PENETAPAN MATERIALITAS, RISIKO AUDIT, DAN PENYUSUNAN PROGRAM AUDIT

Felicia Christina INDARTO & DANIEL SUGAMA STEPHANUS

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

UNIVERSITAS MA CHUNG MALANG

2010

  1. Materialitas

PSA No.25 merupakan pedoman bagi auditor dalam mempertimbangkan materialitas pada saat perencanaan dan pelaksanaan audit atas laporan keuangan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia. Materialitas merupakan besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas suatu pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.

Menurut Ribery (2008) ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam penerapan materialitas, yaitu:

  1. menetapkan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas,
  2. mengalokasikan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas ini ke dalam segmen dua ( tahap satu dan dua yang merupakan perencanaan tentang rentang audit),
  3. mengestimasikan total kesalahan penyajian yang terdapat dalam segmen,
  4. mengestimasikan kesalahan penyajian gabungan, dan
  5. membandingkan antara estimasi gabungan dan pertimbangan awal atau pertimbangan yang telah direvisi tentang tingkat materialitas (tahap tiga sampai lima yang merupakan evaluasi hasil).

Dalam perencanaan auditnya, auditor akan melakukan pertimbangan awal mengenai tingkat materialitas. Penentuan materialitas ini sering disebut sebagai materialitas perencanaan. Materialitas perencanaan ini mungkin akan berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena perubahan keadaan yang melingkupi dan tambahan informasi tentang klien yang dapat diperoleh selama berlangsungnya proses audit.

Pertimbangan awal tentang materialitas selanjutnya adalah nilai maksimum yang diyakini auditor merupakan kandungan kesalahan penyajian yang mungkin masih terdapat dalam laporan keuangan dan tetap tidak mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil oleh para pengguna laporan keuangan. Ribery (2008) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertimbangan, yaitu:

  1. materialitas lebih merupakan konsep yang relatif bukan absolut,
  2. sejumlah dasar pertimbangan diperlukan untuk mengevaluasi tingkat materialitas, dan
  3. faktor-faktor kualitatif pun mempengaruhi tingkat materialitas. Contohnya, nilai-nilai yang melibatkan kecurangan seringkali dianggap lebih penting daripada sejumlah nilai yang sama tetapi yang diakibatkan oleh kekeliruan yang tidak disengaja karena perbuatan kecurangan tersebut merefleksikan kejujuran serta reliabilitas manajemen atau karyawan lain yang terlibat.

Materialitas dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

  1. Materialitas pada tingkat laporan keuangan

Dalam menerapkan materialitas, auditor dapat menggunakan dua cara, yaitu menggunakan materialitas dalam perencanaan audit, dan pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanaan audit.

  • Materialitas pada tingkat saldo akun

Materialitas pada tingkat saldo akun merupakan salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material.

Dalam melakukan alokasi materialitas, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut. Dalam blognya, Ribery (2008) mengatakan bahwa ada beberapa kesulitan yang dialami oleh auditor dalam mengalokasikan tingkat materialitas ke akun-akun neraca, yaitu:

  1. auditor memiliki ekspektasi bahwa sejumlah akun tertentu mengandung lebih banyak salah saji daripada akun-akun lainnya,
  2. baik salah saji lebih (overstatement) maupun salah saji kurang (understatement) harus tetap dipertimbangkan, dan
  3. biaya-biaya audit secara relevan mempengaruhi pengalokasian ini.

Salah saji dapat terjadi akibat adanya kekeliruan atau kecurangan. Dalam PSA No.25 seksi 4 dikatakan bahwa laporan keuangan mengandung salah saji material apabila laporan keuangan tersebut mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual atau keseluruhan, cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. PSA No.25 seksi 5 menyebutkan bahwa auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa salah saji yang disebabkan karena kekeliruan atau kecurangan, tidak material terhadap laporan keuangan.

Kekeliruan merupakan salah saji atau penghilangan yang tidak disengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan. Yang termasuk dalam kategori kekeliruan menurut PSA No.25 seksi 6 adalah:

  1. Kesalahan dalam pengumpulan atau pengolahan data yang menjadi sumber penyusunan laporan keuangan.
  2. Estimasi akuntansi yang tidak masuk akal yang timbul dari kecerobohan atau salah tafsir fakta.
  3. Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah klasifikasi cara penyajian, atau pengungkapan.

