuhi aspek di atas antara lain perusahaan-perusahaan kecil, perusahaan amal, dan entitas lainnya yang sejenis.

2.8. Taksonomi Fraud

Singleton & Singleton (2010), mengelompokkan beberapa fraud untuk membuat taksonomi yang dapat digunakan pada pencegahan fraud.

  1. Fraud yang dilakukan pegawai pada Perusahaan.
    1. Pengalihan, konversi, dan pencurian kas.
    2. Penaikan cek dan pemalsuan otorisasi.
    3. Manipulasi piutang, seperti lapping dan memo kredit palsu.
    4. Manipulasi utang.
    5. Manipulasi gaji karyawan.
    6. Manipulasi persediaan.
    7. Suap atau tindakan lainnya yang serupa pada karyawan oleh pihak luar.
  2. Fraud yang dilakukan oleh pihak eksternal pada perusahaan.
    1. Penipuan oleh vendor, supplier, dan kontraktor.
    2. Penyogokan karyawan oleh vendor, supplier, dan kontraktor.
    3. Penyogokan karyawan oleh pelanggan.
  3. Fraud untuk Perusahaan.
    1. Profit Smoothing
    2. Kiting
    3. Manipulasi harga
    4. Penipuan langsung pada konsumen
    5. Pelanggaran hukum
  4. Penyogokan pada pegawai konsumen
  5. Penyogokan politis
  6. Manipulasi harga pada kontrak dengan pemerintah.

 

  1. KASUS FRAUD PADA BANK LIPPO

3.1 Ringkasan Kasus

Telah terjadi perbedaan laporan keuangan Bank Lippo per 30 September 2002, antara yang dipublikasikan di media massa dan yang dilaporkan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ). Dalam laporan yang dipublikasikan melalui media cetak pada tanggal 28 November 2002 disebutkan total aktiva perusahaan sebesar Rp24 triliun dengan laba bersih Rp98 Miliar. Sedangkan dalam laporan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002, total aktiva berkurang menjadi Rp22,8 triliun dan rugi bersih (yang belum diaudit) menjadi Rp1,3 triliun

Dalam Press release Bapepam , ternyata terdapat 3 versi laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 200, dari 3 versi ini semuanya dinyatakan telah diaudit.

 

  1. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diterbitkan di surat kabar pada tanggal 28 November 2002;

 

  1. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan ke BEJ pada tanggal 27 Desember 2002;

 

  1. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan oleh Akuntan Publik KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja kepada Manajemen PT Bank Lippo Tbk pada tanggal 6 Januari 2003.

(https://prezi.com/v3kzhvecgxix/kasus-pelanggaran-etika-bisnis/, diakses pada 13 September 2015)

 

3.2  Penjelasan Kasus

Kasus Bank Lippo bermula ketika bank menarik dana publik melalui tabungan maupun deposito. Melalui kredit yang disalurkan, dana itu, selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi di perusahaan afiliasi. Ketika krisis melanda, dan perusahaan-perusahaan berguguran, kredit macet, bank pun berguguran. Ketika kemudian diperoleh berita bahwa pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) akan melakukan uji tuntas terhadap bank-bank, apakah melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) terhadap perusahaan afiliasi, maka Bank Lippo cepat bergerak. Mereka mengambil alih semua agunan dari kredit perusahaan afiliasi. Dengan demikian, seluruh kredit dianggap lunas, dan hapus dari pembukuan.

Dalam paparan kepada publik untuk menjelaskan kasus laporan keuangan ganda per 30 September 2002, manajemen Bank Lippo kembali berkelit. Ketika dikejar, apakah AYDA (Agunan yang Diambil Alih) berasal dari kredit kepada afiliasi dan pembelinya adalah perusahaan afiliasi, manajemen hanya menjawab bahwa menurut peraturan Bank Indonesia tidak ada aset yang tercatat di buku yang merupakan afiliasi dengan pinjaman grup. Padahal, dalam laporan keuangan Bank Lippo, sejak tahun 1998, jelas-jelas tertulis bahwa AYDA tersebut adalah surat berharga yang meliputi saham PT Lippo Karawaci Tbk, PT Lippo Cikarang Tbk, PT Lippo Securities Tbk, PT Bukit Sentul Tbk, PT Hotel Prapatan Tbk, PT Matahari Putra Perkasa Tbk, dan PT Panin Insurance Tbk. Selain itu, ada pula properti berupa perumahan, komersial, dan industri di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang, Ujung Pandang (Makassar), Bogor, Serang, Bandung, Surabaya, Purwakarta, Medan, dan Tasikmalaya.

Penggelembungan nilai (mark-up) memang sulit dibuktikan. Kasus ini mencuat, ketika dalam laporan keuangan Bank Lippo per 30 September 2002 kepada publik pada tanggal 28 November 2002, manajemen menyebutkan total aktiva perseroan Rp24 triliun dan laba bersih Rp98 miliar. Namun, dalam laporan keuangan kepada BEJ 27 Desember 2002, manajemen

 

menyebutkan total aktiva berkurang menjadi Rp22,8 triliun dengan rugi bersih Rp1,3 triliun. Perbedaan laba dikatakan karena adanya kemerosotan nilai agunan yang diambil alih dari Rp2,393 triliun pada laporan publikasi menjadi Rp1,42 triliun pada laporan ke BEJ. Akibatnya, dalam keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat kecukupan modal (CAR) dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen.

Keanehan semakin menjadi, ketika dalam suatu wawancara dengan salah satu majalah berita, Wakil Presiden Komisaris Bank Lippo Roy Tirtadji menyatakan, penjualan AYDA tersebut dilakukan, salah satunya karena AYDA membebani bank dengan biaya perawatan sampai Rp400 miliar per tahun. Bank Lippo yang pemegang saham mayoritasnya pemerintah, harus mengeluarkan biaya Rp400 miliar tiap tahun untuk biaya pemeliharaan AYDA, yang berisi aset-aset yang berasal dari Grup Lippo sendiri. Biaya perawatan itu setara dengan 15 persen dari nilai AYDA sendiri yang Rp2,393 triliun.

Kecurigaan justru menyeruak, apakah ini cara lain moroti bank? Bagaimana mungkin bank tiap tahun mengeluarkan biaya perawatan Rp400 miliar untuk aset-aset properti yang bisnisnya berjalan. “Tiap tahun kita mengeluarkan Rp400 miliar,” katanya. Selain itu kemungkinan mengakali uang negara juga terbuka dalam proses pengalihan aset yang dianggap macet pada BPPN. Seluruh permainan memiliki benang merah yang sama. Menyalahgunakan subjektivitas dalam penilaian aset. Proses penyerahan aset ke BPPN, banyak sekali menimbulkan peluang bagi pemilik bank yang direkapitalisasi untuk mengambil dana sebanyak mungkin dari negara. Sementara itu, begitu banyaknya dokumen yang diserahkan ke BPPN, juga membuatnya menjadi mudah dimainkan. Entah itu karena lelah, malas, lalai, tidak teliti, atau apa pun, yang jelas menjadi terbuka lebar untuk dibobol saat harus menghadapi banyaknya dokumen. Inilah rupanya hal yang tak dapat ditolak. Rekapitalisasi besar-besaran di satu sisi memang dibutuhkan, tetapi di sisi lain menimbulkan banyak kesempatan bagi orang-orang yang ingin mengambil keuntungan secara tidak wajar. Proses administrasi yang sedemikian banyak, merupakan titik lemah yang sering kali menjadi sumber korupsi.

Belum lagi, rekayasa dengan berbagai bentuk tukar guling dalam bank dan grup sendiri. Misalnya, aset dalam grupnya sendiri ditukar guling melalui perusahaan jadi-jadian di Mauritius atau Cayman Island. Dengan demikian, pemilik lama yang sesungguhnya telah melanggar BMPK akan bisa menguasai kembali asetnya yang telah menjadi AYDA, ataupun membeli kembali kreditnya sendiri dengan diskon besar. Di sisi lain, dengan memanfaatkan isu-isu, baik yang alamiah maupun yang direncanakan seperti penggembosan valuasi AYDA dan kasus laporan keuangan ganda, di pasar modal saham Bank Lippo digarap habis-habisan. Sejak dari dugaan membanjiri pasar untuk kemudian memborong kembali saham setelah harganya jatuh, sampai upaya menurunkan saham dengan melakukan transaksi satu lot pada menit terakhir selama 40 hari. (http://anindyaherdiani.blogspot.co.id/2011/08/skandal-laporan-keuangan-bank-lippo.html, diakses pada 13 September 2015)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2 Skema Kasus

Sumber: diolah, 2015

 

  1. PEMBAHASAN KASUS DAN OPINI

4.1. Pembahasan Kasus

Dari penjabaran, terdapat beberapa hal penting yang bisa dijadikan pembahasan, antara lain sebagai berikut:

  1. Terdapat tekanan ekonomi dan politik pada tahun terjadinya fraud, yakni pasca krisis moneter tahun 1998 yang mengakibatkan kejatuhan ekonomi Indonesia dan pada tahun 2000an baru mulai stabil dan pemerintah melalui Bank Indonesia mulai mempersiapkan pencegahan agar krisis tidak terulang kembali dengan melakukan kontrol yang kuat pada bank-bank di Indonesia, yang menyebabkan tekanan awal pada Bank Lippo untuk melakukan fraud.

 

  1. Kesempatan muncul ketika BI masih dalam keadaan “kelabakan” untuk menertibkan bank-bank yang ada di Indonesia karena pasca krisis moneter tahun 1998. Kesempatan ini berupa adanya kesempatan bagi pihak manajemen untuk menarik agunan dari pinjaman yang muncul dari pihak berafiliasi (perusahaan-perusahaan milik grup Lippo).

 

  1. Rasionalisasi dari pihak manajemen untuk melakukan fraud adalah munculnya biaya tinggi dari menyimpan AYDA, maka manajemen mengambil keputusan menjual

 

“cepat” AYDA yang ada untuk menghindari kerugian yang lebih besar di masa depan.

  1. Fraud dilakukan oleh manajemen puncak, karena pengambilan keputusan yang mengubah laporan keuangan hanya bisa dilakukan oleh manajemen puncak. Tidak tertutup kemungkinan direksi juga terlibat.
  2. Modus utama adalah menghindari hukuman dari Bank Indonesia karena kelebihan pemberian pinjaman kepada pihak yang berafiliasi.

 

  1. Kesempatan lainnya adalah perusahaan-perusahaan dari grup Lippo yang asetnya diagunkan dan ditarik oleh Bank Lippo untuk melunasi utangnya, bisa memperoleh kembali asetnya melalui perusahaan fiktif lainnya. Kesempatan ini diperlebar dengan lemahnya pengawasan dari Bank Indonesia karena kondisi perekonomian dan politik saat itu.

 

  1. Fraud yang dilakukan oleh Bank Lippo ada dua, pertama yang dikenakan hukuman adalah Financial Statement Fraud karena menerbitkan 3 laporan keuangan yang berbeda. Kedua, yang masih belum dibuktikan di pengadilan adalah Asset Misappropriation Fraud karena mentransfer aset (AYDA) kembali ke perusahaan afiliasi melalui perusahaan perantara.

