PENGARUH TRANSAKSI DERIVATIF TERHADAP PERUBAHAN NILAI PERUSAHAAN DI PASAR MODAL

BAJRA YUDHA AKBAR & DANIEL S. STEPHANUS

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

UNIVERSITAS MA CHUNG MALANG

2010

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Melihat perkembangan pasar modal yang dikaitkan dengan pengaruh global, krisis moneter dan krisis ekonomi yang sempat melanda pada pertengahan 1997, telah memberikan tantangan yang sangat berat bagi perusahaan-perusahaan terutama pada perusahaan go public. Meskipun pada tahun 1999 krisis ekonomi dan krisis moneter telah berangsur-angsur pulih, tetapi perkembangan pasar modal belumlah semaksimal mungkin kembali seperti sebelumnya. Kebijakan moneter yang ditetapkan akibat krisis moneter dan prospek perusahaan yang semakin tidak jelas, secara langsung mempengaruhi perilaku pemodal dengan kinerja emiten atau perusahaan itu sendiri. Setiap harinya harga saham di pasar sekunder selalu bergerak, terkecuali saham-saham yang telah dikategorikan saham tidur ataupun tidak ada yang menginginkan saham tersebut. Perubahan ini disebabkan banyaknya perputaran saham atau frekuensi yang match (done) pada pasar sekunder. Saat permintaan pada suatu saham tinggi dan penawaran relatif tetap ataupun hanya bertambah sedikit, maka harga saham akan bergerak naik. Begitu pula sebaliknya, jika permintaan rendah maka harga saham akan bergerak turun. Tetapi kejadiannya tidak selalu berlangsung demikian, masih banyak faktor lain yang mempengaruhi perubahan harga saham tersebut. Peningkatan jumlah dan frekuensi perdagangan juga merupakan indikasi akan terjadinya pergerakan saham, baik itu naik atau turun (pola trading harian).

Naiknya suku bunga berjangka akibat kebijakan moneter menyebabkan para pemodal (investor) mencari alternatif lain yang lebih menguntungkan. Sehingga memberikan batas yang semakin sempit bagi peningkatan penanaman modal dalam saham-saham perusahaan yang dijual di bursa efek. Persoalan yang timbul adalah sejauh mana perusahaan mampu mempengaruhi harga saham di pasar modal, dan faktor atau variabel apa saja yang dapat dijadikan indikator sehingga memungkinkan perusahaan untuk mengendalikan dengan stabil keuntungannya sehingga tujuan perusahaan untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan nilai saham yang diperdagangkan di pasar modal dapat tercapai. Pemain saham atau investor perlu memiliki sejumlah informasi yang berkaitan dengan dinamika harga saham agar dapat mengambil keputusan tentang saham yang layak dipilih. Untuk itu perlu adanya informasi yang terpercaya dan akurat tentang kinerja keuangan perusahaan, manajemen perusahaan, kondisi ekonomi makro, dan informasi relevan lainnya untuk menilai saham secara akurat. Studi Utami dan Suharmadi (1998) menunjukkan bahwa faktor fundamental perusahaan memegang peranan penting dalam proses pengambilan keputusan. Penilaian saham secara akurat dapat meminimalkan resiko sekaligus membantu investor mendapatkan keuntungan wajar, mengingat investasi saham di pasar modal merupakan jenis investasi yang cukup beresiko tinggi meskipun menjanjikan keuntungan yang relatif besar.

Saham perusahaan go public sebagai komoditi investasi tergolong beresiko tinggi karena sifat komoditinya yang sangat peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik perusahaan di dalam negeri maupun di luar negeri, perubahan di bidang politik, ekonomi, moneter, undang-undang atau peraturan maupun perubahan yang terjadi di dalam perusahaan itu sendiri (kepemimpinan, manajemen personalia, proses produksi, pendistribusian, dan sebagainya). Perubahan-perubahan tersebut dapat berdampak positif dan negatif. Investasi di pasar modal sekurang-kurangnya perlu memperhatikan dua hal, yaitu keuntungan yang diharapkan dan resiko yang mungkin terjadi. Ini berarti investasi dalam bentuk saham menjanjikan keuntungan sekaligus resiko. Kelaziman yang sering dijumpai adalah bahwa semakin besar return yang diharapkan, semakin besar persentase risiko yang terjadi. Botten dan Weigand (1998) mengatakan bahwa ekspektasi untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar di masa mendatang berpengaruh positif terhadap harga saham. Studi dari Purnomo (1998) dan Topkis (1998) mengatakan bahwa earning per share (EPS) berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham. Pemilikan saham yang baik akan dilihat seiring berjalannya waktu dengan perbandingan pendapatan perusahaan (earning).

Investor saham mempunyai kepeningan terhadap informasi antara lain tentang EPS dan transaksi derivatif dalam penentuan harga saham. Pada analisis EPS (Earning per Share) yang dilakukan investor menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk mendapatkan laba bersih setiap lembar saham yang diedarkan perusahaan tersebut yang merupakan indikator fundamental. Keuntungan perusahaan yang seringkali dipakai sebagai acuan pengambilan keputusan investasi dalam saham. Analisis EPS ini mencakup seluruh kinerja perusahaan karena yang dilihat adalah hasil akhirnya, yaitu laba bersih. Tentu saja jika suatu perusahaan menghasilkan laba bersih yang tinggi maka kinerjanya akan dinilai baik dan mempunyai prospek ke depan yang dapat diharapkan oleh para investor. Pengaruhnya yang lain adalah pada besarnya saldo laba. Saldo laba ini sebenarnya adalah milik investor atau stockholder. Namun perusahaan juga membutuhkan laba ditahan yang dipergunakan sepenuhnya sebagai pendanaan atau diinvestasikan kembali untuk proyek-proyek lain dari perusahaan yang dapat meningkatkan pertumbuhan perusahaan. Namun di pihak lain, pemegang saham membutuhkan pembagian dividen yang tinggi untuk meningkatkan pengembalian. Dengan adanya pertimbangan nilai EPS yang tinggi sebelumnya, pihak manajemen dapat melakukan tawar menawar kepada pihak investor tentang penggunaan saldo laba tersebut. Pihak manajemen harus pandai-pandai mempresentasikan penggunaan saldo laba tersebut kepada pihak investor agar pembagian saham tidak terlalu tinggi dan berpihak pada investor sepenuhnya. Oleh karena itu, kebijakan dividen ini diharapkan dapat memenuhi harapan-harapan para investor di satu sisi dan di sisi lain tidak menghambat pertumbuhan perusahaan. Sehingga analisis EPS ini sering dilakukan pertama kali oleh investor sebagai informasi yang akurat secara garis besar.

Transaksi derivatif akhir-akhir ini sering dilakukan oleh banyak perusahaan di Indonesia. Perlakuannya yang hampir mirip saham dan obligasi ini marak untuk diperjualbelikan. Karakter setiap perusahaan yang hampir sama yang membutuhkan aliran dana yang lancar tidak sungkan-sungkan menawarkan instrument-instrumen derivatif demi kelangsungan perusahaan. Instrumen derivatif yang dulunya masih melekat pada saham sekarang dapat dipisahkan karena permintaan yang tinggi sebagai akibat dari kebiasaan bisnis di Amerika yang melakukan hal serupa. Transaksi ini dirasa menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan di tanah air ini, tetapi dengan pertimbangan yang kurang matang. Perusahaan dalam negeri yang mudah sekali tergiur dengan keuntungan dan trend menjadi tidak memikirkan dampak negatifnya. Akibatnya kasus subprime mortgage menghantam semua perusahaan di dunia. Tentu saja Indonesia terkena imbasnya juga.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan hal-hal pokok menjadi permasalahan: Apakah transaksi derivatif mempengaruhi perubahan nilai perusahaan di pasar modal ?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis artikel ini adalah :

  1. Untuk mengetahui tolok ukur yang kuat untuk memilih perusahaan yang berprospek baik sebagai sasaran investasi.
  2. Untuk mengetahui instrumen-instrumen penting pada transaksi derivatif yang berhubungan dengan perubahan nilai perusahaan.
  3. Untuk mengetahui dampak-dampak pemanfaatan instrument pasar modal (derivatif) yang berlebihan yang sering terjadi pada perusahaan secara global.
  4. Untuk mengetahui solusi yang tepat untuk menangani kasus-kasus transaksi derivatif yang banyak menimpa perusahaan.
  5. Pembelajaran pencarian solusi yang terdapat pada studi kasus.

Manfaat Penelitian

Penyusunan makalah yang berjudul tentang pengaruh transaksi derivatif terhadap perubahan nilai perusahaan di pasar modal ini diharapkan memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi para pihak.

  1. Secara teoritis

Pembahasan ini berguna untuk kelengkapan dan perkembangan pengetahuan di bidang perekonomian guna mengetahui tolok ukur yang kuat antara derivatif perubahan nilai perusahaan di pasar modal.

  1. Secara praktis
  1. Bagi para akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang perekonomian selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk pembahasan lebih lanjut.
  2. Bagi investor, penelitian ini dapat dijadikan wacana sebagai sarana pembenahan diri dan solusi untuk mencapai keamanan berinvestasi dalam bentuk saham yang terkenal beresiko tinggi.
  3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan wacana untuk mengenal instrumen-instrumen pasar modal yang salah satunya dijadikan penyebab pemicu krisis keuangan dunia.

LANDASAN TEORI

Mengenal Pasar Modal

Pengertian Pasar Modal: Pasar Modal adalah suatu tempat yang menampung kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek (Surat Berharga) yang di dalamnya mencakup perusahaan-perusahaan yang sudah go public dan pelaku-pelaku pasar lainnya baik lembaga maupun profesi yang berkaitan dengan Efek. Pasar ini juga dapat disebut sebagai pasar sekunder.

Lembaga Penunjang Pasar Modal

Bursa efek: Adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek dari pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. Pengertian ini mencakup pula sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek, meskipun sistem dan atau sarana tersebut tidak mencakup sistem dan atau sarana untuk memperdagangkan Efek.

Biro Administrasi Efek (BAE): Adalah pihak yang berdasarkan kontrak dengan Emitan melaksanakan pencatatan pemilikan Efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan Efek.

Kustodian: Adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima deviden, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. Kegiatan usaha sebagai Kustodian tersebut dapat diselenggarakan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP), Perusahaan Efek, atau Bank Umum yang telah mendapatkan persetujuan Bapepam.

Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian: Adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan pihak-pihak lain. Saat ini dilakukan oleh PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI)

Bank Kustodian: Adalah pihak yang memberikan jasa Penitipan Kolektif dan harta lainnya yang berkaitan dengan Efek. Penitipan Kolektif yang dimaksud di sini adalah jasa penitipan atas Efek yang dimiliki bersama oleh lebih dari satu pihak yang kepentingannya diwakili oleh Kustodian.

Lembaga Kliring dan Penjaminan: Adalah pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa, yaitu kontrak yang dibuat oleh anggota Bursa Efek, yaitu perantara pedagang Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam dan mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan atau sarana Bursa Efek menurut peraturan Bursa Efek yang sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual dan beli Efek, pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek atau harga Efek. Saat ini dilakukan oleh PT. Kliring Penjaminan efek Indonesia (KPEI)

Wali Amanat: Adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek bersifat utang. Bank Umum akan bertindak sebagai Wali Amanat wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam untuk mendapatkan Surat Tanda Terdaftar sebagai Wali Amanat.

Pemeringkat Efek: Adalah pihak yang menerbitkan peringkat-peringkat bagi surat utang (debt securities), seperti obligasi dan commercial paper. Sampai saat ini, Bapepam telah memberikan izin usaha kepada dua Perusahaan Pemeringkat Efek, yaitu PT. Pefindo dan PT. Kasnic Duff & Phelps Credit Rating Indonesia.