Ada dua tipe salah saji yang dapat menjadi pertimbangan auditor dalam audit laporan keuangan, yaitu:

  1. Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan.
  2. Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva.

Faktor utama yang dapat membedakan antara kecurangan dan kekeliruan adalah tindakan yang mendasarinya, yang mengakibatkan salah saji dalam laporan keuangan, merupakan tindakan yang disengaja atau tidak disengaja. Auditor tidak bertanggung jawab dalam membedakan kekeliruan dan kecurangan, tetapi tanggung jawab auditor adalah memperoleh keyakinan bahwa laporan keuangan bebas saji material.

Tanggapan setiap auditor mengenai salah saji yang terdeteksi biasanya berbeda-beda. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh auditor dalam melakukan pertimbangan salah saji material adalah:

  1. Auditor harus mempertimbangkan sifat dan jumlah pos dalam laporan keuangan yang diaudit, baik secara individual maupun gabungan.
  2. Pertimbangan tersebut merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan.
  3. Pertimbangan tersebut hendaknya dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangan kualitatif maupun kuantitatif.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada KAP Benny, Tony, Frans, dan Daniel, Enny Sukotjo selaku senior audit yang merupakan subyek yang diwawancarai mengatakan bahwa materialitas merupakan suatu konsep yang sifatnya relatif. Dalam menentukan tingkat materialitas KAP Benny, Tony, Frans, dan Daniel tidak menentukannya dalam persentase. Penetapan materialitas tergantung dari tingkat profesionalitas seorang akuntan. Selain itu, auditor juga memerlukan pengalaman dalam menentukan atau menetapkan materialitas. Tingkat materialitas tersebut dipengaruhi oleh tanggung jawab seorang akuntan terhadap publik atau masyarakat. Penetapan tingkat materialitas itu tergantung pada sejauh mana salah saji dapat mempengaruhi pendapat dari pemakai laporan keuangan. Bila pengaruhnya besar, maka tingkat materialitas pos atau akun tersebut tinggi. Begitu pula sebaliknya, bila salah saji tersebut tidak berpengaruh terhadap opini user, maka tingkat materialitas dari pos tersebut dapat dikatakan rendah. Setiap barang memiliki tingkat materialitas yang berbeda-beda. Untuk barang yang jumlahnya banyak, maka kehilangan sedikit barang dapat dikatakan tidak material. Namun, untuk barang yang jumlah produksinya sedikit, kehilangan satu atau dua barang dapat dikatakan material.

Jika auditor menemukan suatu kehilangan barang yang bersifat material, maka auditor tersebut harus menelusuri kemana perginya barang tersebut dengan mencari bukti-bukti transaksi. Bukti transaksi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, bukti intern, dan bukti ekstern. Seorang auditor lebih menghargai bukti ekstern daripada bukti intern sebab bukti intern memiliki tingkat validitas di bawah bukti ekstern. Tingkat materialitas yang tinggi pada akhirnya akan mengakibatkan tingginya risiko audit.

Menurut Bu Enny, human error dan fraud dapat diketahui berdasarkan dari pengalaman. Human error dapat terjadi karena kurangnya kemampuan sumber daya manusia di dalam perusahaan tersebut. Di sisi lain, SPI yang tidak dapat menunjang tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya human error.

Fraud dapat dilakukan secara perseorangan maupun kelompok. Fraud dapat terjadi karena adanya insentif atau tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Seseorang dapat melakukan fraud karena adanya tekanan dari lingkungannya, baik dari atasan maupun rekan kerja. Dalam suatu perusahaan dapat terjadi kecurangan apabila terdapat kesempatan seperti rangkap jabatan, dan lain sebagainya.

Dari pembahasan mengenai materialitas berdasarkan teori maupun prakteknya, dapat ditemukan beberapa kesamaan, yaitu materialitas merupakan suatu hal yang sifatnya relatif. Dalam menentukan tingkat materialitas, seorang auditor harus mempertimbangkan banyak faktor. Baik dari jumlah barang, jumlah yang hilang, dan lain sebagainya. Hal itu dikarenakan oleh perbedaan tingkat materialitas pada setiap barang.