 

4.2. Opini

Dari pembahasan, saya memiliki dua opini utama. Pertama mengenai terkuaknya kasus ini. Kasus ini terkuak karena fraud tidak direncanakan jauh hari dan penyebab utama adalah menghindari hukuman dari BI, dimana dengan menarik agunan dari perusahaan afiliasi saja sudah cukup, namun manajemen (dan bisa juga direksi) menjadi terlalu serakah karena terdapat kesempatan, sehingga terlalu cepat melaksanakan transfer aset kembali ke perusahaan afiliasi. Opini ini didasarkan pada pembahasan pada bab 2 mengenai fraud, khususnya mengenai durasi fraud, dimana menurut penelitian durasi fraud sekitar 23 bulan dan kejadian fraud yang dilakukan oleh manajemen Bank Lippo hanya sekitar 6 sampai 12 bulan (estimasi pribadi).

Opini yang kedua adalah mengenai mengapa fraud yang berkaitan dengan aset tidak ditelusuri juga hingga tuntas. Menurut saya ada beberapa alasan, pertama adalah BI masih terlalu sibuk menertibkan bank-bank lainnya yang berpotensi kolaps pasca krisis moneter 1998, maka waktu dan sumber daya yang ada difokuskan pada bank-bank lain. Alasan kedua, berhubungan dengan situasi politik dan sosial, dimana bila akhirnya ditelusuri lebih lanjut dan bila kita asumsikan manajemen Bank Lippo bersalah, maka kepercayaan publik akan perbankan akan hancur dan bisa menimbulkan krisis baru. Asumsi yang lebih moderat adalah Bank Lippo akhirnya dilikuidasi, dimana akibatnya adalah karyawan Bank Lippo kehilangan pekerjaan mereka. Alasan ketiga, pemahaman Indonesia akan fraud masih belum cukup. Alasan keempat, dampak ekonomis bila perkara dilanjutkan terlalu besar, karena Grup Lippo termasuk salah satu Grup yang besar.

  1. PENUTUP

5.1. Simpulan

Dari keseluruhan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Definisi fraud sangat luas, dan dalam beberapa kasus, fraud tidak dianggap sebagai salah. Definisi yang paling utama dan paling relevan adalah definisi secara hukum, karena pada akhirnya fraud akan berujung pada masalah hukum. Masalah yang muncul kemudian adalah definisi yang sangat luas membuat pengembangan fraud semakin sulit dan pada akhirnya mempersulit pencegahan. Riset yang ada juga membuktikan bahwa fraud konsisten terjadi dan tidak mengalami penurunan yang signifikan. Namun, pembiaran juga bukan pilihan yang harus diambil.

Kedua, fraud muncul karena adanya motivasi. Motivasi bisa muncul dari 3 hal utama, yakni tekanan, rasionalisasi, dan kesempatan. Aspek tekanan dapat diperdebatkan sebagai pendorong dominan pada motivasi individu untuk melakukan fraud. Aspek lainnya juga memotivasi, namun pada beberapa kasus tekanan bisa memunculkan rasionalisasi dan membuat pelaku mencari dan menunggu kesempatan.

Ketiga, pendeteksian fraud masih kurang efektif. Hal ini terlihat dari penyebab terkuaknya fraud masih didominasi oleh tip dan keluhan dari pihak internal. Meskipun pendeteksian fraud juga bisa dari kontrol internal dan audit internal, namun tetap tidak sebanding dengan persentase pendeteksian fraud dari tip dan keluhan/pengaduan.

Keempat, penanganan atau penindaklanjutan dari kecurigaan fraud masih kurang. Hal ini berhubungan dengan kesimpulan pertama dan kedua. Karena susahnya mendefinisikan fraud, maka undang-undang yang ada terkadang bisa dihindari dengan berbagai alasan karena definisi

yang terlalu luas. Hubungan dengan kesimpulan kedua adalah, dalam fraud terdapat rasionalisasi yang juga bisa dipakai sebagai pembelaan dalam perkara hukum.

Kesimpulan terakhir adalah fraud sulit untuk dihilangkan karena batasan dari fraud adalah sejauh mana manusia bisa berpikir untuk dirinya.

 

5.2. Saran

Meskipun dari pembahasan dan kesimpulan terlihat bahwa fraud sulit untuk dideteksi dan tidak ada peningkatan yang berarti dalam beberapa tahun menurut riset, para pemangku kepentingan dalam dunia bisnis harus tetap berusaha mencegah fraud. Saran utama dari penulis adalah untuk tetap terus melakukan riset dengan metoda dan data yang semakin diperbarui untuk bisa mencapai definisi yang tepat secara akademis, dan akhirnya bisa diturunkan untuk bidang hukum maupun bidang lainnya.

Saran berikutnya adalah pengembangan kontrol internal secara menyeluruh, termasuk dalam menjaga lingkup kerja direksi sampai karyawan terkontrol atau bisa dipantau dan mengurangi motivasi untuk melakukan fraud. Selanjutnya, penegakan atas kontrol internal yang telah dirancang oleh auditor internal.

 

REFERENSI

https://prezi.com/v3kzhvecgxix/kasus-pelanggaran-etika-bisnis/ diakses tanggal 13 September 2015, pada pukul 18.05.

http://anindyaherdiani.blogspot.com/2011/08/skandal-laporan-keuangan-bank-lippo.html diakses tanggal 13 September 2015, pada pukul 18.00

Singleton, T. W., & Singleton, A. J. (2010). Fraud Auditing and Forensic Accounting Fourth Edition. Hoboken: Wiley.

MENCARI DAN MENGEVALUASI BUKTI NON-KEUANGAN DALAM PENYELIDIKAN FRAUD (FINDING NON FINANCIAL EVIDENCES)

MENCARI DAN MENGEVALUASI BUKTI NON-KEUANGAN DALAM PENYELIDIKAN FRAUD (FINDING NON FINANCIAL EVIDENCES)

Jonathan Kurnia Pratama & Daniel Sugama Stephanus

Program Studi Akuntansi – Fakultas Ekonomi Dan Bisnis – Universitas Ma Chung – Kabupaten Malang – 2015

 

ABSTRAK

Salah satu masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia adalah masalah korupsi. Korupsi sendiri merupakan salah satu tindakan kecurangan (fraud). Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian negara. Kasus yang dibahas adalah dugaan suap pengesahan APBD Provinsi Riau 2015. Kecurangan atau fraud yang terjadi pada kasus APBD Provinsi Riau adalah suap yang termasuk tindakan korupsi. Dalam mengungkap kasus tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemerikaan terhadap saksi. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan bukti non-keuangan. Teknik-teknik yang digunakan dalam memperoleh bukti non-keuangan antara lain wawancara, bahasa tubuh, bahasa mata, analisis pernyataan, dan SCAN.

Kata-kata  kunci: audit kecurangan, korupsi, bukti non-keuangan

 

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia adalah masalah korupsi. Korupsi sendiri merupakan salah satu tindakan kecurangan (fraud). Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian negara. Diakui atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik, sosial buadaya, maupun kemanan. Pengertian korupsi sendiri menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 adalah setiap orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain dalam suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.

 

Bangsa Indonesia dihadapkan pada permasalahan penyakit moral yang dapat dikatakan sudah sangat parah, yaitu korupsi. Penyakit moral yang katanya sudah membudaya dan mengakar sejak jaman penjajahan, ternyata masih saja berlangsung sampai saat ini. Pergantian setiap rezim yang terjadi ternyata tidak mengubah banyak perilaku kotor yang dilakukan oleh para koruptor tersebut, padahal untuk setiap rezim itu pula janji manis pemberantasan korupsi akan di lakukan. Selain itu, sistem peradilan pidana Indonesia tidak berjalan efektif untuk memerangi korupsi. Sehingga, pelaku korupsi terbebas dari jeratan hukum.

Korupsi di Indonesia terjadi dimana-mana di berbagai level golongan mulai dari pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah beberapa kelembagaan seperti Kepolosian, Kejaksaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharunya bertugas untuk memberantas korupsi.

 

Kejadian tersebut menyebabkan protes dan penolakan dari masyarakat luas terhadap pemerintahan Suharto maupun para penggantinya. Adanya korupsi dimana-mana dan timbulnya perasaan jengkel karena keadilan yang dinantikan masyarakt tidak kunjung datang, ditambah lagi keadaan ekonomi rakyat kian memburuk. Bahkan beberapa aktivis lembaga swadaya masyarakat menilai parlemen Indonesia dan korupsi merupakan dua “makhluk” yang sulit untuk dipisahkan.

 

Bentuk perlawanan pemerintah Indonesia dalam menangani tindakan/praktek korupsi adalah dengan membentuk lembaga independen bernama Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah menciptakan sistem good and clean goverment (pemerintah yang baik dan bersih) dari tindakan korupsi di Indonesia.

 

Bukti/data dalam mendeteksi kecurangan, dalam hal ini korupsi, datang dari dua sumber, yaitu data keuangan dan data non keuangan. Penyelidik kecurangan dan auditor harus mempertimbangkan kemungkinan dari bukti yang berharga/berguna yaitu non keuangan. Pada artikel ini penulis akan membahas mengenai mencari dan mengevaluasi data/bukti non keuangan dalam sebuah pemeriksaan kecurangan.

 

  1. LANDASAN TEORI

2.1 Fraud

2.1.1 Definisi Fraud

Definisi fraud menurut Tuanakotta (2007: 28) adalah setiap tindakan ilegal yang ditandai dengan tipu daya, penyembunyian atau pelanggaran kepercayaan. Tindakan ini tidak tergantung pada penerapan ancaman kekerasan atau kekuatan fisik. Penipuan yang dilakukan oleh individu dan organisasi untuk memperoleh uang, kekayaan, atau jasa; untuk menghindari pembayaran atau kerugian jasa; atau untuk mengamankan keuntungan bisnis pribadi.

 

Sedangkan menurut Arens & Loebbecke (2005: 311) fraud dapat diistilahkan sebagai kecurangan yang mengandung makna suatu penyimpanan dan perbuatan melanggar hukum (illegal act), yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu misalnya menipu atau memberikan gambaran keliru (mislead0 kepada pihak-pihak lain, yang dilakukan oleh orang-orang baik dari dalam maupun luar organisasi. Kecurangan dirancang untuk memanfaatkan peluang-peluang secara tidak jujur, yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan pihak lain.

 

Menurut Singleton & Singleton (2010: 57), hal-hal yang masuk dalam kategori fraud adalah sebagai berikut.

  1. Kecurangan bank
  2. Check kiting
  3. Korupsi
  4. Financial fraud
  5. Fraudulent financial statement
  6. Lapping
  7. Material misstatement
  8. Missappropiation
  9. Tax fraud
  10. False weights and measures

2.1.2 Penyebab Terjadinya Fraud

Fraud pada dasarnya tidak begitu saja terjadi dalam suatu perusahaan. Namun, fraud dapat terjadi karena berbagai penyebab dan kemungkinan yang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan fraud. Model segitiga fraud yang dibuat oleh Donal Cressey merupakan model yang paling berguna menjelaskan penyebab terjadinya fraud.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Segitiga Fraud

Sumber: Tuanakotta (2013)

 

Definisi segitiga fraud menurut Tuanakotta (2013: 47) adalah sebagai berikut.

  1. Tekanan (pressure)

Tekanan yang dirasakan pelaku kecurangan yang dipandangnya sebagai kebutuhan keuangan yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain. Berikut faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya tekanan karena hal-hal berikut ini.