Profesi Penunjang Pasar Modal

Akuntan Publik: Adalah pihak yang memberikan pendapat atas kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha serta arus kas sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Akuntan yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam untuk mendapatkan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal untuk Akuntan.

Konsultan Hukum: Konsultan Hukum yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam untuk mendapatkan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal untuk Konsultan Hukum.

Penilai: Adalah pihak yang melakukan penilaian terhadap aktiva tetap perusahaan. Penilai yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam untuk mendapatkan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal untuk Penilai.

Penasihat Investasi: Adalah pihak yang memberikan nasihat kepaa pihak lain mengenai penjualan atau pembelian efek dengan memperoleh imbalan jasa.

Notaris: Adalah pejabat umum yang berwenang membuat Akta Anggaran Dasar dan Akta Perubahan Anggaran Dasar termasuk pembuatan Perjanjian Penjaminan Emisi Efek, Perjanjian Antar Penjamin Emisi Efek, Perjanjian Perwaliamanatan, Perjanjian Agen Penjual, dan perjanjian lain yang diperlukan. Notaris yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam untuk mendapatkan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal untuk Notaris.

Pelaku Pasar Modal

Perusahaan Efek: Adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi.

Penjamin Emisi Efek: Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek berarti perusahaan membuat kontrak dengan Emiten atau perusahaan lain untuk melakukan penawaran umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.

Perantara Pedagan Efek: Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek berarti perusahaan melakukan kegiatan usaha jual dan beli Efek untuk kepentingan sendiri atau pihak lain.

Manajer Investasi: Perusahaan Efek sebagai Manajer Investasi berarti perusahaan melakukan kegiatan usahanya dengan mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola Portofolio Investasi Kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dan pension, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Emiten: Adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. Sedangkan Penawaran Umum yang dimaksud di sini adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efeknya kepada masyarakat untuk pertama kali berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya.

Perusahaan Publik (go public): Adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (Tiga Ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp.3.000.000.000,00 (Tiga Miliar Rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Investor atau Pemodal: Adalah pihak yang melakukan kegiatan investasi atau menanamkan modalnya di Pasar Modal. Investor yang dikenal di Pasar Modal terdiri dari investor perorangan dan kelembagaan.

Instrumen Atau Produk Pasar Modal

Instrumen atau produk yang diperdagangkan di Pasar Modal biasa disebut dengan Efek atau Surat Berharga. Banyak jenis-jenis Efek yang diperjualbelikan di Pasar Modal, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, dan kontrak berjangka atas Efek. Selain itu ada juga instrument atau produk di Pasar Modal yang merupakan turunan dari Efek, yaitu derivatif Efek, baik Efek yang bersifat utang maupun Efek yang bersifat ekuitas, seperti opsi dan waran.

Opsi merupakan hak yang dimiliki oleh satu pihak untuk membeli atau menjual kepada pihak yang lain atas sejumlah Efek pada harga dan dalam waktu tertentu. Sedangkan waran dapat didefinisikan sebagai Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberikan hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam) bulan atau lebih sejak Efek yang dimaksud diterbitkan. Sebenarnya ada turunan pertama dari Efek atau Surat Berharga selain Opsi dan Waran, yaitu Saham Preferen dan Convertible Bond. Penjelasan singkatnya bahwa Saham Preferen lebih mendekati sifat saham tetapi di dalamnya juga terdapat sifat obligasi karena pada saham ini dividen yang dibagikan kepada Pemegang Saham (Stockholder) selalu tetap setiap tahunnya, tidak dipengaruhi fluktuasi kinerja perusahaan. Pada Convertible Bond sifatnya lebih mendekati obligasi tetapi di dalamnya terdapat sifat dari saham karena pada obligasi jenis ini pengembalian utang pada jatuh tempo dapat dikonversi menjadi saham. Tergantung dari Pemegang Saham yang menentukan berapa banyak dana pengembalian yang akan dikonversi ke dalam bentuk saham. Dari sini dapat kita telaah bahwa investor di Pasar Modal sangat menyukai hal yang fleksibel, dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun. Perdagangan Efek harus melewati proses transaksi yang bernama Transaksi Bursa, yaitu kontrak yang dibuat oleh anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek, pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek atau harga Efek.

Penjelasan Jenis-Jenis Efek

Saham (Stocks): Saham pada dasarnya adalah bukti pemilikan atas suatu perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Setiap unit usaha berbentuk PT wajib memiliki saham. Anggaran dasar sebuah PT menetapkan modal dasar (authorized capital) perusahaan dengan ketentuan tidak boleh lebih kecil dari Rp 20 juta. Pada saat pengesahan pendirian PT, sekurang-kurangnya 25 % dari modal dasar, yang ditetapkan dalam anggaran dasar tersebut, telah disetorkan penuh. Bukti penyetoran itulah yang disebut saham. Umumnya, saham-saham itu memiliki nilai nominal yang berfungsi antara lain sebagai nilai minimum penyetoran dan porsi pemilikan terhadap perusahaan. Jadi, kalau PT A memiliki 10 juta saham yang telah disetor penuh, dan si B memiliki 10.000 diantaranya, artinya si B memiliki klaim besar satu per mil terhadap aktiva dan utang perusahaan. Paling tidak untuk dapat memegang kendali suatu perusahaan si B harus memiliki > 50 % dari saham PT A. Karakteristik yuridis pemegang saham, bisa digambarkan dengan tiga kata berikut :

  1. Limited Risk, berarti pemegang saham hanya bertanggungjawab sampai jumlah yang disetorkannya ke dalam perusahaan.
  2. Ultimate Control, bermakna pemegang sahamlah yang (secara kolektif) menetapkan tujuan dan arah perusahaan.
  3. Residual Claim, menunjukkan posisi para pemegang saham sebagai orang terakhir yang mendapatkan pembagian hasil usahan perusahaan (dalam bentuk dividen) dan sisa asset dalam likuidasi, yaitu setelah hak-hak para kreditur terpenuhi semuanya.

Peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia mengharuskan semua saham memiliki hak suara, apalagi pada perusahaan publik. Namun, dalam praktek karena pemegang saham publik itu jumlahnya bisa ratusan ribu, pelaksanaan hak suara ini sering dilaksanakan dengan mekanisme proxy. Tentu bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebuah perusahaan public dihadiri ratusan ribu pemegang saham. Di Amerika Serikat, saham preferen (preferred stock) biasanya tidak memiliki hak suara. Karena itu, saham preferen di sana umumnya bersifat kumulatif. Sedangkan untuk yang disebut belakangan bisa meminta bantuan pialang atau agen untuk membantu menghitung yield-nya, yaitu jumlah dividen per harga saham. Tujuannya untuk megetahui seberapa kuat dividen yang diperoleh para pemegang saham diukur dari harga saham tersebut.

Ada dua jenis saham yang biasanya dikeluarkan oleh perusahaan publik:

  1. Saham Biasa (Common Stocks)

Di antara surat-surat berharga yang diperdagangkan di Pasar Modal, saham biasa (common stocks) adalah surat berharga yang paling dikenal masyarakat. Di antara emiten (perusahaan yang menerbitkan surat berharga), saham biasa juga merupakan yang paling banyak digunakan untuk menarik dana dari masyarakat. Jadi saham biasa paling menarik, baik bagi pemodal maupun bagi emiten. Apakah Saham itu? Secara sederhana, saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan. Wujud saham adalah, selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan kertas tersebut. Jadi sama dengan menabung di bank. Setiap kali kita menabung, maka kita akan mendapat slip yang menjelaskan bahwa kita telah menyetor sejumlah uang. Bila kita membeli saham, maka kita akan menerima kertas yang menjelaskan bahwa kita memiliki perusahaan penerbit saham tersebut.

  1. Saham Preferen (Preferred Stocks)

Saham Preferen merupakan saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa. Dikarenakan saham preferen bisa mendapatkan penghasilan yang tetap (seperti bunga deposito), tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil seperti yang dikehendaki investor. Saham preferen serupa dengan saham biasa karena dua hal, yaitu mewakili kepemilikan ekuitas dan diterbitkan tanpa jatuh tempo yang tertulis di atas lembar saham tersebut dan membayar dividen. Sedangkan persamaan antara saham preferen dengan obligasi terletak pada tiga hal, yaitu ada klaim atas laba dan aktiva sebelumnya, dividennya tetap selama masa berlaku (hidup dari saham, memiliki hak tembus dan dapat dipertukarkan (convertible) dengan saham biasa. Oleh karena saham preferen diperdagangkan berdasarkan hasil yang ditawarkan kepada investor, maka secara praktis saham preferen dipandang sebagai surat berharga dengan pendapatan tetap dan karena itu akan bersaing dengan obligasi di pasar. Walaupun demikian, obligasi perusahaan menduduki tempat lebih senior dibanding dengan saham preferen.

Pada dasarnya, ada dua keuntungan yang diperoleh pemodal dengan membeli atau memiliki saham:

  1. Dividen

Adalah pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan penerbit saham tersebut atas keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Dividen diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS. Jika seorang pemodal ingin mendapatkan dividen, maka pemodal tersebut harus memgang sahamnya dalam kurun waktu yang relatif lama, yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan dividen. Umumnya, dividen merupakan salah satu daya tarik bagi pemegang saham dengan orientasi jangka panjang seperti misalnya pemodal institusi atau dana pension dan lain-lain. Dividen yang dibagikan perusahaan dapat berupa dividen tunai yang artinya kepada setiap pemegang saham dividen berupa uang tunai (cash devidend) dalam jumlah rupiah tertentu untuk setiap saham atau dapat pula berupa dividen saham (stock dividend) yang berarti kepada setiap pemegang saham diberikan dividen sejumlah saham sehingga jumlah saham yang dimiliki seorang pemodal akan bertambah dengan adanya pembagian dividen saham tersebut.

  1. Capital Gain

Adalah selisih antara harga beli dan harga jual. Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder. Misalnya seorang pemodal membeli saham ABC dengan harga per saham Rp3.000 kemudian menjualnya dengan harga per saham Rp3.500 yang berarti pemodal tersebut mendapatkan capital gain sebesar Rp500 untuk setiap saham yang dijualnya. Umumnya pemodal dengan orientasi jangka pendek mengejar keuntungan melalui capital gain. Misalnya seorang pemodal membeli saham pada pagi hari dan kemudian menjualnya lagi pada siang hari jika saham mengalami kenaikan. Saham dikenal dengan karakteristik high risk – high return. Artinya saham merupakan surat berharga yang memberikan peluang keuntungan tinggi namun berpotensi risiko tinggi. Saham memungkinkan pemodal untuk mendapatkan return atau keuntungan (capital gain) dalam jumlah besar pada waktu singkat. Namun, seiring dengan berfluktuasinya harga saham, maka saham juga dapat membuat pemodal mengalami kerugian besar dalam waktu singkat.

Risiko-risiko yang dihadapi pemodal dengan kepemilikan sahamnya, antara lain :

Tidak Mendapat Dividen

Perusahaan akan membagikan dividen pada pemegang saham apabila operasi perusahaan menghasilkan keuntungan. Dengan demikian perusahaan tidak dapat membagikan dividen jika perusahaan tersebut mengalami kerugian. Dengan demikian potensi keuntungan pemodal untuk mendapatkan dividen ditentukan oleh kinerja perusahaan tersebut.

Capital Loss

Dalam aktivitas perdagangan saham, tidak selalu pemodal mendapatkan capital gain alias keuntungan atas saham yang dijual. Ada kalanya pemodal harus menjual saham dengan harga jual lebih rendah dari harga beli. Dengan demikian seorang pemodal mengalami capital loss. Misalnya seorang pemodal memiliki saham Indosat (ISAT) dengan harga beli Rp9.000 namun beberapa waktu kemudian dijual dengan harga per saham Rp8.000,- yang berarti pemodal tersebut mengalami capital loss Rp1.000 untuk setiap saham yang dijual. Dalam jual beli saham, terkadang untuk menghindari potensi kerugian yang makin besar seiring dengan terus menurunnya harga saham, maka seorang investor rela menjual saham dengan harga rendah.