Kemudian, seorang auditor harus jeli dalam menemukan dan mempertimbangkan salah saji yang terjadi, apakah salah saji tersebut merupakan human error atau merupakan bentuk kecurangan (fraud). Fraud dapat terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kecurangan. Sedangkan, human error atau salah saji dapat terjadi karena kurang menunjangnya fasilitas dan sistem yang ada di perusahaan tersebut. Tingkat materialitas dapat ditentukan secara kualitatif atau kuantitatif. KAP Benny, Tony, Frans, dan Daniel menentukan tingkat materialitas secara kualitatif.

Dalam proses penentuan tingkat materialitas sangat dibutuhkan pengalaman dan profesionalitas seorang auditor, sebab auditor memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pemakai laporan keuangan auditan. Jika auditor tidak dapat bertanggung jawab atas hasil pekerjaannya, seperti membuat kesalahan pada penentuan tingkat materialitas, maka pihak yang dirugikan adalah pemakai laporan keuangan tersebut. Bahkan hal tersebut dapat berdampak buruk terhadap citra kantor akuntan publik tersebut.

  • Risiko Audit

Untuk menentukan risiko audit, auditor juga harus mengacu pada PSA No.25. Menurut PSA No.25 seksi 2, risiko audit adalah risiko yang timbul karena auditor tanpa disadari tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.

Pada tingkat saldo akun atau golongan transaksi, risiko audit dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Risiko (meliputi risiko bawaan dan risiko pengendalian) bahwa saldo akun atau golongan transaksi mengandung salah saji (disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan) yang dapat menjadi material terhadap laporan keuangan apabila digabungkan dengan salah saji pada saldo akun atau golongan transaksi lainnya, dan
  2. Risiko (risiko deteksi) bahwa auditor tidak akan mendeteksi salah saji tersebut.

Berikut adalah pembahasan mengenai ketiga tipe risiko audit, yaitu risiko bawaan (inherent risk), risiko pengendalian (control risk), dan risiko deteksi (detection risk).

  1. Risiko Bawaan (inherent risk)

PSA No. 25 seksi 27 menyatakan bahwa risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yang terkait. Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko bawaan adalah besarnya saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain, faktor ekstern yang salah satunya adalah perkembangan teknologi, dan faktor yang berhubungan dengan beberapa atau seluruh saldo akun atau golongan transaksi yang mempengaruhi risiko bawaan.

  • Risiko Pengendalian (control risk)

Berdasarkan PSA No.25 seksi 27, risiko pengendalian merupakan risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektivitas desain dan operasi pengendalian intern untuk mencapai tujuan entitas yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan entitas. Beberapa risiko pengendalian akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap dalam setiap pengendalian intern.

  • Risiko Deteksi (detection risk)

Menurut PSA No.25 seksi 27, risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko ini merupakan fungsi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut telah diperiksa 100%. Ketidakpastian lain juga dapat timbul akibat auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, keliru dalam menerapkan prosedur yang semestinya, atau menafsirkan hasil audit secara keliru. Ketidakpastian tersebut dapat dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervise memadai dan pelaksanaan praktik audit yang sesuai dengan standar pengendalian mutu.

Risiko bawaan dan risiko pengendalian berbeda dengan risiko deteksi. Risiko bawaan dan risiko pengendalian selalu ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi memiliki hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima. Komponen risiko audit tersebut dapat ditentukan secara kuantitatif (dalam bentuk persentase) atau secara nonkuantitatif (misalnya, minimum sampai maksimum).

Dalam menetapkan risiko bawaan, auditor harus mengevaluasi berbagai faktor yang memerlukan pertimbangan profesional. Auditor tidak hanya mempertimbangkan faktor yang secara khusus berhubungan dengan saldo akun atau golongan transaksi tersebut, tetapi juga faktor-faktor lain yang terdapat dalam laporan keuangan secara keseluruhan, yang dapat mempengaruhi risiko bawaan yang berhubungan dengan saldo akun atau golongan transaksi tersebut.