 

  1. Tingkat persaingan yang kuat atau kejenuhan pasar yang diirngi dengan menurunnya margin

 

  1. Kerugian operasional yang mengancam kebangkrutan, penyitaan aset yang dianggunkan ke bank atau hostile

 

  1. Arus kas negatif atau ketidakmampuan menghasilkan arus kas dari kegiatan uasaha, meskipun entitas itu melaporkan laba dan pertumbuhan laba.

 

  1. Pertumbuhan besar-besaran atau tingkat keuntungan yang tidak biasa, khusunya dibandingkan dengan perusahaan lain dalam industri yang sama.

 

  1. Peluang (opportunity)

Peluang adalah peluang untuk melakukan kecurangan seperti yang dipersepsikan pelaku kecurangan. Sifat industri atau kegiatan bisnis yang berpeluang melakukan pelaporan keuangan curang melalui cara-cara berikut ini

 

  1. Transaksi dengan pihak terkait yang signifikan yang tidak merupakan bagian normal bisnis entitas yang bersangkutan, atau dengan entitas terkait yang tidak diaudit atau yang diaudit KAP lain.
  2. Posisi keuangan yang begitu kuat atau kemampuan mendominasi industri atau sektor tertentu yang memungkinkan entitas memaksakan syarat atau kondisi tertentu kepada pemasok atau pelanggan. Ini mungkin indikasi tidak wajar atau antar pihak yang tidak setara.

 

  1. Pembenaran (rationalization)

Pembenaran adalah pembenaran yang dibisikan untuk melawan hati nurani si pelaku kecurangan. Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya pembenaran sebagai berikut.

  1. Komunikasi, implementasi, dukungan, atau penerapan nilai-nilai entitas atau standar etika oleh manajemen, yang tidak efektif.

 

  1. Anggota manajemen yang sebenarnya tidak berurusan denga bidang keuangan, secara berlebihan ikut melibatkan diri memilih kebijakan akuntansi atau penentuan estimasi yang signifikan.

 

  1. Dimasa lalu melanggar ketentuan perundangan atau pernah ada tuntutan terhadap entitas, pimpinannya, atau TCWG dengan tuduhan melanggar ketentuan perundangan.

 

  1. Adanya kepentingan manajemen untuk menggunakan cara-cara yang tidak benar untuk menekan angka laba bagi kepentingan perpajakan.

 

  1. Suasana yang tidak kondusif (low morale) di antara pimpinan perusahaan.

 

2.2 Korupsi

 

Semma (2008) mengatakan korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Korupsi moral merujuk pada berbagai konstitusi yang sudah melenceng, sehingga para penguasa rezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum yang adil tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri. Korupsi dalam bahasa latin corruptio yang berarti penyuapan, dan corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Jadi, dapat diartikan bahwa korupsi adalah tindakan yang busuk, merusak dan bersifat manipulasi ataupun tindakan kejahatan. Transparansi Internasional menyatakan korupsi didefenisikan sebagai perilaku pejabat publik baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri atau memperkaya mereka yang dekat dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan

 

Alatas (1983: 58) mengatakan bahwa ada lima ciri-ciri korupsi, yakni:

 

  1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
  2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam.
  3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
  4. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum.
  5. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.

Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur:

  1. Melanggar hukum yang berlaku.
  2. Penyalahgunaan wewenang.
  3. Merugikan negara.
  4. Memperkaya pribadi atau diri sendiri.

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabaran resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintah rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Menurut perspektif hukum di Indonesia, definisi korupsi secara gamblang dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sebagaimana telah di ubahkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena perbuatan korupsi.

 

2.3 Mencari dan Mengevaluasi Bukti Non-Keuangan

Bukti dalam sebuah kecurangan dapat datang dari dua sumber baik keuangan maupun non-keuangan. Penyelidik kecurangan dan auditor harus mempertimbangkan kemungkinan dari bukti yang berharga/berguna yaitu non-keuangan. Ada banyak sumber non-keuangan yang memiliki potensi untuk menjadi bukti dalam sebuah penyelidikan fraud. Salah satu kunci di dalam area tersebut adalah orang: wawancara, percakapan santai, analisis tulisan tangan, isyarat fisik akan penipuan dan rasa bersalah, dan aspek psikologis dari pelaku kecurangan (Singleton & Singleton, 2010: 239). Sub bab ini merujuk pada sesuatu hal yang pelaku kecurangan ungkap dalam perilaku, ekspresi fisik, atau komunikasi yang dapat menjadi isyarat dari kejujuran pernyataan pelaku kecurangan mengenai keterlibatannya dalam kasus kecurangan dalam pertanyaan.

 

  1. Wawancara (interviews)

Auditor akan bertanya dalams setiap audit, baik internal audit maupun eksternal audit. Namun terdapat perbedaan yang besar dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan dalam sebuah audit dan pemeriksaan fraud. Agar dapat bertanya secara efisien dalam sebuah pemeriksaan fraud, satu yang pasti yaitu harus mempekerjakan orang terlatih dalam teknik wawancara. Menurut Wells (….) dalam Singleton & Singleton (2010: 240), pendiri dari Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), petunjuk terbaik datang bukan dari buku-buku melainkan dari orang yang bekerja bersama.

 

Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam wawancara seperti (1) pengantar, (2) keterangan, (3) penutupan, (4) penaksiran, atau (5) pencarian pengakuan. Para ahli setuju bahwa open-ended questions adalah jauh lebih baik daripada pertanyaan-pertanyaan yang hanya dijawab dengan ya dan tidak (close-ended questions). Open-ended questions biasanya diawali dengan pertanyaan tanya “mengapa” dan “bagaimana”.

Salah satu masalah tentang wawancara dalam sebuah pemeriksaan fraud adalah adanya kemungkinan sang penyelidik tidak terlatih atau tidak berpengalaman dalam teknik wawancara, atau bahkan lebih buruk lagi tidak familiar dengan protokol dari wawancara.

 

  1. Bahasa tubuh (body language)

Pergerakan tubuh seseorang biasanya mencerminkan emosi yang mereka alami melalui gejala-gejala. Secara umum, orang tidak akan menyadari bahwa mereka sedang menunjukkan bahasa tubuh pada saat wawancara. Perilaku tubuh dapat berupa pergerakan, tingkatan suara, kecepatan bicara, menyilangkan kaki atau tangan, atau pergerakan badan lainnya.

 

Beberapa isyarat bahasa tubuh terhubung dengan tingkat stres, dan dapat berhubungan dengan penipuan. Isyarat-isyarat tersebut termasuk: keraguan berbicara, peningkatan dalam tinggi-rendahnya suara, kesalahan berbicara, pembesaran pupil mata, kedipan mata yang berlebihan, garukan tangan atau punggung, dan sentuhan-sentuhan tangan atau wajah yang tidak biasa. Tapi bahasa tubuh bukanlah hal yang mutlak.

 

  1. Bahasa Mata (eye language)

Sebuah indikator yang lebih dapat diandalkan mengenai kebenaran adalah bahasa mata. Para ahli percaya bahwa mata adalah bagian yang paling komunikatif dari seluruh tubuh. Mata memiliki bahasa dan prinsip yang dianut adalah visual accessing cues (VAC). Isyarat dan interpretasi pergerakan mata hanyalah untuk orang bertangan kanan. Pastikan interviewee menulis sesuatu sebelum melakukan VAC karena isyarat untuk orang kidal adalah kebalikannya.

 

Menurut para ahli salah satunya Rabon (1998) dalam (Singleton & Singleton, 2010: 244), ketika interviewee diberikan pertanyaan untuk mengingat sesuatu, mata memberikan isyarat baik itu menipu atau kejujuran. Berikut merupakan kombinasi menurut Rabon (1998) dalam (Singleton & Singleton, 2010: 244):

 

  1. Mata bergerak dari kiri dan ke atas. Menerima gambaran pengelihatan dari masa lalu – apa warna mobil pertamamu?

 

  1. Mata bergerak ke kiri mengarah ke telinga. Mengingat sebuah bunyi – apa ringtone di ponsel anda?

 

  1. Mata bergerak ke kiri dan ke bawah. Berbicara dalam hati.

 

  1. Mata bergerak dari kanan ke atas. Secara pengelihatan membangun sebuah gambar – rumah seperti apa yang kamu inginkan?

 

  1. Mata bergerak ke kanan mengarah telinga. Menciptakan sebuah bunyi/suara – bisakah anda membuat lagu dan menyanyikannya untuk saya?

 

  1. Mata bergerak dari kanan dan ke bawah. Berhubungan dengan perasaan – bisakah anda mengingat bau dari parfum istri anda?

 

  1. Tatapan mata ke bawah. Dalam kultur amerika, ini menandakan kekalahan, rasa bersalah.
  2. Menaikkan alis. Ketidakpastian, tidak percaya, terkejut atau frutasi.
  3. Menaikkan satu alis dan kepala agak condong ke belakang. Sombong.
  4. Pembesaran pupil mata. Tertarik akan suatu hal.
  5. Analisis Pernyataan (statement analysis)

 

Analisis pernyataan adalah sebuah teknik yang digunakan untuk mendeteksi penipuan dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh seorang individu. Analisis pernyataan menggunakan pemeriksaan kata demi kata. Hal ini menentukan kebenaran dengan menganalisis kata-kata daripada focus kepada bukti pernyataan adalah kebenaran. Dasarnya, analisis pernyataan mencari isyarat bahwa seseorang mencoba untuk menjauhkan dirinya dari masalah atau fakta-fakta.

 

  1. Scientific Content Analysis (SCAN)

SCAN adalah sebuah teknik yang mirip dengan analisis pernyataan. Seperti analisis pernyataan, SCAN tidak mencoba untuk mencari kebenaran dari fakta tetapi lebih kepada pantulan dari penipuan yang mana pernyataan itu dibuat. SCAN, mencari perubahan dalam pengucapan. SCAN juga mencari gap dalam cerita yang di mana menggambarkan penipuan. Frasa “saya tidak ingat” merupakan frasa yang paling sering digunakan untuk menghindari sesuatu. Perubahan dalam ketegangan juga menandakan sebuah respon emosional yang kuat terhadap konteks. Menurut para ahli, SCAN adalah hal yang dapat diandalkan. Namun SCAN adalah alat investigasi bukan bukti yang legal.

 

2.4 Hukum Yang Mengatur Tindak Pidana Korupsi

Dalam melawan tindakan korupsi yang sangat merugikan Negara, Pemerintah membuat sebuah kebijakan yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi yang kemudian dilakukan perubahan dengan membuat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

 

  1. STUDI KASUS

Kasus yang akan di bahas adalah kasus suap pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau 2015. Data dari kasus dikutip dari detik.com dan riauterkini.com. Kasus ini bermula pada bulan Oktober tahun 2014 ketika Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) wilayah Riau menduga ada terjadinya suap dalam pengesahan APBD Riau untuk tahun 2015. Direktur eksekutif Fitra Riau mengungkapkan bahwa sejak awal sudah mencurigai adanya transaksional terkait pengesahan APBD 2015. Alasannya adalah pembahasan APBD 2015 itu dilakukan hanya dalam waktu yang singkat. Dalam waktu tidak lebih dari tiga hari, APBD Riau 2015 dibahas lalu disahkan oleh anggota DPRD Provinsi perioda 2009-2014. Kemudian indikasi itu diperkuat oleh pemberitaan oleh riauterkini.com yang menyebutkan salah satu narasumber yang namanya dirahasiakan, mengatakan mengantar uang tunai sebanyak tiga tas yang jumlahnya diperkirakan Rp3 miliar.