Perusahaan Bangkrut atau Dilikuidasi

Jika suatu perusahaan bangkrut, maka tentu saja akan berdampak secara langsung kepada saham perusahaan tersebut. Sesuai dengan peraturan pencatatan saham di Bursa Efek, maka jika suatu perusahaan bangkrut atau dilikuidasi, maka secara otomatis saham perusahaan tersebut akan dikeluarkan dari Bursa Efek atau di-delist. Dalam kondisi perusahaan dilikuidasi, maka pemegang saham akan menempati posisi lebih rendah dibanding kreditur atau pemegang obligasi, artinya setelah semua asset perusahaan tersebut dijual, terlebih dahulu dibagikan kepada para kreditur atau pemegang obligasi, dan jika masih terdapat sisa, baru dibagikan kepada para pemegang saham.

Saham Dihapuscatatkan dari Bursa Efek (Delisting)

Risiko lain yang dihadapi oleh para pemodal adalah jika saham perusahaan dikeluarkan dari pencatatan di Bursa Efek alias di-delist. Suatu saham perusahaan di-delist dari Bursa Efek umumnya karena kinerja yang buruk misalnya dalam kurun waktu tertentu tidak pernah diperdagangkan, mengalami kerugian beberapa tahun, tidak membagikan dividen secara berturut-turut selama beberapa, dan berbagai kondisi lainnya sesuai dengan Peraturan Pencatatab Efek di Bursa Efek. Saham yang di-delist tentu saja tidak lagi diperdagangkan di Bursa Efek, namun tetap dapat diperdagangkan di luar Bursa Efek dengan konsekuensi tidak terdapat patokan harga yang jelas dan jika terjual biasanya dengan harga yang jauh dari harga sebelumnya.

Obligasi

Adalah surat berharga atau sertifikat yang berisi kontrak antara pemberi dana (dalam hal ini pemodal) dengan yang diberi dana (emiten). Jadi surat obligasi adalah selembar kertas yang menyatakan bahwa pemilik kertas tersebut telah membeli hutang perusahaan yang menerbitkan obligasi. Penerbit membayar bunga atas obligasi tersebut pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan secara periodik, dan pada akhirnya menebus nilai utang tersebut pada saat jatuh tempo dengan mengembalikan jumlah pokok pinjaman ditambah dengan jumlah bunga yang terutang. Pada umumnya, instrumen ini memberikan bunga yang tetap secara periodik. Bila bunga dalam sistem ekonomi menurun, nilai obligasi naik dan sebaliknya jika bunga meningkat, nilai obligasi turun.

Banyak sekali perbedaan antara saham dan obligasi. Yang satu bukti pemilikan dan yang lainnya merupakan bukti utang. Salah satu perbedaan itu adalah aspek jatuh temponya. Obligasi walaupun jangka panjang, tetap ada jatuh temponya (kecuali perpectual bonds yang kini hampir musnah), sedangkan saham tidak memiliki jatuh tempo. Varian jenis-jenis obligasi nyaris tak terbatas. Rumpun aktiva keuangan yang bernama obligasi bisa dikelompokkan berdasar tipe emiten, berdasar maturity atau masa jatuh temponya, berdasar agunan, bedasar ada atau tidaknya indeksasi pelunasan, berdasarkan variasi penetapan tingkat bunga, berdasarkan ada atau tidaknya hak penukaran atau konversi, dan seterusnya. Di Pasar Modal Indonesia, saat ini, diperdagangkan dua jenis obligasi, yaitu obligasi biasa dan konversi. Tapi, dalam kelompok obligasi biasa terdapat variasi yang cukup kaya, yaitu obligasi yang diterbitkan oleh BUMN dan perusahaan swasta, obligasi yang mempunyai tingkat bunga tetap dan mengambang, obligasi yang memiliki agunan atau penanggung dan yang tidak, dan seterusnya.

Bagi pemodal, dua hal saja yang penting diperhatikan, yaitu tingkat risiko dan potensi keuntungan. Untuk yang pertama bisa digunakan peringkat obligasi tersebut sebagai acuan. Berkaitan dengan perdagangan obligasi, dikenal istilah-istilah berikut:

  1. Face value atau nilai pari, menunjukkan besarnya obligasi yang dikeluarkan.
  2. Jatuh tempo, merupakan tanggal ditetapkannya emiten obligasi harus membayar kembali uang yang telah dikeluarkan investor pada saat membeli obligasi. Jumlah uang yang harus dibayar sama besarnya dengan nilai pari obligasi. Tanggal jatuh tempo tersebut tercantum dalam sertifikat obligasi.
  3. Bunga atau kupon, merupakan pendapatan (yield) yang diperoleh pemegang obligasi, yang mana periode waktu pembayarannya dapat berbeda-beda misalnya ada yang membayar sekali dalam tiga bulan, enam bulan, atau sekali dalam setahun.

Dalam melakukan investasi dengan membeli obligasi, investor wajib mengerti dan menyadari benar mengenai manfaat dan resiko yang terkandung dalam instrumen obligasi. Adapun manfaat dan risiko sebagai berikut :

  1. Manfaat Obligasi

Obligasi dikenal sebagai Fixed Income Securities atau surat berharga yang memberikan pendapatan tetap, yaitu berupa bunga atau kupon yang dibayarkan dengan jumlah yang tetap (misalnya sebesar 16% per tahun) pada waktu yang telah ditetapkan, misalnya setiap 3 bulan, 6 bulan atau satu tahun sekali. Obligasi juga mengenal penghasilan dari capital gain, yaitu selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian.

  1. Resiko Obligasi

Kesulitan untuk menentukan penghasilan obligasi adalah sulitnya memperkirakan perkembangan suku bunga. Padahal harga obligasi sangat tergantung dari perkembangan suku bunga. Bila suku bunga bank menunjukkan kecenderungan meningkat, pemegang obligasi akan menderita kerugian karena harga obligasi akan turun. Di samping risiko perkembangan suku bunga yang sulit dipantau, pemegang obligasi juga menghadapi risiko callability, pelunasan sebelum jatuh tempo. Betapa menguntungkannya bila kita memiliki obligasi yang membayar bunga tetap di saat suku bunga menurun. Namun, sayangnya keuntungan seperti ini tidak selamanya bisa dinikmati. Banyak obligasi yang telah dikeluarkan oleh emiten, bisa ditarik kembali sebelum tiba saat jatuh tempo.

Obligasi Konversi (Convertible Bond)

Sekilas tidak ada bedanya dengan obligasi biasa, misalnya memberikan kupon yang tetap, memiliki waktu jatuh tempo dan memiliki nilai pari. Hanya saja, obligasi konversi memiliki keunikan, yaitu bisa ditukar ke dalam bentuk saham biasa. Pada obligasi konversi selalu tercantum persyaratan untuk melakukan konversi. Misalnya setiap obligasi konversi bisa dikonversi menjadi 3 lembar saham biasa setelah 1 Januari 2006. Persyaratan ini tidak sama diantara obligasi yang satu dengan yang lainnya. Obligasi konversi (convertible bond) sudah dikenal di Pasar Modal Indonesia. Untuk kalangan emiten swasta, sebenarnya obligasi konversi lebih dulu popular daripada obligasi. Kecenderungan melakukan emisi obligasi baru menunjukkan aktivitas yang meningkat sejak tahun 1992. Sedangkan obligasi konversi sudah memasuki pasar menjelang akhir tahun 1990.

Reksa Dana (Mutual Funds)

Reksa dana merupakan salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka. Reksa Dana dirancang sebagai sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki modal, mempunyai keinginan untuk melakukan investasi, namun hanya memiliki waktu dan pengetahuan yang terbatas. Selain itu Reksa Dana juga diharapkan dapat meningkatkan peran pemodal lokal untuk berinvestasi di pasar modal Indonesia. Dilihat dari asal kata-nya, Reksa Dana berasal dari kosa kata “reksa” yang berarti jaga atau pelihara dan kata “dana” yang berarti kumpulan uang, sehingga reksa dana dapat diartikan sebagai “kumpulan uang yang dipelihara bersama untuk suatu kepentingan”. Umumnya, Reksa Dana diartikan sebagai wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek oleh Manajer Investasi.

Manfaat yang diperoleh pemodal jika melakukan investasi dalam Reksa Dana, antara lain:

  1. Pemodal walaupun tidak memiliki dana yang cukup besar dapat melakukan diversifikasi investasi dalam Efek, sehingga dapat memperkecil risiko. Sebagai contoh, seorang pemodal dengan dana terbatas dapat memiliki portfolio obligasi, yang tidak mungkin dilakukan jika tidak tidak memiliki dana besar. Dengan Reksa Dana, maka akan terkumpul dana dalam jumlah yang besar sehingga akan memudahkan diversifikasi baik untuk instrumen di pasar modal maupun pasar uang, artinya investasi dilakukan pada berbagai jenis instrumen seperti deposito, saham, obligasi.
  2. Reksa Dana mempermudah pemodal untuk melakukan investasi di pasar modal. Menentukan saham-saham yang baik untuk dibeli bukanlah pekerjaan yang mudah, namun memerlukan pengetahuan dan keahlian tersendiri, dimana tidak semua pemodal memiliki pengetahuan tersebut.
  3. Efisiensi waktu. Dengan melakukan investasi pada Reksa Dana dimana dana tersebut dikelola oleh manajer investasi profesional, maka pemodal tidak perlu repot-repot untuk memantau kinerja investasinya karena hal tersebut telah dialihkan kepada manajer investasi tersebut.

Seperti halnya wahana investasi lainnya, disamping mendatangkan berbagai peluang keuntungan, Reksa Dana pun mengandung berbagai peluang risiko, antara lain:

  1. Risiko Berkurangnya Nilai Unit Penyertaan.

Risiko ini dipengaruhi oleh turunnya harga dari Efek (saham, obligasi, dan surat berharga lainnya) yang masuk dalam portfolio Reksa Dana tersebut.

  1. Risiko Likuiditas

Risiko ini menyangkut kesulitan yang dihadapi oleh Manajer Investasi jika sebagian besar pemegang unit melakukan penjualan kembali (redemption) atas unit-unit yang dipegangnya. Manajer Investasi kesulitan dalam menyediakan uang tunai atas redemption tersebut.

  1. Risiko Wanprestasi

Risiko ini merupakan risiko terburuk, dimana risiko ini dapat timbul ketika perusahaan asuransi yang mengasuransikan kekayaan Reksa Dana tidak segera membayar ganti rugi atau membayar lebih rendah dari nilai pertanggungan saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti wanprestasi dari pihak-pihak yang terkait dengan Reksa Dana, pialang, bank kustodian, agen pembayaran, atau bencana alam, yang dapat menyebabkan penurunan NAB (Nilai Aktiva Bersih) Reksa Dana.

Dilihat dari bentuknya, Reksa Dana dapat dibedakan menjadi:

  1. Reksa Dana Berbentuk Perseroan (Corporate Type)

Dalam bentuk Reksa Dana ini, perusahaan penerbit Reksa Dana menghimpun dana dengan menjual saham, dan selanjutnya dana dari hasil penjualan tersebut di investasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan di pasar modal maupun pasar uang. Reksa Dana bentuk Perseroan dibedakan lagi berdasarkan sifatnya menjadi Reksa Dana Perseroan yang tertutup dan Reksa Dana Perseroan yang terbuka. Bentuk ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Bentuk hukumnya adalah Perseroan Terbatas (PT).
  2. Pengelolaan kekayaan Reksa Dana didasarkan pada kontrak antara Direksi Perusahaan dengan Manajer Investasi yang ditunjuk.
  3. Penyimpanan kekayaan Reksa Dana didasarkan pada kontrak antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian.
  4. Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (Contractual Type)

Reksa Dana bentuk ini, merupakan kontrak antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan, di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif. Bentuk inilah yang lebih populer dan jumlahnya semakin bertambah dibandingkan dengan Reksa Dana yang berbentuk Perseroan. Bentuk ini bercirikan:

  1. Bentuk hukumnya adalah Kontrak Investasi Kolektif.
  2. Pengelolaan Reksa Dana dilakukan oleh Manajer Investasi berdasarkan kontrak.
  3. Penyimpanan kekayaan investasi kolektif dilaksanakan oleh Bank Kustodian berdasarkan kontrak.