Auditor juga harus menggunakan pertimbangan profesional dalam menetapkan risiko pengendalian. Penetapan risiko pengendalian didasarkan atas cukup atau tidaknya bukti audit yang mendukung efektivitas pengendalian dalam mencegah dan mendeteksi salah saji asersi dalam laporan keuangan. Auditor dapat melakukan penetapan risiko bawaan dan risiko pengendalian secara terpisah atau secara gabungan.

Risiko deteksi yang dapat diterima tergantung pada tingkat uang diinginkan untuk membatasi risiko audit suatu saldo atau pengendalian. Apabila penetapan auditor terhadap risiko bawaan dan risiko pengendalian menurun, maka risiko deteksi yang dapat diterimanya akan meningkat.

Menurut Enny Sukotjo, besaran risiko audit dapat ditentukan melalui hasil survey yang telah dilakukan sebelumnya. Jika pada saat negosiasi auditor telah mengetahui bahwa risiko audit proyek tersebut besar, maka proyek tersebut lebih baik tidak diterima. Hal itu dikarenakan oleh dampak dari proyek tersebut terhadap citra KAP. Bila proyek tersebut diterima, maka kemungkinan besar auditor akan memberikan opini audit yang buruk, misalnya disclaimer. Opini audit seperti itu dapat merusak citra dari KAP itu sendiri. Selain itu, opini audit juga dapat dijadikan alat bukti dalam pengadilan bila ternyata perusahaan yang diaudit tersebut bermasalah dalam bidang hukum. Selain itu, sebagai auditor harus dapat menjalankan program audit dengan baik agar risiko audit yang akan dihadapi tidak terlalu tinggi.

Enny Sukotjo juga menyebutkan bahwa, risiko deteksi juga mencakup bukti audit yang dibutuhkan oleh auditor, meliputi jumlah maupun jenis dari bukti tersebut. Untuk risiko inheren yang tinggi dalam suatu pos atau rekening, maka akan dibutuhkan bukti dalam jumlah yang lebih banyak. Artinya, dalam kondisi seperti itu, lebih baik tidak dilakukan sampling. Apalagi dalam melakukan penugasan audit yang pertama.

KAP Benny, Tony, Frans, dan Daniel menetapkan bahwa tidak ada sistem sampling jika audit dilakukan pertama kali (penugasan pertama). Maka, audit akan dilakukan 100%. Auditor selalu menganggap bahwa risiko inheren yang dihadapi pada saat melakukan audit yang pertama pada suatu perusahaan tersebut tinggi, sebab auditor masih belum mengenal secara mendalam kondisi perusahaan tersebut, seperti SPI klien, dan lain sebagainya. Namun, pada tahun kedua atau ketiga, risiko inheren tersebut akan mulai diturunkan tingkatannya, sehingga sistem sampling dapat mulai digunakan. Tetapi, auditor perlu berhati-hati dalam menggunakan sistem sampling, sebab sample tersebut harus mampu mewakili seluruh populasi.

Ada beberapa pos atau rekening yang biasanya memiliki tingkat risiko yang tinggi, misalnya kas, bank, dan persediaan. Maka, biasanya rekening-rekening tersebut perlu diperiksa secara menyeluruh. Namun, pos yang paling berisiko tinggi adalah pos persediaan. Menurut pengalaman Bu Enny, banyak kasus fraud yang terjadi di bagian persediaan seperti pencurian bahan baku, dan lain sebagainya.

Risiko deteksi dapat diminimalisir dengan memperhatikan transaksi-transaksi yang jarang dilakukan oleh perusahaan, misalkan transaksi penjualan kendaraan, peremajaan aktiva tetap, dan lain-lain. Bila transaksi-transaksi tersebut jarang dilakukan, maka risiko salah pencatatannya pun tinggi. Auditor perlu memperhatikan metode-metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat transaksi tersebut, apakah sudah sesuai dengan SAK atau tidak. Risiko audit dapat meningkat bila tingkat materialitasnya juga tinggi.

Pada praktiknya Bu Enny mengatakan bahwa risiko audit tidak dibagi menjadi tiga bagian (bawaan, pengendalian, dan deteksi). Seorang auditor hanya menjalankan audit berdasarkan program dan prosedur audit. Risiko audit hanya sebagai risiko audit, artinya tidak dibedakan menjadi risiko bawaan, risiko pengendalian, maupun risiko deteksi.