 

Pada bulan November 2014 KPK memanggil Gubernur Riau saat itu Anas Ma’amun untuk dilakukan pemeriksaan mengenai kasus tersebut. Hasilnya adalah Anas Ma’amun mengakui bahwa memberikan dana sebesar Rp 2 miliar untuk membahas dan mengesahkan APBD Riau. Tidak lama setelah itu tanggal 20 Januari 2015, KPK menetapkan Anas Ma’amun dan anggota DPRD Ahmad Kirjauhari sebagai tersangka dalam kasus ini. Ketua DPRD Provinsi Riau saat ini, Suparman, mengatakan bahwa beliau kecewa dengan adanya praktek suap-menyuap yang terjadi dan sempat mengatakan kepada AK untuk mengembalikkan uang tersebut namun pada kenyataaannya uang tersebut tidak dikembalikan.

 

Dikutip dari detik.com, pada tanggal 3 Agustus 2015 KPK melanjutkan pemeriksaan terhadap saksi terkait kasus suap APBD oleh Gubernur Riau nonaktif, Anaas Ma’amun. Mereka yang diperiksa adalah pejabar dan staf Pemprov dan anggota PDRD Riau. Pemeriksaan ini melibatkan delapan saksi terkait kasus tersebut. Mereka yang diperiksa diantaranya kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Riau, M. Yafiz. Beliau mengaku diperiksa terkait pembahasan APBD tahun 2015 sebelum diserahkan ke dewan. Beliau juga diperdengarkan sadapan KPK terkait komunikasi soal dugaan suap APBD. Mantan Kepala Pengelola Aset dan Keuangan Daerah, Ayub Kan, juga diperiksa. Dan beliau mengaku tidak mengetahui apapun mengenai suap ke dewan sebesar Rp2 miliar untuk meloloskan APBD.

 

Pada tanggal 16 September 2015 Ahmad Kirjauhari ditahan oleh KPK di Rumah Tahanan KPK. Berkas perkara akan dilimpahan ke penuntutan dan akan AK akan disidang dalam kasus dugaan suap pembahasan APBD 2015 Provinsi Riau. Ahmad Kirjauhari dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP.

 

Menurut riauterkini.com, sidang pertama dilakukan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada tanggal 23 Oktober 2015. Dalam siding tersebut Kijauhari mengakui menerima uang sebesar Rp1,2 miliar untuk anggota Banggar yang beranggotakan, Johar Firdaus, Masnur, Musdar, Supriati, Zukri Misran, James Pasaribu, Rusli Efendi, Mahdinur, Riky Hariansyah, Nurzaman dan Koko Iskandar. Uang untuk anggota Banggar sebesar Rp1,2 miliar tersebut diantarkan oleh Suwarno, PNS Pemprov Riau kepada terdakwa Kirjauhari dan seteleh diterima uang tersebut di bagi-bagikan. Atas perbuatannya terdakwa Kirjauhari yang telah memperkaya diri sendiri dan orang lain. Negara dirugikan sebesar Rp1,2 miliar. Dalam hal ini Kirjauhari dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP.

 

Sidang lanjutan dilakukan beberapa kali dan yang terbaru pada tanggal 18 November 2015 setelah sidang selesai JPU KPK mengungkapkan akan menambah tersangka baru dari anggota dewan. Beliau mengungkapkan JPU sudah mengajukan sejumlah nama untuk dijadikan tersangka berdasarkan persidangan yang selama ini berlangsung. Berdasarkan keterangan Kirjauhari, terdakwa telah menyerahkan uang lewat saksi Riky Ardiansyah Rp250 juta untuk mantan Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus yang kemungkinan besar akan menjadi tersangka baru. Hingga saat ini kasus dugaan suap APBD Riau 2015 masih berjalan.

 

  1. PEMBAHASAN DAN OPINI

Kecurangan atau fraud yang terjadi pada kasus APBD Provinsi Riau adalah suap yang termasuk tindakan korupsi. Untuk mengungkap kasus tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlebih dahulu akan melakukan penyelidikan dengan memeriksa saksi-saksi kunci yang berkaitan dengan dugaan kasus suap tersebut. Dalam melakukan pemeriksaan para penyelidik, yang tentunya ahli dalam bidang ini, akan menggunakan teknik-teknik khusus. Penerapan teknik wawancara, bahasa tubuh, bahasa mata, analisis pernyataan, dan SCAN mutlak dilakukan ketika melakukan pemeriksaan terhadap sumber/saksi.

 

Seorang saksi pada saat awal munculnya dugaan suap pada pengesahan APBD Riau 2015 merupakan salah satu hal yang sangat penting agar kasus ini dapat terungkap. Awalnya saksi tersebut diwawancarai oleh media berita riauterkini.com di mana dia mengaku membawa tiga tas yang diestimasi mencapai Rp3 miliar. Seruan akan adanya dugaan suap juga disuarakan oleh LSM Fitra Riau kepada KPK.

 

KPK lantas memanggil saksi tersebut untuk dilakukan pemeriksaan atas aduan yang telah masuk. Pada saat melakukan pemeriksaan ini KPK tentu menggunakan teknik protokol wawancara yang professional untuk mendapatkan informasi non-keuangan. Para penyelidik akan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat open-ended yang tentunya tidak bisa dijawab dengan ya atau tidak. Pertanyaan yang mungkin diajukan oleh penyelidik KPK terhadap saksi menurut kami adalah sebagai berikut

  1. Bagaimana awalnya anda sehingga anda bisa mengantarkan tas yang berisi uang tersebut?
  2. Mengapa anda mau melakukan hal tersebut?
  3. Apakah anda menerima sesuatu, seperti imbalan, setelah melakukan hal tersebut?
  4. Apakah anda tahu apa yang anda perbuat?

Hal yang sama juga berlaku ketika KPK memanggil Gubernur Riau pada saat itu, Anas Ma’amun untuk dilakukan pemeriksaan tidak lama setelah saksi awal. Anas Ma’amun dapat dikatakan sebagai kunci kedua, setelah saksi yang tidak disebutkan namanya, dalam pengungkapan kasus dugaan suap APBD Riau 2015. Pertanyaan open-ended yang mungkin diberikan kepada AM menurut penulis adalah sebagai berikut.

  1. Apa yang anda ketahui mengenai pemberitaan di media mengenai kontroversi APBD Riau 2015?
  2. Apa yang anda ketahui mengenai pemberitaan tas yang berisi uang?
  3. Bagaimana proses terjadinya pemberian tas berisi uang tersebut?

Teknik yang lainnya yang diterapkan dalam pemeriksaan sumber informasi adalah mengidentifikasi bahasa tubuh, bagaimana gerak-gerik dari Anas Ma’amun mampu mencerminkan kebenaran atau kebohongan. Kemudian bahasa mata, bagaimana pergerakan mata dari AM saat proses pemeriksaan mampu memberi isyarat bahwa beliau melakukan sebuah penipuan atau tidak. Analisis pernyataan mencari apakah saksi, AM, mencoba menjauh dari fakta atau tidak dengan memperhatikan kata demi kata yang diucapkan oleh saksi dan juga kekonsistenan dalam menggunakan kata-kata dalam membuat pernyataan. Semua bukti non-keuangan tersebut mampu membantu, selain bukti keuangan, mengungkap tindakan suap/korupsi yang terjadi pada saat proses pengesahan APBD Provinsi Riau 2015 dan pada akhirnya KPK menetapkan mantan Gubernur Riau Anas Ma’mun dan mantan anggota DPRD Riau Ahmad Kirjauhari sebagai tersangka. Penambahan tersangka nampaknya akan terjadi mengingat bukan hanya Ahmad Kirjauhari saja yang menerima dana suap dari Anas Ma’amun.

 

  1. PENUTUP

5.1 Simpulan

Kasus suap/korupsi untuk pengesahan APBD Provinsi Riau 2015 merupakan salah satu tindakan kecurangan/fraud. Hal ini dikatakan sebagai korupsi dikarenakan melanggar hukum yang berlaku, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, dan memperkaya pribadi atau diri sendiri. Dan tersangka dalam kasus ini terjerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP.

 

Dalam mengungkap kasus tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemerikaan terhadap saksi. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan bukti non-keuangan yang berkaitan dengan kasus suap APBD Riau 2015. Dalam melakukan pemeriksaan para penyelidik, yang tentunya ahli dalam bidang ini, akan menggunakan teknik-teknik khusus demi memperoleh informasi non-keuangan. Teknik-teknik yang digunakan adalah wawancara, bahasa tubuh, bahasa mata, analisis pernyataan, dan SCAN. Setelah melakukan penyelidikan KPK menetapkan mantan Gubernur Riau Anas Ma’mun dan mantan anggota DPRD Riau Ahmad Kirjauhari sebagai tersangka. Penambahan tersangka nampaknya akan terjadi mengingat bukan hanya Ahmad Kirjauhari saja yang menerima dana suap dari Anas Ma’amun.

 

5.2 Saran

Saran yang dapat penulis berikan adalah untuk memperingatkan kepada para pelaku korupsi dan seluruh aparat yang bekerja bagi pemerintah bahwa tindakan korupsi merupakan perbuatan yang salah dan sangat merugikan negara. Dan juga kepada para penegak hukum di Indonesia untuk berlaku jujur dan tegak dalam menindak korupsi demi Indonesia yang bebas korupsi. Bahkan jika diperlukan diberikan hukuman yang sangat berat kepada pelaku korupsi agar memberikan efek jera, rasa penyesalan, dan kesadaran akan buruknya tindakan korupsi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alatas,  S.  H.  (1983).  Sosiologi  Korupsi:  Sebuah  Penjelajahan  Dengan  Data Kontemporer. Jakarta: LP3ES

Arens, A. A & Loebbecke, J. L. (20030. Auditting : An Integrated Approach. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Detik.com (diakses tanggal 23 November 2015)

Riauterkini.com (diakses tanggal 23 November 2015)

Semma, M. (2008). Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Singleton, T. W. & Singleton, A. J. (2010). Fraud Auditting and Forensic Accounting. New York : John Wiley and Sons Inc.