Sertifikat Penitipan Efek Indonesia (Indonesian Depository Receipt)

Sertifikat Penitipan Efek Indonesia (SPEI) adalah Efek yang memberikan hak kepada pemegangnya atas Efek Utama yang dititipkan secara kolektif pada Bank Kustodian yang telah mendapat persetujuan Bapepam. Bapepam telah mengeluarkan peraturan tentang SPEI ini, namun sampai saat ini belum ada perusahaan yang menerbitkan Efek jenis ini di Indonesia.

Derivatif

Adalah sebuah istilah portofolio yang mengaitkan suatu kenaikan jumlah produk dan jenis-jenis produk dengan seperangkat penggunaan yang semakin membingungkan. Kelompok-kelompok orisinil dari produk yang dianggap derivatif telah diperluas untuk mencakup : jenis produk baru, klasifikasi produk baru, pasar-pasar baru, para pengguna baru, dan bentuk risiko baru. Dua klasifikasi terbesar dari derivatif adalah derivatif berbasis forward (forward-based derivatives) dan derivatif berbasis option (options-based derivatives). Sebenarnya masih banyak klasifikasi lainnya yang mencakup strip dan mortgage-backed securities, tetapi yang terkenal adalah dua klasifikasi utama tersebut di atas.

Suatu transaksi derivatif merupakan sebuah perjanjian antara dua pihak yang dikenal sebagai counterparties (pihak-pihak yang saling berhubungan). Dalam istilah umum, transaksi derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya tergantung pada (diturunkan dari) nilai asset, tingkat referensi atau indeks. Saat ini, transaksi derivatif terdiri dari sejumlah acuan pokok (underlying) yaitu suku bunga (interest rate), kurs tukar (currency), komoditas (commodity), ekuitas (equity) dan indeks (index) lainnya.

2. Sejarah Perkembangan Derivatif Di Dunia

Pasar Derivatif dimulai sekitar tahun 1950-an di Amerika Serikat. Pada masa itu bursa financial futures dunia seluruhnya berbasis di Amerika Serikat dimana pada awalnya semua produk derivatif diperdagangkan di bursa. Chicago Board of Trade (CBOT) dan Chicago Mercantile Exchange (CME) adalah bursa financial futures yang pertama dan sampai sekarang tetap merupakan pusat perdagangan derivatif tunggal terbesar. Bila digabung dengan New York Mercantile Exchange (NYME), CBOT dan CME sampai beberapa tahun terakhir ini telah menguasai sekitar 90% dari semua produk derivatif yang diperdagangkan. Namun saat ini hanya setengahnya yang diperjualbelikan di Amerika Serikat. Perkembangan London Internasional Futures and Options Exchange (LIFFE) dan bursa-bursa di Eropa lainnya seperti Matif di Paris dan Deutsche Terminborse (DTB) di Frankfurt ditambah dengan ekspansi di Tokyo, Hong Kong dan Singapura telah menyebarluaskan pengaruh derivatif ke seluruh dunia. Pangsa pasar derivatif dunia yang meningkat dengan pesat telah dicapai oleh produk derivatif ini dengan fakta bahwa volume yang diperdagangkan terus-menerus membesar di Amerika Serikat.

Sementara itu, transaksi perdagangan derivatif di bursa Euronext per September 2003 meningkat 26% dibandingkan dengan volume transaksi pada bulan September 2002. Bursa Euronext merupakan gabungan dari bursa-bursa derivatif di Eropa yang beranggotakan bursa derivatif Amsterdam, Brussels, Lisbon, Paris dan London. Berdasarkan data LIFFE, Euronext mencatatkan volume perdagangan derivatif sebanyak 73,8 juta kontrak futures maupun options pada bulan September 2003. Sedangkan sepanjang bulan Januari-September 2003, Euronext membukukan transaksi perdagangan derivatif sebanyak 532 juta kontrak futures dan options dengan rata-rata sekitar 2,7 juta kontrak per hari.

3. Alasan Penggunaan Derivatif

Pada zaman persaingan industri ini, seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa suatu perusahaan tidak hanya memperdagangkan saham dan obligasi saja. Namun hak-hak dan janji-janji bisa saja diperjualbelikan. Adapun alasan perusahaan melakukan hal tersebut di atas, antara lain:

  1. Sebagai peralatan untuk mengelola resiko.
  2. Pencarian untuk pencapaian hasil yang lebih besar.
  3. Biaya pendanaan yang lebih murah.
  4. Kebutuhan-kebutuhan yang selalu berubah dan sangat bervariasi dari sekelompok pengguna.
  5. Hedging risiko-risiko saat ini dan masa datang (EXIM).
  6. Mengambil posisi-posisi resiko pasar.
  7. Memanfaatkan ketidakefisienan yang ada di antara pasar-pasar

5. Pelaku Transaksi Derivatif

  1. Pengguna Akhir (End Users)

Berdasarkan Laporan G-30 tahun 1993, sebagian besar pengguna akhir derivative, yaitu sekitar 80 % adalah perusahaan-perusahaan, disamping badan-badan pemerintah dan sector public. Alasan-alasan yang mendorong pengguna akhir yang menggunakan instrument derivative antara lain:

  1. Untuk sarana perlindungan nilai (hedging).
  2. Memperoleh biaya dana yang lebih rendah.
  3. Mempertinggi keuntungan.
  4. Untuk mendiversifikasikan sumber-sumber dana.
  5. Untuk mencerminkan pandangan-pandangan pasar melalui posisi yang diambil
  6. Pialang (Dealer)

Terdiri dari lembaga-lembaga keuangan yang bertindak sebagai pialang. Fungsi dari dealer antara lain:

  1. Menjaga likuiditas dan terus menerus tersedianya transaksi.
  2. Memenuhi permintaan pengguna akhir dengan segera.
  3. Memberikan kemampuan untuk mempertinggi likuiditas pasar dan efisiensi harga.

Instrumen Derivatif Di Pasar Modal

Derivatif terdiri dari efek yang diturunkan dari instrument efek lain yang disebut underlying. Ada beberapa macam instrument derivatif di Indonesia. Turunan pertama derivatif sudah dijelaskan di atas, yaitu convertible bond dan saham preferen. Sedangkan turunan keduanya, seperti Bukti Right, Waran, dan Kontrak Berjangka. Derivatif merupakan instrument yang sangat beresiko jika tidak dipergunakan secara hati-hati. Adapun penjelasan turunan kedua derivatif sebagai berikut:

  1. Bukti Right

Sesuai dengan undang-undang Pasar Modal, Bukti Right didefinisikan sebagai Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) pada harga yang telah ditetapkan selama periode tertentu. Bukti Right diterbitkan pada penawaran umum terbatas (Right Issue), dimana saham baru ditawarkan pertama kali kepada pemegang saham lama. Bukti Right juga dapat diperdagangkan di pasar sekunder selama periode tertentu. Apabila pemegang saham tidak menukar Bukti Right tersebut maka akan terjadi dilusi pada kepemilikan atau jumlah saham yang dimiliki akan berkurang secara proporsional terhadap jumlah total saham yang diterbitkan perusahaan. Bukti Right ini memiliki manfaat kepada investor dimana investor memiliki hak istimewa untuk membeli saham baru pada harga yang telah ditetapkan dengan menukarkan Bukti Right yang dimilikinya. Hal ini memungkinkan investor untuk memperoleh keuntungan dengan membeli saham baru dengan harga yang lebih murah. Investor juga mendapatkan kenikmatan capital gain hasil penjualan Bukti Right yang dimilikinya. Tentu saja harga jualnya lebih tinggi dari harga belinya.

Disamping manfaatnya, Bukti Right juga memiliki resiko yang merupakan kebalikan dari capital gain, yaitu capital loss. Ketika harga julanya lebih rendah dari harga beli Bukti Right tersebut. Selain itu, jika harga saham pada periode pelaksanaan jatuh dan menjadi lebih rendah dari harga pelaksanaan, maka investor tidak akan mengkonversikan Bukti Right tersebut, sementara investor akan mengalami kerugian atas harga beli Bukti Right.

  1. Waran (Warrant)

Waran biasanya melekat pada saham sebagai daya tarik (sweetener) pada penawaran umum saham ataupun obligasi. Biasanya harga pelaksanaan lebih rendah daripada harga pasar saham. Setelah saham ataupun obligasi tersebut tercatat di bursa, waran dapat diperdagangkan secara terpisah. Periode perdagangan waran lebih lama daripada Bukti Right, yaitu 3 tahun sampai 5 tahun. Waran merupakan suatu pilihan (option), dimana pemilik waran mempunyai pilihan untuk menukarkan atau tidak warannya pada saat jatuh tempo. Pemilik waran dapat menukarkan waran yang dimilikinya 6 bulan setelah waran tersebut diterbitkan oleh emiten. Harga waran itu sendiri berfluktuasi selama periode perdagangan. Seperti halnya Bukti Right, pemilik waran memiliki hak untuk membeli saham baru perusahaan dengan harga yang lebih rendah dari harga saham tersebut di Pasar Sekunder dengan menukarkan waran yang dimilikinya ketika harga saham perusahaan tersebut melebihi harga pelaksanaan. Sebaliknya, jika harga saham pada periode pelaksanaan jatuh dan menjadi lebih rendah daripada harga pelaksanaannya, investor tidak akan menukarkan waran yang dimilikinya dengan saham perusahaan, sehingga ia akan mengalami kerugian atas harga beli waran tersebut.

  1. Kontrak Berjangka atas Indeks Efek (Index Future)

Adalah kontrak atau perjanjian antara 2 pihak yang mengharuskan mereka untuk menjual atau membeli produk yang menjadi variabel pokok di masa yang akan datang dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya. Obyek yang dipertukarkan disebut “Underlying Asset”.

Setiap pihak sebelum membuka kontrak harus menyetorkan margin awal, dan karena kontrak tersebut memiliki waktu yang terbatas, maka pada saat jatuh tempo posisi kontrak harus ditutup pada berapapun harga yang terjadi bursa. Margin itu sendiri harus berada pada suatu level harga tertentu dan jika margin tersebut turun di bawah level tersebut, yang biasanya berakibat kerugian yang besar. Lembaga kliring akan meminta investor untuk menambah dananya kembali. Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa seluruh transaksi pada kontrak berjangka dilakukan di Bursa Efek.

Di Indonesia, saat ini bentuk kontrak berjangka yang tersedia adalah LQ 45 Kontrak Berjangka Indeks Efek yang diselenggarakan oleh Bursa Efek Surabaya. Pengggunaan Future ini tetntu ada manfaat yang terkandung di dalamnya, antara lain:

  1. Instrumen Hedging

Hedging dimaksudkan untuk melindungi nilai investasi sehingga dapat meminimalkan risiko. Contohnya seorang investor yang memiliki portofolio berencana untuk menjual salah satu sahamnya di masa yang akan datang, tapi dia ingin menentukan pendapatan yang diperolehnya dengan menetapkan harga jual sahamnya saat ini. Dia dapat membuka kontrak jual di masa yang akan datang, sehingga berapapun harga yang terbentuk pada saat jatuh tempo, investor tetap akan menjual saham tersebut dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya.