Setelah dibahas mengenai risiko audit, baik secara teoritis maupun pada aplikasinya, dapat diketahui bahwa pada kenyataannya tidak ada pembagian risiko audit menjadi risiko bawaan, risiko pengendalian, dan risiko deteksi. Besarnya risiko audit dapat ditentukan berdasarkan hasil survey dan tingkat materialitas. Semakin banyak salah saji yang dilakukan oleh perusahaan yang diaudit, maka risiko audit yang dihadapi oleh auditor akan semakin besar.

Dalam menetapkan risiko audit, auditor perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Bila dirasa risiko audit yang akan dihadapi terlalu besar dan dapat merugikan posisinya sebagai auditor, lebih baik proyek tersebut ditolak daripada dilaksanakan tetapi pada akhirnya akan memberikan opini audit yang buruk.

Untuk meminimalkan risiko audit, auditor dapat memperbanyak bukti-bukti audit, atau bahkan melakukan audit menyeluruh. Seperti yang dikatakan oleh Bu Enny bahwa sebaiknya seorang auditor melakukan audit menyeluruh bila audit tersebut dilakukan saat kali pertama. Selain itu, pemeriksaan terhadap transaksi-transaksi yang jarang dilakukan juga dapat membantu minimalisasi risiko audit, terutama risiko deteksi.

Dalam menentukan besaran risiko audit, seorang auditor juga memerlukan pengalaman dan profesionalitas. Sebab pekerjaan dari seorang auditor akan digunakan oleh masyarakat. Bila auditor melakukan kesalahan dalam penentuan risiko, maka masyarakat yang akan menggunakan laporan audit tersebut lah yang akan dirugikan, yang pada akhirnya akan berdampak pada citra auditor itu sendiri.

  • Program Audit

Program audit merupakan kumpulan prosedur audit yang dibuat tertulis, rinci, dan dijalankan untuk mencapai tujuan audit (akan lebih baik jika audit program dibuat terpisah untuk compliance test dan substantive test). Tujuan dari program audit adalah untuk mengetahui apakah penyajian laporan keuangan oleh manajemen dari sisi eksistensi atau keterjadian, kelengkapan, hak dan kewajiban, penilaian atau alokasi serta penyajian dan pengungkapan dapat dipercaya, wajar dan tidak menyesatkan terhadap pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan tersebut.

Manfaat dari program audit yaitu, sebagai petunjuk kerja yang harus dilakukan asisten dan instruksi bagaimana harus menyelesaikan. Program audit juga dapat menjadi dasar untuk koordinasi, pengawasan, dan pengendalian pemeriksaan. Selain itu, program audit juga dapat digunakan sebagai dasar penilaian kerja yang dilakukan klien.

Program audit disusun setelah penyusunan perencanaan audit, tetapi sebelum pemeriksaan lapangan dimulai. Program audit disusun secara standardisasi untuk semua klien dan harus sesuai dengan kondisi dan situasi klien (tailor made). Menurut Triyatmoko (2009), ada beberapa pengujian yang termasuk dalam program audit, yaitu:

  1. Prosedur analitis

Prosedur ini meneliti hubungan yang dapat diterima antara data keuangan dan data non keuangan untuk mengembangkan harapan atas saldo laporan keuangan.

  • Prosedur awal

Prosedur awal merupakan prosedur untuk memperoleh pemahaman atas faktor persaingan bisnis dan industri klien, serta struktur pengendalian internalnya. Auditor juga melaksanakan prosedur awal untuk memastikan bahwa catatan-catatan dalam buku pembantu sesuai dengan pengendali dalam buku besar.

  • Pengujian estimasi akuntansi

Pengujian ini meliputi pengujian substantive atas saldo

  • Pengujian pengendalian

Pengujian pengendalian adalah pengujian pengendalian internal yang ditetapkan oleh strategi audit dari auditor.

  • Pengujian transaksi

Pengujian ini adalah pengujian substansif yang terutama meliputi tracing atau vouching transaksi berdasarkan bukti documenter yang mendasari.