Tuanakotta, T. M. (2007). Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Tindak pidana korupsi (Tipikor)

PENILAIAN RISIKO FRAUD (FRAUD RISK ASSESSMENT)

PENILAIAN RISIKO FRAUD (FRAUD RISK ASSESSMENT)

 

IBNU MA’RUF NUGROHO & Daniel Sugama Stephanus

PROGRAM STUDI AKUNTANSI – FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS – UNIVERSITAS MA CHUNG – Kabupaten MALANG – 2015

 

ABSTRAK

Fraud merupakan tindakan yang disengaja dengan melakukan penipuan, penggelapan, ataupun pelanggaran kepercayaan untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui salah saji yang materil. Adanya fraud dapat dilihat pada munculnya kejadian-kejadian yang jangal. Kejadian tersebut dapat disebut dengan red flags.Pencegahan terhadap fraud yang dapat dilakukan adalah menilai risiko yang akan menyebabkan terjadinya fraud. Dalam melakukan penilaian terhadap risiko, dapat dilakukan dengan menggunakan fraud schemes risk checklist. Pada kasus fraud yang terjadi pada Satyam termasuk dalam jenis fraud Fraudulent Statement. Penyebab terjadinya fraud pada kasus Satyam tidak terlepas dari fraud triangel yaitu adanya tekanan, kesempatan dan rasionalisasi. Red flags yang ada pada kasus Satyam diantaranya, adanya peningkatan laba yang sangat signifikan dari kuartal 1 tahun 2004 sampai dengan kuartal 2 tahun 2009. Peningkatan yang signifikan pada jumlah faktur yang salah dari tahun kuartal 1 tahun 2004 sampai dengan kuartal 2 tahun 2009. Fee untuk auditor eksternal yang lebih tinggi dibanding fee yang diberikan perusahaan-perusahaan lain. Secara keseluruhan inherent risk pada Satyam dikatakan High, control assessment, dikatan Low sehingga menyebakan residual risk dikatakan High.

Keywords: fraud audit, risk assessment

 

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam mekanisma pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji yang material dan juga memberikan keyakinan yang memadai atas akuntabilitas manajemen atas aktiva perusahaan. Salah saji itu terdiri dari dua macam yaitu kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan kecurangan sesuai Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 70, demikian pula error diterjemahkan sebagai kekeliruan dan ketidakberesan sesuai PSA No. 32.

 

Menurut standar pengauditan, faktor yang membedakan kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang sengaja atau tidak disengaja (Institut Akuntan Publik Indonesia, 2011). Terjadinya kecurangan yang tidak dapat terdeteksi dalam proses pengauditan dapat memberikan efek yang merugikan bagi proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan akan berakibat serius dan membawa banyak kerugian.

Kerugian yang ditimbulkan oleh adanya kecurangan dapat berupa kerugian finansial dan non finansial seperti permasalahan sistem keuangan dan kebangkrutan. Perusahaan global seperti Enron, Worldcom, Tyco, dan xerox corporation merupakan contoh dari kecurangan pelaporan keuangan yang memiliki akibat sangat serius. Menurut hasil survei yang dilakukan Ernst & Young (2013) dalam Winardi & Permana (2015), 30% dari responden yang disurvei meyakini bahwa perusahaan yang ada di negara responden menyajikan laporan keuangan tidak sebagaimana mestinya. Laporan EY tersebut juga mengungkap bahwa di negara yang masuk sebagai kategori pasar yang berkembang, 67% responden meyakini praktik suap dan korupsi semakin meluas.

 

Kecurangan pelaporan keuangan secara nyata telah menyebabkan kerugian finansial dan non finansial. Dalam riset yang dilakukan KPMG (2012) dalam Winardi & Permana (2015), jumlah total kerugian yang terjadi mencapai sekitar 4,5 triliun rupiah dimana setiap organisasi rata-rata mengalami kerugian sebesar 36 milyar rupiah. Melihat banyaknya kasus fraud yang terjadi dan kerugiannya, maka perlu diketahui karakteristik kecurangan dan sikap yang harus ditunjukan auditor terhadap kecurangan.

 

Salah satu organisasi profesi akuntansi terkemuka, American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) telah mengeluarkan standar baru yakni Statement on Auditing Standard (SAS) 99 yang membahas mengenai karakteristik kecurangan dan sikap yang harus ditunjukan auditor terhadap kecurangan yang mungkin ataupun telah terjadi. Berkaitan dengan kecurangan pelaporan keuangan pula, profesi akuntansi di Indonesia melalui Institut Akuntan Publik Indonesia telah menerbitkan Standar Audit Seksi 316 (IAPI, 2011).

Salah satu pembahasan dari SA Seksi 316 adalah penilaian risiko kecurangan. Penilaian risiko kecurangan merupakan bentuk tanggung jawab auditor eksternal dalam rangka memperoleh keyakinan bahwa laporan keuangan sebuah entitas telah bebas dari salah saji material yang disebabkan kecurangan menurut SA Seksi 316 paragraf dua belas (IAPI, 2011). Penilaian ini dilakukan auditor eksternal sejak tahap perencanaan audit hingga tahap evaluasi bukti audit. Menurut Arens, dkk (2011), penilaian terhadap risiko kecurangan (fraud risk assessment) merupakan suatu bentuk cara yang dilakukan oleh auditor untuk menilai dan memperoleh bukti audit yang memadai dan nantinya digunakan sebagai acuan untuk mengetahui bagian-bagian apa saja yang memiliki tingkat risiko kecurangan.

 

Menurut Vona (2008), auditor harus berperan secara aktif untuk selalu menggali informasi mengenai di bagian mana dari laporan keuangan ataupun proses bisnis yang rentan terhadap kecurangan. Auditor harus secara khusus memberikan penilaian terhadap kemungkinan salah saji akibat kecurangan. Pertimbangan yang dilakukan meliputi salah saji yang timbul dari akibat kecurangan dalam pelaporan keuangan dan salah saji yang timbul dari perlakuan terhadap aset yang tidak semestinya (IAPI, 2011).

 

  1. LANDASAN TEORI

2.1. Definisi Fraud

Menurut Albrecht, dkk (2006:7) definisi fraud adalah “Fraud is a generic term, and embraces all the multifarious means which human ingenuity can devise. Which are resorted to by one individual, to get an advantage over another false representations. No definite and invariable rule can be a laid down as a general preposition in defining fraud, as it includes surprise trickery cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are those which limit human knaveri”.

Sedangkan definisi fraud menurut Federal Burean of Investigation (FBI) yang dikutip dari Silverstone, dkk (2007:5) adalah “White-collar crimes are caraterized by deceit, conselment, or violation of trust and are not dependent upon the application or threat of phisical force or violence. Such acts are comunited to individuals and organization to obtain money, property, or service; to avoid to payment or loss of money or services; or the secure a personal or business advantage”.

Sedangkan menurut Association of Certified Fraud  Examiners (ACFE) (2007:23) fraud merupakan “One or more intentional acts designed to deceive other person and cause them financial loss”.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa fraud adalah tindakan yang disengaja dengan melakukan penipuan, penggelapan, ataupun pelanggaran kepercayaan dan bukan dengan menggunakan kekerasan fisik yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui salah saji yang materil.

 

2.2 Tipe Fraud

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) (2007) seperti yang dikutip dari SAS No. 99 menyebutkan bahwa terdapat dua tipe salah saji yang dianggap relevan untuk tujuan audit adalah sebagai berikut.

 

  1. Salah saji yang timbul akibat fraudulent financial reporting.

Kategori ini didefinisikan sebagai salah saji yang disengaja atau dimasukannya suatu jumlah atau pengungkapan pada laporan keuangan dengan tujuan untuk menipu pengguna laporan keuangan.

 

  1. Salah saji yang timbul akibat misapproriation of assets.

Pada kategori ini termasuk pencurian atas aset entitas dimana efek dari pencurian tersebut mempengaruhi laporan keuangan sehingga tidak sesuai dengan kriteria yang berlaku.

 

Sedangkan menurut Albrecht, dkk., (2006) terdapat enam jenis fraud seperti berikut ini.

 

  1. Employee embezzlement merupakan fraud yang terjadi ketika karyawan menipu pemberi kerja dengan melakukan pencurian terhadap aset perusahaan. Fraud tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
  2. Management fraud adalah manipulasi yang menyesatkan atas laporan keuangan, stockholders lenders dan semua pengguna laporan keuangan merupakan korban dari fraud jenis ini.

 

  1. Invesment scams merupakan fraud yang terjadi ketika seseorang mengelabui investor untuk menanamkan sejumlah uang ke dalam investasi yang sebenarnya tidak berharga.

 

  1. Vendor fraud dapat terjadi akibat fraud yang dilakukan oleh vendor yang bertindak sendiri ataupun fraud yang dilakukan melalui kolusi antara pembeli dan vendor. Vendor fraud biasanya mengakibatkan biaya pembelian yang lebih tinggi, pengiriman ba rang yang berkualitas rendah, maupun tidak adanya pengiriman barang meskipun pembayaran telah dilakukan.
  2. Customers fraud merupakan fraud yang terjadi ketika pelanggan tidak membayar penuh barang yang dibeli, atau pelanggan menipu perusahaan untuk memberikan sesuatu kepada mereka yang bukan merupakan haknya.

 

  1. Miscellaneous fraud adalah fraud yang tidak termasuk kedalam lima jenis fraud diatas digolongkan kedalam miscellaneous fraud.

2.3 Jenis-Jenis Fraud

 

Dari bagan Uniform Occupational Fraud Classification System (ACFE) membagi fraud (kecurangan) dalam tiga jenis berdasarkan perbuatannya yaitu:

  1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation)

Meliputi penyalahgunaan /pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung.

 

  1. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement)

Merupakan tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.

 

  1. Korupsi (Corruption)

Jenis fraud ini paling susah dideteksi karena menyangkut kerjasama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, dimana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat terdeteksi karena pihak yang bekerjasama menikmati keuntungan (simbolis mutualisme). Termasuk di dalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/ illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic exortion).

 

 

2.4 Unsur-Unsur Fraud

Dalam suatu tindakan fraud atau kecurangan, menurut Binbangkum (2008) dalam Nabila (2013) terdapat 7 (tujuh) unsur yang dapat diidentifikasi seperti berikut ini.

 

  1. Harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation);
  2. Dari suatu masa lampau (past) dan sekarang (present);
  3. Fakta bersifat material (material fact);
  4. Dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or recklessly);
  5. Dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi;

 

  1. Pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut (misrepresentation);

 

  1. Yang merugikannya (detriment).

 

2.5 Penyebab Terjadinya Fraud

 

Terdapat tiga kondisi mengapa seseorang melakukan fraud yang kemudian disebut dengan fraud triangle, yang terdiri dari Tekanan (Pressure), Peluang (Opportunity), dan Rasionalisasi (Rationalization).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1 Fraud Triangle

Sumber: Arens, dkk, 2011

 

  1. Tekanan (Pressure)

 

Menurut Rahmanti (2013), pressure adalah dorongan orang untuk melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain, termasuk hal keuangan dan non keuangan. Dalam hal keuangan sebagai contoh dorongan untuk memiliki barang-barang yang bersifat materi. Tekanan dalam hal non keuangan mendorong seseorang melakukan kecurangan, misalnya tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk karena tuntutan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang baik. Dalam SAS No. 99, terdapat empat jenis kondisi umum terjadi pada pressure yang dapat mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah stabilitas keuangan, tekanan eksternal, kebutuhan keuangan individu, dan target keuangan.

 

  1. Peluang (Opportunity)

 

Nabila (2013) berpendapat bahwa opportunity adalah peluang yang memungkinkan terjadinya fraud. Para pelaku kecurangan percaya bahwa aktivitas mereka tidak akan terdeteksi. Peluang dapat terjadi karena pengendalian internal yang lemah, pengawasan manajemen yang kurang baik atau melalui penggunaan posisi. Kesempatan untuk melakukan fraud berdasarkan pada kedudukan pada umumnya, manajemen suatu perusahaan memiliki potensi yang lebih besar untuk melakukan fraud dibandingkan dengan karyawan. Tetapi patut digaris bawahi bahwa kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiapkedudukan.  Kegagalan dalam menetapkan prosedur yang memadai untuk kondisi fraud juga mampu meningkatkan keterjaidan suatu kecurangan.