  1. Spekulasi

Investor dapat berspekulasi dengan melakukan perdagangan indeks berjangka daripada melakukan transaksi untuk masing-masing saham. Hal ini dimungkinkan karena adanya “leverage” atau utang. Dengan utang investor dapat memperoleh keuntunga dari pergerakan harga dengan modal yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan modal yang harus dikeluarkan jika melakukan transaksi perdagangan masing-masing saham di atas.

  1. Arbitrase

Dengan arbitrase, investor dapat memperoleh keuntungan dari perbedaan antara harga di pasar spot dan pasar berjangka.

Risiko Kontrak Berjangka Indeks Efek atau Future, yaitu pada saat jatuh tempo, investor harus menutup atau menyelesaikan posisinya, walaupun harga yang terjadi berbeda dengan harapannya, sehingga investor dapat mengalami kerugian yang sangat besar jika dibandingkan dengan modal awalnya. Apabila investor mengalami kerugian yang besar, maka ia diharuskan untuk menyetor tambahan dana ke lembaga kliring.

  1. Opsi (Option)

Adalah suatu kontrak berupa hak tapi bukan suatu kewajiban bagi pembeli kontrak untuk membeli atau menjual suatu asset tertentu kepada penjual kontrak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau disepakati. Sebagai salah satu instrument turunan atau derivatif di Pasar Modal. Ada beberapa aset yang dapat melandasi opsi tersebut, yaitu saham, obligasi, mata uang, dan juga komoditi.

  1. Opsi Saham (Stock Options)

Adalah suatu kontrak yang menggunakan saham sebagai aset landasan (underlying). Opsi saham merupakan instrument turunan atau derivative karena nilainya diturunkan dari nilai dan karakteristik aset yang melandasinya. Opsi saham mulai diperdagangkan di Inggris pada abad ke 18 dan di Amerika Serikat pada abad ke 14, walaupun ketika itu belum ada standar dan bentuk opsi, serta belum diatur secara organisasi seperti bursa efek yang dikenal dewasa ini. Pada tahun 1973, Chicago of Options Exchange (CBOE) mulai dengan 16 jenis saham sebagai dasar perdagangan opsi dengan seperangkat ketentuan dalam melakukan perdagangan. Walaupun ada beberapa modifikasi penyesuaian terhadap dimensi teknologi, namun konsep opsi CBOE dipandang sebagai acuan dasar pengembangan perdagangan di beberapa bursa efek sejak dekade 1980-an sampai sekarang.

Perbedaan antara opsi saham dan saham biasa terletak pada kontrak antara pembeli dan penjual. Pembeli akan membayar dalam suatu harga untuk memenuhi hak-hak tertentu dan penjual akan memberikan haknya sebagai imbalan dari harga tersebut. Tidak seperti saham biasa, jumlah opsi yang beredar tergantung pada jumlah pembeli dan penjual yang tertarik untuk menerima dan mengkonversikan haknya.

  1. Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

Adalah efek yang diterbitkan oleh Kontrak investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau apartemen, efek yang bersifat utang yang dijamin oleh Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut.

  1. Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA)

Adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif.

STUDI KASUS

Capital Gain dan Capital Loss Pada Instrumen Derivatif

Capital Gain

Jika seorang investor membeli waran pada harga Rp200 per lembar dengan harga pelaksanaan Rp1.500, dan pada tanggal pelaksanaan, harga saham perusahaan meningkat menjadi Rp1.800 per saham, maka ia akan membeli saham perusahaan tersebut dengan harga hanya Rp1.700 (Rp1.500 + Rp200). Jika ia langsung membeli saham perusahaan tersebut di pasar sekunder, ia harus mengeluarkan Rp1.800 per saham.

Capital Loss

Jika seorang investor membeli waran di Pasar Sekunder dengan harga Rp200, serta harga pelaksanaan Rp1.500. Pada tanggal pelaksanaan, harga saham perusahaan yang bersangkutan turun menjadi Rp1.200. Jika hal tersebut terjadi, maka investor tidak akan menukarkan waran yang dimilikinya, karena ia harus mengeluarkan Rp1.700 (Rp1.500 harga pelaksanaan + Rp200 harga Waran). Jika ia tidak menukarkan Waran yang dimilikinya maka kerugian yang ditanggung hanya Rp200, yaitu harga beli waran tersebut.

Analisis

Setiap perusahaan yang memperoleh capital gain memang sangat menguntungkan sekali. Bagaimana tidak, selain perusahaan memperdagangkan sahamnya, perusahaan juga dapat memperjualbelikan instrumen derivatifnya. Apabila kedua transaksi tersebut di atas memperoleh keuntungan semuanya, bisa dibayangkan jumlah keuntungan yang didapatkan perusahaan. Transaksi derivatif memang lebih liquid daripada saham dan tingkat perdagangannya lebih tinggi daripada saham. Namun dibalik itu semua, instrument derivatif juga mempunyai resiko yang besar, yaitu risiko capital loss. Perubahan harga pada instrumen derivatif tentu saja dipengaruhi oleh kinerja perusahaan yang mengeluarkan instrumen derivatif tersebut. Sehingga, investor harus bisa benar-benar menilai kinerja jangka panjang perusahaan.

Dikatakan pada kasus di atas bahwa apabila investor membeli waran tersebut di luar pasar sekunder maka ia hanya membayar harga waran tersebut beserta harga pelaksanaan yang awal sehingga lebih murah daripada harga sebenarnya. Memang di dalam transaksi derivatif ada 2 macam kontrak derivatif yang dikenali dari cara perdagangannya di pasar, yaitu transaksi derivatif yang diperdagangkan di luar bursa dan di dalam bursa. Transaksi derivatif yang diperdagangkan di luar bursa atau sering disebut Over The Counter (OTC) Derivative ini tidak melewati pengantara atau pialang sehingga langsung berhadapan dengan pihak yang berkepentingan, yaitu investor dan emiten. Instrumen yang banyak diperdagangkan diluar bursa biasanya memunyai fitur yang lebih rumit daripada instrumen yang lain yang umum diperdagangkan, antara lain swap, kontrak serah nilai tukar, dan opsi eksotik. Tingkat perdagangan OTC derivatif ini sangat tinggi.

Future vs Spot

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa instrumen derivatif yang berjenis future ini berfungsi sebagai hedging yang menjelaskan bahwa investor ketika ingin menjual saham atau produknya di pasar, sebelumnya ia akan mematok harga jual tersebut di kemudian hari (spekulasi). Tentu saja kesepakatan harga disetujui oleh kedua belah pihak antara investor dan bank. Apabila pada saat jatuh tempo terjadi perubahan harga, maka harga yang digunakan adalah harga yang telah disepakati sebelumnya. Jika harga yang disepakati ternyata lebih besar daripada harga sebenarnya maka investor akan mendapatkan keuntungan. Sebaliknya jika harga yang disepakati ternyata lebih kecil maka investor akan mengalami kerugian. Adapun contoh kasus di bawah ini:

Apabila ada investor yang ingin menjual barangnya keluar negeri (ekspor) sejumlah US $1 juta (1 USD =9000 IDR), total Rp 9M. Biasanya barang tersebut dibayar setelah sebulannya. Dari sini ada perbedaan karakter investor, antara lain:

  1. Spot

Jika investor tersebut menggunakan spot sebagai pedomannya, maka investor tersebut hanya akan menunggu dengan pasrah berapa harga barangnya yang akan dibayarkan nanti. Apabila satu bulan kemudian harga dolar naik 9500 maka investor tersebut akan memperoleh keuntungan 500 juta. Lain cerita kalau ternyata ekonomi negara satu bulan kemudian jadi lebih baik sehingga harga dolar turun menjadi 8500 maka investor tersebut akan mengalami kerugian sebesar 500 juta. Dalam kondisi ini investor hanya menunggu keberuntungan saja.

  1. Future

Untuk mengantisipasi resiko, biasanya investor menggunakan future untuk penstabilan harga di kemudian hari (hedging). Pada kasus ini, investor melakukan kontrak kepada bank bahwa berapa pun perubahan harga yang terjadi satu bulan ke depan, harga yang digunakan adalah harga yang telah disepakati. Di sini investor mulai berspekulasi perubahan nilai kurs yang akan terjadi. Investor melihat bahwa akhir-akhir ini ekonomi negara lebih baik maka nilai kurs yang ditetapkan menjadi 1 USD = 9200IDR. Kedua belah pihak menyetujuinya, dan apabila satu bulan kemudian ternyata kurs dolar meningkat menjadi 9300 maka terlihat bahwa investor kelihatan seperti rugi 300 juta tapi lebih tepat investor tersebut tidak mendapatkan uang sebesar 300 juta tersebut karena sebenarnya investor tetap memakai nilai dolar 9200 sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, maka investor mengalami kerugian 100 juta. Sehingga nilai 300 juta itu adalah fiktif atau tidak akan terjadi. Apabila nilai dolar naik menjadi 9100, maka investor tetap memiliki keuntungan 200 juta. Dan sekalipun jika harga dolar turun menjadi 8700 maka investor tetap mendapatkan keuntungan sebesar 200 juta, tetap dihitung menggunakan nilai dolar yang telah disepakati.

Dilihat pada kasus di atas bahwa terjadi perbedaan nilai antara future dan spot. Penggunaan spot memang lebih rawan daripada future karena tidak memperhitungkan risiko yang dihadapi ke depannya. Pada spot jika terjadi keuntungan maka akan terjadi keuntungan dengan harga sepenuhnya dan jika terjadi kerugian maka kerugian tersebut lebih besar daripada penggunaan future. Di dalam penggunaan future pun harus hati-hati karena apabila taksiran nilai kurs yang keliru akan mengakibatkan kerugian yang besar dan keuntungan yang tidak maksimal. Di lain pihak, keduanya memiliki persamaan yaitu pengakuan untung dan rugi pada laporan keuangan komersial ataupun laporan keuangan fiskal. Contoh kasus future di atas, terlihat bahwa investor mengalami kerugian sebesar 100 juta dari penetapan nilai kurs yang 9200. Namun yang diakui sebagai kerugian yaitu yang 300 juta. Kerugian tersebut dilaporkan pada laporan laba rugi (income statement) dan dapat mengurangi pajak. Dan jika pada tingkat nilai kurs 9100, maka keuntungan yang diakui adalah yang 100 juta dan masuk ke laporan laba rugi, sisanya yang 100 juta langsung masuk ke neraca (balance sheet statement) sebagai ekuitas.

  1. Studi Kasus Arbitrase Perdagangan Minyak Bumi

Data yang dipakai adalah data riil yang diambil dari publikasi Platts dan Reuters terbaru dan instrumen yang kita pakai adalah Futures. Kasusnya adalah tentang Arbitrase dalam Perdagangan Minyak Mentah .

Arbitrase adalah perbedaan harga pasar secara geografis, misalnya harga satu minyak mentah (Brent misalnya) di United States Gulf Coast refining centre lebih mahal dari harga minyak mentah tersebut di Eropa maka arbitrase akan mendorong lebih banyak kargo minyak mentah yang akan menuju USGC dan menyebabkan harga di USGC turun atau harga di Eropa naik. Turunnya harga pada USGC atau naiknya harga di Eropa akan berhenti sampai bedanya mencapai harga freight Eropa – USGC (atau istilahnya arbitrase telah tertutup).

Kita akan mulai simulasi: Produser North Sea Crude (Brent , Forties, Oseberg, dll) punya minyak mentah sebesar 1 juta barrel untuk loading 22 Agustus 2007 di Laut Utara. Dia dihadapkan dua pilihan menjual pada pasar lokal dengan harga Oktober ICE Brent – $3.5 (rata-rata 5 hari setelah tanggal loading i.e. 23-27 Agustus ) atau menjual ke USGC refining centre dengan harga Oktober WTI + $1.72 (rata-rata 5 hari pricing period 6-10 September 2007) . Harga Oktober ICE Brent sekarang adalah $75.74/bbl dan harga Oktober WTI adalah $72.22/bbl. Freight dari North Sea ke USGC adalah $1.50/bbl.