  • Pengujian saldo

Pengujian saldo berfokus pada perolehan bukti secara langsung tentang saldo akun serta item-item yang membentuk saldo tersebut.

  • Pengujian penyajian dan pengungkapan

Pengujian ini mengevaluasi penyajian secara wajar semua pengungkapan yang dipersyaratkan oleh GAAP.

Program audit yang baik harus mencantumkan tujuan pemeriksaan (audit objective), prosedur audit yang akan dijalankan, dan kesimpulan pemeriksaan. Ada tiga jenis prosedur audit program yang dapat dilakukan, yaitu:

  1. Prosedur audit program untuk Compliance Test

Compliance test merupakan tes yang dilakukan terhadap bukti pembukuan untuk mengetahui apakah setiap transaksi yang terjadi sudah diproses dan dicatat sesuai dengan sistem dan prosedur yang ditetapkan manajemen. Dalam melaksanakan compliance test, auditor harus memperhatikan kelengkapan bukti pendukung. Kebenaran perhitungan matematis, otoritas dari pejabat perusahaan yang berwenang, kebenaran nomor perkiraan yang di debit / kredit, dan kebenaran posting ke buku besar dan sub buku besar.

  • Prosedur audit program untuk Substantive Test

Substantive test adalah tes terhadap kewajaran saldo perkiraan laporan keuangan. Prosedur pemeriksaan yang dilakukan dalam substantive test, meliputi inventarisasi aktiva tetap; observasi atas stock opname; konfirmasi piutang, utang, dan bank; subsequent collection dan subsequent payment; cash opname; pemeriksaan rekonsiliasi bank; dan lain sebagainya.

  • Prosedur audit program untuk keduanya

Menurut hasil wawancara, Enny Sukotjo mengatakan bahwa sebelum menyusun program audit, hal yang harus dilakukan pertama kali adalah melakukan negosiasi dengan klien. Pada saat negosiasi, auditor pasti ingin mengetahui mengenai profil perusahaan. Selain itu, auditor juga harus mengetahui tentang sifat bisnis klien. Sifat bisnis klien tersebut mencakup besar atau kecilnya perusahaan, baik perusahaan tunggal, perusahaan induk, ataupun merupakan cabang. Selain itu, perusahaan milik klien tersebut berada di dalam kota, luar kota, atau bahkan di luar pulau. Auditor juga perlu mengetahui jenis audit apa yang diinginkan oleh klien, apakah audit operasional, audit ketaatan, atau audit laporan keuangan. Jenis audit tersebut digunakan juga untuk menentukan besaran fee. Bila sebuah kantor akuntan publik baru ditunjuk pertama kali untuk melakukan audit, sebagai auditor perlu meminta hasil audit yang dilakukan oleh KAP sebelumnya. Kemudian, auditor juga perlu mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan klien, seperti investor, kreditor, konsumen, dan supplier.

Setelah melakukan negosiasi dan telah terdapat kesepakatan dengan klien, maka auditor akan mulai melakukan survey. Data apa saja yang diperlukan atau diminta pada saat survey ditentukan berdasarkan hasil negosiasi. Biasanya, data-data yang diminta kepada klien meliputi akte pendirian, perjanjian kredit dengan bank, rekening Koran, laporan keuangan (beserta buku penunjang seperti, rekening buku besar, buku pembantu baik hard copy maupun soft copy). Selain itu, struktur organisasi perusahaan klien merupakan hal penting yang harus diminta oleh auditor.

Survey dapat dilakukan dalam dua tahap. Pertama, auditor harus melakukan survey awal. Dalam survey awal, auditor tidak perlu meminta bukti-bukti, misalnya bukti transaksi. Bukti-bukti tersebut baru akan diminta pada saat auditor melakukan survey yang kedua yaitu, survey pendalaman. Pada saat dilakukannya survey, klien seharusnya mengungkapkan hubungan istimewa yang dimiliki oleh perusahaan. Sebagai contoh, terkadang pemegang saham dapat berperan sebagai investor namun juga bertindak sebagai pemasok, maka hal-hal seperti itu harus diungkapkan oleh pihak klien secara gamblang. Selain itu, hal yang terpenting dalam survey adalah pengetahuan auditor mengenai sistem operasi perusahaan klien, seperti mengenai prosedur pencatatan dan lain sebagainya.