Dari  ketiga elemen fraud triangle, kesempatan memiliki kontrol yang paling atas.  Oleh karena itu, dalam mendeteksk adanya aktivitas kecurangan, maka perusahaan perlu membangun proses, posedur, dan pengendalian yang efektif.  SAS No. 99 menyebutkan bahwa peluang kecurangan laporan keuangan dapat terjadi pada 3 kategori. Kondisi tersebut adalah kondisi industri, ketifak efektifan pengawasan, dan struktur organisasi.

  1. Rasionalisasi (Rationalization)

Salah satu elemen penting terjadinya fraud yaitu rasionalisasi, dimana pelaku mencari pembenaran atas perbuatannya. Menurut Skousen (2009), rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur. Sikap atau karakter adalah apa yang menyebabkan satu atau lebih individu untuk secara rasional melakukan fraud. Penentu utama dari kualitas laporan keuangan yaitu integritas manajemen. Ketika integritas manajemen dipertanyakan, keandalan laporan keuangan diragukan. Bagi mereka yang umumnya tidak jujur maka akan lebih mudah merasionalisasi kecurangan. Bagi mereka dengan standar moral yang lebih tinggi, mungkin tidak begitu mudah. Pelaku fraud selalu mencari pembenaran rasional untuk membenarkan perbuatannya (Molida, 2011).

 

2.6 Fraud Red Flags

Red flags merupakan suatu kondisi yang janggal atau berbeda dengan keadaan normal. Dengan kata lain, red flags adalah petunjuk atau indikator akan adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut. Menurut Hevesi & Pattinson (2001), red flags tidak mutlak menunjukkan apakah seseorang bersalah atau tidak, tetapi red flags ini merupakan tanda-tanda peringatan bahwa fraud mungkin terjadi. Sebagaimana dijelaskan dalam standar auditing SA seksi 316 Pertimbangan atas kecurangan dalam audit atas laporan keuangan, salah saji dalam pelaporan keuangan dapat timbul dari fraud, yaitu pelaporan keuangan yang mengandung fraud dan penyalahgunaan aset.

Menurut Kenyon, dkk., (2006), secara garis besar, terdapat tiga faktor risiko fraud yang berkaitan dengan fraud dalam pelaporan keuangan seperti berikut ini.

  1. Karakteristik manajemen yang berkaitan dengan kemampuan manajemen, tekanan, sikap dan perilaku terhadap pengendalian internal dan proses pelaporan keuangan.

 

  1. Karakteristik industri yang berkaitan dengan kondisi ekonomi dan peraturan yang berlaku.

 

  1. Karakteristik operasional  dan  stabilitas  keuangan  yang  meliputi  sifat  dan

 

kerumitan dari transaksi perusahaan serta kondisi keuangan perusahaan.

 

Jika dikaitkan dengan pelakunya, fraud dalam pelaporan keuangan pada umumnya dilakukan oleh manajemen, dan kondisi yang memungkinkan adanya fraud. Menurut Kenyon, dkk., (2006), hal-hal yang harus diwaspadai diantaranya adalah sebagai berikut

 

  1. Manajemen enggan menyediakan data untuk auditor eksternal.
  2. Sering terjadi penggantian auditor eksternal.
  3. Pengendalian intern perusahaan kurang memadai.
  4. Terdapat banyak transaksi pada akhir tahun.
  5. Terdapat dokumen yang hilang dan tidak dapat ditemukan.
  6. Sering melakukan pergantian rekening bank.
  7. Utang yang diperpanjang terus menerus.
  8. Tingkat perputaran karyawan tinggi.
  9. Penjualan aktiva perusahaan di bawah harga pasar.
  10. Adanya transaksi yang tidak masuk akal.

 

2.7 Faktor Penilaian Risiko

2.7.1 Faktor Lingkungan Perusahaan

Kecurangan karyawan, pencurian, dan penggelapan lebih banyak terjadi pada beberapa industri dan beberapa organisasi dari pada yang lainnya. The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) 2008 Report to the Nation (RTTN) melaporkan sebanyak 959 kasus yang telah diselesaikan. Salah satu statistik menunjukkan jenis industri yang paling mungkin untuk menyewa Certified Fraud Examiner (CFE) untuk menyelidiki penipuan, dari hasil tersebut juga dapat menunjukkan industri lebih rentan terhadap penipuan. Untuk industri yang lebih rentan terhadap penipuan, entitas dalam industri tersebut jelas memiliki risiko yang lebih besar dari penipuan. Dalam penilaian risiko perlu dipertimbangkan tingkat risiko penipuan dinilai dari dalam industri entitas. hasil RTTN pada tahun adalah sebagai berikut.

 

  1. Layanan perbankan / keuangan (14,5% dari semua kasus yang dilaporkan)
  2. Pemerintah / Administrasi publik (11,7%)
  3. Kesehatan (8,4%)
  4. Manufaktur (7,2%)
  5. Ritel (7%)

Industri berdasarkan frekuensinya adalah sebagai berikut.

  1. Telekomunikasi ($800.000 / 16 kasus)
  2. Pertanian / Kehutanan / Perikanan ($450.000 / 13 kasus)
  3. Manufaktur ($441.000 / 65 kasus)
  4. Teknologi ($405.000 / 28 kasus)
  5. Konstruksi ($330.000 / 42 kasus)

 

Sebuah penilaian risiko juga harus mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini. Di saat yang baik, orang mencuri, di saat buruk, orang mencuri juga masih mencuri. Sebuah survei 2008–2009 oleh ACFE meminta 507 CFEs untuk melaporkan tingkat penipuan sejak awal krisis ekonomi. Lebih dari setengah menunjukkan bahwa jumlah penipuan meningkat selama waktu itu. Selain itu sebanyak 49% melaporkan peningkatan jumlah kerugian dari adanya penipuan selama perioda yang sama. Teorinya sesuai dengan fraud triangle yaitu tekanan. Orang-orang pada umumnya berada di bawah tekanan yang lebih selama adanyan resesi ekonomi dan artinya bahwa akan terjadi peningkatan dalam penipuan.

 

2.7.2 Faktor Internal

Menurut Singleton & Singleton (2010), faktor internal yang meningkatkan kemungkinan penipuan, pencurian, dan penggelapan termasuk kontrol manajemen yang tidak memadai atau kegiatan pemantauan seperti berikut.

 

  1. Kegagalan untuk menciptakan budaya jujur.

 

  1. Kegagalan untuk mengartikulasikan dan mengkomunikasikan standar minimum kinerja dan perilaku pribadi.

 

  1. Orientasi dan pelatihan yang tidak memadai pada hukum, etika, penipuan, dan masalah keamanan.

 

  1. Kebijakan perusahaan yang tidak memadai sehubungan dengan sanksi bagi hukum, etika, dan pelanggaran keamanan; terutama untuk penipuan dan kejahatan kerah putih

 

  1. Kegagalan untuk mengambil tindakan administratif ketika tingkat kinerja atau perilaku pribadi turun di bawah standar yang dapat diterima, atau melanggar prinsip dan pedoman entitas.

 

  1. Ambiguitas dalam peran pekerjaan, tugas, tanggung jawab, dan bidang akuntabilitas

 

  1. Kurangnya audit tepat waktu atau berkala, pemeriksaan, dan tindak lanjut untuk memastikan kepatuhan dengan tujuan entitas, prioritas, kebijakan, prosedur, dan peraturan pemerintah;secara umum, kurangnya akuntabilitas atas kunci posisi kepercayaan

2.7.3 Faktor Fraud

 

Penilaian risiko juga harus mempertimbangkan mengenai skema fraud yang lebih mungkin terjadi dalam rangka untuk memandu program antifraud. Pencegahan dan pendeteksian tentu lebih efektif jika skema fraud dilakukan. Untuk penipuan laporan keuangan, jelas para eksekutif dari entitas adalah yang paling mungkin menjadi pelaku dan dengan demikian penilaian risiko tentu akan mencakup individu-individu tersebut. Untuk penyalahgunaan aset, karyawan yang dipercaya, cenderung menjadi pelakunya. Untuk korupsi, mungkin sama tetapi mencakup seseorang di luar entitas yang bekerja sama dengan seseorang di dalam entitas.

 

2.8 Risk Assessment Best Practices

 

Jika entitas tidak melakukan penilaian risiko secara formal, maka entitas tidak akan dapat secara efektif mempertahankan diri dari risiko-risiko tersebut, atau mengurangi risiko-risiko untuk alasan yang jelas. Dalam rangka mengembangkan penilaian risiko yang efektif, manajemen harus menggunakan pendekatan formal daripada pendekatan ad hoc. Menurut Singleton & Singleton (2010), pendekatan termasuk orang dan proses, yaitu sebagai berikut.

 

  1. Pemimpin

 

Proses penilaian risiko harus mencakup orang atau kelompok yang tepat, dan idealnya harus mencakup sebuah tim. Untuk manajemen organisasi, orang yang tepat biasanya adalah seseorang yang memiliki independensi yang cukup, seperti seseorang dari fungsi audit internal, jika ada, dan harus memiliki kemampuan yang efektif untuk mendukung manajemen risiko. Memiliki seseorang yang berpengalaman dan terbukti efektif dalam menilai resiko yang terlibat dengan fungsi penilaian risiko merupakan hal yang wajar.

  1. Tim

 

Tim harus dipilih dengan hati-hati. Meskipun harus mulai dengan pihak internal yang ahli atau konsultan, namun perlu disertakan pula pihak-pihak entitas secara menyeluruh. Penyertaan pihak-pihak entitas, harus melibatkan berbagai tingkat entitas, terutama tingkat manajemen. Tim harus mewakili semua unit bisnis utama (terutama akuntansi dan penjualan karena kebanyakan kasus fraud terjadi di sana), posisi kunci, dan perspektif yang diperlukan untuk memberikan penilaian risiko. Mendokumentasikan penilaian risiko sangat penting, yang paling utama karena dokumentasi dapat direview ketika risiko yang dinilai muncul lagi atau belum selesai. Dokumentasi kemudian dapat berfungsi sebagai alat pembelajaran bagi penilaian yang lebih efektif dan tindakan pencegahan di masa depan. Beberapa alat dapat digunakan untuk melakukan penilaian risiko, salah satunya adalah checklist

 

  1. Frekuensi dan Keselarasan dengan Keuangan

Penilaian risiko secara formal dalam suatu entitas harus dilakukan secara rutin, mungkin setiap 12 sampai 24 bulan sekali. Frekuensi tahunan akan memungkinkan penilaian risiko fraud untuk menyelaraskan dengan perencanaan keuangan jangka waktu pelaporan keuangan.

 

2.9 Checklist Manajemen Risiko Dan Dokumentasi

 

Menurut Singleton & Singleton (2010), checklist dirancang untuk membantu akuntan dalam menilai dan mengelola risiko fraud dalam organisasi mereka. Checklist ini dimaksudkan untuk penggunaan umum saja. Sedangkan penggunaan checklist membantu memastikan faktor yang dianggap memadai, menggunakan checklist tidak menjamin pencegahan penipuan atau deteksi. Checklist juga tidak dimaksudkan sebagai pengganti audit atau prosedur yang sama. Jika pencegahan penipuan adalah dianggap sebagai perhatian penting, penilaian yang sistematis yang melampaui checklist harus dilakukan.