Disini kita melihat bahwa terdapat peluang per 10 Juli 2007 untuk melakukan arbitrase dengan margin :

Harga Jual (WTI +1.72)……………………………. $ 73.94

Harga Lokal (Brent – $3.5)………………………..($ 72.74)

Freight ………………………………………………………………….. ($ 1.50)

……………………………………………………………………………….———–

Margin……………………………………………………………………$ 0.20 per barrel

Namun, perlu diingat bahwa pricing period untuk harga lokal adalah rata-rata ICE Brent 23-27 Agustus 2007 dan pricing USGC adalah 6-10 September 2007. Margin $0.20/barrel tidak dijamin jika producer tersebut tidak melakukan hedging. Dia punya exposure jika spread harga WTI-Brent melemah dan naiknya harga freight. Hedging strategi adalah sebagai berikut :

ExposureHedging Strategi
Jika harga WTI naik ; better-off (Long)Short ; Jual (Short Selling) Oct WTI contract 1000 lots ( 1 lot = 1000 barrel)
Jika harga Brent turun ; worse-off (Short)Long ; Beli Oct Brent contract 1000 lots
Jika Freight naik ; worse off (Short)Long ; Beli Aug TD5 (Freight Swap) ; disini kita membicarakan freight hedging dengan FFA ; kita asumsikan harga freight tetap $1.50/bbl
  1. Pada saat harga lokal dihitung (rata-rata Oct ICE Brent ) pada 23-27 Agustus 2007 jual secara parsial Oct Brent contract 200 lots per hari. Maksudnya pada 23 Agustus jual 200 lot, 24 Agustus jual 200 lot , dan seterusnya. Hal ini dikarenakan pada 23 Agustus 1/5 (200,000 barrel) kargo sudah aman , pada 24 Agustus 2/5 (400,000 barrel) kargo sudah aman, begitu juga seterusnya sampai 1,000,000 barrel .
  2. Pada saat harga jual dihitung (rata-rata Oct WTI ) pada 6-10 September 2007 beli kembali Oct WTI secara parsial.

Efek Hedging Terhadap Margin

Misalkan harga October WTI adalah $70/bbl untuk periode 6-10 September dan harga Oct Brent $78/bbl untuk periode 23-27 Agustus , bagaimana posisi produser jika transaksi diatas tidak dihedging:

Untung/Rugi pada Wet Barrel

Harga Jual (WTI +1.72)……………………………………………$ 71.72

Harga Lokal (Brent – $3.5)………………………………………($ 74.50)

Freight…………………………………………………………………………………($ 1.50)

…………………………………………………………………………………………….———–

Margin minus ……………………………………………………………….$ 4.28 per barrel (rugi)

Jika tidak dihedging produsen rugi $4.28/barrel atau $4.28 juta . Jika dihedging rugi di wet barrel ditutup dengan untung di paper barrel sebesar $4.48 sehingga margin terjaga dilevel $0.2 per barrel ($4.48-$4.28) :

Untung/Rugi pada Paper Barrel

Jual (Short Selling) Oct WTI 10 Juli 2007………………………………..$ 72.22

Partial buy-back Oct WTI pada 6-10 Sep 2007…………………………$ 70.00

………………………………………………………………………………………………….———

Untung Oct WTI …………………………………………………………………………………..$ 2.22

Jual parsial Oct Brent 23-27 Agustus……………………………………….$ 78.00

Beli Oct Brent pada 10 Juli 2007 …………………………………………….$ 75.74

…………………………………………………………………………………………………———

Untung di Oct Brent…………………………………………………………………………….$ 2.26

Total Untung di paper barrel ………………………………………………………………$ 4.48

Rugi di Wet Baret akibat fluktuasi harga…………………………………………….($ 4.28)

Net Efek Hedging- Margin……………………………………………………………………$ 0.20

  1. Studi Kasus Bank Century dan Sarijaya Sekuritas

Kasus Sarijaya bermula dari presiden komisaris dan pemilik tunggal Sarijaya yang secara ilegal menggunakan dana nasabahnya sebesar Rp245 miliar (yang dimiliki 8.700 nasabah) untuk membeli saham dan memberi pinjaman dana melalui 17 account baru/fiktif. Pada intinya, dana nasabah yang seharusnya dibelikan saham (sesuai instruksi mereka dan dicatat oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia) justru digunakan oleh pemilik Sarijaya untuk melakukan transaksi pribadinya dan diduga termasuk meminjamkan dananya dengan jaminan saham (repo). Akibatnya, sewaktu pasar saham terpuruk, peminjam dana menunggak dan pemilik Sarijaya mengalami kerugian besar karena nilai saham yang dijamin merosot tajam.

Lalu, yang menjadi isu adalah: Apakah direksi Sarijaya mengetahui dan membiarkan manipulasi ini terjadi? Mengapa direksi membiarkan komisaris untuk ikut campur dalam pengelolaan perusahaan dengan melakukan transaksi pidana pula? Mengapa Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tidak dapat mengungkap masalah ini dari awal?

Sementara itu, kasus Bank Century bermula dari kalah kliringnya bank tersebut di Bank Indonesia. Oleh karena Bank Century mengalami kesulitan likuiditas, pemerintah akhirnya mengambil alih Bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Walaupun masalah likuiditas merupakan hal yang wajar, terutama dalam krisis finansial, tetapi ada beberapa hal yang ditanyakan investor, termasuk kaitan dengan reksadana Antaboga dan lain-lain.

Selain dua kasus lokal ini, dunia keuangan global yang sedang mengalami krisis ikut terpukul dengan adanya kasus Bernard L. Madoff, mantan ketua NASDAQ, yang melakukan manipulasi US $ 50 miliar di AS. Dalam kasus ini, metode manipulasi yang digunakan justru sangat primitif, yaitu dana investor baru digunakan untuk membayar keuntungan investor lama.

Dengan mulai terkuaknya kasus manipulasi dan kepailitan lembaga keuangan, tingkat kepercayaan publik, terutama investor dan nasabah bank, sangat terpukul. Apalagi dalam keadaan pasar saham dan sistem perbankan global yang sedang terpuruk.

Jika dievaluasi post-mortem, ada beberapa faktor yang memicu kasus ini, tentunya di luar krisis finansial global. Pertama, tidak terpisahnya fungsi perwakilan pemilik (dewan komisaris) dari fungsi manajemen (dewan direksi), sehingga pemilik (apalagi pemilik saham mayoritas) dapat ikut campur dalam manajemen yang dalam hal ini patuh kepada pemilik. Pada intinya, ada kekhawatiran kalau pemilik saham mayoritas (terutama investor individu dan bukan lembaga investor) dapat memaksa direksi dalam pengelolaan perusahaan. Peran pemilik Bank Century, Sarijaya Sekuritas (dan Bernard L. Madoff Investment Securities LLC), misalnya, sebagai individu sangat kuat. Jika pemilik mayoritas lembaga tersebut adalah lembaga investor strategis yang memiliki good corporate governance (GCG), maka kasus manipulasi seperti ini bisa dihindari.

Kedua, tidak terpisahnya peran bisnis (sales, marketing, dan trading) dari peran manajemen risiko (termasuk audit, biro hukum, dan kepatuhan). Kasus derivatif yang mengakibatkan kerugian ratusan juta dolar AS di Indonesia, selain terpicu oleh melemahnya rupiah, juga terpicu oleh lemahnya peran manajemen risiko. Contoh globalnya adalah seperti yang terjadi di Barings, Societe Generale, dan lain-lain.

Ketiga, lemahnya pemegang saham mayoritas secara finansial. Jika lembaga keuangan yang bermasalah memiliki investor strategis/pemegang saham pengendali yang kuat secara finansial, maka risiko “systemic risk” dan “fraud” bisa diperkecil. Paling tidak, mereka bisa menyuntik modal segar jika diperlukan. Dalam krisis finansial, “big balance sheet and liquidity are keys”.

Keempat, lemahnya pengetahuan investor publik dan transparansi lembaga keuangan, terutama yang belum go public.

Kelima, belum optimalnya peran regulator. Ini adalah masalah global, yang sering kali dipicu oleh pesatnya perkembangan produk finansial/investasi dibanding kemampuan regulator untuk mencerna, apalagi meregulasi, produk-produk tersebut. Misalnya, masalah derivatif.

Keenam, tidak adanya blanket guarantee untuk perbankan. Tanpa adanya jaminan total dari pemerintah atas dana deposan perbankan atau dana pinjaman antarbank, bank yang berukuran sedang/kecil menghadapi risiko likuiditas yang besar, terutama dalam krisis finansial.

Dalam skala global, masalah yang dihadapi oleh dunia keuangan Indonesia relatif kecil, dibandingkan, misalnya, dengan AS dan Inggris. Perbankan Indonesia masih relatif sehat. Pada akhir 2008, CAR perbankan 14%, NPL 5,5%, LDR 80%, dan pertumbuhan kredit 30%. Walaupun pertumbuhan kredit diperkirakan bakal turun ke 15%, Indonesia tidak akan mengalami krisis perbankan seperti pada 1998.

Namun, dengan adanya prospek resesi ekonomi global, rentannya rupiah, dan lumpuhnya perbankan global, bank yang modalnya kecil rentan menghadapi isu, terutama tanpa adanya blanket guarantee program. Dengan rentannya pasar modal global, lembaga sekuritas (yang mengelola reksadana) yang modalnya dan akses likuiditasnya terbatas akan rentan pula mengalami masalah jika investor menarik dana mereka.

Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan investor dan nasabah bank dalam situasi seperti itu?

Pertama, simpanlah dana deposito di bank pemerintah, asing, dan lokal yang asetnya besar dan memiliki indikator keuangan yang kuat (modal besar, CAR tinggi, NPL rendah, dan sebagainya). Deposan dan investor patut pula mengetahui peringkat risiko banknya (yang diberikan oleh, antara lain, Standard & Poor’s, Moody’s, atau Fitch).

Kedua, belilah saham atau obligasi melalui perusahaan sekuritas yang didukung oleh pemegang saham strategis yang kuat secara finansial. Ketiga, belilah reksadana (saham, obligasi, ataupun campuran) yang memiliki catatan kinerja sedikitnya sepuluh tahun terakhir.

Kasus Sarijaya dan Bank Century dipicu oleh kombinasi antara krisis finansial global (terutama krisis likuiditas rupiah dan terpuruknya pasar saham), lemahnya koordinasi antara BI dan Bapepam, lemahnya pengetahuan investor umum, serta buruknya itikad pemegang saham institusi tersebut.

Krisis global tidak dapat dihindari. Akan tetapi, yang dapat diperbaiki adalah kemampuan, ketegasan, dan koordinasi regulator, serta pengetahuan investor publik dan deposan bank.

  1. Studi Kasus Subprime Mortgage

Mortgage yang kita bahas di sini adalah utang untuk membeli properti di mana properti tersebut kemudian dipakai sebagai jaminan. Contohnya adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sebuah lembaga keuangan A di Amerika Serikat memberi pinjaman kepada pemilik rumah. Surat perjanjian utang (hipotek) ditandatangi sebagai bukti pemilik rumah meminjam pada lembaga keuangan A dengan menyerahkan rumah sebagai jaminan. Lembaga keuangan menyimpan perjanjian hipotek. Pemilik rumah dapat menempati rumah dan sekaligus memiliki kewajiban membayar angsuran sampai jangka waktu tertentu.

Lembaga keuangan A pasti ingin bertumbuh dengan memberi lebih banyak lagi pinjaman kepada pemilik rumah baru. Setiap pertumbuhan usaha pasti membutuhkan dana segar untuk mendukungnya. Timbullah ide kreatif untuk mencari dana segar dengan menerbitkan surat utang kepada investor. Agar menarik bagi investor, hipotek dijadikan sebagai dasar (jaminan) surat utang tersebut. Surat utang itulah yang dinamakan surat berharga turunan. Biasanya mereka memberi nama yang ”aneh-aneh” untuk surat berharga turunan tersebut.