Dalam melakukan survey mengenai sistem pengendalian internal (SPI) perusahaan klien, terkadang perusahaan tersebut tidak memiliki SPI secara tertulis, bahkan mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka telah memiliki SPI. Oleh karena itu, auditor harus melakukan survey secara lisan dengan menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan SPI sehingga klien dapat mengetahui apa sebenarnya SPI itu dan dapat menunjukkan data-data yang diperlukan untuk melakukan analisis SPI. Namun, sebagian perusahaan di Indonesia khususnya di kota kecil memiliki sistem pengendalian internal yang sangat sederhana.

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan survey dapat dikatakan relatif, sebab jangka waktu survey sangat bergantung pada ukuran perusahaan, jenis usaha, dan sifat bisnis dari perusahaan tersebut. Selain itu, kondisi SPI perusahaan juga dapat mempengaruhi lamanya survey dilakukan. Ketransparanan klien terhadap data-data yang dibutuhkan untuk audit pun juga dapat mempengaruhi jangka waktu survey. Bagi klien yang kurang transparan, auditor dapat memberikan pengertian mengenai perlunya auditor mendapatkan data-data perusahaan, sebab pada akhirnya sikap ketidaktransparanan klien tersebut dapat mempengaruhi opini audit.

Dalam menghadapi klien yang memiliki masalah dalam SPI-nya, seorang auditor harus melihat terlebih dahulu apa masalah yang dihadapi oleh klien tersebut. Bila permasalahannya hanya sebatas ketidaktahuan klien mengenai aspek-aspek yang penting dalam SPI, maka auditor dapat bersedia membantu klien tersebut. Namun, bila permasalahan klien tersebut berkaitan dengan hokum dan nantinya dapat memberikan dampak yang buruk bagi KAP, maka sebaiknya klien seperti itu ditolak.

Sistem pengendalian internal klien dapat dianalisis berdasarkan hasil survey. Dalam menganalisis SPI, auditor harus ingat bahwa tujuan dari SPI adalah reliabilitas pelaporan keuangan, efisiensi dan efektifitas operasi, serta ketaatan pada hukum dan peraturan. Dari situ auditor dapat menilai sejauh mana manajemen perusahaan dapat mengelola perusahaan dengan tingkat tanggung jawab dan profesionalitas yang tinggi. Selain itu, auditor juga dapat menilai sebesar apa dari semua sumber daya di perusahaan klien yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Auditor juga perlu menilai perusahaan klien dari segi ketaatan dalam bidang perpajakan.

Dalam hal penentuan jenis audit, auditor bukan pihak yang menentukan jenis audit apa yang akan dilakukan, tetapi penentuan itu adalah hak dari klien. Artinya, jenis audit ditentukan sendiri oleh klien. Sedangkan, cakupan audit ditentukan berdasarkan kondisi perusahaan. Semakin buruk kondisi perusahaan tersebut, maka cakupan auditnya pun akan semakin luas. Begitu pula sebaliknya, semakin bagus sistem yang digunakan dalam perusahaan, maka semakin sedikit pekerjaan auditor dalam mengaudit perusahaan tersebut.

Jumlah auditor yang dibutuhkan untuk melakukan audit pada suatu perusahaan tergantung pada ukuran perusahaan, jenis audit yang akan dilakukan, dan kompleksitas dari perusahaan tersebut. Biasanya, pelaksanaan audit untuk perusahaan yang tidak terlalu kompleks hanya dibutuhkan satu hingga dua orang auditor. Namun, bila perusahaan yang akan ditangani tersebut memiliki kondisi yang kompleks, maka auditor yang dibutuhkan bisa lebih dari dua orang.

Dalam menjalankan program audit, auditor harus menjalankannya sesuai dengan jadwal yang telah ditentunkan. Oleh karena itu, perencanaan dan program audit harus disusun dengan sebaik mungkin. Bila terjadi kekurangan waktu, misalnya dalam melakukan survey, jangka waktu survey tersebut bisa ditambah. Artinya, jangka waktu yang tertera pada program audit tersebut dapat dikatakan fleksibel.