 

2.9.1 Checklist Skema Fraud

Pendekatan lain untuk penilaian risiko adalah dengan menggunakan taksonomi yang sesuai skema penipuan. Misalnya, fraud tree dapat digunakan untuk menentukan setidaknya daftar awal skema fraud. Pendekatan ini dapat bekerja dengan baik. Menurut Singleton & Singleton (2010), kolom ini berupa penilaian risiko termasuk diantaranya sebagai berikut.

  1. Skema fraud.
  2. Penilaian inherent risk pada entitas atau proses bisnis.
  3. Controls assessment yang telah memitigasi risiko tersebut.
  4. Risidual risk setelah adanya mitigasi dengan pengendalian internal yang ada terkait dengan skema fraud pada entitas atau proses bisnis.

 

  1. Business processes, di mana skema ini mungkin terjadi, dan jika terjadi.
  2. Red flags, yang dapat digunakan untuk mendeteksi skema ini

 

Tabel 1. Fraud Schemes Risk Checklist

Fraud Schemes Inherent Controls Residual Business Red
Risk Assessment Risk Processes Flags
 

 

General anti fraud

 

Fraudulent statements

 

Financial:

 

Overstate revenues

 

Timing differences

 

Fictitious revenues

 

Concealed liabilities

 

Improper disclosures

 

Improper asset

valuation

 

Asset/revenue

understated

 

Sumber: Singleton & Singleton, 2010

 

Menurut Singleton & Singleton (2010), penjelasan dari tabel adalah sebagai berikut.

 

  1. Inherent Risk

Tim harus menentukan apa risiko yang melekat dalam skema fraud ini pada entitas atau bisnis ini proses. Penilaian bisa menjadi probabilitas (1 sampai 100 persen) atau hanya rendah, sedang, atau berisiko tinggi. Sejumlah faktor yang dapat dipertimbangkan di sini, beberapa di antaranya adalah industri, strategi, volatilitas pasar, dan struktur organisasi.

 

  1. Controls Assessment

Auditor dan orang penting lainnya dalam tim harus menentukan kontrol apa untuk mengurangi skema fraud tertentu. Penilaian tentu saja harus sesuai dengan metode untuk menilai risiko yang melekat (persentase atau tingkat). Salah satu anggota tim harus dapat mengevaluasi kelemahan pengendalian internal dan risiko.

  1. Residual Risk

Sebuah fungsi matematika sederhana mengurangi tingkat mitigasi kontrol dari inherent risk sehingga akan meninggalkan residual risk. Residual Risk pasti akan memerlukan salah satu dari dua tanggapan: tidak ada tindakan, karena risiko yang tersisa diterima, atau tindakan untuk mengurangi atau memulihkan melalui pencegahan atau deteksi prosedur tambahan. Respon yang diambil harus didokumentasikan dan dilacak dari waktu ke waktu, sebagian untuk menentukan kemampuan entitas dalam mengukur dan mengelola risiko.

 

  1. Business processes

Kolom ini adalah kolom notasi untuk mengidentifikasi proses bisnis (yaitu, penerimaan kas, penggajian, dll) yang terlibat dengan skema fraud. Pemilik proses bisnis harus mendokumentasikan pihak yang bertanggung jawab dan, jika diterapkan, untuk menanggapi residual risk yang tidak dapat diterima.

  1. Red Flags

 

Disini tim akan mengidentifikasi red flags yang bisa dikaitkan dengan skema. Dokumentasi ini adalah titik awal untuk prosedur pencegahan fraud atau pendeteksian.

 

 

  1. STUDI KASUS

Satyam Computer Services Ltd, merupakan sebuah perusahaan outsourcing India ternama dengan jasa yang ditawarkan berupa layanan teknologi informasi, desain, pengembangan data warehouse atau website dan memberikan sistem integrasi dalam teknologi informasi disuatu perusahaan. Satyam melayani pasar seperti manufaktur, ritel, jasa keuangan, transportasi dan telekomunikasi.

 

Pada 9 November 2010, pengadilan di India mengadili pendiri perusahaan teknologi informasi Satyam, Ramalinga Raju, yang dituduh melakukan penipuan terbesar dalam sejarah korporasi negara itu. Modus kasus ini mirip skandal rekayasa laporan keuangan Enron, perusahaan raksasa listrik dan gas asal Texas, Amerika Serikat (http://bisnis.tempo.co/, diakses tanggal 11 Oktober 2015).

 

Kasus fraud yang terjadi pada Satyam baru terungkap saat Ramalinga Raju meletakan jabatannya sebagai chairman sesudah membuat pengakuan bahwa:

 

  1. Saldo bank sebesar 50,4 miliar rupees, atau setara $1,04 miliar sebenarnya fiktif (nonexistent). Angka ini dilaporkan sebagai bagian dari saldo sebesar 53,6 miliar rupees dalam kuartal kedua yang berakhir 30 September.

 

  1. Pendapatan untuk kuartal tersebut sebenarnya 20% lebih rendah dari 27 miliar rupees yang dilaporkan. Sedangkan operating margin hanyalah bagian yang sangat kecil dari jumlah yang dilaporkan.

 

  1. Raju melaporkan bahwa Satyam mempunya 53.000 karyawan operasi di 66 negara dan alas an Satyam melakukan manipulasi itu diakui karena keinginan untuk melakukan ekspansi di sejumlah Negara dan untuk mengelabui pihak pasar modal agar dapat persetujuan melakukan ekspansi.

 

Berikut ini sebagian terjemahan dari isi surat pengakuan Ramalinga Raju, chairman, Satyam Computer Services Ltd. Tanggal 7 Januari 2009. (http://antifraudnetwork.com, diakses tanggal 11 Oktober 2015)

 

“Yang terhormat Anggota Dewan Pimpinan,

 

Dengan perasaan menyesal yang mendalam, dan dengan beban yang teramat berat yang saya tanggung, saya menyampaikan fakta-fakta berikut kehadapan anda:

 

Neraca pada tanggal 30 September 2008 menunjukkan:

 

  1. Saldo kas dan bank (cash and bank) fiktif sebesar Rs 50,40 miliar ($1,04 miliar), dibandingkan dengan Rs 53,61 miliar yang ditunjukan dalam pembukuan.

 

  1. Piutang bunga (accured interest) fiktif sebesar Rs 3,76 miliar.

 

  1. Utang yang dinyatakan kerendahan (understated liability) sebesar Rs 12,3 miliar untuk dana-dana yang saya atur.

 

  1. Piutang yang dinyatakan terlalu tinggi (overstated debtors position) sebesar Rs 4,90 miliar (dibandingkan dengan Rs 26,51 miliar yang ditunjukan dalam pembukuan).

 

Untuk kuartal September (Q2) kami melaporkan pendapatan (revenue) sebesar Rs 27 miliar dan margin usaha (operating margin) sebesar Rs 6,49 miliar (24% dari pendapatan); pendapatan seharusnya (actual revenues) Rs 21,12 miliar dan margin usaha (operating margin) seharusnya Rs 610 juta (3% dari pendapatan). Ini mengakibatkan saldo cash & bank fiktif meningkat sebesar Rs 5,88 miliar dalam Q2 saja.

 

Tanda terbesar terlihat dalam neraca yang disebabkan semata-mata oleh laba palsu (infated profits) selama beberapa tahun terakhir. Laba palsu ini hanya dilaporkan oleh Satyam, sedangkan anak-anak perusahaan menunjukan kinerja sebenarnya.

 

Yang semula merupakan kesenjangan kecil (marginal gap) antara laba usaha sebenarnya (actual operating profit) dan angka pembukuan, berlangsung selama beberapa tahun. Sampai mencapai jumlah yang tidak terkendali lagi, ketika perusahaan tumbuh secara signifikan (pendapatan per tahun mencapai Rs 112,76 miliar dalam kuartal September 2008, dan laba ditahan sebesar Rs 83,92 miliar).

 

Perbedaan antara laba sebenarnya dan laba yang ada dalam pembukuan menjadi lebih menonjol lagi karena perusahaan harus “menambah” resources (sumber daya) dan asset untuk mendukung tingkat usaha yang lebih tinggi lagi dan ini tercermin dalam kenaikan biaya dan beban secara signifinkan.

 

Setiap upaya menutup kesenjangan ini, selalu berujung kegagalan. Karena para promotor memegang sejumlah saham (equity), timbul kekhawatiran bahwa kinerja yang buruk akan berdampak dengan pengalihan saham atau kepemilikan (takeover), yang selanjutnya akan mengungkapkan kesenjangan ini.”

Adanya manipulasi atas laporan keuangan Satyam, tidak hanya terkait pihak chairman saja, namun hal ini juga didukung oleh internal auditor yang tidak melakukan tugasnya. Berikut ini beberapa hal yang dilakukan internal auditor Satyam dalam menjalankan pekerjaannya adalah sebagai berikut.

  1. Auditor internal tidak melakukan pengujian, meneliti atas verifikasi setiap transaksinya mulai terjadinya transaksi di setiap tahun hingga berakhirnya tahun pelaporan.
  2. Tidak pernah memverifikasi atau memeriksa dengan benar cash & bank
  3. Sengaja mengabaikan faktur-faktur palsu yang terdapat dalam transaksi-transaksi yang dijalankan Satyam.
  4. Tidak pernah melaporankan hasil pekerjaan auditnya kepada komite audit.
  5. Di dalam perencanaan auditnya lebih memprioritaskan atas dasar-dasar permintaan
  6. Sejumlah bukti-bukti temuan serius yang ditemukan oleh tim audit, secara disengaja diabaikan oleh ketua tim audit.

 

PwC selaku auditor eksternal juga tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Berikut adalah beberapa hal yang dilakukan oleh auditor eksternal PwC yang memeriksa Satyam adalah sebagai berikut.

 

  1. Auditor eksternal tidak pernah melakukan konfirmasi kepada bank yang terkait terhadap saldo bank yang tercantum dalam Satyam.

 

  1. Auditor eksternal melanggar beberapa peraturan audit yaitu seperti adanya hubungan istimewa antara PwC dengan Satyam, namun tetap saja PwC memeriksa Satyam sebagai kliennya.
  2. Tidak pernah memeriksa baik itu secara keseluruhan ataupun secara sampel terhadap sejumlah invoice yang terdaoat di transaksi Satyam.

 

  1. Menerima bayaran audit fee yang jauh diatas bayaran para pesaing Satyam dalam melakukan audit.
  2. Liabilitas atas pajak tidak pernah dilaporkan dalam hasil laporan auditnya.
  3. Tidak pernah memeriksa atau memverifikasi atas tingkat bunga palsu.
  4. Tidak pernah melakukan dengan benar proses pemeriksaan dari awal perikatan audit hingga akhir perikatan audit.
  5. Meskipun ditemukan adanya sistem pengendalian internal di Satyam yang lemah, namun auditor eksternal tidak pernah melakukan tindakan untuk melaporakan temuannya itu.