Uniknya para investor yang membeli surat berharga turunan tersebut juga menerbitkan surat utang baru dengan jaminan surat berharga turunan tersebut. Motivasi tetap sama saja yaitu ingin bertumbuh menjadi lebih besar. Jadi hipotek dari lembaga keuangan A sudah memiliki cucu. Tetapi keserakahan dalam dunia keuangan dan lemahnya aturan menyebabkan surat berharga turunan tidak berhenti sampai cucu. Melainkan terus beranak pinak sampai beberapa turunan.

Permasalahannya pemilik rumah yang menandatangani hipotek ternyata banyak dari kelompok masyarakat yang tidak bonafit. Mereka adalah kelompok ”bonek” yang tidak memiliki pekerjaan jelas tetapi tergiur dengan iming-iming kenaikan harga rumah. Akibatnya perlahan-lahan tapi pasti banyak pemilik rumah tidak mampu membayar angsuran kepada lembaga keuangan A. Akhirnya lembaga keuangan A juga mengalami kesulitan sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban surat utang turunannya mulai dari anak, cucu, cicit, dan seterusnya. Lebih parahnya lagi ternyata yang menjadi investor bukan hanya di AS melainkan investor di benua Eropa, Asia, dan sebagainya. Maka jatuhlah para investor yang kebanyakan adalah lembaga keuangan besar di dunia karena memilki surat utang berharga turunan tersebut.

Peminjaman mortgage bisa dibagi menjadi Prime Mortgage dan Subprime Mortgage. Secara mudahnya, Subprime Mortgage adalah mortgage dengan risiko yang lebih tinggi. Prime Mortgage biasanya diberikan kepada peminjam yang memiliki sejarah kredit yang bagus (misalnya tidak pernah bangkrut, tidak terlambat membayar tagihan, dll) dan dapat menunjukan kapasitas untuk membayar kembali utangnya (misalnya pendapatan yang besar, rasio dari pinjaman terhadap nilai properti rendah, dan lain-lain). Subprime mortgage diberikan kepada peminjam yang tidak memenuhi kedua persyaratan di atas.

Munculnya industri Subprime Mortgage memungkinkan orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli rumah menjadi bisa membeli rumah.

Karena resiko subprime mortage yang lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan kepada peminjam juga lebih tinggi. Sekarang kita bayangkan bagaimana jika ada orang yang lebih susah membayar utang harus membayar bunga yang lebih tinggi lagi. Seperti yang kita duga, tingkat gagal bayar Subprime Mortgage (sekitar 7%) rata-rata lebih tinggi dari Prime Mortgage (sekitar 1%).

Pada tahun 2004, 2005, dan 2006, Subprime Mortgage merupakan 23.8%, 25.5%, dan 22.8% dari total pemberian pinjaman mortgage pertahunnya. (Sumber: Loan Performance Estimates)

Di samping itu, proporsi mortgage dalam portfolio kredit bank komersial di AS juga terus meningkat pesat. Hal ini menunjukan semakin tingginya proporsi penggunaan mortgage.

Dari tahun 2001 sampai akhir 2005, proporsi aset mortgage dari aset bank komersial terus meningkat. Tak heran jika pada periode tersebut tingkat pembangunan rumah di Amerika Serikat juga meningkat pesat: housing boom. Periode ini juga bertepatan dengan turunnya tingkat suku bunga AS sejak akhir tahu 2000. Mar 2000 adalah awal dari runtuhnya saham-saham teknologi: burst of internet bubble. Untuk mengurangi resiko resesi, bank sentral Amerika menurunkan target suku bunga secara agresif. Dengan suku bunga bank sentral yang rendah, maka suku bunga mortgage juga rendah. Tak heran bila mortgage terus meningkat, semakin banyak rumah dibangun.

Dalam kondisi suku bunga yang rendah dan harga rumah yang terus naik, pemberi mortgage seolah melupakan resiko gagal bayar peminjam mortgage. Karena saingan yang ketat, berbagai strategi marketing pun dilancarkan. Salah satunya adalah 2/28: bunga yang harus dibayar peminjam selama 2 tahun pertama sangat rendah dan setelahnya (mungkin 28 tahun) bunga yang dibayar langsung melonjak naik. Jadi bunganya di-reset setelah tahun ke-2. Dengan iming-iming bunga rendah selama 2 tahun pertama, banyak orang yang mengambil mortgage. Dengan harga rumah yang terus naik, ada harapan sebelum tahun ke-2 rumah bisa dijual untuk membayar sisa mortgage.

Tabel di samping menunjukkan jumlah mortgage yang akan di-reset untuk beberapa bulan mendatang (dalam miliar dollar). Perhatikan bahwa jumlahnya terus meningkat. Awal januari tahun depan, angkanya melonjak lebih dari 80 miliar dollar AS. Apa yang akan terjadi ketika suku bunga mortage di-reset, sebagian pasti tidak akan sanggup membayar bunga itu. Kalau sudah begitu, mortgage-nya akan dikategorikan gagal. Siapa yang biasanya akan gagal bayar ketika di-reset? Tentu Subprime Mortgage yang proporsinya lebih banyak gagal. Apa yang membuat beban reset menjadi semakin berat? Paling tidak ada dua hal:

  1. Naiknya suku bunga. Hal ini terjadi karena sebagian suku bunga mortgage adalah floating. Artinya suku bunga mortgage = suku bunga referensi yang berlaku + x%. Kalau suku bunga referensinya naik, tentu saja suku bunga mortgage juga naik.
  2. Jatuhnya harga rumah. Turunnya harga rumah membuat pengambil mortgage untuk tidak bisa menjual rumahnya untuk mengambil hutang baru.

Sejak tahun awal tahun 2004, Bank Sentral AS mulai menaikkan target tingkat suku bunga: credit tightening. Secara perlahan target suku bunga naik sampai ditingkat 5.25%. Ketika target suku bunga naik, maka suku bunga untuk semua hutang juga ikut naik. Chart di bawah ini menunjukan tingkat suku bunga T-Bill dalam jangka waktu 3 bulan. Sejak awal 2004, tingkat gagal bayar subprime mortgage mulai naik tajam. Lihat garis warna violet dan merah jambu. Sementara itu, tingkat gagal bayar Prime Mortgage masih rendah, paling tidak sampai akhir 2006.

Beberapa indikator resesi yang dapat dilihat secara kasat mata pada tahun 2008 antara lain semakin lemahnya daya serap pasar tenaga kerja di AS, daya beli masyarakat AS yang turun drastis sehingga berpotensi menekan pelaku industri, defisit perdagangan dan government spending AS yang banyak sekali dihabiskan untuk perang, serta kerugian dari kasus kredit macet sektor perumahan yang jumlahnya fenomenal dan mengguncang fondasi ekonomi AS. Banyak yang pesimis dengan peran The Fed dalam mengatasi krisis keuangan yang terjadi. Dikatakan bahwa usaha yang dilakukan oleh The Fed adalah sesuatu yang percuma, ‘It’s too little, too late’. Usaha bank sentral dipandang hanya akan menyediakan “lantai” untuk hard landing dan tidak akan mencegah hard landing tersebut.

Yang dikhawatirkan saat ini adalah suplai uang yang begitu besar telah diinjeksikan ke dalam masyarakat melalui tingkat suku bunga rendah dan berbagai program pinjaman pemerintah (bantuan likuiditas). Namun jika modal-modal tersebut dibiarkan begitu saja tanpa digunakan untuk memutar roda aktivitas ekonomi, maka uang yang beredar di masyarakat akan semakin melimpah dan mengendap. Inilah yang berpotensi untuk menciptakan inflasi. Masalahnya, dengan kondisi perekonomian yang masih labil, kalangan industri dan usaha lainnya enggan untuk mengambil resiko untuk mengembangkan usahanya di saat-saat kritis seperti saat ini. Sebenarnya pemerintah AS telah meng-encourage para pelaku pasar dengan berbagai stimulus ekonomi demi menjalankan kembali perekonomian. Namun masalahnya adalah para pelaku pasar belum dapat percaya pada situasi ekonomi saat ini. Sentimen positif yang ditunggu oleh pemerintah AS tidak juga datang, malahan ancaman inflasi yang semakin mengancam mengingat gagalnya berbagai stimulus tersebut.

Kebijakan moneter AS saat ini dianggap tidak efektif dalam mengatasi krisis keuangan AS saat ini. Ada tiga alasan utama mengapa kebijakan yang dijalankan The Fed dan pemerintah AS belum dapat dikatakan efektif. Yang pertama adalah eksistensi dari non-bank financial system. Atau seringkali disebut sebagai ‘shadow banking system’. Mulai dari institusi hedge funds, pasar modal, sovereign wealth funds, bank-bank investasi dan lainnya. Kelemahan dari shadow banking system ini terletak pada kecenderungan spekulasi yang seringkali mereka lakukan. Tingkat resiko yang tinggi dari aktivitas ekonomi mereka menjadi sebuah ancaman bagi financial recovery yang sedang dijalankan oleh pemerintah AS.

Yang kedua adalah AS tidak hanya ‘terluka’ dari ilikuiditas namun menderita banyak kebangkrutan. Pada kasus tahun 1998, masalahnya hanya terletak pada likuiditas, sehingga kebijakan easy money cukup efektif untuk dilakukan. Saat ini, lebih dari 200 institusi keuangan yang dulu bertindak sebagai mortgage lenders (pemberi pinjaman) telah bangkrut. Krisis kali ini tidak dapat dipecahkan hanya dengan “throw some money at the problem”.

Yang terakhir adalah atmosfir ekonomi yang dipenuhi dengan ketidakpastian; bukan resiko. Risiko dalam aktivitas ekonomi merupakan sesuatu yang bisa diukur dan dapat dikendalikan. Namun ketidakpastian sama sekali tidak dapat diukur dan justru akan merusak aktivitas ekonomi. Ketidakpastian ini berbuntut ketidakpercayaan. Dan akhirnya, suntikan dana yang begitu besar justru tertahan di sistem-sistem perbankan karena pelaku pasar masih takut untuk kembali berinvestasi. Banyak analis mengatakan bahwa jika AS mengalami soft landing atau berhasil menghindari resesi, maka ekonomi global akan mengalami de-coupling dan tidak akan terlalu terpengaruh oleh kondisi keuangan AS. Namun, jika yang terjadi adalah hard landing maka kemungkinan re-coupling akan sangat besar terjadi dan ekonomi dunia akan terseret ikut menuju global economy slowdown.

Pada tahun 2007, AS berhasil meminimalisir dampak sementara dari krisis kredit macet yang menyebabkan kepanikan global. AS dapat dikatakan berhasil melakukan soft landing. Ekonomi dunia pada saat itu pun tidak terpengaruh secara signifikan. Jatuhnya saham global pun berhasil pulih dalam jangka waktu tiga hari hingga seminggu.

Namun, prediksi resesi yang akan terjadi di kuarter pertama tahun 2008 nampaknya memiliki potensi untuk menjadi kenyataan. Jelas bahwa krisis ekonomi AS saat ini terjadi tidak hanya disebabkan oleh buruknya pengawasan likuiditas finansial saja. Kebijakan easy money belum akan dapat mengatasi masalah karena yang saat ini menjadi akar masalah adalah atmosfir ketidakpastian dan ketidakpercayaan pelaku usaha untuk kembali menjalankan aktivitas usahanya. Kebijakan moneter baru dapat efektif jika dapat diikuti dengan pemulihan kepercayaan terhadap institusi perbankan dan insitusi pemeringkat yang saat ini dijadikan kambing hitam atas lemahnya safeguard ekonomi AS. Nampaknya dunia memang harus bersiap menghadapi kemungkinan yang terburuk.