KAP Benny, Tony, Frans, dan Daniel ini sudah memiliki pedoman program audit. Jadi, untuk setiap jenis audit, mereka telah memiliki standar program audit yang baku, sehingga pada saat pelaksanaan audit program tersebut dapat digunakan dan tinggal disesuaikan dengan kondisi perusahaan yang akan diaudit saja. Mereka tidak perlu menyusun program audit yang baru.

Secara garis besar, sebelum menyusun program audit ada beberapa prosedur yang harus dilakukan oleh seorang auditor. Prosedur tersebut bermula dari proses negosiasi dengan klien. Proses negosiasi tersebut sangat perlu dilakukan untuk mengetahui apa jenis usaha klien, ukuran perusahaan klien, serta permintaan jenis audit klien.

Kemudian, bila telah terdapat kesepakatan antara auditor dan klien saat negosiasi, auditor dapat mulai melakukan analisis terhadap sistem pengendalian internal perusahaan tersebut melalui survey. Auditor harus mampu mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk proses audit pada saat melakukan survey.

Survey merupakan kegiatan yang harus tercantum dalam program audit. Dalam program audit akan disusun apa saja kegiatan yang harus dilakukan oleh auditor selama melakukan proses audit, jangka waktu audit, serta jumlah auditor yang diperlukan dalam melakukan proses audit. Berdasarkan hasil wawancara dengan senior auditor di KAP Benny, Tony, Frans, dan Daniel dapat diketahui bahwa sebuah KAP telah memiliki standar program audit, sehingga pada saat melakukan audit auditor tidak perlu membuat program audit yang baru namun hanya menyesuaikan dengan proyek audit yang baru.

KAP tersebut telah memiliki standar program audit untuk masing-masing jenis audit, juga berdasarkan jenis usaha klien. Misalnya, program audit untuk perusahaan dagang akan berbeda dengan program audit perusahaan manufaktur. Begitu pula dengan program audit untuk general audit akan berbeda dengan program audit untuk audit kompilasi.

  • Lokasi Wawancara

KAP Benny Tony, Frans, & Daniel

Jl. Majapahit 1D, Malang

Telp. 0341-325883, 365076

Fax. 0341-328528

Profil KAP:

Berdirinya KAP Kanto, Tony, Frans, & Darmawan sekitar tahun 2004–2005.

Pada tanggal 18 Oktober 2010, rekanan berganti menjadi KAP Benny Tony, Frans, & Daniel.

Jasa yang ditawarkan adalah jasa Insurance dan Non Insurance.

Jasa insurance merupakan jasa astestasi yang meliputi:

  1. Audit Report
  2. Laporan Kompilasi (review Laporan Keuangan)
  3. Astestasi Pengendalian Intern atas Laporan Keuangan

Jasa Non Insurance, meliputi:

  1. Jasa Akuntansi dan Pembukuan
  2. Jasa mengenai pajak
  3. Konsultasi manajemen

Struktur Organisasi:

KAP Benny Tony, Frans, & Daniel melayani perusahaan dagang, manufaktur, dan non profit misalnya: yayasan.

Subyek Wawancara:

Dra. Enny Sukotjo, Ak

email: ayfennefya@yahoo.com

HP: 08563525237

Riwayat Pendidikan:

Alumni SMAK Santo Albertus Malang

Alumni Universitas Airlangga Surabaya

Jabatan: Senior Auditor

Pengalaman Bekerja: memulai karir pada bulan Maret 1992

Referensi

Ikatan Akuntan Indonesia. Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta: Salemba Empat.

Ribery, Firman. 2008. Materialitas dan Risiko, (online), (http://ffirmann.wordpress.com/2008/11/08/materialitas-dan-resiko/), diakses 10 Desember 2010.

Triyatmoko. 2009. Bukti Audit, Tujuan Audit, Program Audit, dan Kertas Kerja Audit, (online), (http://triyatmoko.wordpress.com/2009/02/24/bukti-audit-tujuan-audit-program-audit-dan-kertas-kerja-audit/), diakses 10 Desember 2010.

Author: Daniel Sugama Stephanus

Power & Speed Metal is my music... Adventure is my hobby... Social transformation is my passion...

Leave a comment