 

  1. PEMBAHASAN

Kasus fraud yang terjadi pada Satyam termasuk dalam jenis fraud Fraudulent Statement. Hal ini dapat dilihat pada adanya manipulasi laporan keuangan yang dilakukan untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan. Manipulasi dilakukan pada laporan posisi keuangan (neraca) Satyam. Bentuk manipulasi yang dilakukan dengan adanya saldo kas dan bank fiktif, peningkatann pendapatan, piutang bunga fiktif, penurunan utang serta peningkatan piutang. Penyebab terjadinya fraud pada kasus Satyam tidak terlepas dari fraud triangel yaitu adanya tekanan, kesempatan dan rasionalisasi.

 

Pertama tekanan, pada kasus Satyam dikarenakan adanya tekanan yang dirasakan oleh chairman, yaitu berupa keinginan untuk melakukan ekspansi usaha di sejumlah negara, sehingga terjadilah manipulasi atas laporan keuangan. Kedua adalah kesempatan, pada kasus Satyam kesempatan muncul dikarenakan lemahnya pengendalian internal yang ada oleh auditor internal. Auditor tidak menjalankan perannya dengan baik. Hal ini ditambah lagi dengan adanya auditor eksternal yang juga tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Melihat lemahnya SPI pada perusahaan, auditor seharusnya lebih memperluas cakupan auditnya, namun dalam kasus Satyam auditor seolah membiarkan kasus fraud tersebut terjadi. Ketiga adalah rasionalisasi, pada kasus Satyam pelaku fraud berusaha mencari pembenaran atas tindakannya. Pelaku merasa tindakannya benar karena menganggap auditor internal dan auditor eksternal tidak memperdulikan tindakan pelaku dan seolah membenarkan tindakan pelaku.

Ciri-ciri terjadinya fraud dapat dilihat dari adanya red flags, diantaranya adalah sebagai berikut.

 

  1. Peningkatan laba yang sangat signifikan dari kuartal 1 tahun 2004 sampai dengan kuartal 2 tahun 2009.

 

  1. Peningkatan yang signifikan pada jumlah faktur yang salah dari tahun kuartal 1 tahun 2004 sampai dengan kuartal 2 tahun 2009.

 

Tabel 2. False Revenue Satyam Computer Services Ltd

          False
Fiscal   False Published   Commission
Year Quarter Invoices Revenue False Revenue Fillings
           
2004 Q1 2004 97 $121.550.000 $14.330.000 Form 6-K
  Q2 2004 8 $131.780.000 $1.050.000 Form 6-K
  Q3 2004 50 $148.070.000 $8.840.000 Form 6-K
  Q4 2004 112 $164.980.000 $22.190.000 Form 6-K
Total   267 $566.370.000 $46.320.000 Form 20-F
           
2005 Q1 2005 111 $174.990.000 $19.250.000 Form 6-K
  Q2 2005 63 $188.920.000 $8.810.000 Form 6-K
  Q3 2005 69 $204.680.000 $11.020.000 Form 6-K
  Q4 2005 208 $225.000.000 $30.390.000 Form 6-K
Total   451 $793.600.000 $68.860.000 Form 20-F
           
2006 Q1 2006 249 $246.040.000 $35.450.000 Form 6-K
  Q2 2006 242 $267.850.000 $30.760.000 Form 6-K
  Q3 2006 291 $281.840.000 $35.220.000 Form 6-K
  Q4 2006 398 $300.700.000 $47.980.000 Form 6-K
Total   1180 $1.096.300.000 $149.500.000 Form 20-F
           
2007 Q1 2007 12 $322.500.000 $30.000 Form 6-K
  Q2 2007 30 $352.000.000 $29.050.000 Form 6-K
  Q3 2007 237 $375.600.000 $53.850.000 Form 6-K
  Q4 2007 375 $411.300.000 $69.970.000 Form 6-K
Total   654 $1.461.400.000 $151.650.000 Form 20-F
           
2008 Q1 2008 473 $452.300.000 $78.100.000 Form 6-K
  Q2 2008 486 $509.600.000 $79.070.000 Form 6-K
  Q3 2008 730 $562.900.000 $133.130.000 Form 6-K
  Q4 2008 794 $613.300.000 $142.030.000 Form 6-K
Total   2483 $2.138.100.000 $430.390.000 Form 20-F
           
2009 Q1 2009 791 $637.300.000 $141.500.000 Form 6-K
  Q2 2009 777 $652.200.000 $134.360.000 Form 6-K
Total   1558 $1.289.500.000 $275.860.000 Form 20-F
           
Grand          
Total   1558 $7.345.270.000 $1.122.670.000 All of the above

Sumber: https://www.sec.gov/, diakses tanggal 11 Oktober 2015

  1. Fee untuk auditor eksternal yang lebih tinggi dibanding fee yang diberikan perusahaan-perusahaan lain.

 

Tabel 3. Perbandingan Audit Fee

 

Membandingkan audit fee yang dibayar Satyam dengan pesaingnya (dalan jutaan US$)

Entitas Pendapatan Pendapatan Fee Fee Fee /Pendapata Fee /Pendapata
2008 2009 2008 2007 n 2008 n 2007
 
Satyam 2.028 1.380 0,9 0,8 0,046% 0,059%
Wipro 4.920 3.313 0,3 0,2 0,006% 0,006%
Infosys 3.899 2.915 0,2 0,1 0,005% 0,004%

Sumber: https://www.sec.gov/, diakses tanggal 11 Oktober 2015

Untuk  menilai risiko   yang    ada      pada    Satyam,           dapat   dilakukan        dengan

membuat checklis. Berikut adalah penilaian risiko yang ada pada Satyam dengan menggunakan fraud schemes risk cheklist.

 

 

 

 

 

Tabel 4. Fraud Schemes Risk Checklist Pada Satyam Computer Services Ltd

Fraud Schemes Inherent Controls Residual Business Processes Red Flags
Risk Assessment Risk
     
           
General anti fraud Low Low Low Audit internal & eksternal Banyak faktur yang salah serta fee
auditor eksternal yang tinggi
         
           
Fraudulent High Low High Pengakuan pendapatan, pencatatan Peningkatan pendapatan yang
statements utang dan piutang signifikan
     
           
Financial:          
           
Overstate revenues High Low High Pengakuan pendapatan Peningkatan pendapatan yang
signifikan
         
Fictitious revenues High Low High Pembuatan laporan posisi Adanya saldo kas & bank yang fiktif
keuangan dan piutang bunga fiktif
       
           
Concealed liabilities High Low High Pencatatan utang Utang yang dimiliki rendah
           
Improper disclosures High Low High Pengakuan pendapatan, pencatatan Peningkatan pendapatan yang
utang dan piutang signifikan
       
           

Sumber: data diolah, 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. PENUTUP

5.1 Simpulan

Fraud merupakan tindakan yang disengaja dengan melakukan penipuan, penggelapan, ataupun pelanggaran kepercayaan untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui salah saji yang materil. Penyebeb terjadinya fraud disebabkan karena adanya tekanan, kesempatan dan raisonalisasi. Pada dasarnya penyebab terjadinya fraud diakibatkan karena adanya kesempatan. Munculnya kesempatan dikarenakan lemahnya pengendalian yang ada.

 

Adanya fraud dapat dilihat pada munculnya kejadian-kejadian yang jangal. Kejadian tersebut dapat disebut dengan red flags. Pencegahan terhadap fraud yang dapat dilakukan adalah menilai risiko yang akan menyebabkan terjadinya fraud. Penilaian terhadap risiko kecurangan merupakan suatu bentuk cara yang dilakukan oleh auditor untuk menilai dan memperoleh bukti audit yang memadai dan nantinya digunakan sebagai acuan untuk mengetahui bagian-bagian apa saja yang memiliki tingkat risiko kecurangan.

 

Penilaian terhadap risiko sebaiknya dilakukan secara rutin, setidaknya selama 12 sampai 24 bulan sekali. Dalam melakukan penilaian terhadap risiko, dapat dilakukan dengan menggunakan fraud schemes risk checklist. Penilaian dilakukan terhadap inhernt risk perusahaan, control assessment, residual risk, business process, serta red flags yang ada.

 

5.2 Saran

 

Saran bagi perusahaan dalam melakukan penilaian risiko yaitu sebagai berikut.

 

  1. Sebaiknya perusahaan melakukan penilaian terhadap risiko fraud secara rutin setiap 12 sampai 24 bulan sekali.

 

  1. Perusahaan sebaiknya membentuk tim khusus yang bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap risiko

 

  1. Untuk meminimalkan terjadinya risiko fraud, sebaiknya perusahaan meningkatkan pengendalian internalnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

AICPA. (2002). Statement on Auditing Standards (SAS) No. 99: Consideration of Fraud in Financial Statement Audit. New York: American Institute of Certified Public Accountant.

Albrecht, dkk.  (2006).  Financial  Statement  Fraud:  Prevention  and  Detection. New Jersey: Jhon Wailey & Sons Inc.

Arens, dkk. (2011). Auditing and Assurance Services: An Integrated Approach. USA: Pearson.

Association of Certified Fraud Examiner (ACFE). (2007). Report to the Nations on Occupational Fraud anf Abuse.

Hevesi, A & Pattison, M. (2011). Red Flags for Fraud. New York: Office of The State Comptroller.

http://antifraudnetwork.com/2009/03/what-happened-at-satyam/, diakses tanggal 11 Oktober 2015.

http://bisnis.tempo.co/read/news/2010/11/03/090289056/kasus-indias-enron-mulai-diadili, diakses tanggal 11 Oktober 2015.

https://www.sec.gov/litigation/complaints/2011/comp21915.pdf, diakses tanggal 11 Oktober 2015.

http://antifraudnetwork.com/2009/03/what-happened-at-satyam/, diakses tanggal 11 Oktober 2015.

http://bisnis.tempo.co/read/news/2010/11/03/090289056/kasus-indias-enron-mulai-diadili, diakses tanggal 11 Oktober 2015.

https://www.sec.gov/litigation/complaints/2011/comp21915.pdf, diakses tanggal 11 Oktober 2015.

Institut Akuntan Publik Indonesia. (2011). Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta: Salemba Empat.

Kenyon. (2006). Potential Red Flags and Fraud DetectionTechniques A Guide to Forensic Accounting Investigation.

Molida, R. (2011). Pengaruh Financial Stability, Personal Financial Need dan Ineffective Monitoring pada Financial Statement Fraud dalam Perspektif Fraud Triangle. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Nabila, A. (2013). Deteksi Kecurangan Laporan Keuangan Dalam Perspektif Fraud Triangle. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Rahmanti, M. (2013). Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan Melalui Faktor Risiko Tekanan dan Peluang. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Silverstone, dkk, (2007). Forensic Accounting and Fraud Invstigation for Non-Expertsm. New Jersey John: Wiley & Sons Inc.

Singleton, T. & Singleton, A. (2010). Fraud Auditing And Forensic Accounting. New York: John Wiley and Sons, inc.

Skousen, C. (2009). Detecting and Predicting Financial Statement Fraud: The Effectiveness of The Fraud Triangle and SAS No. 99. Journal of Advances in Financial Economics. Vol. 13.

Vona, L.  (2008). Fraud Risk Assessment: Building A Fraud Audit Program. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Winardi, R. & Permana, Y. (2015). Pengaruh Skeptisme Profesional Dan Narsisme Klien Terhadap Penilaian Auditor Eksternal Atas Risiko kecurangan. Skripsi. Universitas Gadjah Mada.