  1. Studi Kasus Transaksi Derivatif Indosat

Transaksi-transaksi derivatif Indosat sempat menjadi sorotan media di Indonesia setelah salah satu anggota DPR menuding bahwa Indosat telah melakukan penggelapan pajak melalui transaksi-transaksi tersebut karena ditengarai bahwa di laporan keuangan Indosat ada satu komponen yang menunjukan kerugian dari transaksi derivatif.

Sebelum kita mengambil kesimpulan bahwa Indosat telah menggelapkan pajak, mari kita lihat dulu apa sebenarnya yang dilakukan Indosat. Lalu kita bertanya apakah alasan dibalik transaksi-transaksi tersebut? Apa negara dirugikan? Baru akhirnya kita bisa berkesimpulan apakah telah terjadi usaha penggelapan pajak oleh Indosat. Fakta-faktanya yang berhasil didapat, yaitu :

  1. Indosat telah menerbitkan obligasi (surat utang) dalam bentuk US dollars (Guaranteed Notes I & II) sebesar USD 300 juta & USD 250 juta. Bunga dari obligasi ini adalah dalam bentuk dolar dan besarnya tetap (fixed). Indosat juga memiliki fasilitas kredit ekspor dari Finlandia sebesar USD 34 juta.
  2. Indosat memasuki kontrak interest rate swaps dan cross currency swaps. Nilai nominal dari kontrak tersebut pada akhir Desember 2006 sebesar USD 400 juta atau sekitar 68,5% dari total kewajiban USD Indosat.
  3. Posisi interest rate swaps Indosat adalah membayar LIBOR + x% dan menerima fixed y% (Indosat membayar bunga floating dan menerima bunga fixed). LIBOR adalah tingkat suku bunga yang dikenakan oleh beberapa bank terkemuka di London bila mereka meminjam dana satu sama lain. LIBOR sering dipakai sebagai referensi untuk transaksi-transaksi swaps.
  4. Pertama Indosat membayar dollar dan menerima rupiah. Sehingga tiap tahun Indosat membayar bunga rupiah dan menerima bunga dollar, dan di akhir kontrak membayar rupiah, dan menerima dollar. Kali ini nilai nominal currency swap tidak sama dengan nilai nominal obligasi. Jadi, Indosat tidak melakukan full hedging, tapi partial hedging. Sepertinya Indosat memasuki floating-for-floating currecy swap.

Dari fakta-fakta di atas dapat kita menganalisisnya untuk mendapatkan informasi-informasi yang tersurat di dalamnya. Adapun analisis-analisis sebagai berikut:

  1. Poin 2 menunjukkan bahwa Indosat menyadari adanya risiko fluktuasi rupiah terhadap kesehatan keuangan perusahaan akibat kewajibannya dalam USD. Indosat melakukan upaya untuk mengurangi resiko itu dengan memasuki serangkaian transaksi derivatif.
  2. Poin 3 menunjukkan kalau Indosat ingin mengubah sebagian (karena tidak fully hedged) obligasinya dari bunga tetap (fixed) ke bunga yang tidak tetap (floating). Maksudnya bahwa Indosat telah mengeluarkan obligasi USD mewajibkannya untuk membayar bunga dalam USD yang besarnya tetap setiap tahun. Dengan memasuki interest rate swap, di mana Indosat membayar floating dan menerima fixed, maka efeknya sama saja seolah-olah Indosat mengeluarkan obligasi USD dengan bunga yang bervariasi tergantung nilai LIBOR yang berlaku di tahun-tahun mendatang. Mengapa Indosat melakukannya? Mungkin Indosat merasa bahwa LIBOR rate tidak akan naik atau turun di tahun-tahun mendatang sehingga bisa mengurangi funding cost-nya. Yang jelas, transaksi ini menambah resiko Indosat terhadap fluktuasi suku bunga LIBOR, danbukan menguranginya. Maka, transaksi ini tidak bisa dibilang hedging, tapi merupakan upaya untuk menurunkan funding cost.
  3. Poin 4 menunjukan bahwa Indosat berusaha untuk mengurangi resiko fluktuasi rupiah. Dari berbagai instrumen derivatif yang ada dan dengan melihat obligasi dan interest rate swaps yang telah dimasuki, menurut saya floating-for-floating currency swap yang dimasuki Indosat adalah kontrak yang tepat sasaran dan efektif. Kenapa? Karena cash flows-nya cocok. Indosat telah memasuki interest rate swap yang secara efektif telah mengubah obligasinya menjadi obligasi floating. Maka floating-for-floating lebih bagus daripada fixed-for-fixed. Kenapa mesti pakai currency swap? Karena currency swap memperhitungkan juga pembayaran bunga. Kontrak derivatif lain seperti kontrak forwardtidak diperhitungkannya. Jadi menurut saya, pilihan untuk memasuki kontrak ini adalah langkah hedging yang tepat sasaran.

Kalau kita mengikuti tulisan di atas, mungkin saat ini kita sudah tidak berpikir adanya upaya penggelapan pajak. Yang ada hanyalah upaya hedging dan upaya menurunkan cost of funding. Praktek ini biasa dilakukan di korporasi-korporasi yang memiliki risiko besar terhadap fluktuasi kurs mata uang.

Ternyata sejak tahun 2004 tersebut, rupiah cenderung menguat. Tidak heran bila posisi currency swap Indosat merugi kalau dilihat dari segi kontrak ini sendiri. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa Indosat juga memiliki obligasi yang mesti dibayar dengan USD. Kalau dulu hutang Indosat ini dirupiahkan mungkin sebesar Rp 5.2 triliun dan kalau dirupiahkan sekarang sebesar 4.7 triliun maka dari segi rupiah Indosat utangnya lebih kecil. Akhirnya pembayaran hutang obligasi ini juga akan mempengaruhi pendapatan Indosat sendiri. Kalau dilihat dari kedua sisi (obligasi + derivatif), kita lihat bahwa efeknya ke pendapatan perusahaan kecil.

Kita cenderung menilai setelah fakta bahwa rupiah menguat. Seandainya saja rupiah sebetulnya melemah sampai ke Rp12.000 per 1 USD. Apakah kita juga berpikir kalau Indosat terlalu banyak menyumbang pendapatan ke negara? Tidak juga. Karena keuntungan dari transaksi derivatif Indosat akan ditutup oleh hutang obligasi Indosat yang membengkak.

SIMPULAN

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa transaksi derivatif adalah turunan dari instrumen induknya, seperti saham dan obligasi. Instrumen derivatif mulai banyak bermunculan di Pasar Modal ataupun di OTC dikarenakan persaingan pasar yang ketat. Investor membutuhkan banyak dana yang segar dan liquid untuk kelangsungan usahanya sehingga mempergunakan alternatif lain yang mungkin bisa dipergunakan sebagai sarana perdagangan. Dari sinilah peran derivatif mulai meledak. Karakter dari para pelaku ekonomi yang menginginkan hal yang fleksibel dan mampu menghasilkan sesuatu banyak membuat berbagai macam instrumen derivatif. Waran yang berisi tentang janji-janji suatu perusahaan kepada pemegang saham yang dulunya melekat pada saham sekarang bisa dipisahkan oleh opsi dan keduanya dapat diperdagangkan. Tidak hanya itu kewajiban-kewajiban perusahaan seperti utang usaha sekarang mampu diperjualbelikan. Surat perjanjian utang yang dimiliki perusahaan dapat dibuat sebagai jaminan untuk mendapatkan utang. Bahkan goodwill pun bisa diperdagangkan, seperti franchise. Turunan dari instrumen Pasar Modal sudah begitu banyaknya sampai beranak pinak.

Namun, hal di atas tidak disertai dengan pengelolaan yang maksimal. Tentu saja dengan adanya instrumen derivatif ini, investor menjadi terlalu keenakan tanpa memikirkan resiko ke depannya. Sehingga jalan yang salah pun dilalui. Subprime Mortgage yang memberikan kelonggaran kepada siapa saja yang menginginkan rumah tanpa memikirkan kriteria yang sebelumnya sudah dibuat. Turunan dari Prime Mortgage ini tidak menghiraukan sejarah kredit dan tingkat kemampuan seorang peminjam untuk mengembalikan utangnya. Hal ini supaya menarik banyak orang untuk mempergunakan fasilitas ini. Akhirnya, pada saat Amerika terjadi resesi dan meningkatkan suku bunganya. Dikarenakan bunga yang diberikan Subprime Mortgage yang tinggi mengakibatkan para peminjam tidak bisa membayar utangnya bahkan penjualan rumah pun tidak bisa menutupinya. Hal ini merebet sampai lembaga pendanaan terbesar di Amerika. Banyak perusahaan-perusahaan yang bangkrut sampai benua Asia, Eropa, dan lain-lain. Tingkat kepercayaan investor kepada perusahaan pun menjadi menurun.

Musuh yang lain dari instrumen derivatif adalah nilai tukar mata uang asing terutama US $ (dollar Amerika). Bayangkan jika dana yang tidak bisa dibayarkan berjumlah jutaan dollar. Apabila jumlah tersebut di kurs-kan ke mata uang Indonesia (IDR) maka jumlahnya sangat banyak sekali. Sehingga banyak perusahaan di Indonesia yang sampai menjual aset-asetnya. Resiko-resiko seperti inilah yang jangan diulangi kembali. Kemudahan penggunaan derivatif ini memunculkan resiko yang besar di kemudian hari. Kalau diibaratkan, kasus bisnis di atas sebagai rangkaian seri pada elektronika. Rangkaian ini apabila salah satu sambungan terputus atau macet maka yang lainnya kena dan mati. Begitu pula terjadi pada kasus di atas, salah satu kredit macet maka merebet ke perusahaan-perusahaan yang besar atau induk. Anak-anak perusahaan yang berada di berbagai negara akan ikut kena dampaknya. Panik, stres, depresi merupakan kondisi yang menimpa siapa saja yang secara langsung maupun tidak langsung terimbas dalam aliran arus tersebut. Akhirnya Pemerintah di negara manapun mau tidak mau harus turun tangan agar dapat membatasi dampak yang lebih parah dari kebangkrutan beberapa perusahaan.

REFERENSI

http://www.idonbiu.com/2009/05/pengertian-laba-per-lembar-saham.html

http://skripsi.blog.dada.net/post/731587/ANALISIS+PENGARUH+EARNING+PER+SHARE,+RETURN+ON+ASSET+DAN+TINGKAT+BUNGA+DEPOSITO+TERHADAP+HARGA+SAHAM+PADA+PERUSAHAAN+YANG+TERCANTUM+DALAM+INDEKS+LQ+45+DI+BURSA+EFEK+JAKARTA

http://one.indoskripsi.com/node/5432

http://www.bisnis-global.com/saham/analisis-fundamental.html

http://www.infovesta.com/roller/vesta/entry/mengenal_derivatif

http://www.infovesta.com/roller/vesta/entry/contoh_kasus

http://www.geoklik.com/pengertian-derivatif-adalah.html

http://muhamadnahdi.blogspot.com/2008/01/artikel-perdagangan-derivatif.html

http://ihedge.wordpress.com/2007/06/10/menilik-transaksi-derivatif-indosat/

http://ihedge.wordpress.com/2007/06/09/interest-rate-swaps-perkenalan/

http://janganserakah.com/2009/02/21/duri-duri-derita-derivatif-pelajaran-dari-kasus-perbankan-indonesia/

http://petroleumeconomics.wordpress.com/2007/07/10/energy-hedging-dalam-studi-kasus-arbitrase-perdagangan-minyak-bumi-suatu-pengantar/

http://ihedge.wordpress.com/2007/08/19/krisis-finansial-2-subprime-mortage/

http://putraditama.com/?tag=kasus-subprime-mortgage

http://ihedge.wordpress.com/2007/08/19/krisis-finansial-3-menganalisa-subprime-mortgage/

Author: Daniel Sugama Stephanus

Power & Speed Metal is my music... Adventure is my hobby... Social transformation is my passion...

Leave a comment